BAB 4 | Si Cantik Isabela

1548 Kata
SEMENJAK perempuan itu masuk ke coffee shop ini, banyak sekali pasang mata yang mengarah kepadanya. Si cantik itu sedang berjalan mendekat ke arah meja pemesanan, memesan secangkir kopi dan juga makanan ringan. Setelah itu, dia berjalan ke arah salah satu meja yang masih kosong. Tempat duduknya sungguh tidak strategis, berada di paling tengah karena meja lainnya telah terisi dengan pelanggan lainnya. Sebenarnya, dia merasa risi karena sadar ditatap sampai sebegitunya. Tetapi dia pura-pura tidak tahu daripada harus berurusan dengan orang-orang itu. Perempuan itu mengambil sebuah laptop dari dalam tasnya. Setelah itu membuka laptopnya dan menekan tombol untuk menghidupkan. Tidak lama kemudian, seorang pelayan datang membawakan pesanannya. Perempuan itu hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Lagi-lagi, senyumannya mengundang perhatian dari banyak orang. Ada yang kagum dengan kecantikannya, ada juga yang iri dan mencibir sesukanya. Hati siapa yang tidak tertarik dengan perempuan itu? Sangat cantik sekali wajahnya, mirip dengan artis yang berada di televisi. Rambutnya yang lurus sengaja dikuncir kuda dengan sebuah jepitan rambut warna putih dengan aksen butir-butir mutiara yang cantik. Wajahnya yang putih mulus dipoles dengan make up tipis, menggunakan blush on warna peach yang membuatnya terlihat terang. Ditambah lagi dengan tampilannya menggunakan jumper dress yang imut, membuatnya semakin menjadi pusat perhatian. Perempuan itu memasang earphone untuk mendengarkan lagu sambil mengotak-atik laptopnya. Namun tidak bertahan lama, perempuan itu memilih mengeluarkan sebuah sketchbook dan beberapa pulpen dengan berbagai ukuran. Barulah perempuan itu menatap ke arah sekeliling. Melihat beberapa pasang mata yang terus mengaguminya. Perempuan itu memberikan senyuman tipis dan mulai menorehkan pulpennya ke kertas kosong. Tiba-tiba, seorang laki-laki dengan kemeja warna abu-abu datang ke arahnya. Membuat si perempuan melepaskan earphone miliknya sejenak. Perempuan itu sedikit bingung, namun dia hanya diam. Menunggu laki-laki itu mengatakan apa maunya. "Hai," sapa laki-laki itu dengan ramahnya. Perempuan itu tersenyum kikuk namun akhirnya dia memutuskan untuk menjawab sapaan laki-laki itu. "H-hai," "Boleh aku duduk di sini?" Tanya laki-laki itu sambil menunjuk salah satu kursi kosong yang berada di depan perempuan itu. Perempuan itu berpikir sejenak lalu akhirnya mengangguk, "silakan!" "Oke, thank you." Ucapnya dengan wajah sumringah dan ditanggapi dengan anggukan kecil dari perempuan itu. "Oh iya. Perkenalkan, aku Arond. Namamu?" Tanyanya sambil menyodorkan tangannya ke arah perempuan itu. "Ah, iya. Aku, Isabela." Jawabnya sambil menjabat tangan laki-laki bernama Arond tadi. Isabela, si cantik, yang mempunyai senyuman menawan tadi. Secantik itukah Isabela? Tentu saja sangat cantik. Jika tidak cantik, pasti tidak ada yang meliriknya sekarang. Dia hampir membuat banyak pasangan orang lain jatuh hati. Sayangnya, Isabela tidak mudah untuk didekati. Hanya saja, entah mengapa kali ini dia mau diajak berkenalan. "Kamu mengingatkan aku dengan orang yang pernah aku kenal." Ucap Arond sambil tersenyum menatap Isabela. Isabela menampakkan senyuman manisnya dan mengangguk, "kau menyukainya?" "Ah, tidak, atau mungkin... Iya." Jawab Arond sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Siapa? Temanmu?" Tanya Isabela terlihat nyaman ketika berbicara dengan Arond. Arond mengangguk, "ya, bisa jadi seorang teman. Dia benar-benar membuatku frustasi dengan sikap dan pemikirannya. Dia sangat cantik dan sangat-sangat-sangat pintar. Setiap berkompetisi dengannya, aku selalu kalah." Isabela tertawa, "pasti sangat menyenangkan jika bisa jatuh cinta kepada seseorang, bukan?" "Kau tidak pernah jatuh cinta?" Tanya Arond penasaran. Isabela menggeleng, "bagaimana mungkin aku bisa jatuh cinta jika tidak pernah bertemu dengan siapapun. Sejak umurku sebelas tahun, Kakakku yang sangat overprotektif itu memutuskan jika aku harus homeschooling. Bahkan awalnya aku berpikir jika selama ini aku mempunyai penyakit parah sehingga harus homeschooling. Tetapi ternyata aku baik-baik saja selama ini. Entah mengapa Kakakku lebih suka aku berada di rumah daripada hidup di keramaian banyak orang." "Kamu tidak pernah bicara kepada Kakakmu tentang apa yang paling kamu inginkan?" Tanya Arond yang seakan khawatir dengan kondisi Isabela. Isabela hanya tersenyum, "aku selalu mengatakan kepada diriku sendiri. Jika Kakak melakukan apapun itu adalah sebagai bentuk rasa sayang terhadapku. Kakakku sudah cukup kesulitan merawatku sejak kecil. Aku tidak mau membebaninya dengan mengatakan apa keinginanku. Kakak hanya ingin aku terus aman." Pandangan Isabela beralih kepada seorang laki-laki yang baru saja datang. "Kakak," ucapnya membulatkan kedua bola matanya. Arond memejamkan matanya sejenak lalu menoleh ke belakang, ada sosok laki-laki yang cukup mirip dengan Isabela berdiri di sana. Dengan buru-buru, Arond beranjak dari duduknya dan menyodorkan telapak tangan kanannya ke arah Kakak Isabela. Laki-laki itu menatap Isabela dengan tatapan yang sulit diartikan, "Kakak tunggu di luar." Setelah mengatakan itu, laki-laki itu langsung berjalan keluar tanpa menerima uluran tangan Arond. Isabela terpaksa membereskan barang-barangnya untuk segera menyusul kakaknya. Perempuan itu tersenyum ke arah Arond dan buru-buru keluar dari coffee shop. Beberapa orang yang berada di dalam merasa lega karena Isabela sudah pergi dari sana. Para perempuan lebih senang karena pasangan mereka tidak mencuri-curi pandang lagi ke arah Isabela. Dan untuk para laki-laki merasa tenang karena Arond tidak jadi mendekati Isabela. Di depan coffee shop tersebut, laki-laki itu berdiri di depan mobil miliknya. Tidak lama kemudian Isabela datang dengan menenteng tasnya. "Maaf, Kak. Aku kira, Kakak belum pulang." Lirih Isabela yang mendapat perlakuan tidak terduga dari sang Kakak. Pelukan hangat yang selalu Isabela butuhkan setiap kali dirinya jauh dari kakaknya itu. Isabela bisa merasakan kenyamanan yang membuatnya merasa terlindungi. Jauh di lubuk hati kakaknya, malah sebaliknya. Dia merasa jika tidak bisa melindungi Isabela. "Kamu kalau mau keluar, kalau ada Kakak. Biar Kakak bisa nemenin kamu. Jangan keluar-keluar sendiri, bahaya." Ucap laki-laki itu dan mengelus kepada Isabela. Isabela mengangguk, "aku bosen, Kak. Jadinya cari objek untuk digambar. Makanya aku datang kesini..." Laki-laki itu mengangguk, "ayo kita pulang!" Mereka berdua masuk ke dalam mobil. Dengan laki-laki itu sebagai pengemudinya. Tidak banyak yang mereka bicarakan. Isabela sibuk dengan sketchbook miliknya dan menggambar laki-laki yang ditemuinya tadi. Sedangkan laki-laki disamping Isabela sibuk menyetir dan sibuk memikirkan hal lainnya. Di depan mereka ada sebuah gedung putih dengan pilar tinggi. Gedung yang pernah dia kunjungi kemarin. Iya, kemarin. "Aku pengen deh Kak, suatu saat nanti masuk ke gedung itu." Tunjuk Isabela ke arah gedung putih itu. "ENGGAK!" Bentak laki-laki itu tiba-tiba. "Ah, maaf! Maksud Kakak, kamu bisa memilih gedung lainnya. Gedung itu terlalu tua dan sangat jelek." Sambungnya dengan tidak santai. Isabela hanya mengangguk pelan menanggapi keanehan sang kakak. Sedangkan laki-laki itu sesekali menatap ke arah Isabela yang menatap gedung itu. "Kakak akan melindungi kamu mati-matian agar tidak masuk ke gedung itu." Batin laki-laki itu. "KAK ARKAN..." Teriak Isabela yang membuat Arkana tersadar dari lamunannya. "I-iya," gugup laki-laki yang dipanggil Arkan atau Arkana itu. Isabela mengerutkan keningnya bingung, "Kakak mikirin apa sih? Kenapa malah berhenti di sini? Kita jadi pulang enggak?" Arkana mengangguk, "jadi, jadi kok." Pikiran Arkana bercabang, dia tidak bisa fokus setelah melihat gedung itu. Setiap kali pulang dan bersama dengan Isabela, perasaan khawatir itu muncul. Ketakutan-ketakutan yang selalu dia redam, seakan terus bermunculan. Apakah ini resiko dari pekerjaannya. Dihantui rasa cemas terhadap keselamatan adiknya secara terus-menerus? Arkana Wirapaksa Imawan adalah seorang bartender di sebuah club' malam. Dia mempunyai kharisma yang sangat menawan. Sayangnya, ada sesuatu yang disembunyikan sampai saat ini. Tentang pekerjaan sampingannya yang berbahaya dan menakutkan. Arkana atau biasa disapa dengan Arkan adalah salah satu anggota dari pembunuh bayaran, Jendela Kematian. Dia dikenal dengan nama Big Boss. Sebuah nama yang begitu terkenal di kalangan para konglomerat kaya yang membutuhkan jasanya. Arkana melakukan profesi itu sejak lama, ketika dirinya ikut berlatih menjadi seorang pembunuh yang ahli. Ketika dirinya dihadapkan kepada masalah ekonomi yang membuatnya nekat untuk masuk ke dalam pekerjaan yang membuatnya bergelimang harta. Awalnya dirinya merasa bersalah. Namun banyak sekali faktor yang membuatnya yakin dengan langkah yang diambilnya. Selama ini Arkana tidak tenang, takut jika terjadi sesuatu kepada Isabela. Maka dari itu, Arkana tidak pernah mengijinkan Isabela untuk pergi sendirian atau memasukkan adiknya itu ke sekolah formal. Arkana hanya tidak mau jika Isabela bertemu dengan orang jahat sepertinya. Isabela terlalu muda dan polos untuk bertemu dengan orang-orang b******k di luar sana. "Kamu gambar apa?" Tanya Arkana menoleh ke arah gambar Isabela. Isabela langsung menutup sketchbook miliknya, "enggak gambar apa-apa kok." "Kamu bohongin Kakak, ya?" Ucap Arkana sambil menoleh ke arah Isabela. Akhirnya Isabela mengalah, "aku cuma gambar Arond. Cowok yang aku temui di coffee shop tadi. Dia enggak jahat kok, Kak. Kami sempat saling cerita-cerita sedikit. Bukan cerita hal penting kok. Hanya tentang kebiasaan kita saja." Arkana hanya diam. "Kakak marah?" Tanya Isabela lagi, karena tidak mendengar jawaban apapun dari Arkana. "Aku hanya senang karena bisa bicara dengan orang baru. Dia sangat baik dan aku menyukai caranya bicara padaku." Sambung Isabela dengan wajah sedih. Arkana menghela napas panjang, lagi-lagi tidak menjawab ucapan Isabela. "Aku janji tidak akan menemuinya lagi. Aku menggambarnya hanya untuk mengingat wajah dari orang yang pernah aku temui sebelumnya. Itu saja." Putus Isabela. "Baiklah," hanya itu yang keluar dari mulut Arkana. Sepertinya, Arkana terlalu fokus dengan misinya kali ini. Dia hanya sedang berpikir bagaimana caranya agar bisa meminta ijin kepada Isabela untuk pergi beberapa malam lagi. Dia sudah berjanji kepada adiknya itu untuk mengajaknya jalan-jalan keluar kota. "Isabel," panggil Arkana yang ditanggapi Isabela dengan tolehan saja. "Kakak ada pekerjaan penting beberapa hari ini. Bisakah kamu memaafkan Kakakmu ini untuk waktu perjalanan kita keluar kota." Sambung Arkana tidak enak. Isabela diam beberapa saat, "apa sepenting itu?" "Maksudku, pekerjaan Kakak." Lanjut Isabela tidak senang. Arkana mengangguk dengan cepat, "iya. Pekerjaan ini menghasilkan banyak uang. Jadi, Kakak bisa membelikan apapun yang kamu mau nanti." Isabela terdiam, akhirnya dirinya mengangguk pelan. Memberikan persetujuan kepada Arkana untuk pergi. Walaupun sebenarnya Isabela kasihan kepada Arkana yang harus memiliki banyak pekerjaan hanya untuk membiayainya. "Terima kasih, Kak." ~~~~~~~~~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN