Dua

1457 Kata
"Terkadang, menjadi bodoh adalah cara termudah agar kami tidak berpisah. Namun, bukan berarti aku kalah atau menyerah." - Ana - Berawal dari sosial media, aku bertemu dengan Fuad. Keramahan dan kesopanan yang ditunjukannya selama kami saling berkirim pesan telah membuatku percaya bahwa dia adalah lelaki baik. Wajahnya tampan, lebih dari cukup untuk sekadar dipamerkan atau dipandang seumur hidup. Dia tidak berotot tetapi terlihat cukup kuat. Tubuhnya yang tinggi dan kurus itu, membuatku percaya kalau tubuh itulah yang siap dan sanggup untuk melindungiku dari kejamnya dunia. Dia menawarkan perhatian berkepanjangan yang membuahkan sebuah kenyamanan. Mungkin itu sebabnya, aku setuju tanpa banyak pertimbangan saat diajak ketemuan. Penampilannya serupa dengan foto yang selama ini digunakan atau tunjukkan. Dia jujur, bukan penipu yang memakai wajah orang lain demi mengajak perempuan berkenalan. Fakta itu menguatkanku untuk percaya pada perkataannya. Pertemuan pertama begitu mengesankan. Dia banyak melakukan hal yang membuatku seperti diprioritaskan. Selama kami berbincang, ponselnya diletakkan. Matanya hanya terpaku padaku. Tutur kata dan sikap manis yang tak pernah didapat olehku selama ini, dia penuhi dalam sehari. Aku merasa, kami memiliki ketertarikan yang sama. Cara dia menatap dan memperlakukanku, bukan seperti lelaki yang ingin berteman. Dia ingin mengenalku lebih jauh, aku pun demikian. Seminggu kemudian, kami jadian. Duniaku yang hampa, terisi banyak warna semenjak kehadirannya. Dia membuatku banyak tertawa. Meski pada kenyataannya, semua kebahagiaan ini fatamorgana. Dia sudah dimiliki, bukan olehku saja. Ironisnya, dia sudah memiliki ahli waris yang berarti tubuhnya, sudah dimiliki jauh sebelumnya olehku. Sedangkan hatinya, mungkin hanya aku menangkan separuhnya. Dibandingkan istrinya, aku yang sekarang tidak memiliki kuasa apapun. Posisiku tidak diuntungkan. Aku bisa ditinggalkan olehnya kapan saja. Tidak ada alasan untuk bertahan. Itu sebabnya, aku hanya bisa bertahan sampai dia memiliki alasan yang kuat untuk terus bersamaku. Kebenaran itu tidak serta-merta dia katakan. Semua ini mulai terungkap ketika tanpa sengaja, aku melihat isi pesan di ponselnya. Aku mendapati kontak bertuliskan "Fandi", tetapi isi pesannya berasal dariku. Dia menyimpan nomerku dengan nama itu. Tak ingin berburuk sangka, aku menanyakan semuanya. Apalagi, dia menyimpan kontak lain bertuliskan, "BabyQ". Kontak dengan DP bunga itu, bukan bayi atau anaknya. Awalnya, aku mengira dia berselingkuh dariku. Namun kenyataan memang tak pernah berhenti memberi kejutan. Tak mengapa, semua akan berlalu. Selama mungkin, aku ingin bertahan. Dengan begitu, suatu saat nanti, mereka akan memutuskan hubungan. Apalagi dia mengatakan kalau dia mencintaiku. Ada harapan untuk kami. Aku tak tahu bagaimana rupa dari perempuan itu, tetapi dia pasti tidak lebih cantik atau baik dariku. Jika dia memang sehebat itu, tentu Fuad tidak akan pernah berselingkuh. Lagipula, tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Tidak denganku atau perempuan itu. Aku akan memaklumi jika Faud menginginkan kami untuk bisa saling melengkapi. Aku tidak peduli meski harus menjadi yang kedua. Selama Fuad menjadi milikku, aku akan melakukan apa saja untuknya. Ini adalah bentuk pengorbananku untuknya. "Ada apa?" Fuad bertanya sembari memegang tanganku. Saat ini, kami sedang bersama, menikmati secangkir capuccino dan sepiring roti bakar. Aku menggeleng pelan, menatap dia yang sama sekali tak berubah sikap. Sudah seminggu berlalu sejak kejadian itu dan kami masih baik-baik saja. Walau, sekarang, dia menjadi terang-terangan untuk menunjukkan posisi masing-masing dalam hubungan ini. "Bentar." Dia mengambil ponselnya, memeriksa siapa yang menelpon. Pandangannya menunjukkan jawaban yang jelas, aku hanya mengangguk membiarkan dia menerima telpon dari perempuan yang beruntung menjadi yang pertama. "Halo, Baby? Iya, ini lagi makan siang." Dia tersenyum, cerah seperti matahari yang baru saja merangkak dari peraduannya. "Iya, makan, kok, Sayang. Nggak nakal, kok." Pembicaraan itu terdengar memuakkan. Aku tahu, aku dan perempuan itu sama-sama perempuan. Tentu akan sangat mengejutkan jika dia sampai tahu kalau pujaan hatinya telah mendua. Akan tetapi, bukan cuma dia yang terluka. Aku juga. Sayangnya, aku telanjur cinta dan tak bisa tanpa kekasihku. Jika harus ada yang pergi di antara kami, itu dia, bukan aku. Manusia memang egois. Demikian pula dengan cintaku yang buta ini. Iseng, aku mendekat, melingkarkan tangan di pinggang kekasihku. Sengaja, aku mengecup pipinya, membiarkannya merasakan napasku yang menderu. Dia tersenyum lalu menyudahi percakapan mereka. "Jangan cemburu." Dia mencolek lembut hidungku. "Kamu satu-satunya yang benar-benar aku cintai. Aku bertahan karena dia yang menemaniku dari nol. Kami juga sudah memiliki anak, kamu tahu itu kan?" Tatapannya meminta pengertianku. Aku hanya mengangguk pelan lalu membiarkannya menggenggam tanganku. Sengaja, dia menggelitik jemariku, memberikan sensasi dingin yang menyebar hingga ke punggung bagian belakang. "Untuk beberapa hari ke depan, aku tidak bisa bertemu denganmu." Dia memberikan kejutan yang tak ingin diharapkan lagi. "Mengapa? Kamu mau menemuinya?" Nada kecewa tak sanggup aku sembunyikan. Walau hatiku sudah bertekad untuk kuat, perasaan iri j*****m ini masih terus saja mencuat tanpa diminta. Fuad mengangguk membenarkan, "Aku harus menemuinya. Kami LDR, dan sudah waktunya aku pergi menemuinya dan anak kami bulan ini." Dia menjelaskan. Aku menghela napas panjang dan berat, tidak rela. Dia mencoba memberikan pengertian dan aku masih terus saja percaya. Jahat, kejam, tidak berakhlak, mungkin kata itu akan menjadi perwakilan dari sebagian hinaan yang akan diterima jika orang lain mengetahui hal ini. Namun, siapa peduli? Selama aku menjadi pemenang, hal lain-lain, tidak masalah. Semua akan berlalu seiring berjalannya waktu. Orang-orang akan lupa. Kami akan tetap bersama dan bahagia. Selamanya. "Sudah waktunya kembali." Dia melihat jam tangan mahal di pergelangan tangan kirinya. "Nanti aku telpon.Bye." Dia mengecup keningku sebentar. Aku hanya tersenyum lalu meraih tas mahal yang diberikan olehnya saat aku berulang tahun. Dia memang memiliki pekerjaan yang lebih mapan dariku sehingga membeli tas semahal ini, tentu tidak butuh banyak pertimbangan. Dia berbeda dengan mantanku sebelumnya yang pelit dan suka melakukan kekerasan. Lelaki k*****t itu, aku berharap dia mati atau membusuk di penjara. Sayangnya, dia masih hidup dan bebas. Hidup tidak pernah adil atau keadilan memang tidak pernah ada di dunia ini. "Aku antar pulang." Dia meraih tanganku tanpa sungkan. Kami pun berjalan keluar, menuju mobilnya yang terparkir. Dia tidak berasal dari keluarga kaya. Pekerjaan yang mapan telah membuatnya memiliki segalanya. Tunangannya adalah orang yang menemaninya dari bawah, sedangkan aku adalah orang yang akan menemaninya dari sekarang. Sebab, dia hanya mencintaiku. Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Dia memang ahli dalam berkendara sehingga aku yang awalnya suka mabuk perjalanan, menjadi sembuh dan tidak lagi muntah. Di depan kos, mobilnya berhenti. Setelah berciuman sebentar di dalam mobil, dia mengantarku ke depan gerbang kos. "Aku pulang. Dah, Sayang." Dia tersenyum sembari melambaikan tangan lalu pergi. Aku pun membalas lambaian tangannya. Setelah dia pergi, aku masuk ke dalam kos. "Diantar Fuad, An?" Fara, teman yang tinggal di kamar sebelah bertanya. Dia memang tidak cukup cerdas dalam memulai percakapan. Sifatnya yang suka kepo dan ikut campiur urusan orang lain memang tidak mudah dimusnahkan, sudah keturunan mungkin atau pengaruh pergaulan, entahlah. Dia tidak cukup menarik untuk diselidiki olehku, membuang-buang waktu saja. "Iya." Aku menjawab singkat, malas. "Irinya~." Denty ikut menyambung. "Pacarmu perfect, sih. Ganteng, baik dan tajir. Idaman." Dia mengangkat kedua jempolnya memberikan pujian yang membuatku semakin bangga pada diriku. "Hati-hati diambil orang, lho." Fara menyambung lagi. "Atau, sudah diambil?" Dia terkikik. Aku hanya diam, mendadak merasa marah. "Jangan menatapku begitu, An. Aku hanya bercanda." Fara memang berkata begitu, tetapi ucapannya sama sekali tak menunjukkan ekspresi kalau dia bercanda. Mata dan senyumannya terlihat mengejek. "Aku masuk dulu." Buru-buru aku masuk ke kamar. Kesal, hingga tak sengaja membanting pintunya. Lelah, aku duduk. Perkataan Fuad, kekasihku, kembali terbayang. Rasanya perih seperti diiris sembilu saat membayangkannya akan bertemu dengan istri dan anaknya. Mereka pasti bersenang-senang. Juga, akan saling melepaskan kerinduan dengan cumbuan dan lainnya. Aku melempar tas pemberian Fuad dengan kesalsehingga mengenai sebagian barang dan menimbulkan suara. Fara pasti sedang tertawa karena berhasil membuatku kesal. Frustrasi, aku menjambak rambutku sendiri. Air mata ini berjatuhan. Aku bukan tidak berperasaan. Namun, urusan hati tidak semudah membalikkan telapak tangan. Cinta tidak seperti menyelesaikan soal hitung-hitungan. Dia akan selalu berhasil menang dari pikiran. Hasil adalah hal utama yang aku inginkan. Aku tidak peduli tentang proses dan lain-lain. Selama dia memilihku, kami akan baik-baik saja. Perempuan itu harus menjadi pihak yang dicampakkan. Sudah cukup, aku memikirkan orang lain. Sekarang, waktunya aku untuk berbahagia. Meski harus mengorbankan orang lain, akan tetap aku lakukan. Bagaimanapun caranya, aku harus memenangkan Fuad, jiwa dan raga. Aku menghela napas panjang, menghapus air mataku dan mencoba menenangkan diri. Aku dan Fuad sudah berencana menikah bulan depan. Aku harus bisa menahan diri dan bersabar sampai pernikahan itu terlaksa. Tidak memiliki orang tua ataupun keluarga, membuatku bisa menikah tanpa wali, menggunakan wali hakim. Setelahnya, aku akan pindah dari kos yang sempit dan pengap ini. Aku akan pergi, merengkuh kebahagian dengan lelaki idaman yang sangat aku cintai, Fuad Zakaria. ‘ Senyuman mengembang di bibirku membayangkan diri ini menjadi Nyonya Fuad. Aku akan hidup bahagia dan tidak kekurangan saat bersamanya. Aku bisa melakukannya, sudah cukup dengan semua penderitaan dan kemiskinan ini. Aku akan bahagia bagaimanapun caranya, meskipun harus menjadi istri kedua. Aku adalah perempuan yang pantang menyerah. Aku mengalah bukan untuk kalah, melainkan untuk terus melangkah menuju kemenangan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN