Cahaya mentari menerobos masuk lewat celah jendela kecil tenda. Kehangatannya mampu mengubah suhu tubuh Theressa yang sebelumnya seperti terselimut es balok. Wanita ini membuka matanya pelan-pelan, beradaptasi dengan sekelilingnya, kondisi dalam tenda yang nyaman dan hangat.
Dia memijat kepalanya. Segala yang terjadi kemarin bukanlah mimpi, dia tak berada di ranjangnya empuk. "Dimana ini?"
Tubuhnya telah dipakaikan mantel coklat tebal yang menghangatkan.
Setelah menyibak selimut berbau seperti bunga lavender itu, ia merangkak keluar tenda. Perasaannya was-was, takut orang pertama yang ia temui mungkin pria seperti Firio lagi.
Matanya silau terkena terik matahari. Dia tak bisa menebak jam berapakah sekarang, yang pasti ini terasa seperti pagi hari di musim panas.
Kaum nomaden telah pergi membawa sisa tenda dan mobil mereka, meninggalkan Aisla dan teman-temannya.
Wanita itu sendiri merapat di api unggun, sedang membakar daging kelinci hutan dengan ditemani keempat teman prianya. Iya, si penembak jitu yang sebelumnya mengacaukan Firio ikut bergabung dengan mereka. Keempat pria itu tampak terluka parah, wajah mereka penuh sayatan, lengan mereka juga terikat kain untuk menghambat aliran darah keluar.
"Selamat pagi, Theresa" sapa wanita itu menuding batu sebelahnya, "kemarilah, duduk dan sarapan dengan kami."
Theresa duduk di sampingnya. Di bantu oleh pencahayaan yang terang, kini dia lebih leluasa meneliti wajah-wajah baru ini. Mereka semua berambut coklat terang.
"Bagaimana lenganmu? Dari kemarin aku ingin menanyakannya- sudah kuobati kok," tanya Aisla melirik ke lengan Theresa yang sempat tergores anak panah Firio.
Theresa menggeleng. "Aku sudah lupa. Tidak sakit lagi. Malah kalian yang parah."
"Ah, tidak masalah."
"Apa pria itu sudah terbunuh?"
"Tentu saja belum. Dia ternyata pemimpin di distrik 222, harusnya kau bilang dulu kalau suamimu- lebih berbahaya ketimbang lainnya."
Si pria mata biru berkata, "ya, aku hampir kehilangan mata kalau saja tidak berhasil melarikan diri kemarin-" Dia menuding sayatan di pelipis kanannya. "Tapi tenang saja, dia pasti sedang sibuk karena wilayahnya ternyata dimasuki kelompok lain- mungkin yang disebut para penculik oleh kaum nomaden itu."
Aisla mengangguk. "Sepertinya kita harus melaporkan ini, bisa saja mereka merambah masuk ke dinding."
Theresa menjadi gugup karena tidak tahu harus berkata apa. Sebenarnya ada apa ini? Mereka sedang membicarakan apa?
"Oh iya, Theresa, sebelumnya perkenalkan ini teman-temanku, Castriel-" kata Aisla menuding si mata biru. Lalu telunjuknya beralih ke si jangkung, "Lachlan-" Mengarah ke si penembak jitu, "Eoghan-" Kemudian berganti ke si pemilik tubuh kekar. "Dan-Yadiel."
Mereka semua bergantian mengucapkan, "hai", sebagian tak jelas karena mengunyah daging panggang.
Bagi Theresa nama mereka sangat tidak umum, malahan kalau berada di sekitar mereka, namanya yang terkesan aneh. Dia memandangi mereka semua, tubuh mereka terlatih.
"Apa kalian tentara?" tanyanya spontan.
"Tentara?" ulang Castriel berpandangan dengan teman-temannya. "Tentara? Tentara dari dinding Adam?" Ia tertawa terbahak-bahak karena ucapannya sendiri.
Tak ada yang tertawa.
Aisla menatap Theresa dengan serius, lalu menjelaskannya, "semalam aku memeriksa tengkukmu dan tidak ada tanda kalau kau ini penghuni dinding Adam ataupun Eve, sebenarnya siapa kau? Pastinya dari luar dinding, dari distrik mana? Padahal kulihat tubuhmu tak seperti kaum liar, malahan seperti seorang wanita dari dinding Adam."
"Tengkuk? Dinding?" ulang Theresa masih mengendalikan sisi histeris dalam dirinya. Setelah cukup tenang, dia pun menjelaskan siapa dirinya, "sudah kubilang, namaku Theresa Wilson, aku berusia 22 tahun, tempat tinggalku ada di Cedar City. Mungkin kalian tak percaya, tapi semalam pintu kamar mandiku berubah jadi semacam portal kesini, sebenarnya ini dimana? Australia mungkin?"
"Australia?" ulang Aisla kebingungan, ia berusaha mengingat-ingat dimana tepatnya mendengar nama itu.
Castriel menyahut, "bukannya itu negara atau benua ya? Yang di daerah selatan Bumi'kan? 200 tahun lalu mungkin- sebelum terjadi perang dingin?"
Eoghan mengangguk. "Iya, tahun 2203 mungkin, maaf aku tak terlalu suka pelajaran sejarah."
"Oh, yang binatangnya sekarang sudah punah itu?" timpal Lachlan ikut mengingat, "padahal aku ingin sekali melihatnya-"
Yadiel mengeryitkan dahi. "Apa kita harus mengingat kejadian ratusan tahun lalu?"
Theresa melongo, matanya nyaris tak mampu berkedip kalau saja tak dikagetkan Aisla.
"Hei, kenapa?"
"Tunggu sebentar ini bumi?" tanya Theresa kemudian.
"Tentu saja bumi, kau kira kita sedang di Merkurius, Venus, atau Mars? Bisa terpanggang kita," ucap Castriel selalu diiringi nada guyonan.
Theresa meneguk ludah, memandangi sekitar, pepohonan asing tumbuh dimana-mana. Ia berusaha tak memikirkan kemungkinan terburuk. "Tahun berapa ini?"
"Tahun 2422." Aisla menjawab singkat.
"Tahun 2422, ini tidak mungkin- 400 tahun? Aku pergi ke 400 tahun di masa depan lewat pintu kamar mandi?" Theresa nyaris ingin menjerit kembali.
Ia tak mempercayai ini, tapi kenyataannya ini memang bukanlah mimpi. Ketakutannya menjadi-jadi lagi, portal tempatnya kemari sudah tak bisa dipakai. Lantas bagaimana caranya ia kembali pulang?
Kelima orang tadi sedikit kaget mendengar pengakuan itu. Akan tetapi reaksi mereka tak berlebihan seperti Theresa.
"Oh, kau benar-benar sukses menggunakan LYNX," kata Aisla memperhatikan fisik Theresa lebih dekat. "Tak kusangka baterainya masih ada."
"Aku serius, apa ini semacam imajinasi, fantasi, aku tidak tahu kenapa pintu kamar mandiku terhubung kemari!" ucap Theresa berusaja mendapatkan pengertian kalau dirinya tak tahu apapun.
Aisla tampak berpikir. "LYNXproject itu semacam mesin waktu, bentuknya hampir sama seperti mesin CENSERICproject milik kaum nomaden yang kau lihat menempel di pohon saat itu. Saat aktif, dia menyambungkan masa kini dengan portal masa lalu. Cuma baterainya seharusnya sudah tidak ada, jadi mustahil melakukannya lagi."
"Aneh," heran Castriel mulai serius menatap Theressa yang kebingungan. "Harusnya portal waktu itu diatur sendiri oleh si penjelajah. Biasanya diatur waktu berangkat dan kembalinya."
"Maksudmu? Maksudmu aku yang mengatur? Bentuk portalnya saja aku tak tahu!" Theresa protes.
Eoghan memberikan tatapan selidik. "Lalu kenapa suamimu mengenalimu? Kelihatannya kau melakukan sesuatu padanya, lalu kabur ke masa lalu, lalu kau kembali saat sudah- tenggat waktunya."
"Dengar, aku tidak paham apa yang terjadi. Aku tidak tahu ada semacam teknologi mesin waktu- aku tidak pernah menyangka masa depan seperti ini, di tempat asalku, aku penganut paham teori relativitas- kita bisa melintasi masa depan itu kemungkinan bisa dicapai jika kita bisa melebihi kecepatan cahaya, tapi itu mustahil, bukan? Dan yang kemarin itu seperti aku cuma melangkah dan sampai di masa ini- teknologi apa yang bisa melakukan itu? Tidak mungkin." terang Theresa masih tak percaya sekaligus takjub dengan pepohonan berdaun semerah darah yang berguguran membanjiri tanah. Indah, tapi mengerikan.
Apa yang dimaksud oleh wanita ini bersumber dari apa yang dia pelajari dari teori A. Einstein. Dikatakan bahwa waktu dipengaruhi oleh kecepatan. Semakin cepat sesuatu bergerak maka waktu menjadi lambat.
"Pengetahuan nenek moyang kita lumayan juga-" ucap Castriel hendak bercanda, namun terkesan menyindir.
Kecuali si Castriel, semuanya menatap Theresa. Mereka seperti menduga ada fakta baru yang melebihi sebuah perjalanan waktu disini.
-----