2

1506 Kata
"Gimana kencannya?" Gibran mengabaikan pertanyaan gila dari Tian. Dia langsung bergerak masuk ke dalam ruangan dan berbaring di sofa yang ada di ruangan miliknya. "Kalau cuma mau tiduran, kenapa engga pulang aja ke rumah?" Walaupun sudah berusaha mengabaikan pria menyebalkan itu, pada akhirnya Gibran tetap merasa emosi dengan segala yang keluar dari mulut Tian. "Ini perusahaan punya gue, badan juga badan gue, terserah dong gue mau tiduran di mana aja. Kenapa hal kayak gini juga harus lo urusin?" sentaknya kesal. Tian yang biasanya tidak keberatan untuk membantah, kali ini langsung terdiam karena dia tahu Gibran sedang tidak dalam keadaan yang bisa menerima leluconnya yang tidak lucu. Maka yang dia lakukan hanya memandangi sahabatnya yang sedang memejamkan mata itu sejenak sebelum memutuskan keluar dari ruangan. Ini yang disukai Gibran dari Tian, meskipun lebih banyak bertingkah menyebalkan dengan raut wajah datarnya itu, namun Tian tahu kapan dia harus diam. Karena jika sampai Tian tidak menyadari keadaan dirinya saat ini, bisa dipastikan Gibran akan meledak saat ini juga. Jika disuruh memilih, Gibran lebih memilih untuk mengerjakan beberapa rancangan paket liburan baru dari perusahaan jasanya daripada harus satu jam bersama wanita. Apalagi jika wanita model seperti Ellea yang hanya mendekati dirinya karena status yang ia miliki saat ini. Sejak Gibran memutuskan berhenti sebagai atlet nasional, ia membanting stir dengan mendirikan perusahaan di bidang jasa travel bermodalkan tabungannya yang ia dapat dari semua pertandingan yang dimenangkannya selama ini. Awalnya semua tidak berjalan lancar karena Gibran tidak memiliki dasar bisnis yang cukup, dia adalah anak nakal yang bahkan putus kuliah karena terlalu banyak bermain-main. Untungnya saat itu Tian yang merupakan lulusan universitas terkenal mau membantu Gibran untuk menjalankan perusahaan barunya dengan syarat Gibran mau melanjutkan kuliah yang sempat terhenti. Karena sudah terlanjur menjalankan perusahaan dan tidak bisa mundur, akhirnya di usia yang sudah memasuki dua puluh lima tahun, Gibran mengambil kelas karyawan bisnis dan menyerahkan urusan perusahaannya pada Gibran. Hanya butuh waktu tiga tahun bagi Gibran untuk bisa lulus sebagai sarjana, dirinya diberkati dengan otak yang cemerlang yang selama ini dirinya sia-siakan. Dan perusahaan juga berjalan sangat baik dibawah kendali Tian hingga berhasil menjadi perusahaan pendatang yang cukup disegani di sektor bisnis. Ditambah setelah Gibran mengambil alih sepenuhnya urusan perusahaan, keuntungan menjadi berlipat ganda dan dalam lima tahun sejak berdirinya, perusahaan GA Travel mampu menjadi perusahaan yang paling tinggi pendekatan pertahunnya. "Kopi." Matanya yang tadi sudah nyaris terpejam itu kembali terbuka saat suara datar yang tadi sempat hilang kembali terdengar di telinganya. Gibran bangkit dari posisi tidurannya dan bersandar di sofa, diikuti Tian yang kemudian menyerahkan satu gelas kopi untuk Gibran dan memegang satu gelas untuk dirinya sendiri. "Gue udah minum kopi padahal tadi," ujar Gibran pelan. Meskipun berkata demikian, dia tetap meminum kopi yang tadi diberikan Tian padanya. "Engga berjalan lancar?" tanya Tian. Terdengar kekehan kecil di sebelahnya, namun Tian tidak menoleh sama sekali. "Memangnya lo berharap apa? Lo berharap gue akan jatuh cinta sama Ellea kayak cowok-cowok bego yang selama ini mau ngelakuin apapun buat dia dan pada akhirnya dibuang?" tanya Gibran retoris. Tian tersenyum miring sambil meminum kopinya sendiri. "Lo udah tiga puluh tahun, Gi," gumamnya. "Terus lo masih tujuh belas?" Kali ini Tian tertawa kecil. Gibran adalah ahlinya dalam membuka semua ucapannya dengan telak. "Kenapa kita masih sama-sama sendiri di usia yang udah tua ini?" tanya Tian. Gibran tersenyum miring sambil menyibak rambutnya. "Karena lo masih dengan bodohnya nunggu cewek yang udah pergi ninggalin lo, dan gue sama sekali engga tertarik buat menikah," jawabnya. Tian tersenyum masam, itulah yang orang-orang tahu tentang Teresa, mantan kekasihnya. Semua orang hanya menganggap bahwa Teresa meninggalkan nya begitu saja, padahal yang sebenarnya justru lebih mengerikan dari itu. "Dia engga jahat, Gi," bantah Tian pelan. Gibran mendengkus, "Kalau dia baik, dia engga mungkin ninggalin cowok yang cinta mati sama dia selama bertahun-tahun." Kali ini Tian terdiam, dia masih belum bisa memberitahu Gibran tentang alasan sebenarnya kenapa Teresa pergi meninggalkannya. Walaupun Gibran adalah sahabatnya, tapi untuk hal yang satu ini Tian merasa tidak bisa menceritakan nya begitu saja. Tian bangkit dari duduknya dan melihat ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. "Makan siang, Gi. Habis itu lo harus ketemu Manajer showroom," ujarnya. Gibran berdecak, bisa-bisanya Tian menyandingkan kata 'makan siang' dan juga 'pertemuan' di baris kalimat yang sama. Membuat dirinya bahkan langsung kehilangan nafsu makannya. °° "Bang, sekolah aku jadi pakai jasa travel Abang ya buat study tour nanti?" Gilang langsung bertanya begitu melihat Abangnya itu masuk ke dalam rumah. "Gilang, bahkan Abang kamu itu belum sempat duduk tapi kamu udah nanya begitu, engga sopan!" Gilang meringis saat menerima terguran dari Mamanya itu. "Maaf, habisnya aku dari siang udah mau tanya tapi engga berani hubungin Abang karena takut ganggu," katanya. Gibran tertawa sambil memukul kepala adik lelakinya itu pelan. "Kalau mau chat ya tinggal chat, Lang. Kayak siapa aja pakai bilang takut ganggu segala," katanya. Gilang menyengir dan mengikuti langkah Abangnya itu yang menuju ke meja makan. "Gibran laper, Ma," keluh Gibran manja pada Mamanya. Elsa tertawa, wanita paruh baya itu berjalan ke arah dapur dan kembali dengan membawa semangkuk besar ayam kecap kesukaan Gibran dan Gilang. "Makasih, Ma," ujar Gibran yang langsung menyendok nasi ke dalam piringnya. Ia lalu menoleh ke arah Gilang yang duduk di sampingnya tanpa mengatakan apapun. Dia tahu adiknya itu sedang menunggunya sampai selesai makan baru melanjutkan pertanyaannya tadi. "Jadinya tetap ke Jogja kan, Lang?" tanya Gibran di tengah suapannya. Elsa sempat menegur agar dirinya menghabiskan makanan nya terlebih dulu, namun Gibran beralasan bahwa dirinya tidak betah makan dalam keadaan senyap seperti ini. "Iya, Bang. Soalnya sekolah ku kan sekolah umum, jadi banyak dari teman-teman aku yang juga kesulitan buat bayar biaya study tour nya itu walaupun cuma ke Jogja," jawab Gilang. Gibran mengangguk pelan. Dirinya dan Gilang bersekolah di sekolah yang berbeda. Dulu Gibran bersekolah di sekolah Internasional karena pilihan Papanya, tapi Gilang memilih untuk bersekolah di sekolah umum karena adiknya itu tidak menyukai suasana kompetitif yang berlebihan yang biasanya terjadi di sekolah internasional. "Negosiasinya belum goal sama pihak sekolah kamu, besok Bang Tian yang bakal ketemu sama perwakilan sekolah kamu buat bahas lebih lanjutnya gimana," beritahu Gibran. Gilang tiba-tiba saja terdiam dengan wajah yang menunduk dan tangan yang bertaut gelisah. Meskipun Gibran sedang sibuk menghabiskan makan malamnya, namun dia menyadari bahwa saat ini sedang ada hal yang ingin dikatakan oleh adiknya itu meskipun agak ragu. "Ada apa, Lang?" tanya Gibran. Terlihat adiknya sedikit terkejut mendengar pertanyaannya itu. Gilang beberapa kali membuka mulutnya namun kemudian urung mengatakan apa yang ingin dia katakan. "Ngomong aja langsung, ada apa sih?" desak Gibran. Dia menyuapkan suapan terakhir dan meminum habis segelas air putih di depannya. "Bang, kalau sekolah ku udah pasti pakai jasa perusahaan Abang, bisa engga Abang sediain satu paket secara gratis?" tanya Gilang pelan. Gibran menaikan sebelah alisnya, "Buat kamu?" tanyanya. Tapi Gilang justru menggeleng. "Buat salah satu teman aku, dia bilang dia engga bisa ikut karena engga punya uang buat bayar biayanya," jawabnya. Gibran terdiam beberapa saat sambil menatap adiknya yang kian gugup. "Cewek?" tebak Gibran. Jeda beberapa detik sebelum akhirnya Gilang mengangguk patah-patah. Gibran langsung tersenyum menggoda ke arah adiknya yang berusia enam belas tahun itu. "Woah, adik Abang ternyata udah besar ya. Udah bisa suka sama lawan jenis bahkan berkorban supaya bisa bareng terus sama cewek yang disukai nya," ledek Gibran. Di depannya, Gilang dengan wajah memerah menggeleng beberapa kali. "Bu-bukan, Bang. Dia cuma teman," bantah nya. Meskipun Gilang berkata begitu, namun wajahnya yang memerah dan kalimatnya yang terbata membuat Gibran yakin bahwa gadis yang sedang dibicarakan oleh adiknya ini adalah gadis yang spesial bagi Gilang. "Oke deh iya, cuma teman. Teman tapi mesra?" godanya lagi. Gibran tertawa keras saat melihat wajah Gilang yang cemberut. Adiknya itu bahkan sampai membuang muka, entah karena kesal atau malu. "Iya iya, nanti besok Abang coba bicarain sama Tian, gimana baiknya. Tapi Abang engga bisa janjiin apa-apa ya, Lang," ujar Gibran akhirnya. Gilang tersenyum lebar mendengar ucapan Kakaknya itu. Dia meminta Gibran mengabari nya nanti dan mengucapkan terimakasih sebelum kemudian pergi ke arah kmaadnya. Senyum tipis tersungging di wajah Gibran saat memandangi tubuh adiknya yang menjauh. Gilang yang masih SMA bahkan sudah bisa menyukai lawan jenis. Sedangkan dirinya yang sudah berumur malah tidak merasa tertarik sama sekali tentang hubungan jenis seperti itu. Bahkan karena sikap acuhnya tentang wanita itu, pernah ada surat kabar yang mengabarkan bahwa Gibran Gay. Dan gilanya, Gibran sendiri sempat berpikir mungkin dirinya memang gay. Tapi setelah dia membayangkan dirinya menjalin hubungan dengan sesama pria, dirinya berakhir dengan muntah-muntah hebat yang kemudian diduga oleh Tian sebagai keracunan makanan. Itu adalah kejadian paling konyol yang pernah Gibran alami. "Tuh, adik kamu aja udah mau punya pacar. Kamu kapan?" Pertanyaan mengerikan itu langsung membuat Gibran merinding. Walaupun disuarakan dengan sangat lembut oleh Mamanya, namun terasa menyayat hati untuk Gibran yang sama sekali tidak berpikiran untuk pacaran. "Ma, Gibran capek. Mau mandi terus langsung tidur ya," katanya sambil menyengir lebar. Melihat anaknya yang lagi-lagi mengalihkan topik membuat Kesalahan hanya bisa menggelengkan kepala pelan. "Ngeles aja terus, Gi," sungutnya. Tapi anak sulungnya itu malah hanya merespon dengan tawa bodoh kemudian buru-buru berjalan ke arah kamarnya. °°°
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN