Hari demi hari pun silih berganti. Sejak Aksa resmi berpacaran dengan Nana, kehidupan Elina sehari-hari pun ikut berubah. Elina kesepian, sendiri, dan sering melamun. Sampai ia juga sering melupakan waktu makannya. Elina saat ini sedang berada di kamarnya. Elina baru mengisi perutnya tadi pagi, itu pun hanya dengan sepotong roti dan segelas air s**u.
Tok tok
Mama Mika dan papa Farzan menghampiri Elina ke kamarnya. Karena mala mini Elina tidak ikut gabung makan malam bersama mama Mika dan papa Farzan lagi.
“Mama, papa.” Sapa Elina saat mama Mika dan papa Farzan masuk.
“Kamu sedang apa sayang?” Tanya mama Mika yang menghampiri Elina dan duduk di kasur Elina.
“Ah, Elina tidak sedang ngapa-ngapain kok ma. Ada apa mama sama papa ke kamar Elina?”
“Elina, makan ya sayang.” Bujuk mama Mika.
“Iya sayang, makan ya? Jam makanmu berantakan akhir-akhir ini. Kamu juga jarang ikut makan malam bersama lagi.” Papa Farzan ikut membujuk Elina.
“Iya mama, papa. Elina nanti pasti makan kok. Tapi saat ini Elina belum lapar ma, pa.”
“Tapi kau sama sekali belum makan sayang.” Mama Mika khawatir.
“Udah ma, tadi pagi Elina sudah makan roti.”
“Itu hanya sebuah roti.”
“Tapi Elina benar-benar belum merasa lapar sekarang ma.”
“Kau ini sebenarnya kenapa? Kau selalu murung akhir-akhir ini.” Tanya mama Mika.
“Tak apa mama. Elina hanya ingin sendiri.”
“Ceritalah sayang, ada apa?” Sahut papa Farzan.
“Iya sayang, jangan membuat mama sama papa khawatir.” Mama Mika khawatir.
“Maafkan Elina kalau membuat mama sama papa khawatir. Tapi Elina tidak apa-apa.”
“Baiklah jika kamu belum mau berbagi cerita dengan mama dan papa.” Ucap mama Mika.
“Papa takut, dengan sikapmu yang seperti ini akan membuat kesehatanmu buruk.”
“Tak perlu khawatir pa. Elina akan menjaga diri.”
“Kalau begitu istirahat dan tidurlah. Selamat malam.”
Papa Farzan dan mama Mika hanya bisa pasrah karena tak berhasil membujuk anaknya untuk makan, dan sebelum keluar dari kamar Elina, mama Mika dan papa Farzan mencium kening Elina, kemudian keluar dari kamar Elina. Setelah mama dan papa nya pergi, Elina melihat cincin Aksa di atas meja. Elina mengambilnya.
“Aksa, ini sudah lama kau tidak menghubungiku. Apa semudah itu kau melupakanku? Apa tak sedikitpun kau mengingatku? Haruskah aku melupakan rasa cinta ini? Ini mungkin akan sulit, tapi aku harus melakukannya. Aksa, berbahagialah.” Gumam Elina.
Disisi lain mama Mika dan papa Farzan yang berada di kamar mereka sedang mengkhawatirkan Elina.
“Pa, mama sangat khawatir dengan Elina.”
“Sama ma, papa juga mengkhawatirkannya. Tapi mama tahu sendiri watak Elina. Dia selalu tertutup. Jika ia belum mau cerita, dia tetap akan diam. Dia selalu memendam semuanya sendiri.”
“Iya pa, sikap Elina berubah akhir-akhir ini.”
“Mungkin Elina sedang ada masalah dengan teman sekolahnya ma.”
“Mungkin pa.”
“Coba mama tanya salah satu teman dekat Elina. Mama ada yang punya nomernya?”
“Ahh.. sepertinya ada pa.”
Mama mika mengecek ponselnya dan mencari kontak teman Elina.
“Ahh, ini ada pa. Namanya Zara. Dia juga teman dekat Elina.”
“Coba mama telpon dia.”
“Baiklah pa, semoga tidak mengganggu.”
Mama Mika pun mencoba menghubungi Zara. Tak lama kemudian panggilan itu di angkat oleh Zara.
“Halo.”
“Halo Zara, ini mamanya Elina.”
“Ahh. Halo tante.”
“Apakah tante mengganggumu?”
“Tidak tante, ada apa tante? Ada yang bisa Zara bantu?”
“Tante mau tanya Zara, apakah Elina memiliki masalah di sekolah atau masalah dengan teman-temannya?”
“Sepertinya tidak tante, memangnya kenapa?”
“Elina terlihat murung akhir-akhir ini. Dia pun juga sering telat makan sekarang.”
“Ah, Emmm,, sepertinya tidak ada masalah apa-apa tante.”
“Oh ya sudah kalau begitu. Maaf kalau tante mengganggumu.”
“Tidak sama sekali tante.”
“Terima kasih Zara. Selamat malam.”
“Sama-sama tante. Selamat malam.”
Mama Mika mematikan telponnya.
“Gimana ma?”
“Kata Zara taka da masalah apapun di sekolah.”
“Ahh. Begitu ya. Kalau begitu biarkan dia sendiri dulu. Kalau dia sudah ingin cerita pasti dia akan cerita.”
“Iya pa. Semoga itu tak membuat Elina drop lagi.”
Di sisi lain, Zara yang sehabis menerima telpon dari mama Mika pun jadi merasa cemas. Sebenarnya ia tahu, penyebab sikap Elina berubah adalah Aksa. Namun ia ragu ingin memberitahu mama Elina atau tidak, karena itu bukan haknya untuk bercerita.
Zara pun mencoba menghubungi Elina.
“Halo Zara, ada apa?”
“Apa kau baik-baik saja?”
“Iya Zara, kenapa kau tiba-tiba menanyakan hal itu?”
“”Ahh, tidak papa Zara. Tadi mama mu menghubungi aku. Beliau menanyakan apakah kau mempunyai masalah di sekolah. Karena beliau bilang kau akhir-akhir ini sering murung dan jadwal makanmu tak teratur.”
“Ah, aku tidak papa Zara.”
“Apa kau habis menangis?”
“Tidak.”
“Benarkah?”
“Iya Zara.”
“Tapi suaramu seperti seseorang yang habis menangis.”
“Hehehe, tidak Zara. Aku hanya sedikit flu.”
“Ahh, baiklah kalau begitu kau istirahatlah. Tolong jaga kesehatanmu.”
“Iya Zara. Kau juga.”
“Selamat malam.”
“Selamat malam juga.”
Zara pun mengakhiri telponnya. Zara tahu kalau Elina pasti sedang berbohong, Zara tahu pasti Elina memang benar habis menangis. Zara juga tahu kalau Elina saat ini tidak baik-baik saja. Namun Zara juga tak bisa berbuat apa-apa, jika Elina selalu menutup dirinya. Dia selalu berbagi kebahagian dengan orang lain, namun dia tidak pernah mau berbagi kesedihan dengan orang lain bahkan dengan sahabatnya sendiri.
‘Aku yakin kau orang yang kuat Elina. Kau anak yang baik. Aku harap kau segera menemukan kebahagianmu dan kembali bahagia. Semua sahabat-sahabatmu akan terus mendukungmu dan akan selalu berada di sisimu.’
Tak terasa airmata Zara pun menetes memikirkan Elina.
TBC
*****