Saat kalimat itu keluar dari mulut Elisa suasana diruangan itu berubah, raut wajah Max yang tadinya datar kini semakin datar dan matanya memancarkan aura yang dingin.
"Ehem," Nathan berdehem, "hahahaha.. si El suka becanda deh," ucapnya sembari terkekeh garing
"Siapa yang becanda? Emang dia kagak ganteng kan? Siapa yang bilang dia ganteng kasih tau sama gue." Balasnya pongah. "Denger ya, gak ada yang seganteng Leodra Triputra Sadewa di dunia ini."
"Leodra Triputra Sadewa?" Gumam Shura, sepertinya dia pernah mendengar nama 'Sadewa' tapi dimana.
"Siapa pria itu?!" Ucap Max tidak suka
"Cowok terganteng yang gue tau, ugh... pengen deh jadi pacar dia ahahay."
"Jangan coba-coba untuk melakukan itu atau kau akan menanggung akibatnya." Desis Max
"Apakah aku terlihat peduli? Oh tentu tydac." setelah mengatakan itu Elisa menarik Shura untuk keluar dari sana.
"Jalang itu." geram Max tapi sedetik kemudian dia menyeringai dingin, dan keluar dari ruangan itu diikuti sekretarisnya.
***
"Lo kenal sama anak bungsu dari keluarga Sadewa itu?" Tanya Shura saat mereka berjalan di lorong menuju kantin
"Lo sendiri kenal?" Tanya Elisa balik
"Kenal, soalnya pernah ketemu beberapa kali waktu pesta perusahaan."
"Kok gue gak pernah tau?" ucapnya pasalnya dia tidak mendapat ingatan Elisa tentang itu.
"Ya iyalah, Lo kalau diajak gak pernah ikut." balas Shura, "Lo belum jawab pertanyaan gue, Lo kenal sama dia?"
"Siapa sih yang kagak kenal sama dia." ucap Elisa yang diangguki oleh Shura.
Mereka memasuki kantin dan dan memesan makanan lalu duduk dimeja dekat pintu masuk.
"Oh iya, nanti malam ada acara peresmian rumah sakit Kasih Ibu yang kebetulan ni rumah sakit punya keluarga Sadewa, gimana Lo mau ikut gak? Biar rekan-rekan kerja papa kenal sama Lo." ucap Shura seraya menuangkan sambal pada baksonya
"Boleh dicoba, sekalian gue pengen liat perkembangan si Laskar." ucap Elisa dengan gumaman diakhir kalimat.
"Heh! Kurang ajar ya Lo berdua pake ninggalin kita." ucap Zidan yang baru saja datang bersama dengan Nathan
"Kalau kurang ajar, ya ajarin dong." balas Elisa
Zidan menatap Elisa intens, "ini beneran Elisa? Elisa yang pendiam kek orang d***o itu?" ucap Zidan
"Orang d***o pala bapak kau lupis, mengadi-ngadi!" decak Elisa
"Woah impresif." Zidan hendak duduk disamping Elisa tetapi dengan sigap Nathan menyenggol Zidan menggunakan bokongnya membuat cowok itu terduduk dilantai.
"Biasa aja dong bujang!" gasnya sembari bangkit dan duduk disamping Shura dengan mata menatap tajam Nathan
"Jauh-jauh Lo dari calon kakak ipar gue." ucap Nathan yang membuat Elisa menatapnya
"Siapa calon kakak ipar Lo? Gue? Huek najis!" ucapnya pedas, "sorry nih ya, gue gak minat sama kakak Lo, cuih." ucapan Elisa itu membuat Nathan terdiam, Shura yang menyadari itu menyenggol kaki sang adik dari bawah meja.
"Apa?" ucap Elisa membuat Shura memutar matanya malas
"Gak boleh ngomong gitu." ucapnya
"Kenapa gak boleh?" tantang Elisa, "kasih tau gue alasannya? Biar dia gak sakit hati? Terus begimane sama gue yang selama ini makan ati liat kakaknya bawa pacar pas ketemu sama gue, sopankan begitu? Ntar gue bales nanges."
Shura menghela napas pelan, sementara Nathan dia lagi-lagi terdiam tak tau mau berkata apa.
***
Malam ini seperti yang dikatakan Shura siang tadi, mereka akan pergi ke pesta peresmian rumah sakit keluarga Sadewa.
"Kalian sudah siap?" tanya Elbara sembari mengancingkan lengan kemejanya, Shura dan Raffa hanya mengangguk.
"Kalau gitu kita berangkat sekarang," Elbara berjalan mendahului kedua putranya,
"Papih tungguin!" teriakan itu menghentikan langkahnya dia berbalik dan mendapati Elisa tengah bersusah payah menuruni tangga dengan heelsnya.
"Papi?" beo Elbara
"Kok gak nungguin aku sih." gerutunya saat sampai di lantai dasar
"Kamu mau ikut?" tanya Raffa yang diangguki oleh Elisa, "tumben."
Elisa berdecak, "ikut salah, kagak ikut juga salah. suka kau bang, suka kau!"
"Udah deh gosah banyak nanya, kuy kita berangkat." Elisa berjalan mendahului ketiga pria berbeda usia itu, "duh, kurang ajar banget nih sepatu." umpatnya karna kesulitan memakai heels.
Elbara yang melihat itu langsung menahan lengannya membuat Elisa bertanya-tanya.
"Kenapa?" tanya Elisa
"Sepatunya ganti aja," jawab Elbara dan memanggil pelayan untuk mengambilkan flatshoes, tak lama kemudian pelayan itu datang dengan flatshoes ditanganya.
"Nah, sekarang sudah nyaman kan?" tanya Elbara membuat Elisa mengangguk lucu
"Kita pergi sekarang,"
Mereka berempat pun berjalan menuju sebuah Audi A4 dan melenggang menuju pesta diadakan.
Sekitar lima belas menit perjalanan akhirnya mereka sampai di basement hotel tempat acara itu diadakan.
Elisa berjalan dengan menggandeng lengan Shura, membuat Raffa menatap kesal padanya sedangkan Shura tersenyum kemenangan.
Saat memasuki ruangan itu semua mata tertuju pada mereka atau lebih tepatnya pada gadis yang sedang menggandeng lengan putra kedua dari keluarga Maladewa itu.
Bisik-bisik pun terdengar, mereka berdecak kagum melihat rupa gadis itu dengan rambut putih dan kulit seputih salju, yang mirip seperti putri dongeng.
"Akhirnya anda datang juga, saya pikir anda tidak bisa datang." ucap seorang pria yang Elisa yakini seusia sang ayah.
"Mana mungkin saya tidak datang, jika sang tuan rumah yang mengundang saya secara langsung." ucap Elbara sembari tersenyum tipis
"Hahahaha... kau ini masih seperti dulu, oh siapakah ini?" ucapnya saat tak sengaja melihat wujud Elisa, Elbara menatap arah pandang orang itu dan mengenalkan mereka.
"Ini putriku, namanya Elisa." ucap Elbara
"Wah, wah, wah. Kenapa aku tidak tau kau punya putri secantik ini, bagaimana kalau kita jodohkan saja dia dengan anakku? Pasti--"
"Enak aja! Gak mau, gak mau." ucap Elisa spontan.
"Hahahaha... Ternyata putrimu sangat mirip dengan istrimu ya, tidak hanya wajahnya tetapi juga sifatnya." ucap orang itu terkekeh membuat Elisa mendengus keras.
"Kalau begitu kami permisi dulu," ucap Elbara dan diangguki orang itu, merekapun melanjutkan langkahnya menemui Laskar sebagai tuan rumah.
"Tadi itu siapa sih?" bisik Elisa pada Raffa
"Itu salah satu rekan bisnis papa, namanya om Chandra."
"Begitu banget kelakuannya, untung tadi aku gak keceplosan." bisik Elisa lagi membuat Raffa tertawa geli. "Dia emang begitu sifatnya maklumin aja ya." ucap Raffa yang mau tak mau diangguki oleh Elisa
Mereka sampai disebuah meja dengan beberapa orang sedang berbincang dengan sepasang suami-istri dan dua anaknya laki-laki, yang mana mereka adalah tuan rumah pesta ini.
"Akhirnya anda datang juga pak Bara." ucap Laskar saat melihat Elbara
"Selamat atas resminya rumah sakit anda." ucap Bara sembari berjabat tangan dengan Laskar
"Terima kasih." balas Laskar tersenyum tulus.
"Oh iya, kenalkan ini putriku." ucap Bara mengenalkan Elisa pada orang-orang dimeja itu.
"Wah, saya pernah dengar isu kalau anda menyembunyikan putri anda pantas saja anda menyembunyikannya, dia secantik ini rupanya." ucap Laskar
"Iyalah, mamih saya saja orang Rusia tentulah cantik." ucap Elisa pongah membuat Shura dan Raffa menutup mulut lemesnya
"Selain cantik ternyata putrimu lucu juga ya, apalagi mulutnya yang lemes itu mengingatkanku pada putra bungsuku." ucap Laskar dengan senyum sendu saat mengucapkan kalimat terakhir.
"Sialan! Dia ingat gue cuma gegara mulut lemes gue? kurang ajar." ucapnya dalam ginjal
Seorang wanita cantik yang berdiri disamping Laskar menghampiri Elisa, dan menatapnya lembut.
"Kamu kelas berapa, nak?" tanyanya
"Kelas sebelas ma-- Tante." wanita itu mengangguk
"Seusia Leodra rupanya." ucapnya pelan, " kamu mau gak Tante jodohin sama anak Tante? Dia anaknya ganteng loh, selain itu dia juga ceria walau kadang suka bikin darah tinggi karna tingkahnya yang tengil, dia juga pintar, pintar ngibulin maksudnya." wanita itu terkekeh tapi matanya sudah berbinar karna air mata.
"Tapi sekarang dia lagi gak disini, dia lagi tidur. Nakal banget kan anaknya? Lagi ada acara dia malah tidur." ucap wanita itu dengan air mata yang meleleh, membuat mata Elisa–yang didalamnya jiwa Leodra–ikut memanas.
"Udah mih," ucap Langit, Langit Damitri Sadewa putra sulung Laskar Kleine Sadewa dan Violetta Anjani Rajasa.
Langit mengelus punggung sang mamih sedangkan Lembayung mengusap lengannya, melihat keadaan mamihnya membuat Bayu merasa bersalah. Elisa yang menyadari itu tertawa jahat dalam pankreas walau matanya sudah siap meluncurkan air mata.
Abis