A 2 - KAFE

1141 Kata
“Gue nggak nyangka banget tuh si Kumis beraninya ngasih soal kuis jauh beda banget sama yang ada di materi pertemuan kemarin, emang cuma dia doang nih yang sok tengil ke mahasiswa. Awas aja kalau kita udah berani bertindak, bisa copot jabatan anda, Pak. Otak kalian pada pusing nggak sih? Sumpah demi abu dan jelaga nih kepala gue rasanya mau pecah sekarang juga, lo pada nggak merasakan hal yang sama apa? Kalau anaknya Pak Kumis mah gue jamin nggak merasakan apa yang kita rasakan saat ini. Lo tadi bisa ngerjain semua, Nyu?” tanya Gendhis dengan menatap Abimanyu yang berada di sebelah Jatmika atau tepatnya berada di depan Kinanti. Laki-laki itu tersenyum dengan memegang kepalanya perlahan.   “Gue juga sama kek lo, Gendhis. Kepala gue rasanya juga pengen meledak sekarang, semua soal kuis dari Pak Kumis itu udah di luar kendali otak gue. Tadi sempet mikir juga sebenarnya yang Pak Kumis ujikan hari ini tuh pernah kita dapatkan pada pertemuan ke berapa sih? Kok gue nggak ingat sama sekali. Perasaan kalau masalah Pak Kumis gue tuh nggak pernah lupa loh, secara sohib gue gitu-gitu. Jangan-jangan emang kuis kali ini tuh materinya belum pernah dikasih ke kita, kalau iya berarti Pak Kumis udah mempermainkan hati kita semua.” Abimanyu menghela napasnya lalu menyerput minuman cokelat dingin di hadapannya.   Kinanti menganggukkan kepalanya sebagai tanda setuju dengan apa yang Abimanyu bicarakan lalu menimpali, “Gue juga tadi ngawur ngisinya. Paling kalau remidian nggak cuma gue aja. Bisa-bisa satu kelas dapat remidian, jadi nggak perlu khawatir buat dapat nilai jelek. Lagian tuh si Pak Kumis kalau ngasih soal nggak kira-kira. Beliau selalu menganggap otak mahasiswanya itu adalah otak jenius seperti Albert Einstein kali ya. Padahal kalau dilihat tuh yang paling paham cuma Manyu doang, lainnya cuma jadi tambah-tambah biar kelas ada isinya. Kalau mahasiswanya cuma satu kan pembelajaran nggak mungkin berjalan, nah kita ini adalah tumbalnya. Sabar aja ya.”   Gendhis terkekeh pelan dengan memukul bahu Kinanti lalu berkata, “Gue setuju sama pemikiran lo, Nan. Bisa jadi sebenarnya kita itu nggak kelihatan di mata Pak Kumis, karena yang kelihatan cuma orang-orang tertentu. Pemilik kecerdasan di atas rata-rata. Kalau manusia otak udang kek kita ini cuma jadi makhluk astral doang di kelas.”   “Lo pada tuh sebenarnya pinter loh, cuma kalau sama Pak Kumis kurang satu tujuan. Jadi kalian ke kanan, Pak Kumis pengennya ke kiri. Nggak ada sinkronisasi sama sekali antara Pak Kumis dan kalian semua. Daripada pusing mikirin itu semua, mending kita tuh have fun aja. Masalah nilai tuh bisa diperbaiki lagi, nggak usah risau. Nanti gue bakal cari info dari Pak Kumis,” lerai Abimanyu dengan tersenyum kecil. Kinanti, Gendhis dan si pendiam – Jatmika – mengacungkan jempolnya bersamaan.   “Habis ini mau nggak ke rumah gue? Lama banget kita nggak nongkrong di taman bunga milik mama gue loh, kemarin ada bunga baru yang baru aja mama beli. Main yuk?” ajak Abimanyu dengan mengangkat alisnya sebelah kanan.   Gendhis melirik jam tangannya lalu menghembuskan napasnya perlahan. “Gue nggak bisa ikutan, Nyu. Habis ini gue harus ke rumah nenek, nyokap nyuruh gue buat nginep disana paling nggak dua harian. Padahal gue juga pengen ke rumah lo, Nyu, ketemu sama bunda. Jadi kangen sama masakan bunda deh, ya nggak, Nan?”   Kinanti menganggukkan kepalanya sambil menyahut, “Gue bakal ikut, Nyu. Pengen ketemu sama Bunda, kangen sama masakannya bunda juga gue tuh. Bunda Ifa tuh terasa sempurna banget. Kenapa sih gue dulu nggak terlahir dari rahim perempuan seperti bunda, pasti hidup gue nggak mungkin seburuk ini deh. Lo untung banget, Nyu, terlahir dari keluarga yang berkecukupan kasih sayang. Kita bertiga selalu iri sama kehidupan lo, Nyu.”   Abimanyu tersenyum kecil sambil memandang wajah murung para sahabatnya yang memang terlahir dari keluarga kaya raya, namun sangat kekurangan kasih sayang. Jatmika si anak pendiam yang tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari sang ayah, ayahnya meninggal dunia saat ia berusia sepuluh tahun. Ibunya menjadi tulang punggung keluarga dan menjadi single mom super sibuk. Semua perusahaan yang mengurusi ibunya tanpa ada terkecuali, membuat waktu untuk Jatmika menjadi sangat tersita sekali. Dalam waktu satu tahun bisa dihitung jari ia bertemu dengan ibunya dan itu pun bukan dalam waktu yang lama. Ibunya hanya sekitar enam jam berada di rumah, lalu kembali terbang mengarungi benua untuk menambah relasi bisnisnya.   Gendhis, si anak periang yang nasibnya tak kalah sama dengan Jatmika. Bedanya keluarga dia masih utuh, ayah dan ibunya masih hidup. Tetapi saling bersaing untuk mendapatkan uang paling banyak agar bisa adu pamer saldo rekening saat di rumah. Ayah dan ibunya memiliki profesi pekerjaa berbeda namun anehnya selalu bersaing untuk mendapatkan gaji paling banyak. Dan karena egois tersebut, membuat Gendhis menjadi tidak mendapatkan waktu berkualitas dengan keluarga. Ia malah menjadi anak terlantar yang tak pernah mendapat perhatian dari orang tuanya. Dalam satu tahun mereka hanya berkumpul bersama selama satu minggu saja, selebihnya kedua orang tuanya akan berkelana mencari uang di negara orang. Gendhis tak terkejut jika pengambilan rapot miliknya setiap tahun dari Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah atas atau hal yang berhubungan dengan orang tua di sekolah selalu diwakilkan oleh neneknya. Orang tuanya terkadang menyuruh supirnya untuk mengurus semua keperluan Gendhis di sekolah dan pura-pura menjadi walinya. Miris. Dari kecil ibunya tidak pernah mengurusinya sampai ia besar seperti sekarang.   Kinanti adalah anak broken home korban perceraian dari kedua orang tuanya. Ia harus hidup bersama ayahnya yang kaku dan tidak bisa mencairkan suasana. Bahkan setiap ia membuka mata sampai menutup mata kembali tidak pernah bertemu dengan ayahnya, meskipun mereka tinggal satu atap. Ayahnya menjadi gila kerja dan tidak pernah memberikan perhatian kecil pun pada Kinanti. Ia juga dilarang untuk bertemu dengan ibunya, terakhir mereka bertemu saat ia berumur tujuh tahun. Sedangkan perceraian tersebut disahkan saat usia Kinan menginjak pada tahun ke lima. Ia benar-benar tidak beruntung dari segi kasih sayang dari orang tua. Dari kecil sudah tidak dapat merasakan bagaimana rasanya belaian ibu mau pun ayahnya. Kedua orang tuanya sibuk mengurusi perselingkuhan masing-masing hingga menyebabkan rumah tangga mereka retak dan anaknya sendiri menjadi korban. Saat ini Kinanti tidak pernah berharap lebih bisa bertemu ibunya, karena ia mendapatkan informasi jika ibunya sudah menikah dengan duda dan tingga di daerah Jawa Timur. Ayahnya tidak menikah lagi atas permintaannya yang tidak mau satu atap dengan ibu tiri.   “Gue nggak bisa ikut, Nyu. Hari ini mama gue balik katanya. Nggak enak kalau gue keluyuran pas mama di rumah, lain kali gue bakalan ikut. Jadi habis dari sini gue langsung pulang,” sahut Jatmika dengan menghela napasnya. Ia selalu berbicara jika ada perlunya saja. Kulkas dua pintu sebutan Jatmika dari Gendhis yang diberikan khusus.   “Ya udah nggak papa. Salam buat nyokap lo, Mik. Mumpung beliau di rumah lo harus manfaatin momen ini buat lebih dekat lagi dengan nyokap lo, Mik. Gue ikut seneng kalau lo juga seneng,”  tanggap Abimanyu dengan merangkul bahu Jatmika lalu tersenyum tipis sebagai rasa bahagianya atas kepulangan ibu Jatmika.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN