BAB 8

1606 Kata
Selepas subuh aku membaca dua lembar Al-Quran. Rutinitasku setiap hari. Kuwajibkan diriku walau satu ayat saja. Kata ibuku, Quran lah teman kita yang setia di akhirat. "Di Padang Mahsyar nanti, jarak matahari hanya sejengkal dengan kepala kita, Arsih. Orang yang membaca Qur'an akan dinaungi oleh Quran yang dibacanya semasa hidupnya." Begitu nasehat ibuku selepas subuh, saat masa sehatnya. Setiap hari tanpa bosan ibu mencekokiku dengan petuah-petuah itu. Hingga ternyata tertanam sampai membentuk kebiasaanku. Aku bersyukur. Setelah selesai, aku menanak nasi di rice cooker. Dengan cekatan, aku membuatkan kopi untuk Wak Yanto lalu bergegas ke gudang. Harapanku, hari ini sudah bisa aku tempati. Mungkin dengan begitu, Wak Erni malas memanggilku ke luar. "ALLAHUAKBAR ...!!!" teriakku kaget. Segera kututup mulutku agar tak kelolosan lagi suaraku ini. Aku menoleh kiri kanan, memastikan tidak ada seorang pun sedang memperhatikanku. Lebih-lebih wewe gombel itu. Mataku membelalak tak percaya dengan apa yang kulihat. Terkejut itu pasti, sebab apa yang kulihat benar-benar di luar dugaanku. Kutarik nafasku dalam-dalam. Kugigit bibir bawahku agar aku yakin ini bukan mimpi. Ini nyata ...? "Bagaimana? Kamu suka?" Tiba-tiba terdengar suara dari belakangku. "Kamu?" Aku terkejut, mulutku masih menganga. Pria yang semalam mengusik lelapnya tidurku, sekarang ada di depanku. Sesubuh ini. "Aku tidak tahu seleramu, tapi aku rasa, perempuan tidak bisa menolak nuasa merah muda, 'kan?" "Apa Wak Er tahu ini?" selidikku tiba-tiba menjadi panik. "Sepertinya, nggak," jawabnya santai sembari mengelap tangannya yang nampak kotor. "Kenapa kamu melakukan ini? Aku bahkan hampir lupa namamu. Ba-badai," ucapku masih shock. "Arif Badai Kurniawan.". Pemuda itu mengulurkan tangannya. Aku masih bergeming. Jantungku seperti akan jatuh dari tempatnya. Melihatku masih bingung, Badai menarik tanganku masuk. Aku terkesiap. Berani sekali dia menyentuhku. Aku menghempaskan tangannya. "Maaf, aku terlalu antusias. Gimana? Kamu suka tidak?" "Iya, suka," jawabku pelan. Mataku berkeliling memperhatikan sekelilingku. Ruangan kumuh bagai sarang dedemit berubah menjadi ruangan yang indah bak di dunia peri. Dinding yang menyeramkan itu ditempeli stiker bunga Sakura lengkap dengan gambar burung yang bertengger juga berterbangan. Ada gambar sungai di dinding bawah lalu rumput hijau mengelilinginya. Sungguh indah sekali. Lantai yang menghitam ditutupi debu itu mengkilat bersih. Walau ada beberapa bagiannya yang sudah retak karena usia, ruangan itu tetap sempurna buatku. "Kau melakukannya ini sendiri?" tanyaku memastikan. "Dibantu jin kifrit," kelakarnya. "Astagfirullah, pantas saja aku merinding," timpalku membalasa bualannya. "Huss ... aku hanya bercanda." Badai tertawa. Gigi putih dan rapinya terlihat jelas. Hati kecilku tersenyum. "Sejak kemarin sore aku di sini. Kukira kamu ke sini. Aku pun bermalam di sini. Belum tidur sedikit pun," lanjut Badai. "Lalu darimana semua ini?" tatapanku belum bisa teralihkan dari pemandang sekelilingku. Benar-benar indah di mataku yang seorang gadis dusun yang kumuh. "Adalah ...," kilah Badai sambil menyandarkan dirinya ke dinding. "Aku bisa membantu membawa barang-barangmu ke sini. Paman Yanto sudah sangat tua untuk kamu andalkan membawa lemari dan kasur. Kamu jangan sungkan." Badai lagi-lagi menawarkan bantuan dengan senyum kecil yang tak lekang dari bibir tipisnya itu. Aku terdiam. Sedikit gamang jika kuungkap sebenarnya. Tapi aku tidak ingin dia salah mengira. Di keluarga ini, aku berbeda dengannya. "Aku adalah yatim piatu. Aku terpaksa tinggal di sini karena hanya Wak Yanto kerabat terdekatku dari ayahku. Aku tidak membawa lemari apalagi kasur. Juga di sini aku tidak punya fasilitas itu." Aku menghela nafas, berat rasanya. "Aku hanya membawa tas besar yang isinya pakaianku dan sedikit perlengkapan mandi. Hanya itu. Wak Erni sudah menyiapkan untukku dua tikar pandan dan satu bantal. Aku bisa memindahkannya sendirian," pukasku menahan rasa malu yang luar biasa. Badai terpaku. Laki-laki itu mungkin merasa kasihan padaku. Bisa jadi setelah ini, dia akan menyesali dirinya karena menyiapkan semua ini hanya untuk seorang gadis miskin sebatang kara. "Tidak mengapa, lupakan saja. Aku harus kembali sebelum bibi tahu aku tidak pulang sejak kemarin," ujarnya cepat. Badai bergegas seperti sangat terburu-buru. Dugaanku sepertinya benar, dia merasa risih setelah tahu kebenarannya. Lalu apakah aku harus menyesal? Sungguh tidak akan. Aku memiliki rencana bagus. Aku pun bergegas masuk kamar Rasyid mengambil dua tikar pandan dan bantal yang sudah disiapkan Wak Er. Aku juga membawa buku catatanku lengkap dengan penanya. "Arsih, kau kah itu?!" Suara Wak Erni mengagetkanku dari ruang TV. "Nggih, Wak," jawabku. "Kamu ngapain masuk rumah bawa debu?! Belum selesai pekerjaanmu?!" cecarnya. "Be-be-belum, Wak! Sedikit lagi!" teriakku berbohong. Akupun lekas masuk gudang cantik itu lalu kukunci pintunya. Kugelar tikar dan kurebahkan diriku di atasnya. Sungguh hari ini menyenangkan sekali. Setelah puas dengan pena dan catatanku, aku kembali ke dalam rumah. Menuju kamar mandi, membersihkan diri. Ikan tongkol balado dan sayur bening kelor jadi menu siang ini. Aku memikirkan cara bagaimana bisa makanan ini juga bisa kunikmati. Wak Erni masih di depan TV. Sesekali ia ke dapur memerintahku berbagai hal atau sekedar mengatakan 'irit minyak'. Sungguh andai bisa, sekalian saja aku ke Saudi jadi TKW. Capeknya sama, tapi dapat upah. Aku menapik khayalanku lagi. "Kau makan pakai sayur saja, anak gadis gak baik makan ikan, badan dan aset masa depanmu bisa amis," cerocosnya memantauku. Lagi-lagi dia melarangku dengan alasan yang tidak logis. "Nggih, Wak," jawabku santai. Ingin rasanya aku menambahkan, bagaimana dengan Ana yang rakus makan ikan? Apa dia seorang waria? Namun, kuurungkan. Aku ingin hari ini tidak ada perdebatan. "Arsih bawa sayur kelor ini saja ya, Wak," pintaku. "Nasinya jangan banyak-banyak, mahal beras," tatapnya sinis. Luar biasa hamba Allah satu ini. Aku pun berlalu ke kamar sakuraku. Kukeluarkan ikan tongkol dari dalam saku celana. Aku membungkusnya menggunakan plastik kecil. Sungguh aku malu dengan diriku, tapi aku terpaksa. Aku juga ingin makan enak dan benar, aku makan sangat lahap karena memang sangat lapar sekali. Tiba-tiba.... Tok ...!! Tok ...!!! Tok ...!!!! Hampir saja apa yang sedang kukunyah menyembur. Aku memukul-mukul dadaku agar aku tidak tersedak. Entah apa hubungannya, spontan saja. Tok ...!! Tok ...!!! Tok ...!!!! Suara itu lagi. Aku menelan apa yang tersisa bagai tak berkunyah. Aku takut didapati masih dengan barang 'curianku'. Ya Allah ... nasibku .... "Hay!" sapa Badai dengan aroma parfum semerbak memenuhi ruangan. "A ... aak ...." Aku menelan semua yang ada di mulutku dan membuat dadaku terasa ditusuk. Sungguh memalukkan. "Are you oke?" wajahnya nampak khawatir. "Heeemm ...." Aku menarik nafas. Badai menyerahkanku dua pelastik hitam yang cukup besar. Terlihat dia cukup kepayahan membawanya. "Ini, pakailah. Pasti ini akan bermanfaat untukmu." Pria itu menoleh ke belakang seperti takut ada yang melihatnya. "Cepat, ambillah! Nanti keburu ketahuan bi Er!" serunya kembali menyodorkan dua plastik itu. Gugup tanganku terulur menerima pemberiannya. Penasaran, kubuka di depannya. Sebuah kasur pompa lengkap dengan seprai dan selimutnya. Lemari kain bongkar pasang juga ada. "Ini untukku?" Aku masih tidak percaya. "Yups ... sementara pakai ini dulu supaya kamu tidak kedinginan." "Terimakasih banyak ...," lirihku hampir kehilangan suara. Perbuatan baik Badai sungguh menyentuh hatiku. Tak pernah ada laki-laki yang memperlakukan aku sespesial dia. Aku merasa memiliki arti di depannya. Tidak peduli dia orang baru tapi perlakuannya seperti sudah kenal lama. Aku tidak salah kan jika semakin membuka hatiku untuk dia penuhi setiap sisi ruangnya? Oooh ... aku sangat tersentuh. "Aku tidak tahu harus membalas dengan apa semua kebaikanmu. Aku tidak memiliki apa-apa untukku berikan," ungkapku ragu. "Tidak masalah, aku ikhlas membantu. Kamu keponakan dari paman Yanto berarti kamu adalah saudariku," tanggapnya terdengar meyakinkan. "Aku ta--" "Arsih!" Tiba-tiba suara Wak Er membuyarkan kalimat yang ingin kusampaikan. Badai juga terkesiap lalu segera masuk rumah. Aku langsung menyimpan pemberian Badai lalu segera masuk dapur untuk membuat teh untuknya. Wak Erni tidak menyadari kami datang hampir bersamaan. Di ruang tamu, badai seolah-olah tidak mengenalku. Hatiku merasa ada yang sedang menggelitik. Aku merasa Badai memberi nuansa baru di rumah ini. Kehadirannya mengubah suasana menjadi hangat dan menyenangkan. Badai sedari tadi memperhatikanku hanya tersenyum kecil. Aku pun sama. Senyum tulusku tersimpul untuknya. Beberapa kali kami saling curi pandang. "Arsih, diam di sini! Carikan aku kutu. Gatal sekali dari tadi," perintah Wak Erni sambil bersender di sofa. "Nggih, Wak," jawabku. Aku memintanya duduk di bawah agar aku leluasa dan fokus. Ia menurutiku. Kesempatan emas untukku sedikit meluapkan emosiku pada wanita tua ini. "Wak, kalau kutunya Arsih tindih langsung di kulit kepala, pasti lebih enak," rayuku. "Ya ...." Suara Wak Erni terdengar sedang menahan kantuk. Aku pun melakukan aksiku. Kujepit hasil tangkapanku dengan kedua kuku jempolku dan menekannya langsung di atas kepalanya. Wanita itu terseok hampir akan menyentuh lantai, tapi dia tidak protes. Malah minta lagi. Aku sangat lelah menahan mulutku agar tidak terdengar suara cekikikanku. Aku merasa bersalah tapi kenapa sangat mengasikkan. Habisan sih, ngeselin. "Badai, kapan balik ke Sumbawa?" suara Wak Erni setengah tidur. Telingaku melebar bersiap menyimak. "Besok, Bi," jawab Badai sambil menyeruput teh buatanku. "Kamu 'kan gajinya besar. Jangan cari wanita yang tidak bekerja. Bisa habis uangmu." Badai hanya tersenyum, lalu menatapku. Apa maksudnya menatapku begitu? Aku grogi. "Wak, Arsih cuci piring dulu." Aku mencari alasan. Aku pun bangkit dan menuju dapur tanpa persetujuannya. Pikiranku melayang membayangkan ruangan bunga Sakura dan perlengkapan yang di bawa Badai untukku. Tiba-tiba aku merasa menjadi orang spesial bagi pemuda tampan, baik hati juga mapan itu. Aku tersipu malu. "Masih sibuk?" sapa Badai yang tiba-tiba muncul. Aku gelagapan. "Ng-gak juga, sedikit saja ini," balasku ramah. Laki-laki di hadapanku ini sudah banyak membantuku, bagaimana bisa aku mengabaikannya? "Besok aku pergi. Kamu di sini baik-baik ya. Jaga dirimu," ucapnya pelan. "Kamu kerja di mana?" Aku memberanikan bertanya. "Aku tekhnisi di sebuah tambang emas di Sumbawa. Aku freelance. Aku juga membantu ayahku dalam bisnisnya." "Oh ... hati-hati dimanapun berada." Aku merasa sudah kehabisan kata-kata. "Jaga dirimu, juga ... hatimu sampai aku kembali," suaranya lembut tapi mampu membuat jantungku langsung meloncat kencang. Setelah membuat guncangan dalam hatiku, laki-laki itu pergi membawa segelas air putih namun dia sesungguhnya sudah meninggalkan rasa haus untukku. Aku meneguk air sekaligus dua gelas. Pikiran sudah kemana-mana. Mungkinkah dia jodohku? Aku tersipu malu dalam bunga hati yang mulai mekar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN