Pertemuan

1315 Kata
Suara tangisan bayi terdengar dari dalam ruangan itu. Reva dan seorang wanita yang tadi bersamanya tersenyum lebar saat mendengarnya. "Alhamdulillah, bayi Mbak Nisa udah lahir." ucap wanita itu senang dan tersenyum ke arah Reva membuat Reva juga ikut tersenyum. "Kamu keluarganya?" tanya Reva. "Bukan, tapi Mbak Nisa sudah menjadi atasan saya selama 7 tahun. Saya juga lumayan akrab dengannya." jawabnya membuat Reva mengangguk. "Oh ya, nama saya Melin." Melin mengulurkan tangannya. "Saya Reva. Ini hari pertama saya bekerja." jawab Reva memberi senyuman. Namun senyuman Reva segera luntur saat menyadari kata-katanya yang terakhir. "Astaga. Ini pertama saya masuk kerja!" ucapnya sedikit memekik. "Aduh, ini gimana? Gimana kalau saya di pecat, saya harus cari kerja di mana lagi?" tanyanya pada Melin membuat Melin jadi tidak enak. "Kamu tenang dulu. Saya akan bantu kamu nanti. Kamu tenang saja, oke." ucap Melin menenangkan. "Tapi saya tidak akan di pecat 'kan?" tanya Reva lagi. "Pak Bos orang nya baik kok. Dia pasti bisa menerima alasan kita nanti." jawab Melin tersenyum membuat Reva dapat bernafas lega. "Saya jadi lemas." ucap Reva terduduk di kursi itu. "Maaf sudah membuat kamu panik. Saya tidak tau kamu karyawan baru." ucap Melin duduk di sampingnya. "Tidak masalah. Positifnya, saya jadi dapat teman baru." jawab Reva. Ceklek! Pintu itu terbuka menampakkan seorang dokter dan beberapa perawat yang mendorong bankar Mbak Nisa untuk di bawa ke ruang rawat inap, sedangkan Reva dan Melin hanya mengikutinya. "Makasih ya, Melin. Kamu udah nolong Mbak." ucap Mbak Nisa pada Melin. "Sama-sama Mbak. Oh iya, ini Reva, dia karyawan baru. Dia juga yang bawa Mbak ke sini." ucap Melin menunjuk Reva. "Makasih ya Reva. Tadi kata suami saya, kamu juga yang panggil dia ke sini." ucap Mbak Nisa pada Reva. "Iya, sama-sama Mbak. Saya senang bisa bantu Mbak." jawabnya. Tak lama, Dokter Reza masuk, membawa bayinya bersama nya. "Wah.. lucu banget." ucap Melin gemas saat melihat anak Mbak Nisa. "Makasih ya Melin. Makasih buat kamu juga." ucap Dokter Reza pada mereka dan mereka mengangguk. "Kalian pengen gendong?" tanya Mbak Nisa pada mereka. "Gak sekarang deh Mbak. Kita harus balik ke kantor. Nanti pas pulang aku mampir ke sini buat jenguk." ucap Melin. "Oo, ya udah. Makasih ya udah mau di repotin." ucap Mbak Nisa. "Gak repot kok Mbak." jawab Melin. Mereka berdua berpamitan pada Mbak Nisa dan Dokter Reza, juga pada bayi mungil di samping Mbak Nisa. "Eh, mau ke mana? Bareng aja. Kan kantor kita sama." ucap Melin pada Reva. "Saya naik ojek aja." ucap Reva tersenyum canggung. "Bareng saya aja. Anggap aja ini sebagai permohonan maaf saya." ucapnya membuat Reva menjadi tidak enak. Tapi mau bagaimana pun, Reva sepertinya tidak punya pilihan. Uangnya hanya cukup untuk makan siang dan nanti ongkos pulang. "Maaf, saya jadi ngerepotin." ucap Reva.  "Nggak ngerepotin kok. Oh ya, kita gak perlu terlalu formal. Kamu bisa panggil aku Kakak atau Mbak. Karna kayaknya aku lebih tua dari kamu." ucap Melin tertawa pelan. Ya, Reva juga berpikir begitu. "Nah, itu taxi nya. Ayo." ajak Melin dan Reva mengangguk. Langkah Reva terhenti saat seseorang menyentuh bahunya. "Ranti?" ucap pria paruh baya itu padanya. Kening Reva berkerut, bingung sekaligus terkejut. Kenapa orang ini memanggilnya dengan nama ibunya? Pikir Reva. "Reva, ayo." ucap Melin dari dalam taxi. "Saya bukan Ranti, Pak. Maaf." ucap Reva dan masuk ke dalam taxi. "Dia mirip Ranti." gumam pria paruh baya itu menatap taxi yang membawa Reva dan Melin. ***** Di dalam ruangannya, Ervan masih terpikir pada kejadian tadi. Itu sangat mengganggu pikirannya. Bagaimana bisa gadis itu begitu mirip dengan adiknya? Pikir Ervan. Tok tok tok Ceklek! "Papa ganggu kamu?" tanya seorang pria paruh baya itu padanya. "Ada apa?" tanya Ervan singkat tak merubah raut datar di wajahnya. "Papa cuma mau liat anak Papa. Gak boleh?" tanyanya duduk di depan Ervan. "Ada apa?" tanya Ervan sekali lagi. Haris ---Papa Ervan--- menghela nafas panjang mendengar pertanyaan itu. Anaknya ini sudah sangat jauh berubah sejak kematian anak bungsunya. "Kapan kamu mau nerusin perusahaan Papa? Papa udah hampir pensiun, siapa yang bakal nerusin kalau bukan kamu?" tanya papanya membuat Ervan berdecak kesal. Apakah tidak ada topik lain selain itu? Ervan sangat bosan mendengar kalimat itu terus di ulang. "Ervan gak mau Pa." jawabnya. "Kenapa? Kamu udah belajar bisnis, kamu bisa ngurus perusahaan, kenapa lagi? Kenapa kamu gak mau?" desak Papa Haris. "Ervan ada pasien. Papa pulang aja." ucap Ervan keluar dari ruangannya. Papa Haris kembali menghela nafas panjang. Tak habis pikir dengan anaknya itu, dia tau menjadi dokter bukan lah keinginan Ervan, tapi kenapa dia tak mau lepas dari pekerjaan ini? Apa salahnya jika dia meneruskan perusahaannya? Pikirnya. Flashback on Ni~Nu~Ni~Nu~Ni~Nu~~ "Pasien darurat! Pasien darurat!" teriak gadis kecil itu. Ervan berbaring di sofa panjang dengan bercak merah di tangan dan lehernya. "Abang harus di operasi." ucap Azira padanya. "Nggak mau, Abang gak mau di suntik." ucap Ervan segera duduk. "Abang gak mau sembuh? Cepetan Bang, darahnya makin banyak." ucap Azira kembali membuat Ervan terbaring. Azira mengambil sebuah pulpen dan menusukkannya sedikit di lengan Ervan dan Ervan yang pura-pura kesakitan. Ervan pingsan dan tak lama bangun dan sudah menjadi zombie. Ervan mengejar Azira membuat Azira berlari. Begitu random jika ada orang lain yang melihatnya. Lama mereka bermain kejar-kejaran akhirnya mereka terbaring di lantai dengan nafas tak beraturan dan tertawa bersama. "Bang, nanti kalau udah besar, Rara mau jadi dokter." ucap Azira tiba-tiba. "Kenapa? Dulu katanya pengen jadi pramugari." tanya Ervan. Gadis berumur 9 tahun itu tersenyum sambil menerawang ke atas. "Karena kalau nanti Bang Ervan sama Papa sakit, gak perlu ke rumah sakit lagi. Rara bakal rawat Abang sama Papa sampai sembuh. Rara nanti juga mau obatin ibunya temen Rara yang sakit-sakit-an. Kasian Bang, dia gak punya uang buat berobat." ucap nya panjang lebar membuat Ervan tersenyum. Adiknya sangat polos dan tulus. Ervan sangat menyayanginya. "Baik banget sih." ucap Ervan mengacak-acak rambut Azira. "Bang, nanti temenin Rara masuk sekolah ya. Anter Rara ke sekolah baru, sampai nanti Rara kuliah. Kalau Rara udah jadi dokter, gaji pertama Rara bakal Rara pake buat traktir Abang makan Bakso Mang Pero." ucap nya membuat Ervan tertawa. "Belajar yang rajin dulu, baru mikirin gaji. Masih kecil juga." ucap Ervan mencubit hidung Azira. Flashback off Ervan tersenyum tipis mengingat itu semua. Banyak keinginan dari adiknya yang tak dapat terwujud dan tak dapat dia wujudkan. Satu-satunya yang dapat dia wujudkan adalah profesinya saat ini. Menjadi dokter. Ervan melihat jam di pergelangan tangannya. "Dokter Ervan." panggil Dokter Zaki berjalan di samping Ervan. "Dok, kenapa pasien yang tadi Dokter pindah-in?" tanyanya. Tak menjawab apa-apa, Ervan malah melepas jasnya dan memberikannya pada Dokter Zaki. "Saya pergi sebentar." ucapnya singkat dan pergi dari sana. "Dokter! Dokter!" panggil Dokter Zaki namun Ervan mengacuhkannya. "Sabar, dia temen lo." ucapnya pada dirinya sendiri. ***** Ervan masih di dalam mobil terjebak macet. Dia melihat ada toko bunga di seberang sana dan berniat untuk turun membelinya. Namun baru saja dia mau membuka pintu mobil, pergerakannya terhenti saat melihat seorang gadis yang baru keluar dari toko bunga itu. Gadis tadi, gadis yang sangat mirip dengan adik nya itu. "Azira" gumam nya pelan melihat dengan sempurna wajah gadis itu. Dengan cepat Ervan keluar untuk menemui gadis itu. Banyak pengendara yang protes padanya. Ervan meninggalkan mobilnya begitu saja disana, di tengah macet. Namun Ervan tidak peduli, dia tetap berlari menuju gadis itu, tatapan nya tak pernah lepas dari gerak-gerik gadis itu. Dia benar-benar persis seperti adiknya. Adik tersayangnya. Gadis itu seperti sedang bertelfonan dengan seseorang dan tak lama dia melambai pada seorang tukang ojek online. Oh tidak, jangan pergi dulu! "Tunggu!" Ervan berhasil menggapai tangan gadis itu dengan masih mengatur nafasnya yang tersengal. Ervan mengangkat wajahnya, mendapati gadis itu yang menatap bingung padanya. Tanpa aba-aba, Ervan langsung membawa gadis itu ke dalam pelukannya. Memeluknya erat, sangat erat. Menyiratkan kerinduan yang mendalam di dirinya. "Azira. Ini beneran kamu Sayang." ucapnya lirih. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN