Seminggu berlalu sejak kepergian Ota. Namun Kia masih sering diam dan bawaannya ingin bersedih saja.
Kia tetap pergi ke kampus. Tapi ia absen dari kegiatan organisasinya. Kia juga jarang berkumpul dengan teman dan memilih menyendiri. Kia jadi jauh lebih pendiam.
Abel selalu menemani Kia. Meski kadang Kia meminta Abel untuk meninggalkan dirinya seorang diri saja. Abel menuruti permintaan Kia. Tapi tak jarang ia akan tetap kembali untuk memastikan Kia tidak depresi.
Seperti sore itu, Abel datang ke rumah Kia dan mencoba mengajak Kia untuk melupakan kesedihannya. Abel mengajak Kia jalan-jalan atau sekadar nongkrong cantik di luar. Sayangnya, Kia menolak.
"Gue lagi nggak pengen pergi-pergi," jawab Kia saat ditawari Abel.
Abel mengangguk mengerti. Ia tak akan memaksa keputusan Kia.
"Mama lo masak apa hari ini?" tanya Abel.
Kia mengedikkan bahu. "Nggak tau, Bel."
"Lo belum makan dari pagi?" Abel melotot. Ia mendapat pesan dari mamanya Kia untuk memastikan Kia hidup dengan baik. Soalnya mama dan papanya Kia jarang ada di rumah. Mereka sibuk mengurus bisnis keluarga.
Abel mendesak Kia untuk makan. Abel tidak mau disalahkan atas tubuh Kia yang kurus kering dan tidak seberisi dirinya. Abel kelihatan sehat sementara Kia tampak sekarat.
"Kia, makan!" sentak Abel saat ia tidak mendapat tanggapan dari Kia. Jangan-jangan Kia kembali melamun!
Kia menoleh, mengangguk, dan berjalan meninggalkan Abel menuju dapur. Cewek itu seperti orang yang kosong.
Abel tidak habis pikir dengan tingkah Kia. Kia memang baru kehilangan sosok musuh bebuyutan, tapi apa iya Kia harus berlarut dalam kesedihan? Sudah seminggu terlewati dan Kia tetap tidak ada kemajuan.
Abel mengekori Kia ke dapur. Cewek itu ingin memastikan bahwa sobatnya tidak memecahkan piring, menjatuhkan makanan, dan merusak apapun yang ada di sana karena hobi melamunnya.
"Bel, gue denger bokap dan nyokapnya Ota ada niatan pindah rumah," ujar Kia.
Abel mengernyit. Ia lantas melemparkan pandangan keluar jendela rumah Kia yang langsung berhadapan dengan rumah mendiang Ota.
"Mereka mau pindah ke mana?" tanya Abel keheranan. Pasalnya baru kemarin anak mereka meninggal dunia, masa iya langsung pindah rumah.
Kia menjelaskan, "Mamanya Ota nggak bisa mengatasi kesedihannya. Beliau belum mengikhlaskan kepergian Ota. Jadi Papanya Ota berniat membawa istrinya ke kampung halaman mereka. Biar Mamanya Ota nggak berlarut dengan kesedihan."
"Lo juga harusnya pindah rumah, Ki," timpal Abel sambil menepuk bahu sahabatnya.
Kia menghela napas. Ia membalas ucapan Abel dengan kekehan kecil yang masih terdengar getir.
~♥~
Malam itu, Kia terbangun dari tidurnya karena mendengar suara berisik dari luar rumah. Cewek itu melongokkan kepala keluar melalui balkon kamarnya.
Kia mendapati ada dua truk angkut barang yang terparkir di halaman rumah Ota. Bisa Kia duga kalau truk-truk itu datang untuk mengangkut barang-barang sang pemilik rumah.
Kia sedih, tapi ia sudah lelah menangis. Alhasil Kia hanya berdiri di balkon sambil memperhatikan aktivitas orang-orang yang sibuk di bawah sana.
Hingga satu jam kemudian, truk-truk itu perlahan meninggalkan rumah Ota. Namun ternyata sang pemilik rumah masih belum ikut pindah.
Kia masih melihat papa dan mama Ota yang memilih kembali masuk ke rumah. Lampu-lampu di rumah itu juga masih menyala. Entah untuk alasan apa, Kia merasa lega. Setidaknya rumah itu tidak kosong dengan cepat.
Kia melirik ke jam di dinding kamarnya. Sekarang sudah pukul sebelas malam. Kia pun memilih masuk kembali ke kamarnya. Ia berusaha memejamkan mata dan terlelap.
Sayangnya, Kia justru terbayang-bayang sosok Ota. Bagaimana cowok itu tumbuh menjadi seseorang yang menyebalkan. Namun kalau dipikir-pikir, Ota menyenangkan juga.
Kia sudah tidak lagi mendengar ada orang yang memanggilnya dengan sebutan "Jengger Ayam". Kia juga tidak lagi melihat kelakuan abstrak orang yang menjulukinya demikian. Dan terutama, Kia juga tidak pernah menyebutkan kata "Onta" beberapa hari belakangan ini. Kia merasa ada kebiasaannya yang hilang.
Setelah banyak berpikir, tanpa sadar Kia jatuh tertidur juga.
~♥~
Keesokan paginya, Kia bangun tidur dengan wajah sembab. Mungkin dia sempat menangis dalam tidurnya.
Ia buru-buru ke kamar mandi dan membasuh mukanya. Kia harus bersiap-siap ke kampus juga. Namun sebelum bersiap-siap untuk pergi ke kampus, Kia ingin keluar kamar guna melihat siapa yang sedang mengobrol bersama orang tuanya di ruang tamu.
Suara obrolan itu memang terdengar sampai ke kamar Kia. Tapi Kia tidak begitu jelas menangkap isi pembicaraan. Alhasil, Kia harus keluar dari kamar dan mendekat ke sana untuk bisa mengetahui itu.
Kia mengendap-endap. Meski sebenarnya hal itu tidak perlu. Toh kalau ada tamu, Kia tinggal ikut menyapa sebagai bentuk sopan santun.
Tapi Kia rasa, ia tidak ingin bergabung di sana. Kia hanya ingin mendengarkan pembicaraan mereka secara sembunyi-sembunyi.
"Kami pamit ya, Mbak," ujar salah seorang dari tamu itu. Kia jelas mengenali suara itu sebagai suara mamanya Ota, Tante Bunga.
Mama Kia membalas, "Kalau memang ini keputusan kalian, saya hanya berdoa semoga ini keputusan yang terbaik. Semoga kalian tetap bisa berbahagia. Bagaimanapun, kalian harus melanjutkan hidup dengan baik. Hati-hati di perjalanan ya, Mbak, Mas."
Lalu berikutnya papa Kia dan papa Ota juga turut bicara. Seperti layaknya perpisahan, mereka saling mengucapkan selamat tinggal.
Kia tidak bisa untuk tetap berada di sana. Ia takut ketahuan dan juga takut air matanya kembali tumpah ruah.
Kia buru-buru balik badan dan berjalan mengendap menuju kamarnya. Kia memutuskan untuk bersiap pergi ke kampus saja.
Ia mengawali rutinitas paginya dengan mandi lalu mengenakan pakaian rapi. Ia juga menyiapkan segala perlengkapan kuliahnya. Untuk hari ini, Kia sengaja memoles make-up dengan lumayan tebal untuk menutupi kantung mata serta wajahnya yang sembab.
Kia menelepon Abel. Ia memastikan bahwa Abel akan datang menjemput.
Tepat saat telepon tersambung, Kia mendengar Abel bicara, "Ini gue udah di gang depan."
Kia memutus sambungan telepon dan berjalan keluar kamar. Saat ia melewati ruang tamu, sudah tidak ada orang di sana.
Kia pun melanjutkan langkahnya keluar rumah. Saat menginjakkan kaki di teras, Kia justru melihat kedua orang tua Ota tengah bersiap akan pergi. Ada orang tua Kia juga yang mengantarkan kepergian mereka.
Kia hendak berbalik masuk rumah untuk menghindari pertemuan dengan orang tua Ota. Namun ia terlambat. Mamanya sudah lebih dulu menyadari keberadaan Kia di sana. Alhasil, Kia diminta mendekat.
Mama Kia meminta Kia berpamitan pada kedua orang tua Ota. Kia pun mencium tangan kedua orang tua Ota. Dan seperti yang Kia duga, orang tua Ota akan memberinya pesan.
"Hati-hati ya, Nak. Jadikan kecelakaan yang menimpa Ota sebagai pembelajaran. Kamu harus lebih waspada. Meski Tante yakin kalau kamu anaknya berhati-hati dan punya perhitungan." Itu adalah salah satu pesan yang mama Ota sampaikan pada Kia.
Kia mengangguk-angguk saja. Ia tidak bersuara apa-apa.
Kedua orang tua Ota pun masuk ke dalam mobil. Tak lama setelahnya mobil melaju meninggalkan pekarangan rumah itu.
Kia menatapi kedua orang tuanya. Mereka masih tinggal di halaman itu untuk beberapa waktu.
Hingga mobil Abel datang, Kia segera berpamitan pada kedua orang tuanya. Kia pergi ke kampus bersama Abel. Dan kalau dipikir-pikir lagi, hari Senin ini adalah tepat seminggu berlalu sejak kematian Ota. Hari Senin di seminggu yang lalu, Kia masih memaki Ota saat cowok itu tiba-tiba mengganggu perjalannya menuju kampus.
~♥~
Kia selesai dengan kelas pertamanya. Ia dan Abel menuju ke kantin, lalu dilanjutkan ke perpustakaan.
Kia hendak mengembalikan buku yang seminggu lalu ia pinjam dari perpustakaan fakultasnya itu. Ah, Kia juga harus menghubungi Lokananta untuk mengembalikan buku yang dipinjam atas namanya.
"Lo udah janjian sama Loka?" Abel mengingatkan.
Kia menggeleng. "Ini baru mau nge-chat," jelas Kia.
Kia mengirim pesan pada Loka. Setelah menunggu beberapa waktu, Kia mendapat balasan atas pesan itu. Katanya, Loka akan menemui Kia setelah urusannya selesai. Kia diminta menunggu beberapa menit lagi.
Kia dan Abel pun memutuskan menunggu Loka di lobi perpustakaan. Mereka duduk di sana sembari melahap camilan yang mereka beli di kantin barusan.
Setengah jam berlalu, akhirnya Kia melihat batang hidung Loka. Cowok itu berlarian sambil menenteng beberapa plastik belanja.
"Sorry, ya. Gue tadi masih di luar. Kebetulan ini diminta beli bahan-bahan buat bikin properti," kata Loka begitu bertemu Kia dan Abel.
Cowok itu memang sepertinya aktif di Himpunan Mahasiswa Jurusan Sastra. Sementara beberapa hari lagi, HMJ Sastra akan menggelar perlombaan untuk internal mahasiswa di Jurusan Sastra tersebut. Wajar lah kalau sekarang Loka tampak sibuk.
"Gue yang minta maaf karena ngerepotin lo," kata Kia kemudian. Ia pun mengajak Loka untuk segera pergi mengembalikan buku.
Hanya Kia dan Loka saja yang pergi. Abel memilih tetap tinggal di lobi.
Untung lah, antrean di bagian pengembalian buku tidak terlalu ramai. Hingga Loka bisa segera melakukan registrasi pengembalian buku.
Seberes mengurus pengembalian buku, keduanya keluar dari perpustakaan. Mereka berjalan menuju ke tempat Abel menunggu.
"Kia, habis ini kamu ada acara apa?" tanya Loka saat keduanya berjalan di lobi.
Kia menggeleng. Ia belum ada acara apa-apa.
"Makan siang bareng mau? Ajak Abel juga," kata Loka.
Kia tak langsung menjawab. Ia dan Loka sudah sampai di hadapan Abel. Alhasil, Kia justru menanyakan hal itu pada Abel. "Bel, lo mau makan siang bareng Loka?"
Abel meringis. Ia bingung juga kenapa Kia malah melemparkan pertanyaan itu pada dirinya. Namun Abel berusaha melihat isi pikiran Kia lebih jauh lagi.
"Kayanya gue sama Kia bakalan balik lebih awal deh, Ka. Sorry ya, maksinya lain kali aja," putus Abel.
Loka menganggukkan kepala. Ia tersenyum memaklumi. "Ya udah, gue duluan ya. Kalian hati-hati pulangnya," ujar Loka. Cowok itu lantas mengangkut barang-barang yang baru ia beli itu menuju ke gedung kegiatan mahasiswa.
Sementara itu, Kia dan Abel masih tetep tinggal di lobi. Mereka sepertinya enggan keluar dari tempat yang nyaman karena ber-AC itu.
Abel membuka pembicaraan. "Keputusan gue bener kan, Ki? Gue lihat lo nggak begitu pengen deket sama Loka."
Kia tersenyum dan mengangguk. Ia memang tidak salah menjadikan Abel sebagai sahabatnya. Abel cukup bisa mengerti isi kepala Kia.
~♥~