Chapter 6

1263 Kata
Ibu Andini akhirnya keluar kamar dengan muka masam menatap putri dan suaminya bergantian. "Kenapa gedor pintu keras-keras, hah?! Kamu mau pintu ini roboh?!" seru ibu Andini melotot bergantian pada putri dan suaminya. "Ayah juga! Larang dong anaknya gedor pintu! Ini malah dilihatin aja," dengus ibu Andini. Ayah Andini hanya menyeringai seperti orang bodoh. Beda sekali dengan Andini yang malah senyum-senyum sendiri. "Sarapannya udah selesai, Bu. Tadi Ibu ngapain ga keluar-keluar kamar?" "Salat sunat," jawab ibu Andini sambil memelintir kepala putrinya yang memasang wajah tak berdosa itu. "Akh! Ibu!" Andini berseru kesakitan, memegangi leher dan kepalanya. "Sudah! Ayo sarapan!" Ibu Andini melangkah duluan, memimpin keluarganya ke meja makan. Layaknya sebuah keluarga yang harmonis, mereka sarapan bersama dengan muka senang, saling berbagi masakan yang ada di meja, bedanya, pembagian ini dasari dengan perampokan, bukan atas inisiatif pembagi sendiri. Karena ikan goreng hanya pas 3, sesuai dengan jumlah orang yang ada di dalam rumah, ayah Andini jadi kelaparan karena 1 ikan saja kurang. Jadilah ayah Andini mengambil ikan goreng yang ada di piring putrinya itu saat Andini sedang lengah karena mengisi air minum ke dalam gelas. Tangan ayah Andini bergerak kilat memindahkan ikan goreng dari piring putrinya ke piringnya sendiri. Ibu Andini yang melihat tingkah buruk suaminya itu hanya diam, santai menyuapi nasi ke dalam mulutnya. Andini kembali duduk di kursi setelah mengisi air, kaget saat melihat ke dalam piringnya yang hanya menyisakan nasi dengan sayuran dan 1 tempe orek. Andini segera mengalihkan pandangan ke piring ayahnya, bergantian melirik piring ibunya, tapi kedua piring itu hanya berisi satu ikan goreng. Andini diam sejenak, berpikir, memasukkan wajahnya ke dalam telapak tangan. Kenapa ikan gorengnya bisa hilang? Ayah Andini memasang wajah tak berdosa melihat putrinya yang sedang berpikir macam orang depresi itu, sedangkan ibu Andini tetap santai, cuek saja melihat putrinya bingung perkara gaib. Kenapa ikan gorengnya bisa hilang? Pikiran Andini selalu dibumbui oleh pertanyaan seperti itu. Menyerah, menjadi pilihan Andini. Mau tak mau Andini hanya harus menghabiskan sarapannya dengan bekal sayur kangkung dan tempe orek, ikan gorengnya mungkin sudah berenang kembali ke dalam kolam. Tapi karena pertanyaan kenapa ikan gorengnya bisa hilang? Masih membekas di benak Andini, Andini melirik ibunya yang tinggal 2 suapan lagi selesai sarapan. Bergantian melirik ayahnya yang sudah selesai sarapan. "Ayah..." panggil Andini pelan. Dilarang mengobrol saat sedang makan, karena itu Andini memanggil dengan nada suara yang pelan. Ayah Andini melirik putri semata wayangnya itu, mengangguk. "Ayah tau ke mana ikan gorengku?" tanya Andini polos. Tak tau bahwa ia sedang bertanya pada pelaku yang membawa pergi ikan gorengnya ke dalam lambung. "Ke perut, bukan?" tanya ayah Andini, tetap memasang muka tanpa dosa. "Perut?" Ayah Andini mengangguk. "Perut kamu, memangnya ke mana lagi? Ga mungkin ikannya hidup lagi terus berenang ke kolam kan?" Andini mendengus, kini melirik ibunya. "Ibu..." panggil Andini pelan. "Hmm?" "Ibu tau ke mana ikan gorengku?" "Memangnya kenapa dengan ikan gorengmu?" tanya ibu Andini seolah tidak melihat aksi curi ikan goreng suaminya tadi. "Ikan gorengku hilang dari piring." "Lah? Kenapa bisa? Kamu ga lupa kan apa udah makan apa belum itu ikannya?" "Ya enggaklah Bu! Andini belum sepikun itu." "Jadi kamu udah pikun?" "Ish enggak, Bu!" seru Andini kesal. Ayah Andini hanya menahan tawa, memasang muka santai seolah tidak ada apa-apa. Andini memanyunkan bibirnya, cemberut. Akhirnya sampai setelah sarapan selesai, Andini tetap tidak tau siapa pelaku yang mencuri ikan gorengnya, Andini sampai berpikir apa dia yang menghabiskan ikan gorengnya tanpa sadar? Nampaknya misteri itu tak akan pernah bisa dipecahkan Andini sampai maut, palingan beberapa menit lagi gadis itu melupakan persoalan ikan gorengnya yang entah lenyap ke mana. Setelah mencuci piring, Andini kembali ke kamar, tidak ada kegiatan berharga dan berarti yang mau dilakukannya. Andini meraih ponsel yang ada di atas meja, menscroll-scroll layar ponselnya, membaca pesan di grup kelas non guru. Bagas : "Gimana nih guys? Jadi kita makan-makannya jam 2 siang ini?" Tuti : "Jadi dong Gas." Cia Buk Bend : "Jangan pada telat ya!" Cia Buk Bend : "Yang ga hadir ga bakal kebagian uang kas sisa kelas!" Bor : "Semangat 45 hadir!" Biby : "Siap buk bend. Hehe." Risa : "@Andini, @Fay, @Buk Sekre, @safa, @Vivi, @Nana, @Rini, @Resti, jangan read aja guys! Harus data ya!" Fay : "Iya buklol." Alias Ibuk ttoollooll. (Penulisannya dipercantik sedikit ya) Resti : "Hmm." Kedua sudut bibir Andini tertarik, tersenyum simpul. Andini menutup layar ponselnya, meletakkan ponsel di atas meja karena mendengar bunyi ketukan pintu kamar, nampaknya yang mengetok ibu Andini. Andini menarik pintu, menatap ibunya yang sedang berdiri di depannya. "Ada apa, Bu?" "Ayo keluar dulu, Ibu mau ngomong hal penting sama kamu." Kening Andini langsung berkernyit, tak biasanya ibunya mau mengobrol hal penting. "Hal penting apa, Bu?" tambah Andini kembali bertanya dengan muka heran. "Sudah, ayo ikut ibu ke ruang depan." Ibu Andini sudah beranjak dari depan pintu kamar putrinya, melangkah ke ruang tamu yang juga berfungsi sebagai ruang keluarga. Andini keluar kamar, menutup pintu, menyusul langkah ibunya. Saat sampai di ruang depan, Andini melihat ibunya yang sudah duduk sambil menyeruput teh panas ala bangsawan. Andini menyeringai kaku melihat sikap dan perangai ibunya itu. Ikut duduk di hadapan ibunya. "Pendaftaran masuk SMA kapan dibuka?" Andini diam sejenak, berpikir, mengingat-ingat. "Lusa depan, Bu." "2 hari lagi?" tanya ibu Andini memastikan. Andini mengangguk. "Kamu sudah tau mau masuk ke mana?" Andini diam, kemudian menyeringai kecil. Artinya dia belum membuat pilihan. "Baguslah kalau begitu," lega ibu Andini, menghela nafas. "Ke... kenapa, Bu?" tanya Andini yang sudah memiliki perasaan tidak enak. Apa lagi yang sedang direncakan ibu? bathin Andini. "Nilai kamu lebih dari cukup untuk dapat memasuki sekolah mana pun di sini kan?" Andini mengangguk samar. Benar, nilai Andini memang rata-rata di atas 9, entah kenapa gadis jahil sepertinya bisa pintar, walau sayangnya Andini lemah di matematika, tapi itu tak masalah, Andini yakin guru matematikanya mau meninggikan nilainya sampai mencapai angka 9-- kan Andini sudah mengancam. "Kamu juga tidak tau mau masuk ke sekolah mana kan?" Ibu Andini mengulang pertanyaannya. Andini kembali mengangguk samar. "Apa kamu berani membantah perintah ibu?" Andini menggeleng kaku, mana berani dia membantah perintah ibunya yang sudah seperti iblis ini. "Kalau begitu masukkan ke Madrasah, kamu bisa sekolah sambil tinggal di asramanya." "Eh!?" Andini melotot kaget, mengedepankan tubuhnya, menatap ibunya dengan tatapan tidak percaya. "Apa?" Andini menggeleng cepat. "Aku tidak mau, Bu! Daripada madrasah lebih baik aku masuk ke sekolah penuh manusia hewan yang ada di belakang SMP!" seru Andini menolak tegas, memperindah bahasanya yang menyebut sekolah penuh manusia hewan, sebab SMA yang berada di belakang SMP Andini adalah SMA yang penuh dengan berandalan. "Hah!? Kamu mau ke sana!?" seru ibu Andini ikut-ikutan melotot, mendekatkan mukanya ke muka Andini. Andini refleks mundur, mendengus, memalingkan muka dari ibunya. "Ibu sudah meletakkan tas besar untuk diisi pakaian dan perlengkapanmu, Minggu setelah pengumuman kelolosan di Madrasah, kamu sudah boleh pergi dari rumah ini, tinggal di asrama, pulang kembali saat hari raya. Ingat? Jangan menolak! Madrasah adalah pilihan sekolah terbaik untukmu. Ibu melakukan ini juga demi kamu." Andini diam sejenak, baru mulai tertarik dengan kata 'asrama' itu artinya Andini terbebas dari ibunya, Andini buru-buru menggelengkan kepalanya, menghempaskan bisikan-bisikan syaiton yang menyesatkan. Karena Andini tau, aturan di madrasah itu ketat sekali, bagaimana tidak? Itu satu-satunya sekolah di kota ini yang paling tidak ingin dimasuki Andini, karena sekolah agama yang 11 12 dengan pesantren yang ada di Pulau seberang itu begitu mengatur muridnya. Sedangkan Andini adalah tipe murid yang sungguh sangat tidak bisa diatur. "Sudah sepakat ya." Ibu Andini beranjak berdiri dari sofa, membawa gelas tehnya yang sudah habis bersamanya. Memutuskan sesuatu secepat itu tanpa perlu menunggu keterberatan dari putrinya, karena apa pun yang dilakukan Andini, ia tetap tak akan bisa membantah perintah dan petuah ibunya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN