Kelas Bahasa Indonesia yang Kia dan Abel ikuti akhirnya berakhir juga. Ini adalah kelas pertama mereka di semester dua.
Sedari tadi, Abel sudah mengeluhkan perutnya yang keroncongan. Makanya ia memaksa Kia untuk mampir ke kantin dulu sebelum menghadiri kelas selanjutnya.
"Kelas kedua hari ini kan baru mulai jam satu nanti. Santai aja kali, Ki," ujar Abel saat melihat Kia gelisah.
Kia menoleh pada Abel. Ia menjelaskan alasannya. "Gue mau ke perpus dulu habis ini."
"Ya elah, hari pertama ngampus setelah liburan panjang, lo masih inget aja sama kebiasaan lo waktu semester satu," gurau Abel sambil menyodorkan segelas jus melon pesanan Kia.
"Gue bukan orang b**o kali, Bel. Masa gitu aja lupa," tekan Kia dengan nada malas.
"Siapa tau udah lupa," kelakar Abel, "kalau belum lupa, ya lupain aja."
Kia hanya geleng-geleng pasrah. Mau bagaimana, ia terlanjur menganggap Abel sebagai sahabatnya.
Kia tak lagi ambil pusing. Ia kini sibuk menyeruput jus melon yang memang merupakan minuman favoritnya.
Setelah mendapatkan jus jambu merah pesanannya, Abel kembali menggandeng Kia ke stan penjual gorengan. Abel menyuruh Kia menunggu di luar barisan antrean, "Gue beli gorengan dulu. Lo tunggu di sini."
"Hmm," gumam Kia tidak mau mendebat Abel. Daripada Abel tidak segera mengantre karena sibuk berdebat dengannya. Padahal antrean di sana makin panjang saja. Bisa-bisa Kia batal ke perpustakaan. Kia menyeruput kembali jus melonnya.
Lima menit berlalu, Kia kelihatan sudah mulai tidak sabaran menunggu Abel. Ketidaksabaran Kia itu terlihat dengan gerakan Kia yang mengetuk-ngetukkan kakinya ke lantai. Kia juga mulai melamun.
"Dor!" teriak seseorang mengejutkan Kia.
Tak pelak lagi, Kia tersedak. Ia terbatuk-batuk. Bahkan jus melon di dalam mulutnya sedikit keluar. Itu terlihat menjijikkan.
Suara tawa membahana di kafetaria. Si pemilik suara kedengaran sangat puas membuat Kia terkejut begitu. Bagaimana bisa Kia benar-benar tidak menyadari ada setan sialan yang mendekati dan mengagetkannya?
"Onta sialan! Onta nggak punya otak!" kesal Kia sembari membuang gelas plastik berisi jus melonnya. Ia bergegas menuju wastafel untuk membersihkan mulut serta tangannya yang tadi refleks ia gunakan untuk menutup mulutnya.
Melihat Kia pergi dengan emosi meluap-luap, Ota makin senang saja. Ia masih berdiri di tempatnya sembari memperhatikan kepergian Kia.
"Ota, kamu apain Kia?" tanya Abel yang sudah selesai mengantre membeli gorengan. Abel tidak mendapati Kia berdiri di tempat semula. Abel malahan melihat Ota tengah terbahak-bahak.
Ota mengedikkan bahu. Ia menepuk puncak kepala Abel dan berlalu keluar dari kafetaria.
"Ih, Ota. Jangan bikin Abel jatuh cinta," teriak Abel mengiringi kepergian Ota. Ia menyentuh kepalanya yang tadi ditepuk lembut oleh Ota.
Abel akhirnya sadar kalau ia harus mencari Kia. Di mana cewek itu berada sekarang? Abel mengedarkan pandangan. "Ah, itu dia," gumamnya pada diri sendiri.
Abel menghampiri Kia yang sedang sibuk cuci tangan, juga cuci muka.
"Gue berdoa dengan sepenuh hati, semoga Ota cepat lenyap dari dunia ini!" gerutu Kia menggebu saat menyadari kehadiran Abel di sebelahnya.
Abel berdecak. Ia mengingatkan, "Kia, jangan kebiasaan nyumpahin kaya gitu. Nggak baik tau."
"Biarin, gue enek banget sama kelakuan Ota. Delapan belas tahun gue tetanggaan sama dia," geram Kia murka.
Abel hanya terkekeh. Ia menenangkan Kia dan mengalihkan perhatian Kia dari kekesalannya pada Ota.
"Yuk, ke perpus. Keburu rame dan lo nggak sempet minjem," ajak Abel sembari berjalan keluar kafetaria.
~♥~
Abel sangat anti masuk ke tempat bernama perpustakaan. Abel hanya akan masuk ke dalam perpustakaan kalau keadaan sangat mendesak.
Kia pun tidak pernah memaksa Abel untuk mengikutinya ke perpustakaan. Makanya sekarang Kia kelihatan berjalan mondar-mandir sendirian di dalam perpustakaan. Sementara Abel ia tinggalkan di bangku tunggu di luar perpustakaan.
Kia terlihat cukup bingung. Entah buku apa yang sedang ia cari, yang jelas matanya menelusuri setiap rak buku di perpustakaan itu.
"Ah, ketemu," gumam Kia sembari mengulas senyum puas. Ia mengambil buku itu dan membawanya ke bagian peminjaman.
Di bagian peminjaman, antrean cukup panjang dan akan memakan waktu lama. Bahkan ada beberapa kakak tingkatnya yang meminjam buku lebih dari lima. Sepertinya mereka adalah mahasiswa semester tua yang akan membuat skripsi. Makanya mereka butuh banyak buku sebagai referensi.
Mau tak mau, Kia harus bersabar. Ia harus menunggu di antrean paling belakang.
"Kia," panggil seorang cowok yang juga tengah mengantre di sana. Ia berdiri di baris kedua di depan Kia.
"Eh, Loka." Kia balas menyapa cowok itu.
Namanya Lokananta. Kia memanggilnya dengan nama depannya, Loka. Loka adalah teman sekelompok Kia saat ospek. Namun mereka jarang sekelas lagi sekarang. Mereka hanya sesekali berpapasan saat di area kampus.
Setelah sapa menyapa, Loka mengulurkan tangannya. “Lo mau pinjam, kan? Sini gue antrein sekalian. Lo tunggu di sana aja.”
Merasa sangat terbantu, Kia mengucapkan terima kasih. Ia menyerahkan buku yang akan dipinjamnya pada Loka. Dan seperti perintah Loka, Kia memilih menunggu di bagian kursi tunggu di dalam perpustakaan.
Kia menghabiskan waktu sekitar sepuluh menit untuk menunggu hingga Loka mengantarkan buku yang dipinjam Kia. Kia segera bangkit berdiri saat Loka mengangsurkan buku pinjamannya.
Namun sebelum memberikan buku itu pada Kia, Loka berkata, “Ini bukunya dipinjam atas nama gue. Jadi besok kalau mau balikin, lo harus ajak gue. Masih punya nomor gue, kan?”
Kia mengangguk-angguk ragu. Ia memang pernah bertukar nomor dengan Loka. Tapi Kia lupa apakah ia masih menyimpannya atau tidak.
“Iya, ada kok,” jawab Kia setelah mencoba mengingat-ingat lagi.
Loka tersenyum cerah. Ia pun pamit pada Kia untuk meninggalkan perpustakaan lebih dulu.
Kia sendiri masih termenung sesaat sampai Loka tidak lagi terlihat. Setelah menyadari bahwa ia telah banyak membuang waktu dan itu akan membuat Abel kelamaan menunggu, Kia cepat-cepat keluar dari perpustakaan itu.
Abel melihat kedatangan Kia. Ia langsung menyembur Kia dengan gerutuannya. “Lama amat sih lo pinjem bukunya? Udah kaya orang bertapa di dalam sana.”
Kia hanya geleng-geleng kepala mendengar semburan Abel. Sudah biasa kalau Abel akan tidak sabaran menemani Kia. Begitu pun sebaliknya, Kia juga tidak sabaran kalau menemani Abel. Namun anehnya, mereka tetap akur satu sama lain.
“Habis ini kita kemana?” tanya Kia sambil mulai membuka lembar demi lembar buku yang ada di genggamannya.
Abel terlihat menimbang-nimbang sesaat. Setelah cukup berpikir, Abel pun memutuskan, “Pulang aja gimana?”
“Ya elah, Bel. Gue tungguin lo mikir dari tadi. Ternyata keputusan lo cuma pulang ke rumah. Kenapa nggak langsung ngomong aja sih?” kesal Kia.
“Ih, kok lo sensian amat. Gue kan kudu mikir bener-bener. Gue tuh mageran kalau udah sampai di rumah. Jadi sebelum pulang, gue harus menyelesaikan urusan-urusan gue di luar rumah. Biar nanti nggak perlu pergi-pergi lagi,” bela Abel.
Kia hanya berdecak gemas. "Tapi kan nanti jam satu kita masih ada kelas, Bel. Terus nanti sore juga kita ada latihan paduan suara. Berarti lo bakal keluar rumah lagi. Percuma dong kalau pulang sekarang."
"Apa jalan-jalan aja, ya? Nge-mal yuk!"
"Terserah lo deh, Bel."
Akhirnya mereka mengubah tujuan untuk mengisi waktu dengan jalan-jalan. Keduanya bergerak menuju mobil Abel yang diparkir di luar area fakultas.
Baru akan menyeberang, sebuah motor melintas cepat di depan Kia dan Abel. Sontak saja kedua cewek itu menjerit kaget dan refleks melompat mundur.
“Sialan, siapa sih yang barusan lewat?” maki Abel sambil sibuk mengelus-elus pergelangan kakinya yang kesleo karena melompat tanpa perhitungan.
Sementara Kia yang baik-baik saja kini sibuk menatapi kepergian orang kurang ajar yang berani mengagetkan dirinya serta Abel. Setelah mengamati, Kia berusaha mengingat-ingat lagi. Motor orang itu cukup familier. Ia pun bisa menduga siapa pengendaranya.
“Gue sumpahin lo, Ota. Lo bakal kecelakaan gara-gara kebiasaan lo yang ugal-ugalan,” kutuk Kia dengan sepenuh hati.
“Ki, muka lo sampai merah banget gini. Lo pasti lagi nahan biar marah lo nggak meledak, kan?” duga Abel yang memang tidak meleset.
Kia mengibaskan tangannya. Kia lalu mengajak Abel untuk melanjutkan perjalanan mereka menuju tempat Abel memarkir mobil.
~♥~