3. Terror

1355 Kata
Menjatuhkan kepala di meja kerja, Sani menghela napas berat. Sebentar lagi akhir pekan, itu berarti kepulangannya ke kota kelahiran semakin dekat, dan tanggal reuni pun di depan mata. Sebenarnya bisa saja gadis itu memutuskan untuk tidak pergi, tapi ancaman Finka padanya beberapa hari terakhir membuat Sani pusing sendiri. Sahabatnya yang satu itu bersikeras akan menyeretnya pulang jika Sani berniat tidak datang. Ah, kenapa masalah reuni saja bisa jadi pelik begini. "Kenapa lo?" tegur seorang pria memukul kepala Sani pelan menggunakan majalah yang dibawanya. "Sakit, kunyuk!" dengus Sani mengusap kepalanya yang bekas dipukul. Pria itu hanya mengangkat bahu tak peduli. Bersandar pada meja kerja Sani yang kini menatapnya tajam. Namanya Asta, salah satu photografer redaksi majalah tempat Sani bekerja. Dari apa yang nampak, Asta mungkin terlihat normal layaknya pria lain. Tapi bagi Sani tidak! Teman satu universitasnya itu tidak lebih dari pria freak yang kadang akan sangat menyebalkan tanpa tahu tempat. Meski di satu sisi kehadiran Asta punya keistimewaan tersendiri dalam hidup Sani. Asta mengangkat majalah di tangannya, menunjukan cover majalah yang memuat salah satu pengusaha muda yang baru-baru ini disorot publik karena karir cemerlang yang orang itu miliki. "Design-nya lumayan, lebih bagus dari minggu lalu. Berkat foto yang gue ambil juga sih ya." Mencibir tanpa suara, Sani mengalihkan perhatiannya pada monitor komputer di meja. Berusaha menggeser tubuh besar Asta agar pria itu tidak menganggu pekerjaannya. "Minggat lo sana, ganggu kerjaan orang aja." Asta melirik monitor yang kini menjadi pusat perhatian Sani, bergantian mengarahkan matanya pada gadis itu lalu kembali ke monitor. Pria itu melipat tangan di d**a, menggeleng takjub pada gadis yang sudah dikenalnya 7 tahun belakangan. "Jadi kerjaan lo baca novel online? Lo digaji si Bos buat itu?" Pura-pura tuli, itulah cara satu-satu yang akan Sani lakukan jika dirinya sedang tidak ingin diganggu siapa pun. Sayangnya Asta terlalu hafal tingkah sahabatnya itu, hingga dengan melihat dan membaca raut wajahnya saja Asta sadar, bahwa ada yang sedang mengganggu pikiran Sani hingga gadis itu bertingkah sensitif seperti ini. Dan bukan Sani jika dia dengan sukarela mau menceritakan masalahnya, gadis itu tipe yang akan menyimpan masalahnya hingga busuk hingga bangkainya saja sulit tercium baunya. "Ada masalah?" "Anak SMA ngajakin reuni." Dan satu lagi sifat Sani yang membuat Asta tidak bisa jauh-jauh dari gadis itu. Meski dia tipe yang tidak akan cerita jika tidak ditanya, Sani gadis menyenangkan yang akan to the point jika rekan bicaranya sudah mengenalnya dengan cukup baik, lantas menceritakan semuanya tanpa basa-basi. "Bagus dong, kesempatan ketemu cinta lama belum kelar." Ucapan Asta memancing Sani untuk meliriknya tajam. Sepertinya keputusan untuk menceritakan masalahnya pada Asta salah besar. Seperti yang diduga, Asta selalu membawa arah pembicaraan mereka menjadi sebuah lelucon. Meski Sani tahu, itu hanya cara Asta untuk meringankan sedikit kadar kemelut benaknya. Tapi kali ini Sani benar-benar tidak sedang ingin bercanda. "Nggak lucu ya?" "Perlu diperjelas?" Asta menggeleng, meletakan majalah di tangannya lalu meraih pundak Sani lantas menggerakan tubuh gadis itu agar beranjak dari tempat duduknya. "Dari pada lo uring-uringan mending kita isi perut dulu," ucap Asta menggiring Sani keluar dari kubik kerjanya. Kedua orang itu akhirnya memutuskan makan siang di warteg dekat kantor. Sambil menghabiskan waktu istirahat siangnya, Asta tidak lupa mengintrogasi Sani lebih dalam. Pasalnya jika sambil makan begini Sani lebih enak diajak bicara. "Jadi, kapan reuninya?" Sani menelan makanan yang ada di mulutnya, mengaduk-aduk es teh manis lantas menyeruputnya pendek. "Minggu." "Minggu ini?" Mengangguk, gadis di sampingnya menghela napas pelan. Ia raih ponsel Sani yang tergeletak di meja. Sejak tadi ponsel itu bergetar, menandakan pesan masuk bertubi-tubi. Tapi si empunya lebih memilih mengabaikan, mungkin itu juga alasan Sani membuat ponselnya dalam mode silent. "Alumni Taruma Negara X-IPA 3" itu nama yang tertulis di aplikasi Line milik Sani, yang 153 pesannya belum dibaca. Asta menggeleng, mengarahkan pandangannya pada Sani sejenak yang tetap cuek menghabiskan makan siangnya. Kembali ke layar ponsel gadis itu, Asta membuka aplikasi yang terabaikan oleh si pemilik akun. Mata pria itu sibuk membaca deretan huruf yang tertera di layar ponsel Sani, sesekali berdecak lalu menggeleng entah karena apa. Dari reaksi yang diperlihatkan Asta saja Sani sudah tahu bahwa pembicaraan di group Line alumni SMA-nya tidaklah penting. Itu mengapa Sani malas membuka aplikasi satu itu pada ponselnya, kalau tidak dalam keadaan darurat seperti Finka yang marah-marah saat pesannya tidak dibaca sama sekali misalnya. "Gila, mantan temen SMA lo nggak ada kerjaan kali ya? Obrolan di grup sampe nggak kelar-kelar gini." Sani hanya mengangguk setuju, tanpa berniat berkomentar lebih. "Tapi gue iri sih, kalian kayaknya akrab banget. Beda sama temen-temen SMA gue yang k*****t semua, sok ini-itulah pokoknya." "Lo nya aja yang sensi itu mah. Iri sama temen-temen lo yang udah pada lebih sukses dari lo kan?" "Anjir, nggak usah diperjelas juga, Bel." "Berhenti manggil gue kayak gitu, kunyuk!" dijambaknya rambut Asta sekilas, mendengus dongkol mendengar panggilan yang tidak pernah luput dari mulut laknat Asta sejak jaman kuliah dulu itu. "Lah sendirinya masih manggil gue kayak gitu," gerutu Asta tanpa perlawan berarti. Toh dirinya tetap sibuk membaca pesan-pesan di grup alumni SMA Sani itu. "Dari ava-nya temen lo cantik-cantik nih. Kenalin ke gue kek, Bel." "Ke laut aja lo sono. Cerita sama lo mah nggak pernah dapet pencerahan!" Asta mengangkat pandangannya sejenak. Memperhatikan Sani yang sedang membersihkan mulutnya dengan selembar tisu. "Ke Mama Dedeh gih kalau mau dapet pencerahan," ucap Asta enteng, membuat Sani gemas hingga ingin sekali meremas bibir lemes itu seperti jeruk yang sedang diperas ibu warteg. *** "Line!" seru ponsel Sani yang sudah kembali pada mode normalnya. Sani hanya melirik sekilas, lantas kembali pada layar laptop yang sedang menampilkan sebuah film yang baru Sani download. Selain suka membaca novel online diluar jam kerja, gadis itu memang ahlinya memanfaatkan fasilitas kantor. Apalagi kalau bukan menggunakan wifi untuk mendownload drama atau film terbaru menggunakan fasilitas yang ia dapat. Tentu saja atas izin dari sang penyedia fasilitas yang tidak lain adalah Bos-nya. Kalau tidak, Sani tentu tidak akan berani memakai seenaknya. Meski belakangan Sani dikenal judes, tidak bersahabat, atau apalah itu, ia tetap sadar mana haknya dan mana yang bukan. Lupakan soal itu, sebab ponselnya sudah berdering berisik saat ini. "Line!" "Line!" "Line! Line! Line!" Mendengus frustrasi Sani meraih ponselnya. Mengetuk layar yang menyala lalu membuka aplikasi Line miliknya. Dan benar saja, pesan Finka lah yang bertaburan mengisi aplikasi itu. Finka Sudrajat Udah siap-siap kan lo? Gue tunggu di rumah gue besok pokoknya! Sa! Sani, bales Line gue nggak! Awas aja kalo lo nggak ada kabar sampe besok pagi beneran gue jemput! Gue serius bakalan minta Mas Hendra anterin gue jemput lo! Sania Putri Dimanta! Menggaruk pelipis yang tidak benar-benar gatal Sani pusing sendiri membaca pesan-pesan Finka. Belum lagi grup yang tetap berisik meski sudah larut begini, mereka sedang heboh menunggu kabar anak-anak yang belum menghubungi dan memberi kepastian bisa datang atau tidak hari minggu nanti, termasuk membahas Sani yang tidak pernah muncul di grup salah satunya. Beberapa teman sekelas Sani bahkan mengirim pesan personal pada gadis itu, menanyakan ia bisa datang atau tidak, yang sudah pasti tidak pernah sekali pun Sani baca. Hanya Finka, yah sahabatnya satu itu memang akan melakukan apa pun seperti yang ia katakan. Finka Sudrajat Ya udah Jemput gue besok di kosan Kalimat itulah yang akhirnya menenangkan Finka dan tidak lagi menerornya malam itu. Sani merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Memandang langit-langit kamar dengan pikiran melayang entah ke mana. Baiklah, Sani akan pulang dan menghadiri reuni itu. Demi menghentikan terror yang ia terima, demi apa pun yang memang harus ia hadapi cepat atau lambat. Karena jika terus menghindarinya, Sani tahu hal ini pasti akan selalu berulang dan berakhir dengan cara yang sama. Apa pun yang terjadi saat reuni nanti, mari serahkan seluruhnya pada sang pemegang takdir. Sani menutup mata, setelah memutuskan tindakan apa yang harus ia ambil untuk reuni lusa nanti. Tepat sebelum Sani benar-benar terlelap ke alam bawah sadarnya, ponselnya kembali berdering. Menandakan pesan dari aplikasi yang sama kembali masuk. Malas-malasan Sani mengambil kembali ponselnya, dengan mata setengah terpejam gadis itu mencoba membaca pesan personal yang baru saja ia terima. Daruan Atmajdya Lo dateng kan ke reuni? Singkat saja pesan itu memang, namun efek yang Sani terima mampu membuat kantuknya hilang lantas uring-uringan sepanjang malam itu. Kenapa orang itu harus kirim pesan pribadi sih?!?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN