BAB 2

1327 Kata
Pagi ini Nyonya Desi bilang jika Tuan Muda akan pulang ke rumah dan beliau memintaku untuk menyiapkan beberapa makanan kesukaan putranya tersebut. Aku sempat bingung dengan permintaan Nyonya Desi terlebih aku tahu jika selama ini Nyonya Desi lah yang akan selalu memasak jika sang putra datang berkunjung. Namun mengingat aku hanyalah seorang pembantu di rumah ini membuatku hanya bisa menuruti dan melaksanakan semua perintahnya yang memang juga merupakan bagian dari pekerjaanku selama ini. Saat sedang menyiapkan makan siang untuk kedua majikanku tiba-tiba saja aku mendengar suara seseorang. Kumatikan kompor dan langsung melihat siapakah yang bersuara tadi dan ternyata suara tersebut adalah milik Tuan Muda. Dengan perasaan segan dan sedikit takut, aku pun menghampirinya sambil terus tertunduk. "Tuan Muda, maaf Nyonya Desi sedang pergi keluar. Beliau bilang mau membeli sesuatu dan akan segera kembali nanti." “Baiklah kalau begitu. Oh iya Gadis, tolong kue ini kamu simpan di dalam kulkas dan bunganya kamu taruh di kamar Ibu ya, saya mau ke kamar dahulu. Dan jangan lupa, bilang jika saya sudah sampai nanti ke Ibu kalau beliau sudah tiba di rumah." "Baik Tuan, nanti akan saya sampaikan kepada Nyonya Desi jika beliau telah pulang ke rumah." setelahnya Tuan Muda pun pergi ke kamarnya di lantai dua dan meninggalkanku dengan bunga dan kue yang dia bawakan yang mana tentunya semua ini bukan untukku melainkan untuk majikanku, ibunya. Aku terus saja menatap punggung Tuan Muda dari belakang saat dirinya berjalan menjauhiku sambil terus mengingat permintaan Nyonya Desi kepadaku beberapa waktu yang lalu. Jujur saja melihatnya saat ini justru makin membuatku merasa tidak pantas untuknya karena diriku makin sadar jika kami berdua begitu berbeda, bagai bumi dengan langit. *** Akhir pekan ini aku memilih untuk pulang ke Bandung. Selain karena permintaan Ibu beberapa waktu yang lalu aku sebenarnya juga sudah sangat merindukannya, merindukan Ibu dan masakannya. Terlebih sudah tiga bulan ini aku tidak pulang ke rumah untuk menemui dirinya karena takut dan terlalu malas akan pertanyaan Ibu yang selalu sama dan berulang untukku. Kapan aku membawa calonku? Kapan aku akan menikah? Kapan aku bisa memberikan beliau cucu? Dan Kapan-kapan lainnya yang sulit aku jawab. Beliau tidak salah, aku yang tidak bisa. Sebelum pulang ke rumah, kusempatkan untuk mampir ke toko kue favorit Ibu dan tidak lupa juga membeli sebuket bunga mawar merah kesukaannya. Bersikap manis dan romantis seperti ini bukanlah hal yang baru aku lakukan untuknya karena nyatanya memang sedari dahulu aku telah melakukan semua ini untuk Ibu. Ibu adalah segalanya bagiku dan sebagai seorang anak aku akan selalu berusaha untuk membahagiakannya serta mengabulkan semua permintaannya, terkecuali menikah yang entah kapan baru bisa aku wujudkan. "Assalamualaikum, Bu. Ibu. Muda pulang Bu." aku masuk ke dalam rumah sambil membawa barang-barang yang aku beli tadi namun hingga berada di ruang tengah aku masih belum melihat Ibu di mana pun. Ke mana Ibu? Apa dia sedang tidur di kamarnya atau sedang pergi ke luar rumah? "Tuan Muda, maaf Nyonya Desi sedang pergi keluar. Beliau bilang mau membeli sesuatu dan akan segera kembali nanti." tiba-tiba saja Gadis, asisten rumah tangga di rumah Ibu muncul dan mengatakan jika Ibu sedang pergi. Aku menatapnya sesaat, gadis belia ini terlihat selalu saja bersikap malu jika dia bertemu denganku bahkan sejak awal dirinya hampir sekali jarang menatap wajahku di saat kami berdua sedang berbicara seperti ini. Entah takut atau segan, aku tidak tahu alasannya. “Baiklah kalau begitu. Oh iya Gadis, tolong kue ini kamu simpan di dalam kulkas dan bunganya kamu taruh di kamar Ibu ya, saya mau ke kamar dahulu. Dan jangan lupa, bilang jika saya sudah sampai nanti ke Ibu kalau beliau sudah tiba di rumah." ucapku kepada Gadis sambil menyerahkan kue dan bunga yang aku bawa untuk Ibu. "Baik Tuan, nanti akan saya sampaikan kepada Nyonya Desi jika beliau telah pulang ke rumah." setelahnya aku pun langsung pergi meninggalkannya dan berjalan menuju ke lantai dua di mana kamarku berada. Kubuka pintu kamarku yang selalu dalam kondisi rapi mengingat Ibu pasti akan selalu membersihkannya meski aku tidak menggunakan kamar ini. Kubaringkan tubuhku di atas ranjang dan menatap langit-langit kamar dalam keterdiaman. Namun beberapa menit berselang membuatku merasa bosan sehingga aku pun memilih untuk bekerja dengan laptop yang selalu aku bawa kemana pun. Lagi pula Ibu belum pulang sehingga aku bisa bekerja sambil menunggunya kembali. Aku terus saja membaca laporan dari bawahanku mengenai beberapa proyek yang sedang perusahaan kami kerjakan hingga akhirnya pintu kamarku terbuka dan menampilkan wajah Ibu yang sepertinya baru pulang. "Kapan kamu sampai Mud?" tanya Ibu saat beliau memasuki kamarku. “Mungkin sekitar satu jam yang lalu. Ibu pergi kemana? Kata Gadis Ibu mau membeli sesuatu tadi?” aku kemudian berdiri dan menghampiri Ibu serta memeluknya dengan begitu erat akibat rasa rindu yang tidak lagi tertahankan. “Hanya pergi membeli beberapa barang di pasar. Kamu sudah makan siang Muda? Atau kamu menunggu Ibu?" "Iya, Muda memang sengaja menunggu Ibu pulang agar tidak makan sendirian. Lagi pula sudah lama kan kita berdua tidak makan bersama? Ibu temani aku makan ya? Oh iya, aku juga membawakan kue dan bunga kesukaan Ibu sebagai oleh-oleh tadi." dapat kulihat senyum Ibu mengembang dengan begitu indahnya dan sekali lagi Ibu memelukku erat. “Anak Ibu memang yang terbaik.” aku membalas pelukannya dengan sama eratnya meski sejujurnya ada perasaan sedih setiap kali Ibu mengatakan hal tersebut untukku. Maaf Ibu karena sebenarnya aku tidaklah sebaik dan sesempurna itu. Kami berdua kemudian keluar dari kamarku dan selanjutnya pergi lantai satu untuk menuju ruang makan. Sesampainya di ruang makan dapat kulihat jika Ibu telah menyiapkan beberapa makanan kesukaanku: sayur asam, ayam goreng, dan sambal terasi. Aku yang memang sudah merindukan masakan Ibu terlebih saat ini diriku juga sudah merasa sangat kelaparan akibat makan siang yang terlambat akhirnya langsung menyendokkan nasi dan mengambil lauk yang tersedia. Dapat kukatakan jika semuanya terasa enak bahkan lebih enak dari terakhir kalinya aku makan makanan buatan Ibu. "Masakan Ibu makin enak saja." ucapku saat memasukkan nasi kedua ke dalam piringku. "Enak?" tanyanya sambil menaruh ayam goreng kembali untukku. "Iya, apa selama tiga bulan ini Ibu belajar memasak? Keterampilan Ibu sepertinya makin meningkat." "Bagus kalau kamu suka namun bukan Ibu yang memasak tetapi Gadis." "Gadis? Pintar memasak juga rupanya dia" jawabku jujur. Tidak lama wanita itu terlihat keluar dari dapur dan membawakan kue yang kubawa tadi sebagai oleh-oleh untuk Ibu. "Ini Nyonya Desi, tadi Tuan Muda membawanya untuk Nyonya Desi." "Gadis, duduk di sini nak." ujar Ibu sambil menunjuk kursi yang berada di sebelahku. Gadispun menurut namun dirinya terlihat sedikit ragu dan malu-malu ketika akan menarik kursi di sebelahku. Aku masih terus saja memandanginya yang memang akan selalu tertunduk ketika melihatku hingga akhirnya dia pun telah berada di sebelahku dengan kedua tangan yang saling bertautan. Ada apa dengannya?Kenapa dia terlihat begitu cemas dan takut saat ini? "Muda, Ibu mau bicara." Baiklah sepertinya aku sudah tidak bisa menghindar lagi sekarang. Ketika Ibu berkata mau berbicara, itu artinya ada hal yang sangat penting yang ingin beliau sampaikan dan aku yakin pasti soal pernikahanku yang entah kapan bisa terlaksana. Kutaruh sendok dan garpu yang berada di tangan kanan dan kiriku kemudian mengelap bibirku dengan serbet baru setelahnya aku pun menaruh perhatianku sepenuhnya kepada Ibu dan kata-katanya yang sudah sangat aku hapal. "Ada apa Bu?" ucapku berbasa-basi "Kapan kamu menikah? Apa sudah punya calonnya?" tanya ibu to the point "Belum Bu, saya sibuk bekerja." Aku berbohong, lagi dan lagi kepadanya, maaf Ibu. "Mau sampai kapan kamu melajang? Apa kamu tidak merasa iri dengan teman-temanmu yang sudah menikah dan mempunyai anak? Dahulu Ibu pikir kamu dekat dengan Vita tetapi dia malah menikah dengan pria lain." Ibu memang pernah berharap aku dan Vita bersama namun kami berdua memang hanya sebatas sahabat, tidak lebih. "Vita itu sahabat Muda Bu. Dahulu, sekarang, bahkan nanti." "Jadi kamu tidak sedang dekat dengan orang lain?" Dekat Bu tetapi bukan dengan wanita melainkan pria. Tentu saja aku hanya bisa berkata seperti ini di dalam hati. "Tidak Bu." dapat kulihat Ibu mengangguk-anggukkan kepala, entah tanda mengerti, berpikir atau apa pun. "Baiklah, kalau begitu kamu bisa menikah dengan Gadis kan?" "APA!" jawabku terlalu terkejut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN