INDERA penciuman mereka seperti sudah terbiasa dengan aroma seperti besi berkarat disekitar mereka. Gala masih tidak beranjak dari tempat duduk putarnya. Tatapannya fokus menatap ke depan, tidak berkedip sama sekali. Dia menikmati waktu terbaiknya untuk melamun, sedikit mengekspresikan dirinya atas apa yang dilihatnya baru saja. Seseorang terbunuh di depannya, namun Gala tidak bergeming sama sekali.
Dia seperti penonton yang melempar dadu untuk sekedar mengundi siapa yang hidup dan siapa yang mati. Dia sejak awal sudah memprediksi soal kemenangan sang kakak yang tidak akan terkalahkan. Mungkin mereka berdua tidak pandai berkelahi atau adu otot. Namun mereka seratus persen menggunakan otak mereka untuk mengalahkan lawan yang katanya sudah berpengalaman.
Genangan darah mengotori lantai, tubuh seseorang masih tergeletak tidak berdaya dan kemungkinan besar sudah meninggal karena kehabisan darah. Kakaknya sangat pandai menggunakan pisaunya dan menikam beberapa titik lemah dari bagian kehidupan yang menopang tubuh manusia. Sepertinya, orang yang berpengalaman dalam bidang kejahatan sekalipun, tidak akan menang melawan orang pandai bertindak seperti Kakaknya.
Laki-laki itu menyeramkan, bahkan bisa tersenyum ketika menusuk dan membunuh korbannya. Kakaknya itu seperti monster yang bersemayam di dalam tubuh. Jika lepas sesekali dan penuh dengan amarah, maka tidak menutup kemungkinan akan terus memakan orang disekitarnya.
Terlihat laki-laki itu sedang duduk dengan tenang di atas sofa ruangan kerjanya sambil mengelap darah di pisaunya. Sesekali dirinya menatap Gala yang masih asik melamun dan seakan-akan tidak peduli terhadap semua kejadian di depannya. Gala tidak bicara, tidak berusaha untuk mencari tahu, dia hanya duduk dari awal datang sampai sekarang. Dia tidak memperlihatkan ekspresi apapun selain menghela napas panjang.
"Bagaimana perasaanmu?" Tanya laki-laki yang tengah mengelap pisaunya dengan sapu tangan itu kepada Gala.
Gala menaikkan kedua bahunya dengan acuh, "aku tidak terkejut! Bahkan aku biasa saja. Kamu sudah tahu bagaimana perasaanku, bukan? Meskipun kita jarang bersama dan bertemu. Namun secara tak langsung, lingkungan kita sama—kita berasal dari keluarga penjahat yang hanya berkedok sebagai pengusaha. Aku sudah mengira bahwa kamu akan menggunakan pisau itu lagi untuk membunuh seseorang. Tapi pada akhirnya, kita tidak mendapatkan jawaban apapun dari Dafollo. Kita benar-benar gagal."
Lagi-lagi dia hanya bisa tertawa—seperti apa yang Gala katakan adalah sebuah lelucon yang pantas untuk dirinya tertawakan. Laki-laki itu hanya beranjak dari duduknya dan memasukkan pisaunya yang sudah bersih dari noda darah ke dalam sebuah gelas berisi minuman milik Gala.
"Aku sering membilas pisau cantik milikku dengan minuman mahal dan minuman yang kusukai. Kamu tidak mau tahu jawabannya?" Tanyanya kepada Gala yang tidak dijawab sama sekali. "Agar pisau ini tidak menusuk pemiliknya dari belakang. Pemilik yang sudah memberikannya seluruh hal yang terbaik. Karena terkadang, kita lupa membalas budi orang-orang yang telah membantu kita. Aku sangat berharap kamu bukan bagian dari orang yang lupa membalas budi." Sambung laki-laki itu kepada Gala dengan tajam.
Gala merapikan kemeja dan jas yang dia kenakan, lalu beranjak dari kursi yang sempat didudukinya tadi. Tapi suara laki-laki itu menahannya untuk sementara.
"Terkadang, ... penjahat sepertiku atau Dafollo hanya mempunyai harga diri sampai akhir. Aku pun akan tetap melakukan hal yang sama seperti apa yang Dafollo lakukan; menutup rapat bibirku. Karena aku tahu bahwa mati atau tidak, mengungkap sesuatu yang tidak disepakati dari awal dan hanya menggadaikannya demi uang adalah sebuah penghinaan atas harga diri sendiri. Kamu tidak akan paham karena kamu tidak benar-benar menjadi penjahat. Kamu hanya melakukan balas dendam karena tuntutan! Bukan karena kamu menginginkannya." Sambung Kakaknya yang sesuai dengan kenyataan.
Gala menghela napas panjang dan menoleh kembali ke arah sang Kakak yang menatapnya penuh pertanyaan. Gala sendiri tidak tahu harus bicara seperti apa sekarang. Namun dirinya benar-benar tidak berpikiran untuk melakukan balas dendam yang akan merenggut nyawa seseorang. Meski orang itu sudah bersalah sekalipun. Gala bimbang karena dia tak pernah masuk dalam kubangan lumpur yang selalu diceritakan kakaknya itu.
"Kamu boleh mengincar Arkana karena dia sudah bersalah. Tetapi kamu tidak boleh menyentuh Isabela sedikitpun. Dia tidak bersalah sama sekali dan tidak ada sangkut pautnya dengan Arkana. Isabela berhak untuk hidup." Tandas Gala memberikan syarat.
Laki-laki itu bertepuk tangan dengan keras, menginjak genangan darah di lantainya dan membuat jejak darah menggunakan telapak sepatunya—Gala mundur beberapa langkah ke belakang akhirnya. Menghindari Kakaknya yang menampakkan raut wajah menakutkannya.
"Tentu saja dia mempunyai ikatan yang jelas dengan Arkana! Apa aku harus menjelaskannya? Isabela adik kandung dari seorang pembunuh. Itu adalah sangkut-paut yang jelas. Dia pantas menderita seperti kita. Atau mungkin, kamu tidak menderita karena kamu pun mengharapkan kematian Papi, bukan? Kamu sangat membencinya karena sikapnya yang tidak mempedulikanmu? Bahkan Papi juga yang menghentikan pengobatan sakit jiwamu itu karena ingin membangun image tanpa cela- nya." Tandas laki-laki itu kembali dengan tawa renyahnya.
Gala mengepalkan tangannya dengan kuat, "apa aku lelucon bagimu?"
"Hm, tentu saja tidak! Kamu yang membuat semuanya seperti lelucon yang menyebalkan. Dengarkan aku Gala, musuh yang paling ditakuti adalah musuh yang berada di dekat kita dan menyamar menjadi orang terdekat kita. Orang yang memberi kita banyak pelajaran hidup. Tetapi melukai kita tanpa ampun. Jangan termakan hal semacam itu. Atau kamu akan terluka!"
Gala menggelengkan kepalanya lagi dan keluar dari ruangan kakaknya itu dengan memasang wajah tidak peduli dan malas. Sesampainya di depan, dia melihat dua orang bodyguard yang menjaga pintu tampak kebingungan dengan raut wajah aneh. Gala tidak mau mempedulikan mereka. Laki-laki itu memilih untuk meninggalkan tempat itu.
"Mari saya antar, Tuan." Ucap salah satu bodyguard itu dengan memberi jalan kepada Gala.
Gala menggeleng dengan cepat, "aku tidak mau diantar. Aku bukan anak lima tahun yang harus selalu diintai atau diantar. Bukankah aku sudah bilang untuk tidak membuntutiku? Sangat memalukan ketika ada orang lain yang tahu bahwa kemanapun aku pergi, akan ada kalian yang berada di belakangku. Memangnya kalian siapa terus membantahku?"
"Maafkan saya, Tuan." Lirihnya lagi yang membalas ucapan Gala karena membuntutinya.
Gala menoleh ke arah bodyguard- nya itu, "satu lagi! Aku tidak akan pernah mengijinkan kalian menyentuh dan melukai Isabela. Misi balas dendam kita hanya pada Arkana, bukan pada Isabela. Jika kalian menyentuhnya sedikit saja, kalian berurusan juga denganku."
Seperti sulit untuk mengatakan iya atau mengangguk, bodyguard- nya itu hanya tersenyum samar. Entahlah apa arti senyumannya. Namun Gala yakin bahwa mereka tidak bisa memilih begitu saja. Gala akhirnya meninggalkan mereka dengan kesal. Seharian ini, dia dibuat marah dan kesal. Tapi mau bagaimana lagi, 'kan? Dia harus memeriksa konsekuensi dari mempunyai keluarga seperti ini.
~~~~~~~~~~~
Seseorang muncul di depan pintu rumahnya. Isabela menatapnya lekat; antara bingung dan khawatir. Isabela tidak tahu mengapa Kakaknya begitu terlihat pucat, seperti orang sakit dan itu membuatnya merasa khawatir. Namun Arkana yang baru pulang dengan mengendarai sebuah mobil biasa—katanya milik bosnya—hanya bisa menatap Isabela dengan tatapan yang sulit diartikan.
Isabela bisa melihat keringat yang mengucur di wajah Kakaknya, mirip dengan orang sakit. Namun Arkana tetap tidak mau mengakui bahwa dirinya sakit. Badannya memang tidak terasa panas sama sekali, tapi bagian dari tubuhnya memang lebih dari kata sakit. Isabela pun tanpa aba-aba langsung memeluk Arkana, membuat laki-laki itu harus menahan rasa sakitnya lebih dalam lagi. Tapi dia hanya bisa memasang wajah tersenyum. Takut membuat Isabela khawatir karena dirinya yang tidak pulang semalaman.
"Kakak tidak apa-apa? Kenapa wajah Kakak pucat sekali? Kakak sakit, ya? Mau aku antarkan ke dokter? Jangan membuat aku semakin khawatir, ... katakan kalau memang sakit." Lirih Isabela dengan memaksa.
Arkana hanya menggeleng pelan dan tersenyum, "Kakak hanya sedikit, ... mabuk. Maafkan karena semalam Kakak minum-minum. Sudah lama sekali tidak minum alkohol dan—"
"Baiklah, ... maaf karena melarang Kakak untuk meminum minuman seperti itu. Pasti sesekali Kakak juga ingin menikmati masa muda Kakak, 'kan? Sama sepertiku. Tapi tolong jangan kabari aku jika Kakak bisa. Aku sangat ketakutan semalaman. Aku tidak mendengar kabar Kakak sama sekali. Semalam hujan deras, aku menelepon Kakak dan Kak Gala. Tidak ada dari kalian yang mau mengangkat teleponku." Sambung Isabela yang memotong ucapan Arkana begitu saja.
Arkana mengelus puncak kepala Isabela dan tersenyum. Dia hanya meminta maaf kepada Isabela, meski dia harus berbohong untuk kesekian kalinya. Jika ditanya apakah Arkana merasa bersalah? Mungkin bukan lagi rasa bersalah. Jika ada yang lebih tinggi dari kata bersalah, maka Arkana akan memilihnya. Namun semua ini dia lakukan untuk masa depan Isabela. Mungkin umurnya tidak banyak, sehingga dia harus menyelesaikan semua urusannya demi masa depan Isabela ketika dirinya tidak ada lagi.
"Kakak akan ke kamar sekarang. Kakak sepertinya perlu tidur yang cukup karena semalaman terjaga dan itu membuat tubuh Kakak lemas." Ucap Arkana lagi dan mendapatkan anggukan dari Isabela meskipun dengan kebingungan yang masih belum terpecahkan di kepalanya.
Arkana menutup pintunya dari dalam dan menguncinya. Dia tidak mau jika Isabela tiba-tiba masuk ke kamarnya dan melihatnya yang seperti itu. Dia berusaha dengan susah payah untuk berjalan ke arah cermin yang ada di kamarnya, membuka kaosnya dan melihat perban yang tertempel di perutnya. Sepertinya lukanya sangat serius sampai salah satu temannya harus turun tangan untuk menangani lukanya.
Dia kembali menutup lukanya yang kembali berdarah dan mencari botol obat penahan rasa sakit yang berada dalam kantong celananya, yang dia bawa dari markas tadi. Arkana pun meminumnya satu. Setelah itu, dia membuka perbannya yang berubah warna menjadi merah darah. Sudah dua duga, lukanya terbuka kembali. Arkana mengambil kotak P3K yang berada di dalam lemari kecil yang berada di dekat tempat tidurnya. Mengambil sebuah jarum dan benar yang biasanya dia gunakan untuk merawat lukanya sendiri.
Keringat membasahi tubuhnya dan sebuah penyumpal sudah dirinya gigit dengan sekuat tenaga. Setidaknya dia tidak boleh berteriak karena Isabela akan bertanya. Arkana sebenarnya tidak terlalu jelas dengan lukanya. Namun dia tetap berusaha untuk menjahit lukanya yang terbuka. Meskipun rasa sakitnya sudah tidak bisa dia deskripsikan seperti apa. Dia benar-benar menjadi orang terkuat yang menyakitkan.
"Ah, ... sialan! Sakit sekali." Lirihnya sambil mengelap tangannya dengan kain yang berada disampingnya dan merasakan sensasi menyakitkan yang luar biasa. "Mengapa obat ini tidak bereaksi sama sekali. Bahkan aku masih merasakan rasa sakit. Ah, benar-benar sialan. Sakit sekali." Sambung Arkana yang ingin sekali berteriak namun ditahannya dengan kuat.
Setelah berusaha berdamai dengan sakitnya, Arkana pun beranjak dari duduknya dan menatap dirinya di cermin. Luka di perutnya bukan lagi menjadi luka pertama yang ada di tubuhnya. Tubuh Arkana tidak lagi bersih tanpa noda, tapi banyak sekali luka dari jenis apapun yang terlihat telah sembuh namun tidak hilang bekasnya di tubuhnya.
Dia seorang terlatih, mempunyai banyak luka dan berusaha untuk menyembuhkan luka itu sendiri. Arkana besar dengan kerasnya kehidupan. Setelah meninggalkan rumahnya dan hidup bersama Isabela di jalanan, kehidupan sekeras apapun sudah pernah Arkana cicipi. Kedua orang tua mereka mungkin sangat kecewa padanya. Namun jika tidak mengambil jalan seperti ini, mereka berdua—Arkana dan Isabela—akan tetap tinggal di jalanan dan hidup dengan menyedihkan.
Apakah salah menjadi jahat? Tentu saja tidak sepenuhnya salah. Arkana berusaha mengikuti cara main dari orang-orang yang sudah membuat hidupnya hancur, yang mengambil peran kedua orang tuanya. Andaikan kedua orang tuanya tidak meninggal, dia tidak akan kesulitan di jalanan dan menjadi bulan-bulanan para preman untuk dipukuli setiap hari. Dia tidak perlu mencuri roti untuk dimakan Isabela. Dia juga tidak perlu menggantikan peran siapapun untuk Isabela.
Dafollo telah mati! Dia mendengar percakapan antara King dan Happy. Mereka mengatakan tentang Dafollo yang akan dibunuh oleh orang itu—dalang dari semua masalah ini tetapi belum mereka ketahui siapa. Sangat sulit mencari tahu tentang orang yang telah ikut bermain dengan mereka.
"Setidaknya, pikirkan sesuatu untuk saat ini, Arkana! Apakah kamu akan terus diam saja sampai semua orang yang berada disampingmu terluka karenamu!" Sambung Arkana yang menatap dirinya sendiri di cermin sambil menghela napas panjang.
Lagi, dia ingin sekali memukul apa saja yang ada di dalam kamarnya. Namun dia tidak mau Isabela tahu. Apapun yang dilakukannya sekarang hanya berusaha agar Isabela tidak tahu apa yang dirinya rasakan.
Sedangkan dari luar, Isabela sendiri bingung akan mengantuk pintu kamar kakaknya atau membiarkan kakaknya keluar sendiri. Namun akhirnya dia mengetuk pintu kamar kakaknya itu.
"Kak, ... aku membuatkan bubur untuk Kakak. Bagaimana kalau Kakak keluar dari kamar dan memakannya sedikit." Ucap Isabela uang tidak mendapatkan respon apapun dari Arkana. "Apakah Kakak tidur?" Sambung Isabela dengan suara yang sangat pelan.
Tidak ada jawaban sama sekali dan akhirnya Isabela menganggap bahwa sang kakak sudah tertidur karena lelah. Namun langkah Isabela pun terhenti ketika melihat bulatan merah mengotori lantai. Tidak banyak sih, hanya satu titik saja. Isabela dengan hati-hati berjongkok di depan bulatan merah itu. Memegangnya dengan telunjuknya secara hati-hati dan menciumnya. Matanya membulat dan menatap ke arah kamar kakaknya lagi.
"Darah?"
~~~~~~~~~~