R 0.3

2180 Kata
Setelah menunggu barang beberapa lama, akhirnya satu per satu perahu sewaan panitia datang juga. Lalu karena ukuran perahu tak besar-besar amat, pemberangkatan peserta dibagi jadi dua kelompok. "Mau ikut perahu yang mana? Sekarang atau nanti?" tanya Verrel pada ketiga temannya. Agatha menggumam panjang kemudian menjawab, "Gue sih ayo-ayo aja. Mau sekarang juga oke. Mau ikut yang nanti juga nggak apa-apa. Shana sama Arthur gimana?" "Sejujurnya," cicit Shana, "gue udah laper nih. Pengen cepet sampai tujuan terus makan. Kalau ikut yang sekarang gimana?" Arthur tampak mendukung Shana. Ia mengatakan bahwa ia ingin mengecek lokasi terlebih dahulu. Meski kesannya pemuda itu cukup mudah curiga, tapi memang begitulah caranya bekerja. "Ya udah, yuk antre naik ke perahu," kata Verrel sembari dengan semangat menenteng tas carrier miliknya dan milih Agatha. Pemuda itu pun mendekati salah satu panitia makrab dan mengatakan bahwa ia dan ketiga temannya akan berangkat sekarang. Melihat panitia memberi persetujuan mereka untuk berangkat di kelompok awal, Arthur, Shana, dan Agatha pun menyusul Verrel untuk bergabung bersama peserta makrab yang akan diberangkatkan sekarang juga. Dengan sabar, mereka mengantre naik ke perahu. Berhubung ada beberapa perahu yang akan berangkat bersamaan, mereka dibebaskan memilih naik yang mana saja. Yang penting tidak kelebihan muatan dan mereka harus memahami itu untuk memilih perahu yang masih kosong. Sambil duduk di dalam perahu, mereka pun harus menata barang-barang mereka dengan benar agar perahu tidak berat sebelah dan mereka juga bisa duduk dengan nyaman. Setelah semua beres dan siap, perahu mereka pun diberangkatkan. Beberapa perahu lain juga ada yang sudah lebih dahulu berangkat. Beberapa lainnya masih menunggu penumpang mereka siap. Verrel yang memang sangat suka berbicara dengan orang baru itu pun langsung beramah tamah kepada pengemudi perahu. "Pak, sampai ke tempat tujuan butuh waktu berapa menit?" "Empat puluh lima menit, Mas," ujar pengemudi perahu itu. Verrel ber-oh-ria. Sementara Arthur yang duduk di sebelahnya tampak berpikir keras. "Jauh juga ya lokasi glampingnya, Pak? Bapak biasanya bolak-balik ke sini?" tanya Arthur karena mulutnya gatal ingin ikut menimbrung. Pengemudi perahu itu tampak menggelengkan kepala. Ia pun menjawab, "Saya ke sini kalau ada sewaan, musim liburan, atau ya kalau ada orang yang mau menyeberang saja, Mas. Daerah sini sepi, jadi nggak banyak perahu yang mau ke sini. Sampai seminggu ke depan pun, saya nggak akan ke sini, Mas. Karena katanya pulau itu sedang disewa untuk acara kalian ini. Jadi nggak ada pengunjung lain yang akan datang. Buat apa saya berlayar di sekitar sini, betul?" Arthur menoleh ke arah Shana yang mungkin akan memiliki pemikiran yang sama dengannya. Dan dugaan Arthur memang benar, Shana sedang menatap ke arahnya dengan tatapan penuh tanya. "Jadi kita aman nggak, nih?" tanya Shana sambil berbisik-bisik. "Kalau ada apa-apa di pulau itu, akses kita ke dunia luar bakal susah ya, kan?" Arthur menganggukkan kepala. Namun pemuda itu hanya bisa menarik napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan, tampak pasrah pada keadaan. Mau bagaimana lagi, mereka sudah hampir tiba di tujuan. Masa Arthur membatalkan keikutsertaannya sekarang. "Udah, Sha, tenang aja," ujar Agatha sambil menepuk-nepuk punggung tangan Shana. Ia kemudian bicara dengan Arthur, "Lo juga, Ar, jangan berpikiran negatif terus. Nanti kejadian beneran lagi." "Iya, iya, gue nggak mikir apa-apa," balas Arthur. Pemuda itu tak ingin berdebat dengan Agatha dan memperkeruh suasana. Akhirnya keempat sekawan itu menghabiskan waktu dengan saling diam. Mereka sama-sama memandang ke pemandangan laut lepas di kejauhan sana, juga pada sebuah pulau yang tampak terpencil, sepi, dan tak berpenghuni yang akan mereka sambangi. *** Perlahan perahu mulai menepi. Meski tak benar-benar mencapai pantai karena kondisi pantai yang dangkal dan tidak memungkinkan perahu untuk bersandar di sana. Jadi satu per satu dari peserta makrab pun menuruni perahu dan berjalan bersama-sama menuju ke pantai. "Eh, tunggu-tunggu," ujar Agatha. Gadis itu tampak kerepotan meng-handle dress pantai dengan panjang hingga semata kaki agar tidak terkena air. Belum lagi, dress-nya itu berkibar-kibar kala terkena angin. "Diangkat tinggi-tinggi, Tha," teriak Shana. Gadis itu sudah turun lebih dulu dari perahu dan kini sedang berjuang berjalan menuju pantai. Agatha tampak putus aja. Padahal beban bawaannya sudah dibawakan oleh Verrel. Gadis itu hanya perlu mengurus dirinya sendiri. Ia meminta pertimbangan teman-temannya, "Dress ini gue lepas aja kali, ya? Nggak apa-apa, kan?" "Hah?" Verrel tampak kaget berat. Ia memperjelas, "Apanya yang dilepas?" "Dress gue," kata Agatha sambil mulai bergerak melepas dress super merepotkan yang ia kenakan. Melihat ketiga temannya menatap horor ke arahnya, Agatha pun kembali berujar, "Santai aja, guys, gue pakai celana pendek sama crop tank top!" Shana berdecak sebal. "Kenapa nggak bilang dari awal? Kirain nggak pakai apa-apa. Kan gue panik," rutuk gadis itu. "Gue lebih panik lagi," timpal Verrel. Sementara Agatha hanya meringis saja. Gadis itu sudah melepas dress-nya dan kini sudah mengenakan pakaian super simpel dan kasual. Sembari menenteng dress yang sudah ia lipat, ia pun mulai menuruni perahu. Dibantu Verrel, gadis itu memasukkan kaki-kakinya ke air dan mulai berjalan ke tepian pantai. "Ya ampun, Tuan Putri. Ribet amat, sih!" celetuk Verrel untuk meledek pacarnya. Sementara Shana dan Arthur yang sudah sampai di daratan pun tampak terkekeh melihat betapa kesusahannya Verrel menghadapi manjanya Agatha. Namun perhatian mereka cepat teralihkan karena ada panitia yang menghampiri mereka dan memberikan instruksi untuk semua peserta yang sudah sampai agar langsung berkumpul di aula resort. Namun meski sudah tahu begitu, Arthur dan Shana tetap berniat untuk tinggal sejenak di sana. Setidaknya mereka akan menunggu Verrel dan Agatha. Barulah, beberapa menit kemudian, sepasang manusia yang sejak tadi berjuang menuju ke pinggir pantai itu akhirnya tiba juga. "Tadi panitia bilang apa?" tanya Verrel sambil sedikit terengah-engah sesampainya ia di hadapan Arthur dan Shana. Arthur menjawab, "Kita diminta berkumpul di aula resort sambil nunggu kelompok selanjutnya dateng. Jangan ke mana-mana dulu katanya selama belum ada penjelasan lebih lanjut dari panitia." "Oh, gitu," gumam Verrel. Pemuda itu pun menoleh kepada pacarnya yang justru tak terlihat kelelahan karena semua barang bawaannya dibawakan oleh Verrel. "Jangan senyum-senyum lo," kata Verrel memperingatkan Agatha. Agatha menaikkan sebelah alisnya sambil bertanya, "Lah, kenapa memang? Masa gue nggak boleh senyum. Aneh banget!" "Nih, bawa sendiri tas lo!" kata Verrel sambil bergerak seolah-olah pemuda itu ingin mengembalikan barang-barang milik Agatha untuk dibawa sendiri oleh pemiliknya. Agatha menjerit sambil menjauh dari Verrel. "Nggak mau!" serunya lalu cekikikan. Gadis itu pun menggandeng Shana dan mereka berjalan dengan riang menuju aula resort. Agatha dan Shana meninggalkan dua orang pemuda yang tampak seperti bapak-bapak dengan muka masam dan membawa banyak barang. Tapi masih lebih baik kondisi Arthur ketimbang Verrel. Karena bagaimana pun, Shana tak melimpahkan banyak barangnya untuk dibawa Arthur karena gadis itu juga berkeras membawa barang-barangnya sendiri. "Sabar, Rel," kata Arthur menyemangati. Tapi yang disemangati justru membalas dengan dengkusan dan kekehan ringan. "Sabar sih sabar. Tapi kalau nggak cinta, udah gue lempar ini tas-tas ke laut." Keduanya pun tertawa terbahak-bahak. Sampai orang-orang yang mereka lewati menoleh dan menatap mereka dengan keheranan. *** Seperti yang sudah Shana gembar-gemborkan sejak tadi bahwa ia kelaparan, akhirnya gadis itu mengganjal perut dengan memakan snack-snack bawaannya. Pasalnya, ternyata kelompok berikutnya tak kunjung tiba di lokasi kegiatan. Padahal mereka belum makan sejak pagi. "Panitia gimana sih atur acaranya," gerutu Shana, "gue merasa terlantar di sini." "Sama, gue juga merasa ditelantarkan. Nggak dikasih makan, nggak dikasih tempat buat istirahat," kata Agatha. Gadis itu sudah rebahan di lantai aula dengan tas ransel sebagai alas kepala. Sementara Arthur dan Verrel sibuk mengobrol berdua saja. Kedua pemuda itu tampak asyik membicarakan tenda-tenda glamping yang berjajar tak jauh dari aula. "Kelihatannya sih bersih, nyaman, fasilitasnya juga lengkap," kata Verrel. "Lo setuju kan, Bro?" Arthur menganggukkan kepala. Tak ayal, pemuda itu setuju dengan penilaian Verrel. Tapi lantas Arthur tergelitik untuk bertanya, "Nanti teman satu tenda bisa milih sendiri, kan?" Sayangnya, Verrel juga tak tahu. Pemuda itu menggelengkan kepala, menenggerkan ringisan di bibirnya, lalu lanjut mengedikkan bahu. Mendengar itu, Arthur menggusah napas keras-keras. Pemuda itu sudah merasa berat hati kalau harus tinggal satu tenda dengan orang yang tidak dikenalnya. "Santai aja kenapa sih, Ar? Di sini kan emang tempatnya cari teman," kata Verrel menepuk pundak Arthur, "tambah relasi kan lumayan!" "Males gue," balas Arthur. Pemuda itu menggeser duduknya dan kini menyandarkan punggung ke salah satu pilar di aula itu. Verrel berdecak singkat. Ia lantas melihat ada seorang kenalannya di aula yang juga merupakan peserta kegiatan ini. Verrel pun bangkit berdiri dan berniat menyapanya. Jadi pemuda itu berujar pada Arthur, "Bentar ya, Ar. Itu ada kenalan gue. Biar gue sapa dia dulu." "Iya," jawab Arthur singkat. Pemuda itu pun meraih daypack miliknya dan mengeluarkan ponsel dari sana. Pemuda itu berusaha mengirim pesan. Tapi sepertinya sinyal benar-benar sudah hilang. Melihat Arthur yang mengerutkan dahi rapat-rapat, Shana pun bertanya, "Ar, kenapa?" Arthur menggelengkan kepala. "Bukan apa-apa. Cuma barusan gue ngecek sinyal dan ternyata betulan nggak ada." Shana ber-oh-ria sambil mengangguk-anggukkan kepala. Gadis itu pun berujar, "Emang lo butuh sinyal, Ar? Mungkin ada spot tertentu di sini yang bisa menangkap sinyal. Gue temenin cari, lo mau?" "Enggak, Sha," jawab Arthur sedikit memberi penekanan, “nggak perlu. Udah aman kok.” Shana pun paham. Gadis itu tak lagi membahas soal sinyal atau menawarkan bantuan. Kini, ia justru menawari Arthur camilan untuk mengganjal perut mereka. "Sini deh, Ar," ujar Agatha yang melihat Arthur cukup memisahkan diri dari ia dan Shana, "jauh amat lo duduknya." "Sambil senderan," tolak Arthur. Penolakan Arthur itu menutup percakapan di antara mereka. Karena bertepatan dengan itu, datanglah rombongan kelompok kedua. Akhirnya, beberapa menit kemudian, peserta pun lengkap. Para panitia juga sudah bersiap memberikan arahan selanjutnya. "Hai, semua! Udah pada sampai aula, ya? Kami dari panitia mengucapkan selamat datang untuk teman-teman semua. Selamat mengikuti serunya acara di makrab ini.” Panitia satu yang bertugas selayaknya pembawa acara itu memberikan sambutan untuk seluruh peserta. Lalu, panitia lain yang memegang berlembar-lembar kertas di tangannya juga angkat bicara, “Kalau ada temen kalian yang belum ke sini, boleh banget diminta ke sini sekarang.” Peserta pun cukup riuh untuk saling menanyakan keberadaan teman-teman mereka. Tak terkecuali kelompok kecil Athaya, Shana, Verrel, dan Agatha. Setelah Verrel bergabung kembali bersama mereka, mereka pun sudah lengkap. "Oke, oke, jadi kayanya udah lengkap, ya? Sambil ngecek lagi, habis ini aku minta kalian berurutan absen sekalian ambil makan siang dan peta wilayah. Mohon dipahami kalau selama di sini, usahakan kalian nggak pergi sendiri, ya. Paling tidak harus bersama satu teman. Karena ingat, pulau ini asing buat kita. Ada yang mau ditanyakan?" Panitia itu bicara panjang lebar. Lalu ada peserta berjaket Himpunan Akuntansi yang mengacungkan jari untuk menginterupsi. Setelah dipersilakan, peserta itu pun mengajukan pertanyaan, "Di sini aman ya, Kak? Ada binatang buas atau liar nggak? Soalnya di belakang ada hutan. Sama satu lagi, pembagian tenda glampingnya gimana? Soalnya kami pengen beres-beres barang bawaan. Biar nggak harus dibawa ke mana-mana." "Aku jawab ya. Jadi seperti yang sudah dijelaskan sama pemilik pulau ini bahwa tempat ini aman untuk berkegiatan, tidak ada hewan buas atau liar, dan tidak ada kemungkinan longsor atau banjir. Lalu untuk pembagian tenda, kami akan umumkan setelah kalian makan siang, okay? Kami udah siapkan pembagiannya, jadi mohon ditunggu pengumumannya," terang salah seorang panitia. Karena sudah tak ada lagi pertanyaan, kegiatan pun dilanjutkan dengan pembagian makanan dan pengisian absensi bagi peserta. Berhubung panitia meminta agar peserta tetap stay di aula sampai acara selanjutnya, maka setelah mendapat jatah makan dan mengisi absensi, para peserta kembali ke tempat mereka semula dan tetap berada di aula itu. "Kalian udah ambil minum?" tanya Verrel seberes ia mengambil nasi kotak dan mengisi absensi. Shana menggelengkan kepala. Gadis itu mengangkat botol minumnya sambil berkata, “Gue udah bawa minum. Mau gue habisin dulu bekal gue.” “Sha,” panggil Arthur. Pemuda itu rupanya juga turut mendengarkan percakapan di antara Shana dan Verrel. Lantas, Arthur berkata, “Bekal lo jangan dihabis-habisin. Mending sekarang kalau memang ada jatah buat makan dan minum dari panitia, ya dimanfaatkan.” Verrel mengangguk-angguki ucapan Arthur. Namun pemuda itu punya niat tersembunyi. “Gih, Sha, ambil air mineral botolannya. Sekalian ambilin buat gue sama Agatha.” “Lah, kok nyuruh-nyuruh, sih?” gerutu Shana sesaat sebelum ia pergi mengambil minum. Verrel berteriak, “Ya elah, Sha, bantu teman sendiri apa susahnya, sih?” Shana memutar bola matanya dengan malas. “Iya, iya, gue ambilin,” katanya dengan nada jutek abis. Sepeninggal Shana, Verrel pun mengobrol dengan Arthur. Dan di sana, Arthur bertanya, “Agatha mana? Kok gue nggak lihat dia?” “Lagi ke kamar mandi,” jawab Verrel enteng. Sementara jawaban dari Verrel itu membuat Arthur langsung bersikap siaga. Sampai-sampai, Verrel merasa heran, “Lo kenapa, deh?” “Lo biarin dia pergi sendiri? Ingat nggak apa kata panitia? Selama berkegiatan di sini, kalau mau pergi-pergi jangan sendirian.” Arthur tampak berusaha mengingatkan Verrel. Atau barangkali, Verrel sempat melewatkan itu makanya membiarkan Agatha pergi sendirian saja. Verrel justru menghela napas lalu terkekeh geli. “Lo tuh beneran paranoid banget ya, Ar. Jangan khawatir berlebih gitu deh. Orang si Agatha cuma pergi ke kamar mandi yang ada di belakang aula. Bareng beberapa orang juga tadi, meski nggak kenal, tapi dia nggak sendirian.” Entahlah, Arthur tak sepenuhnya bisa selega itu mendengar penjelasan Verrel. Menurutnya, Verrel terlalu menyepelekan sesuatu. Namun Arthur juga tak ingin berdebat. Mungkin ada benarnya kata Verrel. Arthur harus mengurangi sifat paranoidnya itu. Tapi tentu saja, bukan berarti Arthur harus lengah, kan? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN