RUANGAN apartement itu tampak gelap, seperti tidak berpenghuni sama sekali. Kenyataan bahwa ruangan itu memang mempunyai penghuni yang jarang sekali keluar dari apartement mewahnya. Mempunyai unit paling mewah dan mendapatkan fasilitas luar biasa, membuatnya nyaman di dalam sampai lupa keluar atau bisa jadi orang-orang menganggapnya sebagai sosok ambivert yang suka keramaian sekaligus suka suasana damai ketika sendirian.
Hidup di apartement memang sama dengan hidup mandiri. Tidak saling mengenal tetangga per pintu apalagi per lantai. Mereka semua hanya akan bertemu sesekali dan kemudian tidak bertemu lagi. Kadangkala pertemuan terjadi karena datang atau pergi pada jam yang sama. Para pegawai kantor akan datang dan pergi di jam yang sama, biasanya. Mereka pun jarang menyapa karena budaya jaman ini tidak menerapkan senyuman atau tegur sapa sebagai ramah tamah. Orang yang saling menyapa seperti dianggap aneh ketika mereka tidak saling mengenal.
Padahal proses dari kenal tersebut harus melalui tahapan perkenalan terlebih dahulu. Terlepas dari itu, mereka akan sulit kenal satu sama lain. Meskipun orang yang tinggal di unit tersebut jarang keluar, satpam seringkali melihatnya datang dengan seorang laki-laki yang sama setiap beberapa hari yang lalu. Laki-laki yang ramah dan mempunyai senyum secerah matahari. Apalagi kabarnya laki-laki itu adalah salah satu dari anak konglomerat kaya raya yang ada di negara ini.
Karena keheningan itu dan tidak adanya kabar tentang perempuan itu setelah beberapa hari, dua petugas keamanan datang untuk mengecek keberadaan penghuni tersebut. Apa ada di dalam atau tidak. Setidaknya untuk memberikan laporan kepada pemimpin apartement tentang kondisi para penghuni. Mereka sepertinya tidak mau terjadi masalah sama sekali ketika ada penghuni yang menghilang atau semacamnya karena akan mempengaruhi harga jualnya.
Apalagi mereka mendapatkan informasi dari petugas kebersihan harian yang biasanya disewa untuk membersihkan unit apartement itu bahwa tidak ada jawaban sama sekali dari pemilik unit selama beberapa hari. Sehingga petugas kebersihan itu tidak bisa masuk dan melakukan pembersihan ruangan.
Namun tidak ada respon sama sekali ketika bel pintu ditekan berulangkali. Sebenarnya mereka tak mempunyai hak untuk membuka unit apartement karena melanggar privasi. Namun karena tidak ada jawaban sama sekali. Mereka memutuskan untuk memanggil ahli pintu untuk sekedar memastikan bahwa penghuni di unit tersebut dalam keadaan baik-baik saja. Setelah pintu berhasil terbuka, mereka tidak dapat melihat apapun kecuali kegelapan.
Salah satu petugas keamanan pun mencari saklar lampu dan menekan saklar tersebut sehingga ruangan itu dapat terlihat dengan baik. Terlihat ruangan itu berantakan dan seperti tidak berpenghuni. Bekas cup-cup makanan dan minuman berserakan di bawah lantai. Belum lagi pakaian yang bertebaran di atas sofa. Semut berjajar panjang membentuk suatu barisan seperti sedang antri untuk mengambil sisa-sisa makanan di lantai.
"Nona," panggil salah satu petugas keamanan yang masuk ke dalam—menuju ruangan yang lebih dalam lagi.
Mereka hanya berani berjalan sampai ke ruangan tengah di mana televisi dihidupkan dengan suara kencang. Mereka mematikannya agar orang yang berada di dalam tahu bahwa petugas keamanan di dalam unitnya.
"Selamat sore, Nona. Kami adalah petugas keamanan. Maaf karena kami lancang masuk ke dalam unit Nona. Kami hanya ingin memastikan jika Nona baik-baik saja. Apakah Nona sedang mandi? Jika iya, kami akan segera keluar. Cukup teriak saja, Nona." Ucap salah satu petugas keamanan yang lainnya.
Mereka saling menatap satu sama lain. Masih tidak ada respon dari siapapun.
"Nona! Jika Nona tidak menjawab kami, terpaksa kami akan masuk ke dalam. Tolong jawab kami! Katakan bahwa Nona baik-baik saja dan kami akan pergi."
Sama! Tidak ada jawaban dari siapapun. Mereka kembali saling berpandangan. Seperti ragu untuk menerobos masuk. Apalagi ruangan terakhir yang akan mereka masuki adalah ruangan privasi dari ruang privasi; kamar tidur. Tapi mereka tidak mempunyai pilihan lainnya selain masuk.
"Kami masuk Nona!" Tandas salah satu dari petugas keamanan dengan suara keras, berharap ada jawaban dari dalam. Sayangnya tetap tidak ada jawaban apapun.
Klek! Pintu terbuka, tidak terkunci sama sekali. Kedua petugas itu pun membulatkan matanya dan dengan terburu-buru keluar dari kamar itu, lebih tepatnya dari unit itu dengan perut yang terasa mual. Mereka pun keluar dengan muntah-muntah. Yang membuat beberapa orang yang baru saja keluar dari lift di jam sibuk ini menatap jijik. Sebagian memaki karena dua petugas itu muntah di tempat umum seperti ini.
"M-mayat!" Ucap mereka dengan wajah pucat pasi kepada semua orang yang melihat mereka dengan tatapan aneh.
Tentu saja ucapan petugas keamanan itu membuat kaget semua orang yang berada di sana. Mereka yang tidak percaya pun langsung masuk, untuk memastikan. Namun keluar juga dan melakukan hal yang seperti petugas keamanan tadi; muntah-muntah. Ada juga yang pingsan dan menutup wajahnya karena ketakutan. Lalu alarm dihidupkan, memberitahu kepada petugas keamanan di bawah bahwa ada kondisi yang genting.
Arkana baru saja keluar dari lift, mendapati orang-orang berkerumun di depan depan unit apartement dan beberapa petugas tiba-tiba datang lewat tangga darurat dan meminta penghuni lain untuk menjauhi TKP sambil menunggu pihak kepolisian datang. Seorang laki-laki yang keluar lift bersamanya itu pun langsung berjalan dengan terburu-buru, sampai-sampai menabrak pundak kanannya. Bukannya meminta maaf, laki-laki itu langsung masuk ke dalam unit di mana beberapa petugas tengah berjaga di depannya.
Arkana tidak mau tahu, dia memilih untuk berjalan melewati kerumunan orang-orang di depan unit apartement itu. Sejak dulu, Arkana memang tidak pernah peduli pada urusan orang lain yang bukan urusannya. Bahkan orang tuanya selalu berpesan bahwa dirinya harus sebisa mungkin menghindari masalah. Karena Arkana tidak tahu bahaya macam apa yang menimpa dirinya nantinya jika ikut campur.
Dia berjalan menuju ke sebuah pintu apartement seseorang, mengeluarkan sebuah kartu akses yang diberikan oleh si pemilik apartement beberapa hari yang lalu. Katanya, agar dirinya bisa masuk tanpa menekan bel pintu berulangkali. Arkana berhasil masuk ke dalam dan disambut pelukan dari perempuan yang tidak lain dan tidak bukan adalah Kana. Perempuan itu sudah tahu kedatangannya sehingga langsung berhambur memeluknya setelah suara pintu terbuka.
"Berapa hari kita tidak bertemu? Apa Isabela baik-baik saja? Apakah aku perlu menginap di rumahmu untuk menemani Isabela?" Berondong Kana dengan pertanyaan-pertanyaannya mengenai kondisi Isabela yang sempat dia ceritakan kepada Kana beberapa hari yang lalu.
Arkana melepaskan pelukan Kana dan memilih untuk mendudukkan dirinya di sofa, "Isabela sudah jauh lebih baik. Aku tidak akan pernah mengijinkanmu menginap di rumah kami. Aku yakin seratus persen kamu akan mengambil kesempatan untuk menyelinap ke kamarku!"
Kana hanya tertawa mendengarkan ucapan Arkana yang memang benar adanya. Kana tentu saja akan masuk ke dalam Arkana jika sampai dirinya diijinkan untuk menginap. Lagipula, Isabela pasti membutuhkan waktu sendiri untuk tidur. Karena kadang, patah hati tidak bisa disembuhkan dengan adanya orang lain. Sendirian terkadang adalah obat yang sangat ampuh demi kenyamanan bersama.
"Mau minum apa? Oh, ya, aku baru saja memasak pasta. Walaupun hanya pasta instan, sepertinya tidak buruk juga." Ucap Kana dari arah dapur, menawarkan minuman dan makanan untuk Arkana.
"Air es saja! Boleh, ... aku juga sedang lapar. Kebetulan belum makan sama sekali. Napsu makanku menurun dan mood- ku buruk sekali. Isabela sering menangis sesekali, walaupun hanya diam-diam. Dia tidak mau membuat aku terbebani dengan perasaannya. Tapi aku juga tidak bisa diam saja dan membiarkannya terus terluka. Tapi disisi lain, aku memang tidak bisa melakukan apa-apa." Tandas Arkana dengan nada suara yang putus asa.
Kana datang kembali membawa gelas berisi air es dan piring berisi pasta yang baru saja dibuatnya. Tatapan perempuan itu mengarah kepada Arkana yang tengah memejamkan matanya. Kana meletakkan piring dan gelas itu di atas meja, lalu mengecup kening Arkana yang memang tengah mendongak ke atas karena bersandar pada sofa. Arkana yang merasa jika keningnya terasa basah, membuka matanya begitu saja.
"Kenapa menciumku? Aku bahkan sedang bercerita dan apa kamu tidak melihat wajahku yang terlihat sangat frustasi? Kenapa tidak menghiburku dengan baik?" Tandas Arkana yang menatap Kana kemudian.
Kana mencebikkan bibirnya dan memilih duduk disampingnya, "aku menghiburmu dengan memberikan sebuah ciuman. Seharusnya kamu tahu bahwa itu cara terbaikku untuk menenangkanmu. Tapi aku bisa lebih baik dalam menghiburmu. Tentunya di tempat itu—"
Arkana menatap kemana telunjuk Kana mengarah. Arkana hanya tidak habis pikir dan menggelengkan pelan karena melihat pintu kamar Kana—tentu saja dia tahu maksudnya. Hanya saja, Arkana tidak mau melakukan itu. Bukan karena dia tidak ingin. Tetapi takut masalah akan semakin rumit jika dia menikmati hidupnya kali ini. Arkana merasa bahwa saat ini yang harus dilakukannya adalah menyelesaikan seluruh urusannya dan hidup bahagia. Tapi apakah itu bisa?
"Kana,"
"Hm," dehem perempuan itu dan menyandarkan kepalanya di pundak Arkana.
Arkana menghela napas panjang sekali lagi, "apakah kamu berpikir tentang pernikahan? Maksudku, apa kamu pernah memikirkan kehidupan yang menyenangkan ketika menikahi seseorang yang kamu cintai, tinggal bersamanya, bercerita sepanjang malam bersamanya, duduk dalam satu meja makan, memasak bersama, menonton film dan bermain game bersama, olahraga bersama, atau mempunyai anak yang lucu dan mengajaknya berjalan-jalan setiap hari libur. Pasti akan menyenangkan sekali. Aku kadang berpikir bahwa kehidupan seperti itu akan sangat membahagiakan. Hidupku tidak akan pernah kosong lagi. Aku mempunyai tujuan bekerja keras dan punya tujuan pulang."
Kana terpaku ketika mendengar apa yang Arkana katakan. Dia tidak tahu mengapa Arkana sampai berpikiran sejauh itu. Bahkan Kana tidak pernah memikirkan perasaan aneh semacam menikah dengan orang yang dirinya cintai. Jika bertanya tentang apakah saat ini Kana menyukai Arkana atau tidak? Maka dia hanya mengatakan bahwa cukup. Dirinya menyukai Arkana karena beberapa hal dan lebih penting daripada itu. Kana mempunyai misi sendiri dan misi itu tidak diketahui oleh siapapun.
"Aku tidak tahu punya impian macam itu atau tidak. Aku hanya tahu bahwa sekarang aku mempunyai kamu dan itu seperti keajaiban yang mahal. Jadi, aku belum bepikiran tentang sebuah pernikahan, mempunyai anak, atau segala macam hal yang dilakukan seseorang yang mengikat janjinya sehidup semati." Jawab Kana yang terdengar ragu, namun dia pun jadi memikirkan tentang masa depannya nanti.
Arkana seperti menerawang jauh ke angkasa, "apa aku pantas mempunyai kehidupan yang normal? Apakah aku bisa mempunyai keluarga yang utuh seperti yang baru saja aku ceritakan? Aku hanya ingin menikmati apapun yang berhubungan dengan perasaan bahagia tanpa memikirkan tentang bagaimana aku hari kemarin atau seberapa berengsek- nya aku."
Arkana terus kepikiran tentang hal itu. Karena dia berpikir untuk tidak selamanya bekerja sebagai seorang pembunuh bayaran. Dia ingin hidup yang normal. Hidup yang tidak akan pernah membuatnya merasakan perasaan khawatir karena takut terjadi sesuatu kepada keluarganya. Hanya itu saja!
"Hm, ... lalu apa yang terjadi di kampus? Mengapa Isabela meminta untuk keluar dari kampus? Apakah kehidupan kampus sesulit itu? Aku tidak tahu bagaimana bangku kuliah itu, sehingga aku tidak bisa untuk membayangkan bagaimana sulitnya atau bagaimana tekanannya ketika berada di kampus." Tanya Arkana karena ingat dengan keluhan Isabela saat itu.
Kana mengerutkan keningnya dan mengingat-ingat tentang potongan ingatan yang mampir begitu saja tentang kejadian apa yang ada di kampus tentang Isabela. Kana ingat tentang kejadian bully yang Isabela alami karena perempuan itu sangat cantik. Banyak orang yang iri dan memilih memusuhinya. Namun Kana ragu untuk mengatakannya kepada Arkana. Jika mengatakannya sekalipun, apakah Isabela akan mengijinkannya?
Padahal Isabela selalu berusaha untuk menutupi segalanya dari Arkana karena takut Kakaknya itu akan terluka. Jadi yang harus Kana lakukan sekarang, dia hanya bisa diam sambil menggelengkan kepalanya. Namun sepertinya Isabela tertekan dengan keadaan, sehingga memilih untuk keluar.
"Kalau memang Isabela merasa tidak nyaman dengan kuliahnya. Mengapa tidak membiarkannya kembali untuk kuliah online? Bukankah kamu juga lebih nyaman ketika melihat Isabela berada di rumah dan selalu dalam pemantauanmu?" Tanya Kana yang memberikan saran. Saran yang sama seperti yang Isabela katakan tempo hari.
Arkana sendiri bepikiran lain, "aku mau Isabela bersosialisasi agar tidak selalu melihatku, bergantung padaku, atau bersamaku selamanya. Aku tidak dendam dengan permintaannya atau memintanya bertahan pada keadaan yang menyakitinya. Tetapi, ada waktu di mana dia tidak bisa mengandalkan aku lagi. Entah aku terlambat datang atau tidak akan pernah datang lagi. Setidaknya dia tidak akan pernah takut menghadapi dunia. Isabela polos, tidak mengenal dunia luar. Banyak orang yang menginginkan dirinya tapi Isabela tidak mengenali mereka sebagai orang baik atau buruk. Isabela selalu mengatakan bahwa semua orang itu baik. Dia menganggap bahwa semua orang sama sepertinya. Baik!"
"Kenapa kata-katamu seperti itu? Aku tidak suka cara penyampaianmu itu. Jika memang mempunyai beban di harimu dan tidak bisa diceritakan kepada Isabela, kamu bisa datang padaku dan mengatakannya. Aku sudah pernah bilang kalau aku siap menjadi rumah bagimu. Menjadi tempatmu berkeluh kesah tentang hari ini." Tandas Kana memegang kedua tangan Arkana yang tampak dingin dan gemetar.
Arkana seperti mempunyai trauma yang berat akan sesuatu. Kana tidak tahu trauma macam apa yang berada di benak Arkana sehingga laki-laki itu selalu kelihatan ketakutan. Matanya terkadang memerah, sepeti sedang menahan sesuatu yang tidak mampu diutarakannya.
"Aku hanya tidak ingin, Isabela tidak bisa hidup tanpaku. Dia harus hidup dengan bahagia, melanjutkan hidup meskipun aku tidak berada disisinya. Terkadang aku sangat ketakutan saat mengingat bahwa aku bisa kapan saja mati. Bagaimana dengan Isabela dan siapa yang akan menemaninya? Apa yang akan dia lakukan tanpaku? Aku selalu berusaha untuk menjaganya. Aku berada disampingnya, berusaha mengupayakan segalanya agar tidak ada lagi air mata yang jatuh di pipinya. Itu tidak sulit, 'kan?" Lirih Arkana yang mendapatkan pelukan hangat dari Kana.
Sudah berapa lama Arkana diam dan menyimpan perasaannya? Dia tidak pernah menceritakan kesulitannya atau mengatakan tentang bagaimana perasaannya. Dia hanya mengatakan bahwa semua baik-baik saja. Tetapi dunia tidak selalu ramah. Terkadang akan ada kenyataan yang menyakiti diri sampai membuat luka parah.
Dan setelah ada Kana, Arkana seperti mempunyai rumah yang bisa menjadi alasannya untuk bercerita—sekedar menumpahkan perasaan yang tidak nyaman di hatinya. Arkana memang tidak menceritakan segalanya. Tetapi dia berusaha untuk bisa memahami segalanya; bahwa tidak semua dapat dia tampung. Sehingga boleh-boleh saja untuk mengeluh atau berkata tentang bagaimana perasaannya saat ini. Dia benar-benar lelah, namun rasa lelah itu kadang tidak tahu harus ditumpahkan kepada siapa.
Terdengar suara ramai dari luar unit apartement Kana. Perempuan itu pun melepaskan pelukannya dan menatap ke arah pintu.
"Sepertinya kita melewatkan sesuatu. Aku mendengar suara ramai di depan unit apartement- ku. Apa kita harus keluar dan memastikan apa yang terjadi luar?" Tanya Kana kepada Arkana yang sebenarnya sempat melewati keramaian tadi.
"Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi memang sejak tadi di luar sangatlah ramai. Mau melihatnya?" Tanyanya balik.
Kana menatap minuman dan makanan yang dihidangkannya di atas meja belum tersentuh sama sekali oleh Arkana.
"Makan dulu saja," lirih Kana yang menahan rasa penasaran.
Arkana menggeleng pelan, "tidak apa-apa. Kita bisa melihatnya sebentar dan setelah itu kita bisa kembali."
Mereka berdua pun memilih untuk keluar dari apartement, memastikan apa yang terjadi.
~~~~~~~~~~