5. Apakah cinta pada pandangan pertama itu ada?

1265 Kata
"Aku tidak mengerti apa yang dimaksud dengan cinta. Cinta bagaikan sebuah dongeng untukku. Tapi, satu hal yang aku tahu dengan pasti. Jika, debaran yang aku rasa ini nyata adanya." Reiki Savian Altezza *** Suara telepon genggam Rei berdering nyaring. Memecah suara hembusan angin di taman. Suara tersebut menggema di tengah taman yang sepi pagi itu. Rei tidak menunda lagi telepon yang tak henti berdering tersebut. Ia menghela napasnya begitu melihat nama yang tertera di layar telepon genggam tersebut. Rei terlihat serius berbincang dengan seseorang di balik telepon tersebut. Untuk beberapa kali ekspresi wajahnya terlihat masam. Sesekali ia juga mengerutkan dahinya. "Huuuft ... seharusnya aku tidak meniggalkan perusahaan begitu saja." Rei terlihat sedikit resah. Sejujurnya Rei tidak benar-benar meninggalkan perusahaan begitu saja. Ia kerap meminta asistennya untuk memberikan informasi tentang perusahaan dan sesekali menyelesaikan pekerjaannya yang di bantu oleh asistennya tersebut. "Arrrght.. kenapa juga ayah sampai bersikeras untuk menikahkan aku," gerutu Rei yang masih tidak habis pikir dengan rencana pernikahannya itu. "Kenapa memutuskan sesuka hati begitu, sih? Kenapa tidak ada yang tanya tentang perasaanku, pendapatku dan malah langsung memutuskan pernikahan!!" "Memangnya menikah semudah itu?" Kekecewaan terus melumuri Rei. Ia merasa selama ini ia sudah hidup sesuai dengan apa yang orang tuanya inginkan. Sejak kecil, Rei selalu menuruti segala keinginan orang tuanya. Ia tumbuh dengan selalu menuruti apa yang diinginkan oleh ayah dan ibunya. Mulai dari makanan yang bisa dia makan, les yang harus ia ikuti, sekolah pilihan orangtuanya, jurusan yang harus ia ambil dan sekarang ia juga harus menikah dengan wanita pilihan orangtuanya. "Huft ... Apa aku boleh membangkang seperti ini?" Rei sedikit khawatir dengan tingkahnya tersebut. Selama ini Rei terus mematuhi apa yang diinginkan oleh orangtuanya sebab ia yang merupakan anak satu-satunya itu sangat tidak ingin mengecewakan orangtuanya. Meski begitu sikap Rei yang juga keras kepala itu cukup dimanjakan oleh orangtuanya. Beberapa hal, sudah pasti ia dapatkan sebagai ganti sudah menjadi anak yang penurut. Malah bisa di bilang. Rei pasti bisa mendapatkan segala yang ia inginkan. "Jika aku sangat cemas seperti ini, untuk apa aku kabur dari rumah. Lagian ini kan menyangkut masa depanku. Pernikahan itu kan hal yang serius. Masa aku harus menghabiskan seluruh hidupku bersama dengan wanita yang tidak aku cintai." Salah satu alasan Rei yang bertekad dan bersikeras untuk menolak perjodohan tersebut adalah keinginannya yang menikah dengan wanita yang ia cintai. Ia tidak bisa membayangkan jika harus menghabiskan seluruh hidupnya bersama orang yang tidak ia cintai. Sekilas Rei pun mengingat bayangan Nara yang menyiram tanaman pagi itu. Nara yang kerap tersenyum hangat di antara bunga yang mulai bermekaran. "Aaah ... Jika wanita itu Nara, mungkin aku tidak masalah menikah dengan .... ...." Plaaaaak Tamparan keras, Rei layangkan pada kedua pipinya. "Apa yang sedang aku pikirkan?" Tak bisa dipungkiri, jika Rei sendiri bingung dengan apa yang baru saja ia pikirkan tentang wanita yang baru ia temui itu. Sosok Nara yang menggemaskan itu terus menghantui dirinya. "Apakah cinta pada pandangan pertama itu ada?" Cinta pada pandangan pertama, sesuatu yang terdengar layaknya sebuah dongeng dan sangat sulit untuk dianggap nyata. Hal yang terlalu indah sehingga terasa sangat tidak nyata. Hal itu pula yang entah bagaimana kini tengah dirasakan oleh Rei. Ia sendiri tidak mengerti tentang apa yang kini terjadi pada dirinya. Satu hal yang tidak bisa Rei hindari. Yaitu, debaran jantungnya adalah nyata. Harus ia akui jika sejak pertama kali Rei melihat Nara. Nara menjadi sebuah ketertarikan tersendiri baginya. Nara bagaikan magnet yang terus menariknya meski ia tidak menginginkannya. Ia bagaikan jarum jam yang terus tertarik oleh pesona Nara. Ia selalu tanpa sadar terus memperhatikan Nara. "Sepertinya aku benar-benar gila!" umpatnya pada dirinya sendiri. Akan tetapi, Rei tersenyum begitu manis seraya meyebut nama Nara. Pipinya merah merona begitu pula dengan telinganya. Ia tidak mengerti dengan baik alasan ia begitu tertarik pada Nara. Tapi, satu hal yang pasti jika perasaannya itu nyata. Jika cinta pada pandangan pertama itu mungkin benar adanya. Untuk sejenak jantung Rei berdetak dengan cepat. Napasnya berpacu dengan penuh irama. Wajahnya memerah dan terasa panas. Begitu pula dengan dadanya yang terasa begitu menggelitik. Lagi-lagi, sosok Nara lah yang terbersit di benaknya. "Aku harus hentikan khayalan ini. Sadarlah Rei!" Rei kembali menepuk pipinya. Ia harus segera sadar diri sebelum memikirkan hal yang lebih memalukan lagi. Ia benar-benar merasa akan gila jika terus membiarkan pikirannya semakin liar. Selain itu, ia sadar ada hal yang jauh lebih genting dari pada khayalan konyolnya itu. Ia harus segera menemukan cara untuk bertahan hidup. Rei pun kembali memandang telepon genggamnya. Ia sibuk melihat kontak yang ada di teleponnya itu dan kemudian menekan salah satu nomor yang tertera disana. "Halo, Mel. Aku mau tanya untuk memastikan saja." "Apaan?" "Apa kamu bisa menikah dengan pria yang tidak kamu cintai?" tanya Rei dengan nada suara yang sangat serius. "Tentu saja!" jawab Melly spontan. "Ah, ternyata kamu tidak masalah menikah de-- .... ..." "Tentu saja tidak. Bodooooh!!!!" umpat Melly lagi. Belum saja Rei menyelesaikan ucapannya Melly langsung memutus panggil telepon tersebut. "Loh, dimatikan!!" Rei tersenyum kecil akan tingkah Melly yang langsung memutuskan sambungan telepon itu.Namun, mendengar jawaban dari Melly membuatnya semakin yakin akan keputusannya. "Baiklah kalau begitu aku tidak akan goyah lagi," ucap Rei dengan penuh keyakinan. "Ya sudah, bye ..." Melly begitu saja memutus telepon dari Rei. Rei pun pada akhirnya hanya bisa menggelengkan kepalanya. Tidak habis pikir dengan tingkah gadis tersebut. Sejak Rei melarikan diri dari rumah. Melly lah yang terus membantunya. Melly yang menyiapkan pakaian untuknya dan memberinya makanan. Ia juga yang memberi Rei uang saku untuknya bertahan hidup. Kini, Melly telah menyerah untuk mengurusinya. Rei pun kembali pada kenyataan pahit yang belum pernah ia rasakan. Untuk pertama kalinya ia kabur dari rumah. Ia kebingungan untuk mencari tempat tidur, kebingungan untuk mendapatkan uang, ia terus berada dalam keadaan yang penuh kejutan. Tanpa tujuan. Satu-satunya yang menjadi tujuan Rei hanyalah warnet yang dijalankan oleh Nara. Warnet yang ia pilih karena dekat dengan apartemen Melly, warnet yang ia rasa tempat yang cukup nyaman dan murah untuk tinggal disana. Ia sudah mencoba tinggal di hotel. Namun, pikirannya terus melayang membuatnya semakin tertekan dan gelisah. Hanya di warnet itu ia merasa nyaman. Terlebih lagi, kali ini Melly sudah tidak mengurusnya lagi. Rei benar-benar sudah kehilangan tujuannya. Tanpa ia sadari, Rei benar-benar telah kembali ke warnet tersebut. Langkah kakinya tanpa sadar membawanya kembali pada warnet yang terlihat sangat sepi tersebut. Hanya lagu yang di putar dengan pengeras suara yang terdengar. "Lagu ini, kan ..." Rei menatap Nara yang sibuk dengan layar komputernya. Jarinya menari indah di atas keyboard. Dari balik pintu kaca tersebut, Rei bisa dengan jelas melihat Nara yang asik berdendang dengan lagu tersebut. Wajah Rei seketika tersenyum dengan lebar. Jantungnya kembali berdebar dengan cepat. Rasa menggelitik tersebut kembali ia rasakan. Rei mulai menyadari jika lagu yang di putar tersebut bukanlah sebuah kebetulan sebab hanya lagu itu saja yang terus diputar secara berulang-ulang di komputernya selama berada di warnet tersebut. Lagu yang ia dengarkan sebagai pengantar tidurnya yang ia putar saat di warnet. "Jadi selama ini dia mendengarkan lagu ini juga," ucap Rei dengan wajahnya yang tersipu malu. Rei menyadari kebodohannya. Ia kembali sadar jika Nara yang menjaga warnet bisa saja dengan mudah memeriksa dan melihat komputer dari mejanya. Bisa saja Nara juga tertarik padanya. "Eeeeh ..." Nara tiba-tiba terlihat panik begitu menyadari jika Rei berdiri tepat di depan pintu masuk warnet tersebut. "Aaargh ... Sejak kapan dia ada disana? Apa tadi dia mendengarkan aku bernyanyi?" gumam Nara panik yang kemudian mengecilkan volume lagu tersebut. "Hmmmm ..." Nara yang panik itu hanya bisa terpaku. Keringat dingin mulai keluar dari keningnya. Tangannya terasa lembab dan basah. Detak jantungnya berdetak tidak karuan. Bola matanya bergetar. Ia benar-benar tertangkap basah. "Malu," gumamnya lagi sambil menundukkan kepalanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN