Rencana Huda

1105 Kata
Sejak cerita ibu kemarin, jujur saja aku kesal dengan Mbak Sinta dan Mila. Tega sekali mereka memanfaatkanku dan ibu. Menggunakan uang ibu untuk keperluannya sendiri. "Mas, uang yang kutransfer tiap bulan buat ibu ternyata nggak sampai ke ibu." "Maksudnya gimana itu?" tanya Mas Huda sembari menyeruput madu hangat yang baru kusajikan. Sebelum tidur, Mas Huda memang terbiasa minum madu. "Mereka bilang ke ibu cuma kutransfer lima ratus ribu, Mas. Entah sisanya buat apa. Pantes baju-baju ibu juga nggak ada yang baru. Tetangga juga sering menyindirku. Berarti selama ini Mbak Sinta sama Mila memang sengaja menjelek-jelekkanku di depan ibu dan para tetangga. Ngeselin banget mereka." "Memangnya kamu sudah tabayyun? Jangan asal nuduh, Sayang. Nanti jatuhnya fitnah," balas Mas Huda lagi. Dia memang selalu begitu, nggak seru tiap kali kuajak ghibah. Bukan ghibah ini mah memang kenyataan. Ibu sendiri yang cerita. Masa' ibu dusta? Lebih nggak mungkin, kan? "Ibu yang cerita soal ini kok, Mas. Masa ibu bohong dan sengaja adu domba anak-anaknya. Ya nggak mungkinlah. Kamu ini ngeselin banget sih, Mas. Tiap kali aku ceritain soal tetangga yang nyinyir juga pasti jawabannya santai. Mereka nggak berani nyinyir kalau ada kamu, Mas. Coba kalau nggak ada, kumat lagi nyinyirnya level 30 saking pedasnya." Mas Huda menatapku lekat seolah tak percaya. Memang benar kok kalau beberapa tetangga sama kakakku itu rese. Tiap kali ada Mas Huda mereka selalu diam seribu bahasa. Kadang ngomong tapi pakai bahasa Jawa yang Mas Huda tak paham maksudnya. Maklum saja, Mas Huda memang asli Jakarta jadi kurang paham bahasa Jawa meski kadang ngerti maksudnya sedikit-sedikit saja. "Kamu buktikan saja ke mereka kalau selama ini sudah transfer ibu empat juta. Jadi, mereka nggak nyindir kamu anak durhaka lagi, Sayang," balas Mas Huda lagi begitu santainya. "Aku nggak simpan bukti transfernyalah, Mas. Sudah dari zaman kapan, masa disimpan. Memangnya aku online shop yang harus simpan bukti transfer buat dokumentasi? Lagipula aku nggak cuma disindir anak durhaka, mereka juga mempermasalahkan panggilan mama papa buat kita. Mereka bilang itu panggilan cuma cocok untuk orang berpendidikan dan kaya yang punya rumah gedong. Maksudnya rumah mewah apa bertingkat gitulah. Rumah bagus intinya. Jadi orang macam kita ini nggak pantas mendapatkan panggilan begitu katanya, Mas," ucapku lagi semakin menggebu. Ingin kutumpahkan semua rasa ini padanya. Biar Mas Huda tahu, kekesalanku ini rasanya sudah semakin menumpuk. Lagi-lagi bukannya ikutan kesal saat mendengar ceritaku, Mas Huda justru tertawa sembari menggelengkan kepalanya, bahkan dia juga bilang kalau tetanggaku itu bukan rese, tapi lucu dan unik. Segala panggilan anak ke orang tua didasarkan pada materi dan jabatan segala. "Beneran, Mas. Kalau nggak percaya, tanya anak-anak aja. Mereka sering nangis karena diledekin teman-temannya hanya sebutan itu. Anak-anak sekarang kan suka saling bully. Kasihan mereka. Makanya aku itu minta sama kamu, sesekali tunjukkan mobil kita ke mereka biar nggak selalu diremehkan begini. Aku sakit hati, Mas. Dibilang merantau hampir 20 tahun di Jakarta pulangnya cuma bawa anak doang. Kesel. Sebel. Gemes." Air mataku meleleh begitu saja. Sebenarnya tadi mau pura-pura menangis, tapi entah mengapa air mataku beneran menetes ke pipi. Mungkin aku memang mulai lelah jika terus dicaci maki. Sebenarnya aku selalu cuek dan nggak mau terlalu mikir pusing. Toh, aku nggak pernah utang ke mereka. Di tukang sayur pun aku sengaja beli yang enak-enak, tanpa hutang. Namun kadang ada juga titik lemahku. Iya, kan? Hidup di kampung begini memang serba salah. Nggak belanja disindir nggak punya duit. Giliran belanja banyak dan enak-enak, eh disindir lagi. Mereka bilang, kalau hidup di kampung harus hemat karena penghasilan minim apalagi suami pengangguran. Jangan sampai besar pasak daripada tiang. Duh aduh! Kadang aku heran, apa mau mereka sebenarnya. Seperti simalakama. Begini salah, begitu pun salah juga. Awalnya aku tak terlalu peduli. Namun lama-lama kesabaranku tipis juga kalau hampir tiap hari kena sindir dan caci maki. Memangnya mereka pikir aku ini manekin yang nggak punya hati? Mas Huda memeluksembari mengusap pelan pucuk kepalaku. "Ningrum yang selalu semangat dan pantang menyerah itu ternyata bisa nangis juga cuma gara-gara disindir tetangga, ya?" ucapnya lirih lalu mencium keningku pelan. "Kalau satu dua kali nggak masalah, Mas. Kalau tiap hari ya ngamuk. Apalagi mereka bawa anak-anak segala. Kamu sebagai kepala keluarga harusnya bisa lindungi kami dari nyinyiran mereka, bukan diam saja," omelku lagi. "Iya, Sayang. Maaf. Kamu lihat sendiri kan, mereka selalu baik-baik saja tiap di depan Mas. Lagipula Mas pikir kamu bisa menaklukkan nyinyiran mereka. Biasanya kamu kan banyak akalnya." "Otakku rasanya buntu kalau dikeroyok begitu. Apalagi kalau ibu dengar aku mulai balik ngomel, dia pasti menarikku masuk ke rumah. Tensi ibu bisa kambuh lagi kalau tiap hari lihat aku meladeni nyinyiran mereka, Mas." Mas Huda kembali mencium keningku menenangkan. "Iya, Sayang. Kita selesaikan masalah ini satu-satu. Soal bukti transfer ke Mbak Sinta dan Mila, nanti Mas printkan mutasinya dari internet banking. Biar ibu dan tetanggamu itu percaya kalau kamu nggak durhaka seperti yang mereka kira. Kalau masih nggak percaya juga, bulan depan kita kan ke Jakarta nanti kamu cetak mutasi dan tunjukkan buku rekeningnya sekalian." Aku mengangguk saja. "Terus soal sindiran mereka yang bilang percuma merantau bertahun-tahun kalau pulang cuma pulang bawa motor jadul doang, gimana? Apa kamu mau diam saja?" "Ohya? Mereka bilang begitu?" "Iya. Saat si vespa diturunkan dari truk. Vespa kan jadul, Mas. Semahal apapun kamu modifikasi, orang kampung mana tahu. Yang penting judulnya vespa. Si motor jadul," ocehku lagi membuat Mas Huda kembali mengusap punggungku. "Yasudah. Kalau begitu besok Mas kasih kejutan buat mereka supaya kamu nggak terus-terusan dihina. Sekalian ajak Mbak Sinta dan Mila, ya? Kita bicarakan baik-baik masalah transferan itu, supaya kamu dan ibu juga lega, sebenarnya dikemanakan uangnya. Jikalaupun mereka salah, maafkan saja, Sayang. Walau bagaimanapun mereka kakak kandungmu. Ibu pasti juga akan sedih jika melihat kalian berantem cuma gara-gara uang yang nggak seberapa." "Iya, Mas. Bukan masalah nominalnya, cuma amanah tidaknya. Kesal aku. Gara-gara mereka juga akhirnya aku kena fitnah tetangga. Pakai sebut anak durhaka pula." "Iya, Mas tahu kekesalanmu. Makanya besok malam kita bicarakan masalah ini biar sama-sama lega." "Iya, Mas. Ohya, memangnya kamu mau kasih kejutan apa, Mas?" tanyaku dengan wajah mulai berbinar. Aktingku menangis tadi boleh juga. Akhirnya bisa menaklukkan hati Mas Huda. "Kalau dikasih tahu sekarang namanya bukan kejutan dong, Sayang. Besok juga tahu, ingatkan Mas kalau lupa. Besok harus pergi jam sembilanan. Sekarang kita tidur dulu, jangan nangis-nangis lagi. Mas sebenarnya tahu kalau kamu cuma akting nangisnya." Kucubit dan kugelitikin saja pinggang Mas Huda sampai dia menjerit sakit dan geli. Dia memang sering kali bisa menebak isi hatiku. Selalu berusaha mencairkan suasana supaya nggak terlalu tegang. Dia bilang, masa laluku sudah cukup dengan tangisan, jadi kalau bisa masa kini diisi dengan senyum dan kebahagiaan. Segala sesuatu jangan dijadikan beban karena kita harus bisa menikmati hidup sesuai goresan Tuhan. ???
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN