Sepanjang resepsi pernikahan berlangsung, para tamu undangan dimanjakan dengan berbagai hidangan yang lezat, dekorasi yang indah, souvenir eksklusif dan juga alunan musik yang merdu mengalun indah. Tidak sedikit dari para tamu undangan yang justru sibuk mengabadikan dirinya di beberapa spot yang memang sengaja dibuat untuk berfoto. Sebagian tamu lainnya terlihat berdiri di sisi panggung yang tingginya hanya sejengkal, menikmati lagu yang sedang dinyanyikan oleh band terkenal sambil sesekali bergerak mengikuti alunan musik dan ikut bernyanyi seperti sedang menonton konser musik.
“Ris…” Panggil Riksa sembari melirik ke arah tamu yang datang mendekat untuk bersalaman. Memberikan kode pada Riska untuk segera berdiri menyapa tamu mereka.
Riska yang baru saja duduk, perlahan kembali berdiri. Riksa membantunya dengan mengulurkan tangan agar sang istri berpegangan padanya.
“Thanks ya, Bang.” Ucap Riska sambil tersenyum manis, yang dibalas dengan anggukan singkat suaminya.
“Aku juga sudah capek. Sebentar lagi selesai kita bisa istirahat.” Bisik Riksa di telinga istrinya.
Sekilas, mereka tampak seperti pengantin baru pada umumnya. Terlihat serasi dan bahagia. Riksa bahkan mungkin sudah lupa bahwa beberapa menit yang lalu dia hampir saja memeluk wanita lain di depan istrinya sendiri. Hal yang membuat perasaan Riska menjadi tidak karuan, namun berhasil ditutupinya dengan senyuman. Riska masih terngiang-ngiang saat tadi Riksa jujur mengatakan siapa Aya sebenarnya, meskipun sebelum Riksa memberi tahu, dia sudah lebih dulu tahu dari Mira beberapa hari yang lalu.
“Dia pacar abang ya?” bisikan Riska terdengar lirih di telinga Riksa.
Riksa menggeleng pelan, “Mantan pacar. Baru putus tiga hari yang lalu.”
Saat itu, Riska bisa merasakan ada jerat tak kasat mata yang begitu kuat membuat dadanya sesak dan perutnya mendadak mual. Senyuman seketika hilang dari wajahnya, namun hanya sebentar. Karena Riska dengan cepat menyadari bahwa dia masih berada di pelaminan, dan harus senantiasa tersenyum menyambut tamu undangan yang datang.
“Kenapa putus, Bang?” Tanya Riska dengan begitu bodohnya.
Riksa sejenak bingung harus menjawab apa, dia lalu mengangkat jemarinya yang telah berhias cincin berwarna putih. Cincin pernikahan mereka.
“Menurut kamu?” Ucapnya balik bertanya.
Riska menggeleng dengan polosnya.
“Kamu mau suami kamu punya cewek lain?” tanya Riksa pada akhirnya, yang kemudian membuat Riska paham. Riksa putus dari kekasihnya karena mereka menikah.
“Satu yang perlu kamu ingat, meskipun kita dijodohkan dan mungkin perasaan di antara kita belum ada, nggak boleh ada perselingkuhan dalam rumah tangga kita. Kalau seandainya nanti kamu ketemu dengan orang yang kamu cintai, kamu harus jujur. Nggak boleh ada kebohongan di antara kita.”
Riska terkesiap mendengar ucapan Riksa yang cukup panjang. Dia tidak mengerti dengan jalan pikiran lelaki yang kini menjadi suaminya.
“Kenapa abang bisa berasumsi bahwa nanti akan ada lelaki lain yang aku cintai? Sementara suami aku itu abang sendiri.”
“Kita nggak tahu apa yang akan terjadi kedepannya nanti, Riska.” bisik Riksa perlahan.
Riska menatap suaminya, “Apa di dalam pikiran abang sudah terlintas kalau suatu saat kita akan berpisah, Bang?”
Pembicaraan yang tidak biasa bagi sepasang pengantin baru itu harus terhenti sejenak karena antrian tamu yang akan bersalaman sudah mulai banyak. Tidak mungkin mereka membahas hal itu dan didengar oleh tamu yang datang. Maka, keduanya kembali memasang wajah bahagia dengan senyuman yang indah dari keduanya. Memang benar mereka berdua memiliki senyuman yang indah dan terlihat serasi. Siapapun tidak akan bisa memungkirinya.
Acara yang akhirnya selesai pada pukul sepuluh malam itu cukup membuat semua kelelahan. Bukan hanya pengantin, namun juga para orang tua mereka. Setelah MC menutup acara, para orang tua segera saja berpamitan untuk beristirahat ke kamar. Malam ini mereka semua memang menginap di hotel ini, karena sejak awal memang sudah bisa dipastikan bahwa acara ini akan menguras tenaga. Sehingga dirasa akan lebih nyaman jika mereka bisa langsung beristirahat di kamar setelah acara selesai tanpa harus kerepotan untuk pulang ke rumah terlebih dahulu.
“Mama papa duluan ya.” pamit kedua orang tua mereka.
Riksa mengangguk, “Iya ma, pa. Kita berdua mau makan malam dulu. Baru habis ini istirahat.”
Riska dan Riksa duduk berdampingan, menikmati hidangan yang disediakan oleh petugas katering. Sepanjang acara berlangsung tadi mereka memang tidak sempat untuk makan karena banyaknya tamu yang hadir. Beberapa menit setelah menyelesaikan makan malam, sepasang pengantin baru itu berjalan bersisian. Tidak ada jemari yang saling bertaut, atau lengan yang melingkar mesra. Mereka berjalan masing-masing, menuju lift dalam diam. Mungkin sedang disibukkan oleh pikiran masing-masing. Entah apa yang akan terjadi malam ini, mengingat semua ini dimulai dengan tidak begitu baik bagi keduanya.
Riksa mendorong pintu kamar segera setelah lampu indikator di gagang pintu berubah menjadi hijau saat cardlock ditempelkan. Tanpa aba-aba atau mempersilahkan wanita terlebih dulu, Riksa dengan santainya melenggang masuk. Riska hampir saja terbentur pintu kamar jika tangannya tidak sigap menahan daun pintu yang otomatis bergerak menutup setelah Riksa melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar.
“BANG…” Seru Riska dengan suara yang cukup keras karena terkejut.
Riksa menoleh, “Oh… Maaf, Ris. Abang lupa ada kamu di belakang.”
“Abang ngelamun ya sambil jalan?”
Riska menarik nafas lalu menghembuskannya perlahan. Sementara itu, Riksa langsung bergerak menuju kamar mandi setelah melepaskan jas yang dikenakannya dan meletakkannya dengan sembarang di atas kasur. Tidak lama kemudian, terdengar bunyi pancuran air dari arah kamar mandi. Riska lalu membayangkan, betapa nikmatnya mandi dengan air hangat. Pasti rasa lelah dan tegang di sekujur tubuhnya akan berkurang. Maka sembari menunggu sang suami selesai membersihkan diri, Riska pun memulai tugasnya sebagai istri. Tangannya bergerak mengambil jas milik Riksa, lalu menggantungnya di lemari agar tidak membuat suasana kamar berantakan dan besok petugas room service bisa membawanya untuk di laundry.
Riska menghangatkan air dengan teko listrik dan membuat teh hangat untuk mereka berdua. Setelah itu dia duduk di depan cermin dan mulai membersihkan wajahnya dari make up yang cukup membuat wajahnya terasa lelah. Tidak lama kemudian Riksa keluar dengan keadaan yang sudah terlihat segar. Rambutnya masih basah, tubuhnya terbalut dengan bathrobe putih yang memperlihatkan sedikit bagian dadanya yang bidang.
“Riska bikin teh hangat, Bang.” Ucap Riska sembari mengalihkan tatapannya dari pemandangan indah berupa sosok sang suami yang entah kenapa terlihat semakin tampan saja.
Tidak ada jawaban, namun Riska melihat sang suami mengangguk.
Tidak mau ambil pusing dengan respon sang suami, Riska memilih untuk beranjak ke kamar mandi. Berendam dengan air hangat pasti nyaman sekali, pikirnya. Maka dia lalu mengisi bathtub dengan air hangat, lalu mulai melepaskan pakaiannya sau per satu hingga tak bersisa.
“Untung aja ini gaun nggak ribet, bisa dilepas sendiri tanpa perlu bantuan orang lain.” Ucap Riska pada dirinya sendiri, dia membiarkan gaunnya teronggok begitu saja di lantai sementara dirinya berjalan mendekat ke arah bathtub.
“Memang, adegan kesulitan lepas gaun sampe harus dibantu suami, mungkin cuma ada di novel. Ckck…” Riska menggeleng, masih berbicara pada dirinya sendiri.
“Ah… Nikmatnya…” Gumam Riska saat seluruh tubuhnya kini terendam sempurna dengan air hangat yang telah dia beri tambahan sabun dengan aromatherapy lavender. Wanginya sungguh membuat rileks.
Sebelumnya, Riska membawa baju ganti ke dalam kamar mandi. Rasanya masih belum siap jika harus berganti baju di kamar, sementara ada Riksa di sana. Jadi saat dia keluar kamar mandi, dia sudah rapi dan nyaman dengan piyama tidurnya. Ekor matanya menangkap sosok sang suami yang sudah terbaring di tempat tidur dengan mata tertutup. Dengkur halus terdengar dari bibirnya yang sedikit terbuka.
Dua cangkir teh hangat yang dibuat Riska masih utuh tak tersentuh. Mungkin suaminya terlalu lelah bahkan hanya untuk sekedar meminum teh buatannya, pikir Riska. Keinginannya untuk minum teh pun menguap tak berbekas. Maka dia pun beranjak ke arah tempat tidur. Meskipun merasa canggung, mau tidak mau Riska merebahkan dirinya perlahan agar tidak mengganggu tidur sang suami.
“Memangnya dimana lagi aku harus tidur kalau bukan di sini? Masa di sofa?” Gumam Riska sambil memejamkan matanya. Mengalahkan segala rasa aneh yang menguasai dirinya karena harus tidur di samping seorang lelaki, yang kini berstatus sebagai suaminya.
“Selamat istirahat, Bang.” Ucap Riska lirih. Lalu kesadarannya pun perlahan menghilang.
Lampu tidur yang temaram menjadi saksi bagaimana sepasang pengantin baru itu menghabiskan malam pertama mereka. Tidur di tempat tidur yang sama, dengan posisi saling membelakangi. Lalu terbang ke alam mimpi masing-masing.
—