10| Scientist I Two White Wolves

1223 Kata
Mata Theresa sulit terbuka, mengantuk— tapi kemudian ada ucapan “bisa ular” terngiang di kepalanya, ia pun bangun. Setelah merapikan ranjang, ia keluar menuju ruang tamu. Ternyata di atas karpet sudah tertidur tiga makhluk hidup buas yang ia benci, Firio dan dua serigala putih. Pria itu tampak nyenyak dan hangat dalam perlindungan bulu tebal itu. Theresa memperhatikan mereka cukup lama, lama sekali sampai tak sadar dari awal dia yang diperhatikan. Firio dan serigalanya kompak membuka mata. Sorot mata dingin mereka terarah padanya, bagaikan tusukan pedang. “Kau berniat melukaiku?” tanya Firio bangun, masih terduduk di antara dua serigala putih itu. Ia mengelus rambut mereka dengan sayang. “Tidak, aku hanya kagum bertemu Jon Snow.” Theresa balik memberikan tatapan tajam. “Sebaiknya kukenalkan padamu, ini saudaraku, ini kakakku Kye—” kata Firio mengacak bulu kepala serigala di sebelah kanannya. Lalu beralih ke serigala satunya. “Ini Kade, adikku.” Theresa tak bisa berkata-kata. Di matanya, kedua serigala itu tidak ada bedanya sama sekali. Padahal kalau saja ia teliti, Kye memiliki tubuh yang lebih besar dibandingkan Kade. “Kau— benar-benar Mowgli? Kau tidak punya beruang sebagai teman dan macan kumbang sebagai paman, bukan?” tanya wanita ini menahan napas sesaat, syok mendengar seorang pria mengaku kakak beradik dengan binatang. Firio tahu ejekan itu. Dia hanya tertawa palsu, lalu menjelaskan, “aku dilahirkan di keluarga ilmuan yang menjadi incaran saat peperangan. Semua keluargaku dihabisi, jadi kami hidup di hutan, tapi sayang orangtuaku ketahuan dan mati dibunuh oleh pemerintahan Neo, aku diasuh oleh ibu serigala setelah itu.” Theresa mulai serius. “Keluargamu tawanan perang? Bukannya perang sudah selesai?” “Memang sudah, tapi sisa-sisa orang paling berpengaruh saat peperangan dihancurkan oleh pemerintahan Neo. Kebetulan kakek buyutku salah satu dari jajaran ilmuan yang menciptakan peledakan masal untuk perang, hampir seluruh garis keluargaku itu berpengaruh.” “Apa yang terjadi kalau Neo tahu kau— Aisla dan yang lainnya—” “Ya tidak apa-apa karena aku ini— warga liar yang pastinya tak dipercaya kalau punya otak brilian,” sela Firio dengan seringai lebar, “lagipula di luar dinding ini, hukum rimba berlaku, kau tak bisa main masuk wilayah distrik lain dan berharap bisa keluar lagi.” “Oke, aku tidak peduli kalau begitu, yang penting kapan kau akan memperbaiki LYNX-nya?” “Kau sudah mencuci bajuku?” “Belum.” “Cuci dahulu, dan buatkan aku dan dua saudaraku ini sarapan daging lagi.” “Kau—” Theresa tak sanggup mengumpat terus menerus. Dia begiu gemas ingin mencakar wajah pria ini. “Cepat lakukan, atau kau yang akan kami makan,” ancam Firio membasahi bibir, yang langsung membuat kedua saudaranya bersiap menerkam Theresa. Tak punya pilihan lain, Theresa kabur ke belakang dengan mulut terus mengomel. Caci maki yang terlontar dari mulutnya tidak berhenti juga. Di kamar mandi, sedang mandi maupun mencuci, di dapur, sedang memasak, dia tetap marah-marah. Ia tak peduli sekalipun diberikan tatapan mengejek oleh Firio, dia memilih berdiam di dalam kamar setelah sarapan. Waktu berlalu begitu cepatnya dan dia tetap memeluk kaki sendiri di atas ranjang, menanti kapan bisa lepas dari dunia mengerikan ini. Mendebat Firio takkan ada habisnya, pria itu keras kepala— dan di luar banyak sekali binatang bergigi taring, mana mungkin lari mencari Aisla. Tak berselang lama, pria itu membuka pintu kamar tanpa mengetuk dahulu. Dia berkata, “baiklah, karena aku sedang tak ada kegiatan di tambang, ayo kita ke bangunan elektronik tempatmu datang— jangan menangis begitu, kau membuatku ingin tertawa terus.” Mata Theresa langsung berbinar. “Benarkah?” “Ya, ayo cepat— aku bisa berubah pikiran dalam hitungan detik,” kata Firio kembali bernada culas, ia pergi keluar rumah. Theresa berlari mengikutinya. Suasana sepi terjadi di luar rumah, tak ada siapapun ataupun binatang yang tampak berkeliaran. Akan tetapi ada mata-mata kuning yang berkilauan di balik tembok puing bangunan sekitar, mereka selalu waspada pada orang asing. Sarang binatang buas, pikir Theresa muak. Di depan teras sudah ada Kye dan Kade yang sudah menanti mereka. Firio menunduk dan berkomunikasi dengan mereka, dan itu membuat Theresa curiga. “Kau naiklah ke punggung Kade,” perintah Firio menuding Kade yang sudah siap ditumpangi. Theresa mendehem, membasahi tenggorokannya yabg mendadak kering. “Maaf?” “Naik.” “Memangnya serigala bisa dinaiki?” “Ini era berbeda, ukuran serigala menjadi lebih besar dan kuat. Sekarang cepat naik.” “Begini, maksudmu aku harus naik serigala putih itu.” “Iya, s****n, santai saja, ini hanya serigala, bukan naga.” “Jaraknya tidak jauh, dan aku tidak mau menaiki serigala tanpa pengamanan yang jelas—” tolak Theresa tak kuat bertemu pandnagan dengan mata Kade. “Kalau jatuh kepalaku bisa hancur.” “Kau naik dan pegangi bulu di lehernya, Manja.” “Aku harus?” “Tiga detik, kau tidak naik, kita batal—” “Oke, oke, Jon Snow, aku naik!” sela Theresa buru-buru menaiki punggung Kade seperti yang diperintahkan. Keseimbangannya payah, dia tak pernah sekalipun menunggangi binatang selama ini. Saat Kade melaju selangkah saja, dia hendak terjungkal ke belakang. Firio mencontohkan memegang bulu leher yang benar. “Pegang erat, tapi jangan kasar—” Dia menepuk punggung Theresa sekali seraya menegaskan dengan lantang, “Lalu tegakkan punggungmu, jangan lembek begini! Kau manusia, bukan daun!” Theresa tak nyaman, tapi terpaksa mengikuti intruksi itu. Pikirannya agak kalut karena Firio sepertinya tidak sadar kalau terlalu mendekatkan diri ke padanya layaknya instruktor. “Fokus— fokus.” Ia menghala napas panjang. “Kau dengar tidak?” sergah Firio kesal, merasa wanita ini mengacuhkannya dari kemarin. “Pakai otakmu, Theresa yang kukenal itu mudah memperlajari hal baru.” “Well, Tuan, aku bukan Theresa yang kau kenal!” Theresa mengingatkan. Matanya berkilat marah saat bertatapan dengan mata hitam Firio. Awalnya memang hanya amarah yang tampak, tapi makin lama makin memudar— Mata Firio benar-benar hitam menghayutkan seperti lubang hitam, rasanya mustahil keluar kalau sudah terperangkap. Firio tertegun, juga memandangi mata coklat terangnya. Warna meneduhkan, seperti langit sore, membuat suasana hatinya tenang. Tanpa ia sadari, tangannya merambah ke surai merah yang tergerai itu. Indah, terang, dan memancarkan aura hangat. Hampir tidak pernah ia menemui wanita berambut merah mempesona di masa ini. “Kau sangat cantik, Theresa,” ungkapnya begitu saja. Ia menyunggingkan senyuman kecil, begitu tulus, tatapannya berubah menghangat, hanya cinta yang mengalir dalam disana sekarang. Theresa sendiri masih tersedot dalam pupil hitam itu, napasnya tertahan, berusaha keluar— tapi sentuhan Firio makin membuatnya kaku. Kye menggeram, membuyarkan lamunan Firio yang sudah terlampau tinggi. “s**l, aku tidak mengatakan apapun barusan, kau dengar itu!” sentak Firio menjauh dari Theresa, membuang muka seraya mengumpat dalam bahasa manapun yang ia tahu. Theresa bisa bernapas lega. Ia langsung membalasnya dengan sindiran, “kalau kau cinta sekali dengan Theresa, maka perbaiki LYNX-nya, kau bisa bertemu dia— dan melampiaskan kerinduanmu padanya.” Firio berkata singkat, “lupakan.” Kye maupun Kade saling melolong pelan, seperti mengejek atau menggoda Firio, dan itu benar saja— pria itu langsung memberikan tatapan sebal pada mereka. “Oke, jangan banyak bicara lagi, ayo berangkat,” katanya sambil menepuk punggung Kade. Kade pun berlari, membuat Theresa menjerit kencang, rasanya lebih buruk ketimbang menaiki komidi putar rusak. “KAU s****n, FIRIO!” teriaknya di sepanjang jalan. Firio menaiki punggung Kye, lalu menarik pelan bulu lehernya. Seketika itu pula sang serigala pun mengekori mereka. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN