Chapter 7 : Last For Five Years

1730 Kata
Keheningan melanda. Mereka berdua sama sekali tidak ada yang berniat membuka pembicaraan sejak lima belas menit yang lalu mereka sampai dan pesanan datang. Entah kenapa atmosfer diantara keduanya berubah seketika mereka menginjakkan kaki di dalam kafe. Sangat berbanding terbalik dengan sebelumnya. "Jadi bagaimana kabarmu?", tanya Emily pada akhirnya. Sudah sepatutnya ia yang bertanya terlebih dahulu. Steven membuat gerakan memutar di tepian cangkir tehnya. Kemudian ia mengangkat cangkir itu dan mendekatkannya di depan hidung untuk mencium aroma wangi earl grey yang mengepul dari uap diudara. "Kau mau jawaban jujur atau bohong?", "Bohong?", Emily mendadak merasa mual. Ia tidak siap dengan jawaban yang akan di ucapkan Steven. "Aku baik-baik saja selama lima tahun belakangan ini.", Emily menunduk. Ia menggeleng pelan. "Aku tidak akan meminta maaf atas perbuatanku karena aku memiliki alasan kenapa aku tidak menghubungimu ketika aku kembali. Aku yakin kau juga pasti tahu alasannya.", katanya pelan. Steven membenarkan dalam hati karena ia memang memahami situasinya. Sebelum mereka benar-benar kehilangan kontak di tahun kedua Emily kabur. Steven tahu segalanya. Ia juga tahu jika Emily kesulitan menghadapi tarumanya. "Bagaimana denganmu?", "Apa aku baik-baik saja?", Emily memperjelas apa maksud pertanyaan Steven. Steven mengangguk kecil sebelum menyesap tehnya. Lalu meletakkan cangkir putih itu diatas alas. "Antara baik dan tidak baik. Entahlah...", Emily mendesah pelan. "Untuk traumaku. Mungkin aku sudah bisa mengatasinya.", "Tapi?", Steven berhasil menebak nada bicara Emily yang meninggalkan jejak ragu di akhir kata. Emily mendongak menatap Steven. Ia menyesap sedikit tehnya. "Aku pikir ketika aku kembali, kekosongan dalam diriku bisa perlahan terisi kembali. Tapi sepertinya itu hanya terjadi pada kalian. Ibuku, Nate, Maureen, dan kau.", perlahan ia meletakkan cangkirnya. "Mungkin hanya sebagian. Tapi tidak sepenuhnya.", "Itu semua karena kau begitu menyayangi ayahmu.", "Ya karena aku menyayanginya. Dia tidak akan pernah tergantikan.", "Selalu ada ruang untuknya dihatimu. Tapi tidak bisakah ada orang lain?", Emily menelengkan kepalanya sedikit tanpa melepaskan tatapannya dari Steven. Ia paham kemana arah pembicaraan pria itu. Steven meneggakkan dan mencondongkan tubuhnya. "Aku tahu mungkin aku egois mengatakan ini sekarang. Aku masih me-", "Jangan.", sergah Emily. Ia menggeleng pelan. "Jangan mengatakan apapun.", Steven menghela napasnya. "Kenapa?", "Aku masih butuh waktu untuk mencerna semuanya.", "Berapa lama lagi? Satu tahun? Dua tahun? Atau tiga tahun lagi?", Emily mengangkat bahunya. "Aku tidak tahu. Aku tidak bisa menjawabnya karena aku merasa ini semua tidaklah mudah.", "Semua ini tidak ada yang mudah, Em. Apa kau pikir semua ini mudah bagiku? Membiarkanmu pergi karena terpaksa. Sampai akhirnya hubungan kita juga berakhir. Lalu lima tahun aku menunggumu kembali.", "Aku tidak ingin menggeretmu kedalam permasalahanku.", "Bagaimana kalau kukatakan sebaliknya?", ia memberi jeda di kalimatnya sambil menyandarkan punggung sedikit keras. Ia memalingkan wajahnya ke luar jendela. "Kita seharusnya melalui semua ini bersama, Em. Aku kekasihmu.", "Mantan.", Emily mengkoreksi, kemudian terdiam. Sedangkan Steven mengusap wajahnya. "Ini semua salahku. Seharusnya aku tidak membiarkanmu pergi. Dengan begitu kita tidak akan seperti saat ini.", Emily menghembuskan napas dan berdiri. "Berhentilah menyalahkan dirimu. Ini sama sekali bukan salahmu. Ini semua namanya takdir. Dan disini aku berusaha menerimanya.", Ia baru hendak berbalik ketika Steven mencekal tangannya. Ia menoleh dan perlahan melepaskan tangan Steven. "Bukannya aku tidak mau memberimu kesempatan. Aku ingin sekali. Kalau kau mau tahu, tidak pernah seharipun aku melupakanmu. Hanya saja- seperti kataku tadi. Meski aku sudah kembali, aku masih belum siap. Bagiku lima tahun merupakan waktu yang sangat singkat.", Steven ikut bangkit berdiri. "Kalau itu yang kau mau...", ia menarik Emily kedalam pelukannya. "I will wait for you. Again.", ... "Dosen sialan!", Lamunan Emily terbuyar ketika mendengar gerutuan Nathaniel. Ia memutar kursi berodanya dari yang menghadap jendela menjadi ke arah pintu dimana adiknya itu baru melangkah masuk. "Dosen sialan?", Nathaniel mendongak. Ia terkejut dan tidak mengira jika Emily ada di perpustakaan. Ia meringis. "Apa yang kau lakukan disini?", ia malah balik bertanya. Emily mengangkat cangkir kopi dan buku ditangannya bersamaan. "Dosen sialan?", ulangnya lagi karena Nathaniel tidak menjawab sebelumnya. Nathaniel melangkah mendekat sambil menghela napas. Ia duduk di tepian meja baca dihadapan Emily dan sebelah kakinya sedikit terangkat. "Ini musim libur. Tapi mendadak guruku memberi tugas sebagai ganti absen.", "Ganti absen?", Emily mengangkat sebelah alisnya. "Kau membolos kelas?", Nathaniel melempar kedua telapaknya keudara. "Namanya juga anak kuliah.", jawabnya tanpa dosa. "Dan kumohon jangan beritahu, mom.", "Asal kau mengerjakan tugasmu dengan baik. Mom tidak akan pernah tahu.", "Sekarang aku punya malaikat pelindung.", guraunya sambil mengerlingkan sebelah mata. Emily mendengus geli. "Ya benar. Tapi jangan lupakan jika malaikat pelindung ini bisa berubah menjadi malaikat pencabut nyawa.", katanya sambil meletakkan cangkir kopi diatas meja. "Kau sama sekali tidak bisa diajak bercanda.", gerutu Nathaniel. "Dan kau tidak bisa membedakan yang mana bercanda dengan yang tidak.", Emily membalas dengan nada yang sama seperti diucapkan Nathaniel. Nathaniel mengibaskan tangannya. "Lupakan masalah malaikat. Apa yang kau baca?", "Biografi seorang koki yang memiliki restauran bintang Michelin.", jawab Emily tanpa menatap Nathaniel. Ia membalik halaman dalam buku di pangkuannya. "Apa menarik?", "Bagiku menarik.", "Apa kau tidak bosan?", Emily menggeleng. "Tidak. Ini semua ilmu.", "Ilmu?", Nathaniel menurunkan kakinya. Ia berdiri sambil melipat tangan di depan d**a. Emily melirik adiknya sekilas. "Yap benar. Kalau kau mau tahu artinya. Kau bisa baca di google.", Nathaniel mencebikkan bibirnya. "Maksudku... aku heran kenapa kau masih saja belajar.", "Pertanyaanmu benar-benar bodoh, Nate.", "Bukan itu!", Emily menutup bukunya setelah menyelipkan pembatas di halaman yang terakhir dibacanya. "Lalu?", "Bagaimana menjelaskannya.", gumam Nathaniel sambil mengusap tengkuknya. "Just spill it.", "Fine! Tapi jangan tersinggung.", Emily mengernyit beberapa detik. Lalu ia mengangguk. "Sebenarnya, aku ingin bertanya bagaimana bisa dalam kondisi seperti ini kau belajar? Kau paham maksudku? Kondisi terpuruk...", cicit Nathaniel di akhir kata. Emily mendengus geli. Ia meletakkan bukunya diatas meja. "Nate.", panggilnya. "Ya?", "Pertama, aku sudah tidak dalam kondisi terpuruk. Aku sudah melewati masa-masa itu dan meninggalkannya di Amerika. Untuk itu aku kembali. Ya meskipun aku masih berusaha mencerna semuanya. Kau tahu- Hubungan mom dan Adrian. Lalu Steven.", "Tunggu dulu!", sergah Nathaniel. "Steven?", Emily lupa jika Nathaniel tidak tahu menahu tentang pertemuannya dengan Steven kemarin. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Mau tidak mau ia harus bercerita. "Kau tahu dia. Steven Arckeley. Mantan kekasihku.", "Maksudmu cinta pertamamu?", Emily berdehem. "Hmm.", "Kau kembali menjalin hubungan dengannya?", "Tidak.", jawab Emily cepat. "Hanya saja kami tidak sengaja bertemu kemarin pagi. Dan akhirnya kami mengobrol.", Nathaniel mengernyit. "Kenapa?", Emily mendengus. "Kenapa?", ia mengulangi pertanyaan Nathaniel. "Kau masih bertanya? Aku baru saja kembali. Aku masih berusaha menata hidupku.", "Bukan karena kau merasa bersalah dengan mom karena sempat menolaknya lalu sekarang kau terjebak dengan cinta lamamu dengan Steven?", "Mungkin bisa menjadi salah satu alasannya.", "Tapi sekarang kau sudah menyetujui hubungannya dengan Adrian. Jadi menurutku bukan masalah kalau kau ingin kembali bersama Steven. Win win solution. Aku yakin mom dengan senang hati akan menyambut Steven lagi. You guys are the perfect couple. Kalian berdua berpacaran selama lima tahun, dia menunggumu selama lina tahun. Benar-benar luar biasa!", Emily memutar matanya. "Jangan terlalu senang dahulu...", Nathaniel mengangkat bahunya. "Aku tidak tahu apa sebenarnya isi otakku, Em.", Emily mengangguk kecil. "Aku sendiri juga tidak tahu.", semua yang ia hadapi selalu dihadapkan dua pilihan yang sulit. Pilihan yang selalu membawanya terjerumus kedalam lubang dilema yang dalam. Sekalinya ia terjun, rasanya tidak ada yang bisa menariknya keluar. "Kalau begitu lakukanlah apa yang kau inginkan. Jangan mendengarkan orang lain. Seperti yang pernah dad katakan-", "Close your eyes and listen to your heart.", timpal Emily. Nathaniel menjentikkan jarinya. "Itu kau tahu. Jadi jangan terlalu dipikirkan.", "Terima kasih.", Emily mengulas senyum tipis. Ia bangkit berdiri. "Kalau begitu aku kembali ke kamar. Jangan lupa kerjakan tugasmu atau aku akan memberitahu mom.", Nathaniel membuat gerakan hormat. "Siap kapten! Tenang saja. Semua tugas aman! Aku tidak ingin membangunkan malaikat pencabut nyawa!", ... "Close my eyes and listen to your heart...", "Close my eyes and listen to your heart...", "Close my eyes and listen to your heart...", Kalimat itu diucapkan Emily untuk kesekian kalinya bagaikan mantra. Ia mejamkan mata dan kembali mengulang kalimat tersebut. Namun sepertinya tidak membuahkan hasil karena ia belum menemukan jawaban. Dengan perasaan kesal Emily membuka matanya. Ia berguling dan turun dari atas ranjang. Ia mengambil mantel hangat yang tersampir di sandaran sofa, memakainya, lalu melangkah keluar menuju balkon untuk menenangkan pikiran. Meskipun ia memiliki masalah insomnia karena pasca trauma stress disorder. Setidaknya ia tetap bisa beristirahat sejenak sebelum kilatan-kilatan kenangan buruk itu muncul dalam mimpi dan menghantuinya. Namun sepertinya malam ini akan semakin sulit karena pikirannya terlalu terganggu. Emily menarik napasnya. Menghirup udara malam yang dingin hingga dadanya terasa sejuk. Lalu dengan perlahan ia menghembuskan napas. Latihan pernapasan itu membantu mengalihkan pikirannya. Namun hanya bertahan beberapa saat sebelum terganggu dengan dering ponsel dari dalam kamar. Emily menoleh, melihat layar ponselnya yang berada di atas meja di sisi ranjang sedang menyala. Dengan terpaksa ia kembali masuk kedalam kamar dan mengambil ponsel itu. Nomor siapa ini? Tidak ada nama dan nomor tidak dikenal. Emily hanya terdiam, menatap layar ponselnya hingga mati. Ia terlalu paranoid dan berpikir jika nomor itu adalah nomor milik Steven. "Ada apa denganku ini?", gerutunya pada diri sendiri. Entah kenapa jika menyangkut tentang Steven hidupnya jauh lebih rumit dibandingkan selama masa terpuruknya. Padahal Steven tidak melalukan kesalah sedikitpun. Pria itu begitu baik dan besar hati menerimanya. Emily hendak meletakkan ponselnya sebelum layar kembali nyala dan panggilan dari nomor yang sama masuk. Emily menarik napasnya. Ia mengangkat panggilan itu dan mendekatkan ponselnya di telinganya. "Halo?", "Akhirnya kau mengangkat panggilanku.", Dari suara yang terdengar. Emily yakin seratus persen jika suara pria itu bukanlah suara Steven. Ia mengerutkan keningnya. "Maaf sebelumnya. Siapa ini?", tanyanya dengan nada pelan. "Aram. Aram Langford.", Emily nyaris tersedak salivanya sendiri. Bagaimana bisa pria itu memiliki nomornya. Ah tentu Natalie jawabannya.  "A-ada apa?", tanyanya terbata. "Apa kau tadi sedang tidur?", "Tidak.", jawab Emily singkat. "Aku tidak bermaksud menganggumu. Hanya saja ayahku menyuruhku untuk menghubungimu.", Emily mengangguk meskipun Aram tidak dapat melihatnya. "Tenang saja. Kau tidak menggangguku.", "Jadi kujemput kau pukul satu siang?", "Menjemputku?", Emily mengerjap. Apa aku tidak salah dengar? Kenapa Aram akan menjemputku? Memangnya besok ada apa? Emily bertanya-tanya dalam hati. "Ibumu dan ayahku sudah membuatkanmu janji dengan dokter pukul sebelas siang besok. Apakah dua jam cukup?", "Tunggu sebentar...", Emily melangkah menuju ke meja kerjanya yang ada di dalam kamar. Ia melihat kalendar dan besok tidak ada jadwal apapun untuknya. "Apa kau yakin besok? Di kalenderku tidak ada jadwal.", "Tanyakan saja pada ibumu. Dia pasti lupa memberitahumu. Pada intinya... aku akan menjemputmu pukul satu siang.", Belum sempat Emily mengatakan sesuatu. Panggilan ditutup secara sepihak oleh Aram. Emily hanya bisa meratapi layar ponselnya. Ternyata memiliki kakak tidak begitu menyenangkan. ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN