Jam istirahat sudah berbunyi beberapa saat yang lalu, siswa SMA Bakti Mulia berhamburan keluar dari ruang kelas. Aku bergabung dengan Eris dan Lia yang sudah terlebih dulu sampai di kantin, duduk disalah satu meja yang sudah penuh dengan makanan. Dari kejauhan perempuan-perempuan itu berteriak histeris, dan geng siswa yang paling terkenal itu sedang berjalan menuju meja kantin yang masih kosong. Ke-empat remaja laki-laki yang hampir semuanya berwajah tampan itu seperti rombongan boyband yang sedang berjalan ditengah red carpet, dengan kamera dan penggemar dimana-mana.
Kevlar dan teman-temannya, aku tidak menolak mengatakan jika mereka memang tampan. Aku beranjak dari tempat dudukku menuju tukang siomay, membeli dua porsi dan membawanya ke tempatku.
“Gila, lo laper apa doyan?” tanya Eris yang terkejut karena aku membeli dua porsi.
“Buat seseorang yang satunya” kataku sambil tersenyum dan bangkit menuju rombongan laki-laki tadi, dari arah yang berlawanan salah satu dari mereka melihatku sedang mendekat dengan sepiring siomay. Kalau tidak salah namanya Ardo, dulu waktu MOS aku pernah satu kelompok dengannya. Dia berbisik kepada teman-temannya, dan sekarang aku berakhir menjadi tontonan dadakan dari mereka bertiga karena Kevlar masih sibuk dengan ponsel pintarnya.
“Hai semua!” sapaku kepada mereka dengan ragu, tetapi mereka tersenyum kecuali Kevlar tentunya.
“Eh, hai. Lo Stela ya mantan kapten tim basket putri?” Ardo yang menjawab sapaku dan dia mengenalku, walaupun masih terasa gugup.
“Iya, gue Cuma mau kasih ini buat Kevlar” kataku malu-malu sambil mengulurkan sepiring siomay yang tadi ku pesan, tapi Kevlar sama sekali tidak menoleh kepadaku ia masih tetap sibuk dengan ponsel pintarnya.
Ardo menyenggol lengan Kevlar membuatnya mengalihkan perhatiannya dari ponsel, ia menatapku dengan tatapan tidak suka. Seakan aku sudah mengganggu , karena aku takut. Ku tundukkan kepala ku dan menatap lantai, tanganku saling berpegangan erat dan berkeringat dingin. Tidak ku sangka berhadapan dengan Kevlar rasanya seperti ini.
“Ngapain?” tanya Kevlar.
Aku mengangkat kepalaku dan menatapnya, walaupun Kevlar cuek dan tidak peduli dengan perempuan yang mengejarnya tetapi ia masih terbilang cukup ramah.
“Ngasih ini buat lo” aku menggeser sepiring siomay itu lebih dekat dengan Kevlar, kedua bola matanya mengikuti gerakan tanganku.
“Oh, makasih”.
“Ya udh gue balik dulu, bye semua!” kataku setelah mendengar ucapan terimakasih darinya, sebenarnya tidak perlu juga yang penting Kevlar menerima makanan dariku itu cukup membuat ku senang. Aku berjalan cepat menuju tempatku, disana Lia dan Eris menatapku dengan tatapan tajam. Aku tidak menghiraukannya , seperti biasa mereka tidak suka jika aku menjadi bagian dari perempuan yang memuja Kevlar dan teman-temannya.
“Lo ngapain sih?” Eris bertanya dengan galak, jika dia berada dalam kartun mungkin kepalanya sudah berasap. Berbeda dengan Lia, dia lebih memilih untuk memakan baksonya yang masih sedikit.
“Ngasih Siomay, kenapa?” aku berpura-pura tidak menyadari jika Eris benar-benar sangat tidak suka. Aku lebih memilih makan, tidak ingin mendengarkan ocehan Eris yang seperti kicauan burung. Dia terlihat semakin marah karena aku sama sekali tidak mendengarkan, dia menyerah dan mulai mendiamkan ku.
Dari kejauhan aku masih memperhatikan Kevlar, dia memakan siomay dariku. Rasanya senyumku tidak bisa ditahan untuk mengembang, perasaan senang membuncah hanya melihatnya menerima sesuatu yang sering ku berikan.
“Udah Stela! Kaya orang gila aja senyum-senyum sendiri. Gue udah berulang kali bilang nggak usah terlalu berharap sama cowok kaya Kevlar, gue takut nanti lo patah hati Stela!” Eris mulai berbicara lagi, kali ini dia lebih tenang. Aku mengangguk dan tersenyum kepadanya , aku tahu dia selalu menyayangiku.
“Eris benar Stela, ini udah dua tahun lebih lo ngejar-ngejar dia tapi selama ini yang lo lakuin belum ada hasil. Dan sampai kapan lo bisa berharap sama dia?” sangat jarang Lia memberikan tanggapan seperti ini, biasanya Lia hanya mengangguk atau iya. Aku tersenyum karena kedua sahabatku memang yang terbaik, memang usahaku mendekati Kevlar tidak ada hasilnya buktinya Kevlar masih sama tidak melirik keberadaanku sama sekali.
Aku tersenyum kepada mereka, lalu melanjutkan makanku yang tertunda.
“Makasih buat saran kalian, tapi gue masih optimis bisa bikin Kevlar berpaling untuk melihat gue” kataku, tampaknya Eris ingin mengatakan sesuatu tetapi bel masuk kelas sudah lebih dulu berbunyi dengan nyaring.
Matahari terlihat mulai tergelincir, aku baru saja selesai dengan kelas tambahan. Kedua sahabatku dan teman-teman yang lain juga sudah pulang dua jam yang lalu, jika bukan karena nilai ulangan yang terlalu jelek kelas tambahan itu tidak mungkin aku dapatkan. Aku berjalan pelan menyusuri setiap koridor kelas yang sudah sepi, hanya beberapa yang masih berlalu lalang. Anak-anak ekskul Basket, aku jadi rindu dengan bola basket. Sudah lama tidak bermain, biasanya hampir setiap sore aku akan bermain dan pulang sekolah terlambat.
Aku terus melanjutkan langkah kakiku menuju lapangan basket outdoor, aku akan bermain sebentar sebelum pulang sekolah. Lagipula Kak Arsen, kakakku juga belum mengabari jika sudah berada dijalan untuk menjemput. Aku melepaskan tas ranselku dan ku letakkan dipinggir, mengambil bola berwarna jingga di pinggir lapangan. Tanganku mulai bergerak mendribble bola tersebut , ternyata tanganku masih lihai bermain basket. Dengan gerakan lincah aku bermain dan menembakkan beberapa kali bola ke ring, dan semuanya masuk dengan indah. Aku terengah , berhenti sejenak karena lelah. Keringatku sudah bercucuran di dahi, baju seragamku juga sudah mulai lengket dengan keringat tambahan.
“Ternyata mantan kapten masih lincah juga ya?” kata seseorang dari belakangku, dia berjalan mengambil bola dan men-shoot dengan sempurna.
“Eh, biasa aja lah. Udah lama juga nggak main ini” kataku membalas perkataannya.
“Eh btw, kok lo masih disini?” tanya ku padanya yang sudah duduk didekat ku. Dia Ares, mantan kapten tim futsal yang sering bermain basket denganku. Dia juga masih sahabatku, dia seorang badboy. Hobi bolos dan merokok di atap sekolah, dia juga sering terlambat pokoknya jika satu hari tanpa keributan yang dia buat harinya kurang sempurna.
“Habis ngecat gudang belakang sekolah, dan nggak sengaja liat mantan kapten basket lagi main sendirian. Lo sendiri?” katanya , pasti dihukum lagi.
“Nilai ulangan fisika gue dapet 10, terus langsung dapet kelas tambahan dari Bu Ajeng”.
Dia tertawa geli, berlalu meninggalkanku dan mulai bermain dengan bola berwarna jingga itu. Bermain dengan lihai, seakan dia memang sangat menguasai olahraga basket, tetapi kenyataannya dia mantan kapten futsal olahraga yang sangat tidak ku sukai. Karena aku tidak bisa untuk sekedar menendang bola. Aku menyusulnya dan ikut bermain sampai lupa waktu.
“Udah Res gue mau pulang, udah sore nih”.
Langit ternyata sudah berubah menjadi jingga, aku meraih tas ransel yang tergeletak diatas lantai semen lapangan. Aku merogoh saku tas mengambil ponselku, ada sembilan panggilan tak terjawab dan sebuah pesan baru dari Kak Arsen.
Kak Arsen
Maaf kakak nggak bisa jemput, kakak masih ngerjain tugas. Naik taksi aja nanti uangnya kakak ganti.
Begitu membaca pesan dari Kak Arsen, tubuhku menjadi lemas. Sudah sore seperti ini apa masih ada taksi yang lewat atau kendaraan umum lainnya? Aku berjalan gontai menuju gerbang sekolah yang sudah tertutup, tetapi tidak masalah aku bisa memanjat atau bisa berputar arah berjalan lebih jauh ke gerbang samping yang jarang dikunci.
"Mau pulang bareng gue nggak?" Kata seseorang yang sangat ku yakini adalah Ares, karena hanya kamu berdua yang masih berada di sekolah. Aku bingung, selain tidak ingin merepotkan Ares juga kekasihnya terkenal dengan sifatnya yang mudah cemburu. Pasti akan menjadi masalah jika dia tahu, aku pulang dibonceng kekasihnya. Tetapi sekarang sudah sore, bagaimana caranya aku pulang.
"Udah nggak usah banyak mikir, ayok naik!"Katanya sambil mengulurkan sebuah helm berwarna hitam.
"Tapi nanti pacar lo salah paham sama gue gimana?" Aku masih belum menjawab iya dan belum menerima uluran helm dari tangannya, sepertinya Ares lelah menunggu jawaban ku. Dengan tiba-tiba laki-laki tinggi dengan rambut sedikit ikal dan bajunya berantakan itu memasangkan helm kepadaku, dan menarikku mendekati motor sport hitamnya .
"Udah, urusan cewek gue aman. Kalo dia salah paham sama lo bilang aja sama gue" katanya yang sudah menjalankan motornya dengan kecepatan standar membelah jalan raya yang dipadati dengan kendaraan lain.
Selama perjalanan pulang aku hanya diam, memerhatikan samping dan sesekali melirik Ares yang matanya terfokus pada jalanan didepan yang sudah mulai lenggang. Sesekali harus berhenti dilampu merah, tetapi Ares dan aku masih tidak mengucapkan sepatah kata apapun. Ares hafal dengan alamat rumahku, dulu dia sering main kerumah apalagi Ares juga kenal dengan kakakku. Tetapi semenjak Ares memiliki kekasih dia jarang ke rumah atau bertemu denganku, tadi adalah sebuah ketidaksengajaan dan aku cukup senang mendapatkannya, dapat bertemu dengan sahabatku.
"Udah sampai buk, enak ya bonceng gue?" Aku tersadar , dan benar sekarang sudah berada dipekarangan rumah yang terlihat sepi. Mungkin belum pada pulang, atau hanya ada mama dirumah. Aku tersenyum kikuk dan mengembalikan helm Ares, aku mengajaknya mampir tetapi dia menolak karena sudah terlalu sore lagipula dia juga ada janji dengan kekasihnya.
"Ya udah deh kalo nggak mau mampir, tapi makasih ya".
"Sama-sama, gue pulang dulu" katanya dan berlalu dengan cepat. Aku masuk rumah dengan senyuman yang masih belum luntur, mengucapkan salam ketika membuka pintu. Benar ternyata hanya ada mama yang sedang duduk di sofa yang mengarah langsung ke televisi, mama sedang menonton sendiri.
"Ihh mama , nggak denger aku ngucapin salam ya?" Kataku ketika ikut duduk disebelah mama yang sedang menonton acara gosip, namanya juga ibu-ibu setelah selesai dengan pekerjaan rumah pasti mencari hiburan dengan menonton acara gosip publik figur yang terbaru. Bisa menjadi bahan gosip ketika arisan bersama teman-temannya.
"Wa'alaikumsalam , anak mama kok baru pulang?" Jawab mama setelah menyadari aku duduk disebelahnya , mengambil toples berisi kue keju buatan mamaku.
"Hehe iya ma, tadi main basket dulu. Stela kangen sama bola sih ma" kataku , sambil memakan kue dan menyeruput minuman di atas meja. Sepertinya punya mama.
"Ya udah gih mandi sama ganti baju, bau acem kamu. Habis itu makan, mama masak ikan kesukaan kamu" aku berseru senang, dan segera berjalan meninggalkan mama. Tidak lupa masih membawa toples berisi kue keju tadi, seperti tidak rela jika aku kehilangan satu biji saja. Kue keju juga termasuk kesukaanku selain selai coklat atau apapun terbuat dari coklat, aku memang suka cemilan jadi mama sering membuatkan ketika sedang tidak sibuk daripada harus beli lebih enak buat sendiri katanya.
Aku meletakkan tas ransel ku dan toples tadi, berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Benar kata mama , badanku ternyata bau keringat apalagi setelah bermain basket tadi walaupun hanya sebentar tetapi cukup membuat keringat yang keluar dari tubuhku banyak.
Setelah selesai dengan ritual mandiku, aku berdiri didepan cermin dan melihat wajahku. Mengelus pipi dan memperhatikan lagi lebih teliti.
"Apa wajah gue terlalu jelek sampai Kevlar jijik buat melirik? Atau gue terlalu nggak pantes buat dia yang perfect " gumamku yang masih terpaku didepan cermin, aku menunduk kecewa rasanya benar apa yang dikatakan Eris jika aku hanya membuang waktu dengan berusaha keras membuat Kevlar jatuh hati. Menoleh pun tidak, apalagi akan jatuh cinta padaku.
"Enggak, lo nggak boleh nyerah sebelum impian lo terwujud Stela! Kevlar salah satu bagian dari impian lo jadi semangat lo nggak boleh putus asa" kataku meyakinkan diri sendiri, dan melupakan saran Eris dan Lia tentang Kevlar. Aku harus berjuang dan terus berjalan menuju impianku yang masih terasa jauh. Aku mengambil krim pelembab kulit dilaci meja, mengoleskan dengan lembut ke wajahku. Aku bukan perempuan yang pandai memoles wajah tetapi aku suka merawatnya walaupun hanya dengan krim pelembab itu cukup membuat nyaman pada wajahku yang termasuk tipe kering.
Ketika hendak keluar dari kamar, ponsel ku berdering terpampang nama Ares dilayar. Tumben Ares menelepon, sudah lama tidak bertelepon atau berkirim pesan dengannya.
"Halo, ada apa Res?" Sapaku setelah menggeser tanda telepon berwarna hijau, dan menempelkan ponselku ditelinga kiri.
“Besok berangkat bareng gue ya” katanya, aku terdiam selain tidak enak juga aku takut disebut perusak hubungan orang. Aku masih diam dan berjalan keluar kamar dengan masih menempelkan ponselku di telinga.
“Sorry, Res gue nggak bisa besok kak Arsen mau nganterin. Ya udah ya gue mau makan dulu, mama udah nungguin.” Setelah mendengar suara berat itu terdengar kecewa buru-buru aku menutup panggilan telepon darinya. Aku menuruni tangga dengan pelan, seperti biasa akan terdengar derap pelan dari langkah kakiku. Dari sini aku melihat mama masih setia menonton acara yang sudah berganti dengan drama kehidupan, khas dengan ibu-ibu apalagi mama juga ikut memarahi pemeran utama yang jahat.