BAB 3

1978 Kata
Salwa hampir menghabiskan liburannya. Seminggu yang hanya diisinya dengan memanjakan mata. Ia mengunjungi tempat yang belum pernah dijejakinya, bahkan beberapa tempat yang namanya saja Salwa belum pernah dengar. Di mana pun itu, Salwa tetap menemukan pasangan, hal yang mengingatkannya lagi tentang Zian dan Calara. Wanita itu memang lebih dulu mengenal Zian, dan mereka berdua juga teman sejak kecil dengan rumah berdampingan. Harusnya Salwa sudah bisa merasakan kedekatan mereka saat tahu Calara selalu ikut ke manapun Zian pergi, rela meninggalkan orang tua dan saudaranya untuk merantau bersama Zian. Salwa muak melihat wajahnya. Kini ia tersenyum karena pantulannya tampak lebih hitam. Ia mematikan ponsel selama liburan, dan secara khusus membeli kamera untuk menyimpan jejak perjalanannya. Salwa pulang tanpa mengabari keluarganya lebih dulu. Ia mendapat kritikan pedas Meta karena merusak kulit. Namun Mama Papa malah tertawa dan menganggap lucu. Salwa keluar kamarnya saat jam makan malam. Ia bekernyit saat melihat tumpukan cucian piring yang sedang Meta kerjakan. "Apa baru saja kita kedatangan tamu?" "Meta tidak tahu Kak. Tapi sepertinya Mama Papa mengundang beberapa orang. Setidaknya ada enam gelas tamu." Salwa melihat sekeliling, "Ke mana Mama dan Papa? Mereka tidak makan?" Meta menggidikkan bahu. "Mereka pergi ke supermarket setelah maghrib." "Untuk apa?" "Untuk apalagi," jawab Meta malas. "Tingkah keduanya aneh. Akhir-akhir ini Mama Papa banyak membicarakan hal yang tidak jelas." "Seperti?" Meta berbalik, "Mereka merencanakan sesuatu. Kadang-kadang Meta melihat Mama merengek kepada Papa, hampir menangis." Salwa penasaran. "Menangis? Apa masalahnya?" "Sepertinya berhubungan dengan dosa masa lalu, dan harus mencari seseorang itu sebelum meninggal dalam penyesalan," Meta kembali melanjutkan pekerjaannya. "Entahlah, tidak ada yang mau bercerita kepada Meta." Salwa tertawa. "Mungkin kamu masih kecil untuk tahu urusan ini." "Kecil?" Meta terperangah, "Meta dua puluh tahun. Dua-puluh-tahun, Kak." Salwa mengangguk geli. "Baiklah. Apa kita makan berdua saja?" "Mungkin mereka akan segera pulang." Salwa angkat tangan, "Aku menyerah. Meta makan tunggu Mama Papa. Kakak, akan makan dulu, lalu istirahat lagi," katanya dengan nada usil. "Curang!" Salwa berdeham. "Oh, andai engkau bisa merasakan luka hati ini," ucapnya seperti membacakan puisi. "Oh, tidak," balas Meta. "Terima kasih banyak," lanjutnya cepat-cepat. Salwa tertawa dan melanjutkan niat. Ia melihat-lihat foto perjalanannya sebelum tidur, dan tersenyum ingin melakukannya lagi nanti. Salwa berencana akan menikmati hidupnya, dengan atau tanpa status pernikahan. Kenyataannya Salwa tidak benar-benar membutuhkan seorang lelaki, ia cantik, sukses dan tidak kurang kasih sayang. +++ Kejutan pagi hari. Salwa menemukan Mama memasak sangat banyak, juga beberapa bahan kue yang siap dicampur. "Apa kita akan kedatangan tamu?" tanya Salwa. Mama mengangguk. "Lagi?" "Ya." "Apa ada hal besar terjadi ketika Salwa liburan kemarin?" selidiknya hati-hati. Mungkin saja Meta bersikap dramatis ketika menjelaskan semalam. "Ya. Dan sekali ini Mama ingin minta tolong Salwa." "Salwa? Minta tolong apa Ma?" Salwa bingung, tidak biasanya pembicaraan mereka seserius ini. "Membuat kue?" Mama menatap Salwa tanpa kesan bercanda. "Bantu Mama hidup tenang." Salwa segera memeluk Mama dengan tawa yang merdu. "Tentu saja akan Salwa lakukan. Bahkan tanpa Mama minta Salwa yakin kebahagiaan Salwa akan jadi ketenangan hidup buat Mama." Ketika pagi mulai menanjak dan semua hidangan siap. Salwa sedikit memecahkan misteri permintaan aneh Mama. Deretan mobil terparkir di halaman rumah, dan rombongan keluarga yang menyerbu masuk. Dan bingkisan-bingkisan yang mereka bawa. Secara jelas Salwa menafsirkan itu sebagai tanda lamaran. Tapi siapa? Meta, rasanya tidak mungkin. Hanya ada satu jawaban. Salwa. Salwa yang bingung duduk dengan gamis hijaunya. Ia masih setengah sadar dengan apa yang terjadi, kini dipaksa paham pembicaraan aneh di sekitarnya. Tante Rika. Oom Rusdi dan lelaki putih, berkacamata yang tertunduk. Athan, mereka memanggilnya begitu. "Tante dan Mamamu bersahabat dari kecil. Lalu kami menikah dan punya anak. Tante punya anak semuanya laki-laki. 5 orang dan ini yang ke 3. Usianya sekarang 24 tahun." Salwa pikir lelaki itu seumuran dengan Meta. Dia terlihat lebih muda dari usianya. Terutama dari sikap patuhnya yang tidak akan dilakukan lelaki dewasa. "Kami berdua pernah membuat janji akan menjadi besan," kata Mama. "Apa?" Salwa bertanya kepada Mamanya. Ia belum mendengar itu, belum juga pernah terpikirkan kalau Mamanya tidak semodern yang Salwa ingat. "Dengarkan dulu Mamamu," tegur Tante Rika tegas. Salwa terkejut oleh sentakan calon mama mertua yang akan menyusahkan. "Waktu Mama hamil kamu. Kami bertemu lagi setelah lama berpisah." Tante Rika segera menyambar, "Asih mengatakan boleh menukar anak kami kalau anaknya perempuan. Tapi begitu kamu lahir, Mamamu ingkar janji." Salwa melihat perdebatan mereka akan mulai sengit. Ia tidak diizinkan menyela. Meski sangat ingin menghentikan pembicaraan masa lalu yang basi itu. "Tapi saat itu Mama hanya bercanda. Rika menganggapnya terlalu serius. Karena tidak ingin hubungan kami retak Mama menenangkan, sebagai gantinya kami akan menikahkan kalian saat dewasa." Salwa mengambil kesempatan untuk membantah, "Tapi Ma..." "Mama hanya berharap bisa menebus kesalahan kami berdua," pinta Mama sendu. Jadi, inilah yang Mama minta dari Salwa. Kasus ditutup, atau, baru saja dibuka? "Maaf telah membuat kalian berada dalam situasi ini," kata Tante Rika kepada Athan. Salwa hampir mual. Ia tidak pernah ingin dekat-dekat dengan lelaki manja. Melihat cara Athan mengangguk, Salwa tahu ia harus berjuang sendiri. "Tapi ini kan hanya diantara kalian berdua. Bukan..." Tante Rika menaikkan suara, "Tapi hukum islam mengatakan..." "Lihat vidio ini. Mama akan lega kalau kamu mau mengerti," pinta Mama menyodorkan ponselnya. Salwa diam. Ia mendengarkan suara salah satu da'i dalam vidio dengan durasi satu menit. Tentang anak-anak yang terikat janji orangtua mereka. Kemudian ia memberikan tatapan kejam kepada lelaki yang hanya diam diperlakukan seperti itu. Calon suaminya, yang tidak pernah Salwa harapkan. "Setiap mukmin terikat dengan janjinya. Mama berharap kamu mau meringankan beban ini," katanya sambil mulai meneteskan airmata. "Ma, sabar Ma," Papa menenangkan dengan selembar saputangan. "Kita susah payah mencari mereka Pa. Dan sedikit beruntung karena Athan juga belum menikah. Tapi sekarang anak kita..." Salws geram. Ia tahu separuh airmata itu tulus dan separuh lagi sekedar peran. Tidak ada penjelasan sebelum ini. Salwa bisa menerjemahkan pemaksaan halus yang Mama lakukan supaya Salwa tidak bisa menolak. "Pertimbangkan perasaan Mamamu Salwa," kata Tante Rika mulai mengompori. "Jadilah anak yang sholeha. Itu akan menjadi penolong bagi mereka, Salwa." Salwa tidak suka Tante Rika. Salwa juga tidak suka Athan, anaknya. Dan tiba-tiba Salwa tidak suka Mama, teman Tante Rika. Siang yang terik untuk bulan yang basah seperti November. Lamaran yang meresahkan untuk hati yang sedang terluka. Dan tamu yang datang tanpa diharapkan. Salwa berada diantara drama Papa Mama dan hujaman kejam Tante Rika yang menuntut keputusan. Salwa melirik Meta yang sepertinya sedang asyik bercengkrama dengan salah satu tamu. Dia tidak tampak seperti mengerti perasaan Salwa. Salwa tahu ia telah kehilangan seluruh dukungan. "Sebelumnya, boleh Salwa bicara dengan dia," Salwa menunjuk secara sopan Athan. Mereka berdiri saat menerima izin. "Ikut aku." Salwa membawanya ke dapur. Ia menyalakan keran air kemudian berdiri menekankan tangan di pinggangnya. "Berencana mencuci piring?" tanya Athan heran. Salwa melongo sesaat. Baru saja ia mendengar kalimat pertama yang tidak wajar dari lelaki, yang dijodohkan untuknya. "Kamu bercanda?" Athan tersenyum. "Aku mengerti. Pernah melihatnya di film-film." "Pembicaraan ini tidak ada yang akan mendengarnya. Jadi kita bisa mengatakan apapun." Salwa menatapnya dan seketika Athan menunduk. "Kenapa kamu tidak menolak?" "Aku sudah menolak dan Mama menangis. Aku tidak punya pilihan lain." Salwa terperangah. Bagaimana mungkin ia akan dipimpin lelaki lemah seperti itu. Dari fisiknya yang sederhana, dan dari cara berpikirnya yang pasrah. Salwa angkat tangan untuk bisa hidup bersama lelaki itu. "Apa kamu tidak punya kekasih? Tidak berencana membawanya kawin lari, mungkin?" tanya Salwa penasaran. Athan sebenarnya bisa dikatakan tampan, kelihatan baik dan mungkin dia menyembunyikan sesuatu tentang beberapa wanita yang menyukainya. "Tidak ada. Kekasih atau niat kawin lari." Athan menjawab senada semula. Santai. Salwa putus harapan, ia menunduk heran. "Bagus sekali takdir hidupku ini." Beberapa saat keduanya diam. Suara air keran seperti dunia lain bagi pikiran Salwa. Ia ingat air terjun yang dikunjunginya, rasa dingin yang mengguyur hingga ke tulang. Tapi kini, jawaban yang akan lidahnya tentukan lebih mengerikan. "Jadi bagaimana?" tanya Athan kemudian. Salwa mengangkat wajah dan melotot. "Apanya yang bagaimana?! Kamu tidak ingin menghentikan ini?" Athan menurunkan kelopak matanya lagi. Dia menghadap Salwa namun tidak memandangnya. Sedikit mengirimkan sinyal bawa Salwa juga harus memalingkan mata. "Apa kamu punya kekasih? Kawin lari mungkin?" Bercanda Athan mengerikan. Salwa jadi teringat Zian. Tidak ada satupun yang pecundang jaman now itu lakukan, tidak ada telepon, pesan atau kata maaf bahkan setelah lebih dari satu minggu Salwa mengetahui rahasia busuknya. Amarahnya langsung naik. "Aku. Membenci. Semua jenis kalian!" "Aku juga tidak suka wanita," kata Athan tanpa terbawa emosi. Salwa sekali lagi tercengang. "Benarkah? Apa kamu, kebetulan, gay?" Kali ini Athan menghujamkan matanya yang cokelat tepat pada mata cokelat Salwa. "Maaf!" Salwa salah tingkah. Sedetik itu pantulan dirinya tercermin dengan baik di bola mata Athan. "Oh. Kamu dikhianati?" "Tidak." Athan berdiri lebih tegak, sehingga kini Salwa bisa mengukur tinggi lelaki itu yang sebenarnya beberapa senti di atas tinggi Salwa. "Dengar. Mamaku punya penyakit jantung. Aku tidak ingin membuat beliau dalam emosi yang tidak stabil. Jadi, tempat yang tepat menyelesaikan ini adalah kamu. Kamu bisa menolak lamaranku." "Kamu gila." Athan menarik sudut bibirnya tapi bukan tersenyum. "Aku benar," koreksinya. Salwa tidak mungkin setuju menikah dengan lelaki aneh seperti Athan. Tapi permintaan Mama dan hukum islam itu menghimpitnya. "Bagaimana ini...." "Kak? Yang lain menunggu kalian." Meta muncul kemudian, matanya melihat kran. "Tidak ada penyadap di rumah kita," katanya bertolak pinggang. Salwa mematikan kran saat Meta mendekat. "Bagaimana menurutmu? Apa yang harus kulakukan?" "Kenapa kalian tidak mau? Pacaran setelah menikah banyak yang berhasil," Meta menyuarakan pendapatnya. Salwa menunjuk Athan. "Dia tidak menyukai wanita." Athan dengan santai membalas. "Dia juga membenci laki-laki." Meta melihat bergantian keduanya. "Bisa kubayangkan, kalian akan punya rumah yang penuh warna." Salwa melotot. "Meta...." Meta mengangkat telunjuk di mulut. "Kalian perlu menyenangkan hati orangtua. Pernah dengar, pemuda yang menggendong ibunya untuk haji berjalan kaki. Kalian hanya menikah. Apa susahnya hidup satu rumah?" "Apa susahnya?!" Mereka berdua kompak. Meta mengangguk seperti ayam lapar. "Ya. Abang pasti bekerja pagi hari. Dan Kak Salwa dengan kesibukannya. Malam, kalian bisa tidur. Apa itu susah?" Salwa dan Athan terlihat berpikir. Meta berjalan menjauh, sengaja menambahkan dengan wajah jahil tepat ketika dia akan kembali ke ruang tamu. "Tapi pasti kalian akan tidur satu kamar kalau tinggal bersama keluarga." Salwa meneguk liur. Ia menatap Athan. "Kamu punya uang?" Athan masih tetap menurunkan kelopak matanya. "'Aku punya rumah, milikku pribadi." "Kamu janji bisa menjaga sikap di depan orangtua kita?" "Kuusahakan." Salwa menghela napas. Ia sudah mengambil keputusan besar. Ia sudah gagal menikah dengan kekasihnya, sekarang ia akan menikah dengan lelaki yang belum pernah dikenalnya. "Aku tidak pernah bermimpi seburuk kenyataan," kata Salwa mengambil langkah. Athan ikut di sisinya. "Quote november 2017. Siapa namamu?" "Salwa. Salwa Maina. Kamu?" "Athan. Fathan Alfian." Ketika keduanya kembali semua mata tampak berharap. Mereka diam sambil menunggu Salwa dan Athan duduk. "Apa kalian sudah memutuskan?" tanya Mama penuh harap. Salwa tersenyum palsu. "Kami akan ikut perjodohan ini Ma." Tante Rika langsung sumringah, "Tentu saja. Kamu beruntung sekali Salwa. Athan ini kesayangan Tante. Dia suamiable jaman now." Salwa meringis. Ia tidak yakin, bisa disebut beruntung. "Athan juga beruntung. Salwa ini wanita paling mandiri yang Tante pernah kenal," kata Mama sambil menyentuh lengan Salwa. "Athan ini koki, dia pintar memasak." Salwa hampir tertawa. Salwa tidak suka memasak, dan ia bisa menduga tidak akan kelaparan kalaupun uangnya habis. Sedikit penghiburan atas semua peristiwa aneh-buruk yang tiba-tiba menimpanya. "Salwa ini punya beberapa butik. Ia cukup menjentikkan jari untuk menghasilkan uang." Salwa bisa melihat tipe wanita yang cocok untuk Athan, dan secara percaya diri Salwa katakan bukan dirinya. Mama dan Tante Rika juga diragukan pernah memiliki hubungan sahabat, melihat bagaimana persaingan diantara keduanya. "Jadi, kita tentukan tanggalnya saja?" Papa melerai. "Setuju. Acaranya kita siapkan di gedung saja," usul Tante Rika cepat. "Tunggu!" Salwa dan Athan bersamaan. Mereka saling pandang, dan juga dipandangi yang lainnya. "Kami akan merencanakannya berdua. Tentang tempat, undangan dan beberapa hal," jelas Salwa sambil tersenyum. "Kami akan menyerahkan sisanya kepada kalian. Bolehkah?" tanya Athan memelas. "Baiklah," kata Mama dan Tante Rika bertukar pandang tanpa pembahasan. Sedikitnya Salwa akan menghabiskan hari bersama Athan beberapa jam dan ia coba menyiapkan rencana untuk tidak menyesali keputusannya. +++
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN