Bab 10: Belum siap mental

1493 Kata
*Membaca Al-Qur'an lebih utama* Seminggu telah berlalu sejak peristiwa di grup, Kemala mulai membiasakan diri jika Adi tidak memberinya kabar sama sekali, ia menjalani aktivitasnya seperti biasa, kuliah, mengajar, dan menjadi guru privat malam harinya, yang pada awalnya sangat malas ia lakukan kini menjadi kegiatan favorit yang amat sangat ia nantikan, hubungannya dengan Adi juga sudah lebih baik dari kemari, dan sekarang genap tiga bulan hubungan itu berjalan dan sampai saat ini masih belum ada satu pun anggota grup yang menyadarinya. Saat ini Kemala tengah serius mendengarkan materi dari pemakalah yang sedang presentasi, sangking fokusnya ia bahkan sampai tidak sadar jika adik kecilnya sudah berjalan keluar bermain lumpur yang kebetulan tadi sempat hujan menyebabkan halamannya terdapat beberapa genangan air. PLAK! "Adek nya main jorok bukannya dilarang malah asyik main hp aja kau yah," ujar si emak tanpa aba-aba langsung memberikan pukulannya yang lumayan kuat itu. Kemala yang sedang oncam di zoom nya hanya bisa meringis malu dan sedikit timbul rasa getir di hatinya, sebab di rumah itu bukan hanya dirinya saja, tetapi ada adiknya Ika yang seharusnya bisa membantu sedikit, paling tidak sampai ia selesai kuliah hari ini. "Mak. Mala lagi kuliah loh, bukan main HP." "Alah banyak kali alasan kau, masa tiap hari kuliah? lama-lama ku banting HP kau itu." Kemala memilih diam, ia mengenakan headset agar tidak mendengar segala makian ibunya yang sudah berjalan menuju dapur. Dengan mata yang memanas menahan tangis Kemala tetap berusaha fokus dengan perkuliahan sampai dengan selesai. "Suruh dia itu masa, enak kali hidupnya gak ada kerjaan cuma nyuci piring sama ngepel." Sayup-sayup Kemala bisa mendengar teriakan emaknya dari dapur, ia mengusap matanya sejenak lalu mengeraskan suara ponselnya sehingga ia sedang memakai headset sama sekali tidak bisa mendengar suara apa pun. Hingga tepukan di bahunya membuat Kemala mau tidak mau melihat ke arah adik nya Ika. "Kata mamak masak dulu, keburu pergi ngajar." Hanya helaan nafas yang bisa diberikan Kemala sebab jika sudah begini menolak hanya akan membuat keadaan semakin runyam, ia melepas headset nya dan membaca ponsel sampai ke dapur. "Mau masak apa, Mak?" "Kau liat matamu ada sayuran apa aja?" sentak emak Kemala ketus, dengan menahan marah yang ada di hatinya, ia melihat ke arah lemari penyimpanan sayuran, dan hanya ada kentang dan juga labu siam di sana. dengan segala pertimbangan Kemala memilih labu siam yang mungkin akan ia tumis pedas dan tidak memakan waktu yang lama. "Mau masak apa kau?" "Masak ini aja di tumis pedes." "Terus adek nya mau kau sayur kan apa?" sentak emaknya sekali lagi, Kemala yang sedari tadi menahan kekesalan langsung membuang labu siam yang ada di tangannya ke tong sampah, lalu beralih mengambil kentang yang ia pikir bisa jadi sayur besok. nyatanya sang emak banyak protes tapi tidak memberinya saran. "Anjing nya kau jadi anak! gak ada otak! mati aja kau." Makian itu lagi? Kemala ingin rasanya berteriak marah, memaki kembali emaknya yang selalu saja begini semenjak ia menginjak remaja di tambah dengan keadaan yang mengharuskan dirinya berada di rumah dalam waktu yang cukup lama, karena sedari ia SMA, ia memilih ngekost meskipun di tahun ke dua ada yang menawarkan dirinya untuk pulang-balik. Semua keputusannya karena ini, sebab semakin lama ia berada di rumah, maka semakin besar peluangnya dengan sang emak untuk gelut atau berkelahi. Sehingga di masa daring ini ingin rasanya ia kembali ke kota medan dan kembali ngekost. "Gak usah masak kalau kau gak mau masak. anak gak ada otak kau." "Mak, udah jangan marah-marah lagi, sakit aku denger makian mamak," lirih Kemala yang tetap berusaha menahan suaranya agar tidak terkesan membentak sang emak, namun yang namanya seorang ibu dan umur yang hanya terpaut 18 tahun dengan dirinya, sama-sama memiliki sifat yang keras membuat perdebatan itu tidak juga berhenti, bahkan Kemala sudah masuk meninggalkan kentang yang baru ia kupas setengah, hingga secara mengejutkan ibunya datang ke kamar dengan membawa mangkuk kaca berisi sayur tadi pagi yang baru di panaskan, lalu melemparkan mangkuk itu ke arahnya yang sedang menyusun buku tugas milik muridnya. PRANG! "Allah! apa nya, Mak?" Teriak Ika yang berlari dari dapur menghampiri dirinya di kamar dan melihat keadaan kamar yang penuh dengan pecahan kaca di mana-mana, sedangkan Ia sendiri hanya terduduk lemas di sebelah lemari dengan suara tangis sengugukan dan badan gemetar. "Ngopo sih?" ( Ngapa sih?) teriak sang bapak dari arah luar begitu mendengar suara keributan dari arah kamarnya. "Anakmu iku gak nduwe utek," (Anakmu itu, gak punya otak.) ujar ibunya dengan emosi yang juga belum reda, Kemala yang menganggap ini sudah keterlaluan langsung menatap ibunya sendu. "Aku tadi nanya bagus-bagus ke mamak mau masak apa, tapi jawab mamak malah ketus. Giliran aku pilih mau masak itu mamak marah lagi, aku bingung harus gimana, aku masih kuliah, aku masih zoom, aku ngajar bentar lagi anak kelas tiga ujian nasional. Mamak nganggap di rumah ini cuma ada aku, aku, aku! itu ada Ika, dia bisa masak, toh pulang sekolah nanti aku yang cuci piring." "Jawab aja kerjamu. Percuma sekolah tinggi, tapi adab gak ada! durhaka, biar nanti kalau kau punya anak, kayak kau anakmu itu, bahkan lebih parah." Tangis Kemala semakin deras, ia merasa sangat sakit sekali mendengar sumpah serapah ibunya, meski ia tahu dirinya juga salah tadi dan durhaka lantaran membuang sayuran, dan ia mengakuinya. Tidak seharusnya ia melakukan hal ini, tapi karena sudah marah ia tidak bisa membendungnya lagi. "Udah, Kak. Siap-siap ngajar sana, udah mau jam dua itu, belum sholat lagi." Kemala berdiri degan badan yang bergetar, ia menatap bapaknya dengan penuh rasa bersalah, sebab harus disambut hal seperti ini sepulang kerja. Padahal ia yakin bapaknya itu pasti sangat lelah sekali. Dengan rasa bersalah Kemala mandi di kamar mandi depan , karena enggan mencari perkara sama emaknya yang sedang berada di dapur . Dengan menahan kesedihan ia melaksanakan sholat dan ketika di sujud terakhir tangisnya tumpah meluapkan rasa sakitnya yang sedari kemarin-kemarin ditahannya, nafasnya tercekat dengan suara lirih ia meminta agar tuhan kembali meluaskan rasa sabarnya agar tidak lepas kontrol seperti tadi, bahkan karena emosi ia meninggalkan kelas zoom gelombang kedua yang artinya ia dianggap tidak hadir. "Ya allah, aku salah saku sadar, tapi lunakkan lah hati mamak agar bisa juga mengontrol kalimat dan ucapannya, sakit sekali mendengar itu semua." lirihnya mengakhiri sholat dan segera berangkat ke sekolah untuk mengajar. sepanjang mengajar ia menjadi lebih banyak diam, bahkan murid-murid nya hanya ia berikan tugas saja, tanpa ia jelaskan materi apa pun. pikirannya tengah berkecamuk dan sedang tidak berada di sekolah. Hingga pesan dari Adi membuat Kemala sedikit melupakan rasa sakitnya. Buaya sss Siang, La. Aku lagi istirahat ini. Kemala tersenyum membacanya, ia dengan Adi merupakan orang sangat jarang sekali bertanya sedang apa, udah makan atau belum, lagi di mana. Mereka lebih sering langsung menceritakan nya tanpa di minta. "Makan lauk apa? Mala lagi ngajar." Balas Kemala dengan cepat, jarang-jarang si buaya yang sedang berusaha tobat ini bisa aktif di jam-jam seperti ini. Tak lama, pesan balasan Adi masuk kembali. Buaya sss Aku udah keluar dari kilang, gak jelas kerjanya. Ada keterkejutan di dalam hati Kemala, mengingat jika Adi belum terlalu lama bekerja di sana, bahkan bisa dikatakan masih dalam masa training. Tapi kenapa pemuda yang menjabat sebagai kekasihnya itu malah berhenti mendadak? Apa yang tidak jelas? "Kenapa berhenti?" Pesan Kemala hanya centang satu yang artinya Adi sudah tidak aktif lagi, mungkin besok atau nanti sore barulah pemuda itu bisa aktif kembali. Kemala melihat kembali murid-murid nya yang terlihat anteng dan tenang, masing-masing dari mereka mengerjakan tugasnya sendiri tanpa ada kebisingan seperti sebelum-sebelumnya. "Yang udah siap kumpul yah, jangaj dikasih tahu temannya. Nanti nilainya ibu buat nol." Terdengar suara protes dari beberapa murid, dan yang lebih menggelikan lagi semua siswanya mendadak berselisih dengan menjauhkan buku mereka masing-masing dari teman se-mejanya. Hal yang membuat ia hampir saja ngakak. *** Malam harinya, Kemala dikejutkan dengan Adi yang menelpon tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. "Halo, kenapa bang?" "Assalamualaikum warahmatullahi wabaraktu..." "Waalaikumsalam warahmatullahi wabaraktu..." Jawab Kemala sedikit terkekeh ketika mendengarkan suara tawa Adi setelah ia menjawab salam itu tak kalah semangat. "Lagi apa? Udah nulis belum?" "Ini lagi ngehalu, masih dapet seribu doang." "Bagus, dong. Aku belum nulis sama sekali." Kemala swdikot tidak percaya, pasalnga Adi merupakan seorang penulis yang produktif tiada hari ganoa nulis. "Btw, La. Kemarin kamu pinjem akun soapa buat WD? Masih pake punya dia?" "Masih, kan udah cair juga. Mungkin selanjutnya juga make punya dia." "Jangan pake punya dia lagi yah. Pake punya temen aku yang sering ku pake aja." Kemala sedikit heran dan bertanya-tanya ada apa gerangan, pasalnya orang yang menjadi tempatnya meminjam ini merupakan temen akrab Adi, lantas kenapa kekasihnya itu malah mengatakan sebaiknya jangan? "Kenapa emang? Ada masalah yah?" "Udah dengerin aku, bulan depan kalau Withdraw pake punya teman aku aja, nanti aku bilang." Meski tidak dijawab oleh Adi alasannya, tetap saja ia merasa khawatir, sebab dirinya tidak ingin memiliki masalah dengan siapa pun termasuk orang yang sudah berbaik hati meminjamkan akunnya untuk ia pakai. Terlebih dirinya belum memiliki mental sekuat itu untuk mendengar pembicaraan buruk mengenai dirinya. Semoga saja tidak terjadi apa-apa yang menyangkut hubungan nya dengan sang pemilik akun.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN