R 0.7

1564 Kata
Setelah para peserta berkumpul di aula dan memulai sesi makan pagi, panitia kembali memberikan pengumuman bahwa sesudah makan pagi ini para peserta diberi waktu luang agar mereka bisa mandi dan membersihkan diri. Jadi beberapa menit kemudian, peserta yang sudah membereskan urusan makan pagi pun segera meninggalkan aula. Mereka takut mengantre lama untuk bisa menggunakan kamar mandi di sana. Alhasil, Shana yang melihat itu pun buru-buru menyelesaikan sarapannya. Ia yang belum sempat mandi sejak kemarin tentu tak ingin melewatkan kesempatan itu. Saking cepatnya Shana mengunyah makanan, Agatha sampai bertanya keheranan, “Lo kenapa, deh? Makan kaya dikejar-kejar setan.” Arthur juga jadi turut memperhatikan Shana. Pemuda itu memberi wejangan, “Pelan-pelan aja, Sha. Awas tersedak.” Tapi Shana hanya mengiakan dengan sambil lalu. Sepuluh menit kemudian, setelah isi piringnya tandas, Shana segera meluncur meninggalkan aula. Sebelum berlalu, gadis itu berujar, “Guys, gue duluan, ya. Keburu kamar mandinya makin ngantre.” Shana pergi dengan tergesa-gesa. Itu membuat orang-orang yang duduk di sekitarnya pun memperhatikan tingkahnya. “Ya, wajar sih,” gumam Agatha, “dia belum mandi sejak kemarin.” Arthur garuk-garuk kepala. Shana yang belum mandi sejak kemarin, namun justru ia yang merasa malu. “Eh, tapi kalau gitu, kita juga harus cepat-cepat nggak, sih?” Seva bertanya sembari mengedarkan pandangan ke orang-orang yang baru dikenalnya. “Nanti kita bisa nggak kebagian waktu buat mandi.” Beberapa orang di sana termasuk Agatha pun menganggukkan kepala. Mereka mulai mempercepat kegiatan makan mereka. Bahkan Rick yang sudah selesai makan pun turut pergi duluan dari aula. “Ar, Rel, gue duluan. Nanti gue antrein kalian kalau bisa,” kata Rick sambil mulai bangkit dari duduknya, menepuk bahu Arthur dan Verrel secara bergantian, dan kemudian beringsut pergi dari aula. Arthur dan Verrel mengiakan saja. Tapi kemudian kedua pemuda itu kompak mengatakan bahwa Rick tak perlu membantu mereka mengantre karena kesannya mereka akan main serobot saja ketika datang nanti. Lagian Arthur dan Verrel sama-sama santai. Agatha, Indi, dan Seva juga menyusul pergi. Mereka langsung meluncur ke tenda setelah selesai makan. Namun meski Arthur dan Verrel juga sudah menandaskan makanan di piring mereka, mereka tetap belum beranjak dari aula. Keduanya justru mengobrol secara random sambil membunuh waktu. Sampai akhirnya, fokus Arthur dan Verrel teralihkan oleh suara-suara ramai di tengah aula. Ada kerumunan kecil yang terbentuk di sana dan tampak jelas bahwa ada kepanikan di wajah-wajah orang yang berkerumun itu. Tanpa banyak bicara, Arthur bangkit berdiri. Pemuda itu dengan langkah lebar-lebar segera menuju ke tengah aula dan menyibak kerumunan. Bersamaan dengan kedatangan Arthur, panitia pun turut mendekat. “Kenapa ini?” tanya Hea sambil berlutut di dekat seorang gadis yang tubuhnya sudah dipenuhi ruam kemerahan. Ah, tak cukup ruam saja, gadis itu juga mengalami pembengkakan di bibir dan juga tampak kesulitan bernapas hingga gadis itu tampak terengah-engah. Orang-orang semakin panik. Panitia yang bertugas di aula juga tampak mulai memanggil panitia lain yang bertugas di bagian kesehatan. “Mundur,” perintah Arthur. Namun karena semua orang di sana sama-sama berbicara, jadi suara Arthur tak benar-benar terdengar. Verrel yang sudah berada di belakang Arthur pun bertanya, “Kenapa, Ar? Lo bilang apa?” “Minta orang-orang ini menjauh dari korban. Kayanya dia alergi parah sampai kesulitan bernapas. Bisa bahaya kalau dikerumuni kaya gini. Dia bakal merasa makin pengap,” jelas Arthur. Selanjutnya, pemuda itu turut berjongkok di sebelah gadis yang alergi makanan untuk memeriksa tanda-tanda vitalnya. Sementara Verrel dibantu panitia tampak mendorong mundur orang-orang yang tidak berkepentingan yang berkumpul di sana. Beberapa saat kemudian, datanglah dua orang panitia dengan kotak P3K mereka. Arthur di sana langsung bertanya, “Ada obat buat reaksi alergi?” Dua orang panitia itu tampak kebingungan. Karena bagaimana pun, mereka juga bukan ahli di bidang ini. Mereka tak berpikir bahwa akan menangani kasus alergi berat. “Lo tahu nama obatnya?” sambar Hea. Gadis itu balik bertanya kepada Arthur. Ia pun menjelaskan, “Kami sewa tas ini dari regu relawan di sekitar kampus. Kami nggak yakin isinya apa aja.” Arthur tampak mengusap wajah. Masalahnya, ia pun tak paham-paham amat dengan hal semacam ini. Saat ini, mungkin jalan keluar terbaik adalah dengan mencari bantuan dari orang yang lebih paham. “Kasih dia oksigen dan tolong hubungi nomor darurat, kita butuh pertolongan mereka,” kata Arthur kemudian. Panitia yang merupakan tim kesehatan segera mengambil oksigen portable. Panitia lain yang stand by di sana pun segera mencoba menghubungi nomor darurat untuk meminta pertolongan. Masalahnya, tak ada satu pun dari ponsel mereka yang bisa mendapatkan sinyal. “Nggak bisa,” teriak seorang gadis berkacamata dan cepolan rambutnya yang tinggi, “nggak ada sinyal!” “Aku ada obat—” Tersengal-sengal, si gadis yang menderita alergi berat itu berusaha bicara. Arthur mendekatkan telinganya untuk mendengar lebih jauh apa yang gadis itu katakan. “Lo simpan di mana?” tanya Arthur. Gadis itu kembali membuka mulut. Namun karena sesak napasnya makin parah, mulutnya hanya bisa bergerak tanpa suara. Meski demikian, Arthur bisa menangkap apa yang gadis itu coba katakan. Arthur lantas membalikkan badan dan menanyai orang-orang. “Ada yang satu tenda sama dia?” tanyanya. “Gue satu tenda sama dia,” jawab seorang gadis yang mengenakan jaket berwarna merah muda sembari menghampiri Arthur. “Ada perlu apa?” “Lo tau tasnya?” tanya Arthur sembari menunjuk ke arah gadis yang mengidap alergi berat itu. Gadis berjaket merah muda itu tampak mengangguk yakin. Ia pun mengantar Arthur ke tendanya. Berhubung yang harus Arthur cari adalah obat di dalam tas seorang perempuan, tentu saja Arthur tak sembarangan. Ia kembali meminta tolong ke gadis berjaket merah muda yang mengantarnya itu untuk sekalian menggeledah tas si gadis yang terkena alergi berat. Karena akan tidak etis jika Arthur membuka isi tas yang entah mungkin di dalamnya ada barang apa saja. Meski kini tengah dalam kondisi darurat, selama bisa dilakukan dengan menjaga privasi, kenapa tidak? Akhirnya setelah dua menit mencari, si gadis berjaket merah muda itu mengeluarkan pouch yang di dalamnya terdapat obat-obatan. Ia kemudian menyerahkan pouch itu pada Arthur sambil bertanya, “Ini bukan?” Arthur menerima pemberian gadis itu. “Makasih, ya,” katanya sambil mulai membuka-buka isi pouch. Arthur cukup asing dengan nama obat-obatan yang ada di sana. Sehingga ia bergegas kembali ke aula. Saat Arthur tiba di sana, kondisi si gadis yang menderita alergi itu kini tampak membaik. Setidaknya ia sudah tidak terlalu kesulitan bernapas. Mungkin itu juga karena bantuan oksigen portable yang panitia berikan secara berkala. “Namanya Widya,” kata si gadis berjaket merah muda, sekadar memberitahu Arthur. Arthur menganggukkan kepala sebagai balasan. Ia pun menanyai Widya soal obat mana yang dapat meringankan alergi parah yang gadis itu derita. “Yang itu,” kata Widya menunjuk ke sebuah kotak kemasan yang bertuliskan Epinephrine. Arthur membuka kotak kemasan itu dan menemukan ada suntikan epinefrin. Karena tak tahu juga harus menggunakannya dengan bagaimana, alhasil Arthur menyerahkan suntikan epinefrin itu kepada Widya. “Lo bisa pakainya, kan?” Widya menganggukkan kepala. Setelah menarik napas dalam-dalam, gadis itu berusaha bangkit dari posisi berbaringnya dan bersiap memberikan injeksi larutan epinefrin ke tubuhnya. Atau lebih tepatnya, Widya dengan mandiri memberikan larutan epinefrin sebagai injeksi intramuskular di tengah luar sisi paha. Tak butuh waktu lama memang dan Widya pun kembali membaringkan tubuhnya di lantai aula. Arthur membuang napas panjang. Ia tampak lega karena Widya bisa menolong dirinya sendiri. Namun Arthur menyarankan kepada panitia untuk terus memantau keadaan Widya dan memastikan untuk menyediakan oksigen jika sewaktu-waktu Widya kembali mengalami kesulitan bernapas. “Bawa ke ruang kesehatan aja gimana?” Verrel rupanya masih ada di sana. Pemuda itu memberikan saran yang sangat disetujui Arthur. Hea meminta panitia untuk mengambil tandu lipat yang juga mereka siapkan. Dan Cairo lah yang pergi ke ruang kesehatan untuk mengambilkan tandu. Setelah Cairo kembali, Hea meminta Widya untuk menggeser tubuh ke atas tandu. Lalu empat orang pemuda termasuk Arthur dan Verrel mengangkat tandu itu menuju ke ruang kesehatan. *** Kabar jika ada seorang gadis yang alergi parah setelah mengonsumsi makan pagi dari panitia hingga menyebabkan gadis itu mengalami gejala yang mungkin akan mengancam nyawa langsung menyebar begitu saja. Semua orang sibuk membicarakan hal itu. Shana dan Agatha yang baru saja merampungkan urusan mandi pagi tampak turut penasaran. Mereka sih tidak perlu bertanya karena mereka hanya perlu mencuri dengar dari pembicaraan orang-orang. Dan kebetulan, Arthur beserta Verrel sedang berjalan dan posisi mereka cukup berdekatan. Berasumsi bahwa Arthur atau Verrel mungkin tahu sesuatu soal kabar itu, Shana dan Agatha pun menghampiri kedua pemuda itu. Mendengar bahwa Arthur dan Verrel terlibat di dalam proses penanganan si gadis yang mengalami alergi berat itu membuat Shana dan Agatha membelalakkan mata. “Lo emang selalu ada di segala situasi genting, Ar,” puji Agatha. Ia menambahkan, “Dan Verrel pasti nggak ngapa-ngapain di sana.” “Enak aja, gue juga ikut bantu ya,” balas Verrel tak terima. Agatha hanya mencebikkan bibir. Gadis itu pun menyenggol Shana. Ia berujar pada sahabatnya itu, “Lo nggak mau nanya-nanya gitu? Tadi penasaran.” Shana menggumam panjang. Setelah berpikir ulang, tak ada yang benar-benar ingin ia tanyakan. “Enggak,” jawabnya. Setelah obrolan kecil-kecilan antara Agatha, Verrel, dan Arthur, akhirnya mereka saling memisahkan diri. Arthur dan Verrel pun berlalu masuk ke dalam tenda mereka, sementara Shana dan Agatha melanjutkan langkah mereka ke arah spot foto di tepian pantai. Namun di tengah asyiknya berburu foto dan spot-spot instagramable, Shana dan Agatha justru mendengar perseteruan di antara panitia. Tentu saja, Shana dan Agatha jadi tertarik untuk mencari tahu apa yang melandasi perseteruan itu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN