Badai Pernikahan

17009 Kata
Pernikahan adalah ikatan yang pasti diinginkan dan di harapkan oleh semua insan yang menjalin hubungan asmara. Begitupun juga dengan pasangan Alfardo dan Shena, mereka akhirnya memutuskan untuk menikah setelah tujuh tahun lebih berpacaran. Pernikahan yang akan mempererat dan menyatukan mereka dalam ikatan suci di hadapan Tuhan. Ikatan yang akan menyatukan dua kepala dengan pemikiran yang berbeda, tetapi harus tetap mengambil keputusan yang sejalan tanpa mengutamakan ego masing- masing. Pernikahan yang mereka percayai sebagai akhir dari perjalanan cinta mereka. Tanpa mereka sadari, inilah sebenarnya awal dari ujian cinta mereka.  Ujian pendewasaan diri dari ikatan pernikahan. Shena pernah memimpikan menikah hanya sekali seumur hidup. Membangun keluarga kecil yang bahagia. Menghabiskan hari tua dengan suami, anak dan cucu mereka kelak. Namun apa daya jika tidak sesuai dengan kenyataan. Karena sekarang hanya tinggal impian. Pernikahan yang awalnya bahagia kini sedang dilanda badai. Shena menganggap ini sebagai cobaan dan ujian pendewasaan diri dalam rumah tangga. Tapi ternyata tidak dengan suaminya, Alfardo. Suaminya mulai terbuai dengan indahnya cinta sesaat dengan orang ketiga. Mengabaikannya yang berstatus istri sah. Alfardo, yang dulu berjanji di hadapan Tuhan dan walinya,yang berjanji menjaga di setiap sehat dan sakitnya, yang berjanji tidak akan membiarkan orang lain melukai, tapi nyatanya Alfardo sendiri yang melukai Shena begitu dalam. Luka yang tak berdarah, namun membekas meninggalkan rasa trauma hingga sekarang. Mencintai dan membenci di waktu yang bersamaan itulah yang saat ini Shena rasakan. Harapan yang Shena impikan, hanya dalam sekejap saja semuanya sirna. Karena hati suaminya memilih hati yang lain , bukan hanya namanya yang terukir di hati suaminya, ada nama wanita lain juga yang singgah disana. Alfardo, mematahkan harapan Shena. *** Semenjak kedua orang tuanya meninggal tiga tahun lalu karena kecelakaan, Shena hidup di kontrakan sebatang kara. Hingga ia bertemu Arini yang mencari rumah kontrakan, kemudian ia tawarkan untuk tinggal bersama. Sama-sama hidup sebatang kara mereka saling menjaga layaknya saudara. Rona bahagia nampak jelas di wajah Shena. Hari ini ia akan melepas masa lajangnya.  Acara pernikahan sederhana yang dihadiri kerabat dekat Alfa dan Shena. Alfa terlihat tampan mengenakan kemeja putih dibalut jas dan celana bahan yang berwarna hitam. Alfa gugup dan gelisah karena berhadapan dengan Penghulu di ruang tamu melangsungkan ijab-qabul. Suara Penghulu yang memulai ijab-qabul terdengar samar-samar di kamar di mana Shena menanti dengan tegang. "Ananda Alfardo Bin Sarman, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Ananda Shena binti Rusman Hadi dengan mas kawin perhiasan dan seperangkat alat sholat dibayar tunai," ucap penghulu. Saya terima nikah dan kawinnya Shena Binti Rusman Hadi dengan mas kawin tersebut, tunai," dengan satu tarikan nafas Alfa melafalkan ijab-qobul. "Bagaimana saksi, sah?" tanya penghulu. "SAH ...," para saksi serempak menjawab. "Alhamdulillah." Semua orang yang hadir mengucap syukur. Shena terlihat cantik dengan balutan kebaya baby pink pemberian Alfa. Bahagia akhirnya menyandang status istri Alfa. Tanpa terasa ia meneteskan air mata mengingat kedua orang tuanya. "Ma, Pa, restui pernikahan Shena. Semoga kalian diatas sana bahagia melihat Shena menikah," batin Shena. Arini memeluk sahabatnya dari samping, memberi sedikit ketenangan pada Shena. "Jangan menangis," bisik Arini. "Nanti riasannya jadi rusak, kamu jadi kelihatan jelek, mau?" Arini mengurai pelukan mereka, menghapus air mata Shena. "Selamat atas pernikahanmu, apapun yang terjadi kedepannya nanti aku beserta lantunan doaku selalu menyertaimu." "Makasih, Ar. Aku sayang sama kamu," kata Shena berkaca-kaca. Tok ... tok ... tok Suara ketukan pintu menghentikan obrolan kedua sahabat itu. Arini melangkah membuka pintu. Nampak Bunda Risma berdiri di depan pintu. Arini menggeser tubuhnya mempersilahkan Bunda masuk. Bunda Risma melangkah masuk kemudian memeluk Shena yang sekarang telah menjadi Menantunya. Sejak pertama kali Alfa mengajak Shena untuk menemui keluarganya, seluruh keluarga menerima dengan tangan terbuka terutama bunda Risma. Ia langsung menyetujui saat Alfa meminta izin untuk menikahi Shena. "Selamat ya sayang sekarang kamu sudah jadi bagian dari keluarga ini," ucap Bunda Risma mengurai pelukannya. "Semoga Shena bisa jadi menantu dan istri yang baik ya Bun, tegur Shena kalau ada salah," Shena berkata dengan suara serak menahan tangis. "Kita sebaiknya segera membawa Shena keluar, Bun. Suaminya pasti sudah tidak sabar ingin melihat Sang istri,"  suara Arini menggoda sang sahabat. Bunda Risma terkekeh, sedangkan Shena menunduk menyembunyikan wajah merona nya. Didampingi bunda dan Arini, Shena berjalan menuju ruang tamu di mana Alfa menunggu. Shena duduk di sebelah Alfa. Selesai menandatangani berkas yang dibutuhkan Alfa melirik sekilas istri. Seketika senyum terbit di bibir Alfa mengingat Shena wanita yang ia cintai selama tujuh tahun kini resmi menyandang status Nyonya Alfa. Tak tergambarkan bahagia yang kini Alfa rasakan. Di saat banyak pasangan lain kandas ditengah jalan, tapi ia berhasil membawa wanitanya ke pelaminan. Alfa mencium kening Shena lembut, "Kamu cantik hari ini istriku, siap menghabiskan sisa hidup denganku?" bisik Alfa di telinga sang  istri. Shena mencium punggung tangan Alfa, kemudian mengangguk sebagai jawaban atas bisikan Alfa. Keduanya tersenyum bahagia, tanpa mereka sadari inilah awal dari ujian cinta. Tidak  ada resepsi besar besaran setelah acara ijab-qabul. Hanya acara makan bersama kerabat dekat. Ini adalah permintaan Shena, karena baginya pernikahan bukan dilihat dari seberapa mewah resepsi melainkan dengan siapa dirinya menikah. Acara telah selesai, sebagian kerabat ada yang menginap ada juga yang pulang ke rumah masing-masing. "Shena ...," panggil Arini pelan. "Ya ...," Shena menghentikan langkah berbalik menghadap Arini. "aku pulang dulu ya." "Kenapa tidak menginap saja? ini sudah terlalu malam untuk pulang," ucap Shena khawatir. "Aku besok harus kerja, nanti kejauhan berangkatnya kalau menginap di sini," ujar Arini.  "Lagipula aku tidak ingin mengganggu malam pertamamu." Arini menaik turunkan alis menggoda Shena. Shena tersipu malu, kemudian Alfa datang menghampiri memeluk erat pinggang sang istri. "Jaga baik-baik sahabatku sekali saja kamu menyakitinya, aku tidak akan tinggal diam,"  Arini menatap tajam Alfa. "Dengan segenap hati aku tidak akan pernah melukainya, karena kebahagiaannya adalah kebahagiaanku juga," ucap Alfa sambil mencium Kening Shena. "Percaya padaku!" Shena  memeluk erat sang suami. Di tahun pertama pernikahan ini, adalah tahun yang mendebarkan bagi Shena. Karena sampai sekarang dia belum juga dikaruniai malaikat kecil di rahimnya. Takut dan was-was, takut kalau ternyata dia tidak bisa memberi kebahagiaan yang lengkap di keluarga kecilnya. Alfardo dan Shena kini sedang berada di kamar mereka. Alfa duduk bersandar pada di kepala ranjang, sedangkan Shena bersandar pada bahu suaminya. Shena memulai pembicaraan mereka, "Mas, bagaimana jika ternyata aku tidak bisa memberikan anak untukmu?" "Kita menikah baru satu tahun, mungkin belum saatnya kita diberi kepercayaan untuk menjaga malaikat kecil di tengah-tengah keluarga kita," Alfardo menjawab pertanyaan Shena sambil mengecup kecil puncak kepalanya. "Bagaimanapun nanti kedepannya, biarpun selamanya kita tidak dikaruniai anak, aku akan tetap berada di sampingmu, lagian kita bisa mengadopsi anak seandainya kamu tidak bisa mengandung." "Aku mencintaimu bukan karena fisikmu, aku mencintaimu karena kamu adalah kamu bagaimanapun kamu aku tetap mencintaimu." Shena memandang bola mata suaminya, mencari kebohongan di setiap ucapannya, tapi yang ia dapati tatapan kesungguhan yang terpancar di mata suaminya. "Aku juga mencintaimu, Mas." Shena memeluk suaminya. Alfardo mengusap kepala Shena dengan mesra. "Lalu bagaimana dengan Ayah dan Bunda, Mas?" ada nada kekhawatiran yang Shena ungkapkan. "Apa mereka bisa menerima, seandainya aku tidak bisa memberi cucu kepada mereka?" "Kamu hanya dibayangi rasa takutmu sendiri sayang, sekarang istirahatkan tubuh dan pikiranmu, jangan berpikir apa yang belum tentu terjadi, itu akan membuatmu lebih takut lagi." Alfardo merebahkan tubuh istrinya, mengecup kening istrinya kemudian menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka. "Selamat tidur, Istriku." "Selamat tidur juga, Mas." *** Seperti biasa, Shena bangun lebih awal dari suaminya. Dia bangun lebih dulu untuk menyiapkan sarapan bagi keluarganya sebelum semua memulai aktifitas bekerja kecuali Shena.  Semenjak menikah, Alfa melarang istrinya bekerja. Shena yang ingin menjadi ibu rumah tangga seutuhnya pun menuruti apa yang dikatakan suaminya. Shena bangun dan bergegas ke kamar mandi untuk melakukan ritual membersihkan diri. Setelah selesai ia bergegas menuju ke dapur. Membuka kulkas melihat persediaan bahan makanan untuk dimasak pagi ini. "Ah, seperti aku membuat nasi goreng saja pagi ini, masih ada sisa nasi semalam," Shena bergumam lirih. Shena mengambil bumbu, sayuran dan telur untuk campuran nasi gorengnya nanti. Setelah ritual memasak hampir selesai, seluruh keluarga sudah siap di meja makan dekat dapur. "Selamat pagi, Nak," Ayah dan Bunda serempak menyapa Shena. "Selamat pagi, Ayah, Bunda," Shena membalas sapaan kedua mertua nya. "Ayah, Bunda, duduk dulu di ruang makan, sebentar lagi Shena selesai membuat sarapan." "Selamat pagi, Sayang," Alfardo mengecup sekilas sudut bibir istrinya. Shena menyikut kecil perut suaminya, "Ih, malu mas dilihat ayah, bunda," bisik Shena sambil menunduk malu. Alfardo terkekeh melihat rona malu istrinya. "Tidak apa, Sayang. Bunda dan Ayah dulu juga pernah muda seperti kalian," kata Risma membuat Shena bertambah malu. Sarman, Risma dan Alfardo kembali duduk di kursi masing-masing. Sarman duduk di bagian kepala meja, Risma di sebelah kanan, sedangkan Alfardo di sebelah kiri dan kursi kosong di sebelahnya adalah tempat duduk untuk Shena. Shena datang dengan wadah yang berisi nasi goreng buatannya, “Mari kita mulai sarapannya, sebelum Ayah dan Mas terlambat bekerja," Shena meletakan nasi goreng di tengah meja. Risma dengan cekatan menyiapkan nasi goreng ke piring suaminya, begitupun juga Shena. Suasana sarapan yang hening, hanya bunyi sendok dan piring yang saling beradu. Beginilah suasana makan di keluarga Sarman. Dia tidak mengizinkan berbicara di saat menyantap makanan. "Aku sudah selesai," Alfardo bersuara setelah meneguk segelas air putih yang disediakan istrinya. "Aku juga sudah selesai." Shena ikut bersuara saat nasi goreng di hadapannya sudah habis berpindah ke perutnya. Ayah, Bunda juga sudah selesai," kata mereka. "Mas, nanti siang aku bolehkah keluar dengan Arini?" Shena bertanya kepada suaminya saat mereka berada di ambang pintu keluar rumah menghantar suaminya berangkat kerja. "Kemana?" Alih-alih memberi jawaban, Alfardo malah balik bertanya. "Hanya makan siang, mungkin juga jalan ke mall sebentar, boleh?" jawab Shena. "Boleh.”  Alfardo mengiyakan keinginan istrinya. "Asal jangan terlalu lelah, dan ingat jaga diri baik-baik.  Aku tahu kamu ceroboh, jika ada sesuatu segera hubungi mas!" pesan Alfardo. "Siap kapten!" seru Shena girang. "Ya sudah, Mas berangkat kerja dulu, ingat hubungi mas jika terjadi sesuatu.” Alfardo mencium puncak kepala istrinya. Shena mencium punggung tangan suaminya. Begitulah ritual yang dilakukan suami istri ini sebelum Alfardo berangkat kerja. "Assalamualaikum," pamit Alfardo. "Waalaikumsalam, hati-hati Mas," kata Shena. Alfardo melangkah menuju mobil dan berangkat kerja. Shena berdiri di depan pintu menunggu hingga suaminya keluar pintu gerbang rumah. "Alfa sudah berangkat, Nak?" tanya Sarman yang tiba-tiba sudah berada di sampingnya membuat Shena terkejut. "Sudah, Ayah. Baru saja ia keluar gerbang," jawab shena. Ya sudah Ayah juga mau berangkat dulu, takut telat. "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam ayah, hati-hati."  Shena kembali kedalam rumah, menutup pintu  dan menguncinya. Dia bergegas ke dapur dan membereskan meja makan sisa sarapan mereka. Saat sudah sampai di dapur, Shena tidak melihat bundanya di sana. "Mungkin bunda di kamarnya," gumam shena. Setelah selesai membereskan dapur, Shena bergegas menuju kamarnya untuk membersihkan diri dari keringat.  Tapi belum sampai di kamar, Risma memanggilnya untuk duduk di ruang keluarga. "Shena, ada yang ingin bunda bicarakan, duduk sini," pinta Risma Shena melangkah menghampiri bundanya, "Ada apa, Bun?" tanya Shena penasaran. Shena duduk tepat di sebelah Risma di sofa. "Bunda harap kamu tidak marah sama bunda," ujar Risma sambil menggenggam tangan Shena. "Kenapa bunda bicara seperti itu, sebenarnya ada apa bunda?" tanya Shena gelisah. "Bunda ingin mengajakmu ke dokter kandungan kenalan bunda, kita periksakan kandunganmu," ujar Risma  lirih dan hati-hati takut melukai perasaan menantunya. Shena menunduk, wajahnya berubah sendu. "Maafkan bunda sayang, Bunda tidak bermaksud melukaimu, bunda hanya ingin memastikan kandunganmu baik-baik saja," ujar Risma sambil mengelus lengan menantunya. "Kalian tidak menunda untuk memiliki anak kan?" tanya Risma memastikan. Shena menggelengkan kepala sebagai jawaban atas pertanyaan mertuanya. "Kalau begitu, besok kita ke dokter ya, kita periksakan disana ada masalah atau tidak dengan kandunganmu biar lebih jelas," bujuk Risma. Shena masih tetap menunduk, tapi kini ada setitik air mata yang jatuh.  Ini pembicaraan yang sensitif menurutnya. Dia perempuan. Dia juga ingin segera punya anak. Tapi apa yang bisa diperbuatnya saat belum diberi kepercayaan, sedangkan dia dan suaminya terus berusaha. Setelah pembicaraan yang dilakukan Risma dan Shena pagi tadi, dan berakhir dengan Shena yang menyetujui usulan mertuanya untuk periksa ke dokter kandungan besok. sekarang dia sudah berada di Cafe salah satu mall ternama dekat tempat kerja sahabatnya, Arini. Waktu menunjukkan pukul 12:30 pm, saat dirinya tiba. Shena mengedarkan pandangannya ke penjuru Cafe mencari tempat yang kosong, Keadaan Cafe yang padat pengunjung padahal bukan hari libur  membuat Shena kesusahan mendapatkan tempat duduk . Setelah menunggu hampir lima belas menit, akhirnya dia mendapatkan meja kosong dengan dua kursi di dekat pintu masuk. Arini juga belum datang padahal sudah lebih 30 menit dari waktu yang dijanjikan. Shena duduk di salah satu kursi yang menghadap pintu masuk, agar bisa langsung melihat saat sahabatnya datang. "Hai, maaf telat," sesal  Arini. Dia menarik kursi kemudian duduk tepat di hadapan sahabatnya. Shena yang sedang melamun pun kaget saat mendengar sapaan sahabatnya, "Eh, hai," jawab Shena dengan senyum yang dipaksakan "Kamu lagi ngelamunin apaan sih?" tanya Arini sedikit mengernyitkan alisnya. "Ar, bagaimana jika aku tidak bisa punya anak?" dengan raut wajah lesu Shena bertanya pada sahabatnya. "Kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?" tanya Arini sedikit kaget. "Apa terjadi sesuatu dengan dirimu?" "Aku hanya sedang berpikir, Kami menikah sudah setahun lebih Ar, tapi sampai saat ini aku belum juga hamil, padahal aku tidak meminum pil untuk penundaan," jawab Shena. "Bahkan tanda-tanda hamil sampai saat ini pun belum terlihat." "Apa Alfa menuntutmu untuk segera mempunyai anak?"  Shena menggelengkan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaan Arini. "Apa mertuamu?" lagi-lagi Shena hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. "Lalu, kenapa kamu jadi lesu kaya gini, bukan kaya Shena yang aku kenal ceria dan banyak senyum." kata Arini. Suasana hening sejenak, Arini sibuk membolak-balik buku menu. Sedangkan Shena, masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Dia sebenarnya tidak semangat keluar hari ini, tapi teringat janjinya pada Arini kemarin jadi terpaksa dia pun keluar rumah. Mungkin menemui sahabatnya bisa sedikit mengurangi beban pikirannya. "Besok, Bunda ngajak aku buat periksa kandungan ke dokter." ucap Shena tiba-tiba memecah keheningan diantara mereka. "Ya bagus dong, jadi bisa tahu kandungan kamu sehat apa tidak, kamu juga bisa konsultasi ke dokter biar bisa cepet hamil, terus aku dapat keponakan," seru Arini antusias. "Terus, bagaimana kalau ternyata hasilnya aku tidak sehat?" Shena berkata dengan suara serak menahan tangisnya. Shena benar-benar dilanda rasa takut. Bagaimana nasibnya kalau ternyata dia tidak sehat, apakah mertua dan suaminya masih akan mempertahankannya? banyak pikiran buruk yang melintas di benaknya, pemikiran yang belum tentu berakhir buruk, tapi Shena sudah ketakutan terlebih dahulu. "Sekarang jangan pikirkan apapun dulu,ketakutan yang ada dipikiranmu itu belum tentu akan terjadi," hibur Arini. Lebih baik sekarang kita makan, setelah itu kita keliling Mall, "Kamu habiskan uang Alfa," ucap Arini sambil terkekeh. Arini mengangkat sebelah tangan memanggil pelayan. Pelayan datang. "Satu porsi ayam kecap dan nasi putih, minumnya es teh lemon, Kamu pesan apa?" Arini menyebutkan pesanannya kemudian bertanya pada Shena. "Satu porsi udang asam manis dan nasi merah, minumnya es teh lemon juga."  Pelayan dengan sigap mencatat pesanan mereka. "Satu porsi ayam kecap dan nasi putih, satu porsi udang asam manis dan nasi merah, minumnya dua gelas es teh lemon, ada lagi?" kata pelayan Cafe menyebutkan pesanan mereka. "Tidak, terima kasih," ucap mereka berdua serempak. Pelayan Pun pergi meninggal kan meja mereka untuk menyerahkan pesanan mereka kepada Chef  di dapur restoran. "Kamu tahu kan, aku selalu ada buat kamu, kesedihanmu kesedihanku juga, jadi kalau ada apapun jangan dipendam sendiri, kamu harus berbagi denganku, kita bisa cari solusinya sama-sama." Arini menggenggam tangan Shena yang berada diatas meja. *** Shena dan Arini, mereka telah selesai makan siang. Sekarang mereka sedang berada di toko sepatu. Rencananya hari ini Arini ingin membeli sepatu sport untuk olahraga keliling komplek di tempat kostnya setiap minggu pagi. Mereka jalan beriringan, sambil sesekali bercanda dan tertawa bersama. Arini merasa sedikit lega sahabatnya bisa sejenak melupakan kegundahan hatinya.  Walau sebenarnya tanpa Arini ketahui, Shena masih tetap merasa takut, namun ia menunjukan sikap seolah dirinya baik-baik saja agar sahabatnya tidak khawatir. Ketika mereka melewati toko baju, tanpa sengaja Shena melihat pria yang mirip suaminya. Namun ia tidak sendiri, ada wanita dilihat sekilas seumuran dengan Shena. Shena yang sedikit penasaran pun berhenti untuk memastikan benarkah itu suaminya, atau hanya dia yang salah lihat. Mata Shena membulat saat yakin itu adalah suaminya, dan wanita di sampingnya sedang bergelayut manja di lengan Alfa.  Shena diam terpaku di tempatnya menyaksikan kejadian di depanya. Pandangannya tak lepas pada objek yang sedikit di depan, kakinya lemas, jantungnya seakan ditusuk ribuan jarum, hatinya terluka, dadanya sesak menahan tangis. Arini yang merasa sahabatnya tidak ada di sampingnya pun berhenti dan berbalik, ternyata Shena tertinggal di belakang. Arini menatap sahabatnya yang diam tak bergerak dengan pandangan lurus kedepan di toko baju. Arini pun mengikuti arah pandang mata Shena. Dirinya terkejut, tangannya terkepal, rasanya ia hampir meledak menghampiri Alfa, mewakili sahabatnya menanyakan apa maksudnya keluar dengan wanita lain yang seperti Koala menempel di lengannya. Arini hampir melangkah namun urung saat tanganya di tarik oleh Shena. "Kita pulang, Ar,” ajak Shena dengan air mata yang sudah mengalir di pipi nya. "Tapi, kita harus menanyakan ke Alfa dulu, apa maksudnya ini, apa dia bermaksud selingkuh di belakangmu?!” geram Arini. "Mungkin hanya rekan kerjanya, nanti di rumah aku tanyakan ke mas Alfa, kita pulang saja, maaf kita tidak jadi jalan-jalan." "Tidak apa, ayo kita pulang kalau itu mau mu," Arini mendengus kasar. "Tapi lihat saja, aku bakal bikin perhitungan sama Alfa kalau ternyata wanita itu adalah selingkuhanya." "Jangan," mohon Shena. "Astaga, hatimu terbuat dari apa Shena, kamu masih membela Alfa disaat seperti ini," geram Arini sambil menarik tangan Shena untuk pergi dari mall, "Ayo kita pulang." "Ingat ya, begitu Alfa sampai di rumah, kamu tanyakan siapa wanita tadi," Arini mengingatkan Shena. "Setelah itu kamu telpon aku, ceritakan semuanya padaku, jika benar wanita itu adalah selingkuhan  Alfa, maka aku akan menghabisinya."  Keluar dari mall, mereka memberhentikan taksi, dan pulang kerumah orang tua Alfa.  Di sepanjang perjalanan Shena hanya diam, namun air matanya sesekali masih membasahi pipi. Arini yang tahu sahabatnya butuh sendiri, ia pun tidak mengganggunya, hanya sesekali memperhatikan dari samping sambil menghela nafas mendengus kasar. Ia tahu sahabatnya terluka, karena ia pun merasakan luka saat melihat sahabat yang sudah ia anggap seperti saudara tersakiti. Tapi tidak ada yang bisa dilakukannya  kecuali selalu ada disampingnya memberi semangat. Suasana masih nampak sepi begitu Shena tiba dirumah. Jadi, dia tidak perlu menutupi wajah sembab dan mata bengkak akibat menangis di dalam taksi saat perjalanan pulang tadi. Hatinya gundah, haruskan dia menanyakan pada suaminya perihal yang ia lihat di mall tadi, atau harus diam pura-pura tidak terjadi apapun. Tenggorokannya  terasa kering, Shena menghela  nafas lirih kemudian melangkah menuju dapur untuk mengambil air minum. Setelah menenggak segelas air putih, Shena menuju ke kamarnya. Dia butuh mendinginkan pikirannya. Berendam dengan air dingin dan sedikit aromaterapi mungkin bisa menghilangkan sedikit beban pikirannya. Hari ini benar-benar hari yang melelahkan untuk hati dan otaknya. Berendam selama 30 menit dirasa cukup, Shena pun bergegas membilas tubuhnya, melangkah keluar dari kamar mandi yang berada di dalam kamarnya hanya berbalut handuk sebatas d**a dan panjang yang menutupi setengah dari pahanya.  Ia Melangkah kecil menuju lemari pakaiannya, mengambil dress pendek dibawah lutut berwarna biru polos tanpa lengan untuk ia kenakan. Selesai berpakaian dia menuju meja rias, memoleskan sedikit bedak untuk menutupi raut wajahnya yang sedikit sayu. Shena menatap dirinya di cermin, meskipun sudah ditutupi dengan riasan namun wajahnya tetap terlihat sayu. Ia menghembuskan nafas lelah.  Shena melirik jam di nakas samping tempat tidurnya, waktu menunjukkan pukul enam sore. Sebentar lagi kedua mertuanya tiba dirumah. Disusul kemudian Alfa akan pulang pukul tujuh malam sebelum makan malam dimulai. Handphone Shena berbunyi, benda pipih persegi yang dibelikan Alfa dua bulan lalu terdengar suara panggilan telepon masuk. Dilihatnya nama suaminya yang tertera di kontak panggilan, segera Shena menggeser tombol hijau menjawab panggilan telepon. "Halo, Mas." "Sayang, malam ini Aku lembur, jangan tunggu ya, kamu tidur dulu," kata Alfardo di seberang telepon. "Iya, Mas," jawab Shena. "Mas …,” panggil Shena sedikit ragu. "Kenapa Sayang?" tanya Alfardo di seberang telpon. "Ga, cuma mau pesan, jangan telat makan malam mas." ucap Shena lirih. Dia tidak jadi menanyakan perihal yang dilihatnya siang tadi. "Iya sayang, Aku kembali kerja lagi." Alfardo mengakhiri sambungan teleponnya terlebih dahulu. Shena masih terduduk di tempat tidurnya sambil memandangi handphone yang menampilkan layar gelap. "Apa kamu benar lembur mas?" gumam Shena lirih. "Atau hanya alasanmu saja agar bisa berdua lebih lama dengan wanita tadi?" setetes air mata Shena terjatuh disertai isakan kecil, kemudian berubah menjadi tangis dan air mata yang terjatuh semakin deras. Hari ini, entah sudah berapa banyak air mata yang Shena keluarkan.  ** Malam ini, Shena terlihat tidak bersemangat. Saat makan malam dengan mertuanya pun Shena tidak banyak bicara seperti biasanya. Selesai menyantap makan malam dan membereskan peralatan makan mereka, Shena duduk di ruang keluarga sambil menonton tv. Matanya menatap lurus kedepan, tapi pikirannya entah kemana. Hingga saat kedua mertuanya duduk di sebelahnya pun, ia tak menyadari. "Sayang … Nak … Shena," panggil Risma namun tidak ada jawaban. Pandangan Shena masih lurus ke depan. "Sayang ….” Risma menepuk halus pundak Shena menyadarkan dia dari lamunannya. "Ya … ya … ada apa, Bunda?" Shena terbata dan sedikit tersenyum berharap mertuanya tidak menyadari bahwa dirinya sedang melamun. "Kamu kenapa, ada masalah atau bertengkar sama Alfa?" tanya Risma. "kamu dari tadi bunda panggil, ga jawab." "Ga Bunda, Shena lagi fokus nonton tv jadi ga kedengeran pas Bunda panggil," elaknya menunduk takut jika mertuanya melihat kegundahan hati yang terlihat di wajahnya. Risma menganggukan kepala. Matanya menatap Shena yang masih menundukkan kepala. Risma berkata, "Besok ke dokternya, kamu ajak sekalian Alfa ya." "Iya, Bun. Nanti Shena bilang ke mas Alfa kalau sudah pulang kerja." Shena mengangkat kepala memperhatikan mertua di sampingnya. "Jangan takut, pasti baik-baik saja. Apapun hasilnya kamu tetap menantu kami." Risma menenangkan menantunya yang terlihat gelisah. "Terima kasih, Ayah, Bunda." "Yaudah, sekarang kamu istirahat." Risma mempersilahkan menantunya beristirahat. "Selamat malam, Yah, Bun. Shena istirahat dulu." pamit Shena kemudian melangkah menuju kamarnya. Masih di ruang keluarga, Sarman dan Risma belum beranjak dari sana. Sejenak keheningan menyelimuti mereka, hanya suara tv yang terdengar. "Pak …,” panggil Risma kepada suaminya. "Hmm.” namun hanya deheman yang didapat sebagai jawaban atas panggilan nya. "Pak, ih Bunda serius ini manggilnya," suara Risma sedikit cemberut. "Iya, ada apa sih, Bun?" tanya Sarman sambil menghadap istrinya. "Pengen di manja sama Ayah ya, sini ayah manjain?" Sarman terkekeh menggoda sambil mengedipkan sebelah matanya. "Ih …  sudah tua juga masih goda Istri kaya muda aja, ingat umur, Yah." gumam Risma cemberut namun tidak dipungkiri terbit senyum tipis di bibirnya. "Tapi Bunda senangkan Ayah goda, itu buktinya Bunda senyum, iya kan?" tanya Sarman sambil memeluk istrinya dari samping. Risma mencubit kecil pinggang suaminya.  "Ayah merasa tidak kalau dari tadi Shena terlihat sedih, tidak seperti biasanya," ungkap Risma. "Apa mungkin sedang bertengkar dengan anak kita?" tebak Risma. "Jangan suudzon Bun, mungkin Shena kelelahan." "Awas saja kalau anak ayah yang bikin menantu bunda sedih, Bunda akan hajar dia!" Seru Risma.  "Anak bunda juga itu," kekeh Sarman menambahi ucapan istrinya. Risma berdiri dari duduknya,"Ayo tidur Yah, Bunda sudah mengantuk." Ajak Risma sambil melangkah menuju kamarnya. Sarman pun beranjak melangkah mengikuti istrinya menuju kamar mereka, "Mau ayah gendong, Bun?" tawar Sarman saat tepat  berada disamping istrinya. "Yakin mau gendong bunda, ga takut encok?" ejek Risma. Sarman melirik istrinya dengan wajah cemberut atas ejekan Risma. ** Sedangkan di kamar Shena, ia masih belum bisa memejamkan matanya. Hatinya sedang dilanda rasa gelisah sehingga ia sulit memejamkan mata mengistirahatkan tubuh dan pikiran. Posisi tidur yang meringkuk membelakangi pintu kamar dengan selimut yang menutupi dirinya sebatas d**a, namun pikiran yang berkelana menambah matanya sulit terpejam. Dia melirik jam di nakas kamarnya, waktu menunjukkan pukul 11:30 pm. Bertepatan dengan pintu kamar yang dibuka dari luar.  Shena enggan menatap pintu kamar, tanpa melihat pun dia tahu siapa yang membuka pintu. Shena memejamkan mata pura-pura tidur. Dia enggan menatap suaminya saat ini. Hatinya belum siap dengan kenyataan jika wanita yang dilihatnya tadi adalah selingkuhan Alfa. Dia butuh waktu untuk menguatkan dirinya. Alfa yang merasa istrinya sudah tertidur, melangkah masuk kamar sebelumnya menutup pintu dan menguncinya, menuju ranjang mereka, ia berdiri di sisi kanan ranjang tempat Shena berbaring. Ciuman kecil mendarat di kening Shena, tangan Alfardo mengusap lembut puncak kepala Shena. Shena masih berpura-pura tidur.  "Semoga mimpi indah, Istriku. Maaf." suara Alfa terdengar lirih saat mengucapkan kata maaf ia pikir istrinya sudah tidur. Shena kaget saat mendengarnya, namun masih tetap memejamkan mata . Alfa melangkah menuju kamar mandi, ia ingin membersihkan diri sebelum menyusul istrinya di ranjang. Alfa membuka pintu kamar mandi bersiap masuk, namun suara Shena menghentikan langkahnya. "Mas, boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Shena, setelah melawan pergolakan hatinya ia memantapkan diri bahwa harus meluruskan apa yang dilihatnya hari ini. Bola mata berwarna hitam menatap tepat ke arah suaminya. "Kamu belum tidur, Sayang?" Alfa balik bertanya, ia membatalkan niatnya masuk kamar mandi kemudian berbalik menuju ranjang dan duduk disamping Shena. Saat sudah tepat berada di hadapan istrinya, Dia sedikit tersentak kaget melihat wajah sendu istrinya bukan senyum ceria seperti hari-hari biasanya. "Kenapa?"  "Tadi siang … emm … itu …," Shena gugup. "Kenapa sayang, bicara yang jelas." suara lembut Alfa namun terdengar tegas, menggenggam tangan istrinya. "Tadi siang aku lihat mas jalan sama perempuan di mall!" seru Shena dengan satu tarikan nafas. Dia menarik tangan yang digenggam suaminya. Ia menunduk tidak siap menatap raut wajah suaminya.  Alfa tersentak sedikit mundur dari duduknya, ia terkejut dengan ungkapan istrinya. Jantungnya berdebar kencang. Suasana kamar mendadak hening, keduanya terdiam, mengontrol detak jantung mereka yang sama memburunya. "Sayang, yang kamu lihat tadi tidak seperti apa yang kamu pikirkan." Alfa maju mendekati istrinya setelah berhasil mengontrol degup jantungnya. Shena memberanikan diri mengangkat wajahnya begitu mendengar suara Alfa. Menatap lekat wajah suaminya yang hanya berjarak beberapa centi dari wajahnya. "Kamu tahu apa yang aku pikirkan mas, hebat." sinis Shena. "Bahkan aku sendiri tidak yakin apa yang sedang aku pikirkan mas." "Bukan begitu sayang." Alfa mencoba memeluk tubuh istrinya. Namun Shena bergerak mundur.  Isakan kecil keluar dari bibir Shena. Air mata kembali jatuh. Alfa tetap melangkah maju untuk merengkuh tubuh istrinya, hingga ia berhasil mendekap tubuh Shena yang memberontak di pelukannya. "Kamu jahat, Mas." lirih Shena membiarkan tubuhnya didekap Alfa. "Kamu salah paham sayang, dia hanya rekan kerjaku tidak lebih." Alfa merenggangkan pelukan mereka. Kedua tangannya berada di bahu Shena. Isak tangis Shena masih terdengar memilukan di telinga Alfa. Bukan, bukan air mata di mata indah istrinya yang Alfa inginkan. Tapi kini, mata indah itu mengeluarkan air mata karena dirinya. "Hubungan kerja yang seperti apa mas sehingga seorang wanita bisa memeluk lengan suami wanita lain dengan mesra!" teriak Shena meluapkan kekesalan yang sudah berusaha ia tahan dari tadi. Punggung tangan nya  menghapus kasar air mata yang dari tadi tidak berhenti mengalir. Alfa terdiam, dirinya terkejut dengan keberanian Shena yang entah di dapatnya dari mana. Yang di depannya  saat ini seperti bukan istrinya. Shena yang biasanya lembut, Shena yang tak pernah membentak, Shena yang tidak akan berteriak meskipun dulu Alfa sering membuat kesalahan. Begitu dalamkah luka yang telah Alfa goreskan hingga merubah Shena. "Kenapa diam mas?" ucap Shena sinis. "Sampai kapan kamu mau membohongiku,kalau hari ini aku tidak melihatnya sendiri, apa selamanya kamu akan membohongiku, aku memang tidak pintar mas, tapi aku tidak bodoh sehingga tidak bisa membedakan mana rekan kerja, mana rekan mesra." "Sejak kapan mas, sejak kapan kamu mulai menghianati janji suci pernikahan kita?" tubuh Shena luruh bersimpuh di lantai kamarnya, kakinya gemetar lemas tidak kuat menopang tubuhnya, ia mencoba menahan air matanya agar  tidak kembali terjatuh. Ia tidak ingin terlihat lemah dihadapan Alfa.  "Maaf … maaf … maaf, Sayang." Alfa meminta maaf  ikut bersimpuh di hadapan Shena.  Shena tidak menanggapi permintaan maaf suaminya. Hatinya masih sakit. Pria yang selama ini selalu ada disampingnya, yang selalu menghibur disaat dirinya terpuruk karena kehilangan kedua orang tuanya. Pria yang dulu selalu menghapus air matanya disaat orang lain menyakitinya. Kini pria itu juga menggoreskan luka di hatinya. "Shena, maukah kau menikah denganku, menghabiskan sisa umur selamanya denganku?" tanya Alfa.  "Aku tidak bisa menjanjikan hidup kita akan bergelimang harta, tapi aku bisa menjanjikan seluruh hatiku hanya untukmu. Hanya kamu satu wanita yang menyandang status istri dan ibu bagi anak-anakku." Alfa menggenggam kedua tangan Shena, malam itu mereka duduk di teras depan rumah Alfa. Bukan lamaran yang  romantis memang, tapi sudah cukup meyakinkan Shena untuk menerima lamaran Alfa. Shena mengingat kembali kenangan malam di mana  Alfa melamarnya, janji Alfa lah yang membuatnya mengambil keputusan menerima ajakan menikah. Tapi kini, Alfa juga menyebabkan kesedihan yang amat dalam di hatinya. "Siapa wanita itu, Mas?" tanya Shena lirih memecah keheningan diantara mereka yang bergelut dengan pikiran masing-masing. "A … apa sayang?" Alfa tergagap. "Siapa wanita yang juga menempati hatimu, siapa dia mas?" Shena mengulang pertanyaannya. "Tidak, kamu salah sayang, kami hanya bersenang-senang tanpa melibatkan perasaan, dia tidak menempati hatiku, hanya kamu,  satu-satunya yang ada disini," Alfa menunjuk dadanya meyakinkan Shena bahwa di hatinya hanya ada nama Shena. "Jadi, sekarang kamu mengakuinya sebagai simpananmu, Mas?" sinis Shena. Alfa menjambak rambutnya frustasi. Dia salah bicara, jawabanya tadi secara tidak langsung memang sudah mengakui perselingkuhan nya. Tidak terpikirkan olehnya kalau Shena akan mengetahui perselingkuhan yang selama ini ia jalani bersama rekan kerja sekaligus teman masa kuliahnya, Rani. Yang ada di otaknya, Shena hanya di rumah jadi tidak akan memergoki dirinya saat jalan berdua dengan Rani. Alfa mundur, duduk bersandar pada tepian ranjang, dia sudah lupa pada keinginan untuk segera membersihkan diri setelah seharian penuh berada di luaran. "Dia, sahabat mas waktu kuliah dulu, sekarang bekerja di kantor yang sama dengan mas, lebih tepatnya enam bulan yang lalu. Awalnya, mas dan dia hanya pergi makan siang berdua, cerita masa kuliah dulu, hingga akhirnya empat bulan yang lalu kami menjalin hubungan. Mas menyesal, mas dibutakan kesenangan sesaat , maafkan mas, Sayang." Alfa menunduk menyesali apa yang telah diperbuat  terhadap istrinya. "Besok, kita periksa ke dokter kandungan bersama, Mas. Bunda yang minta." Shena menyampaikan pesan Bunda untuk Alfa, menghela nafas lirih berharap beban hatinya terangkat. Waktu menunjukan pukul 12:30 am, ternyata pembicaraan mereka memakan waktu satu jam lebih.  "Bersihkan tubuhmu, Mas. kemudian istirahatlah. Pasti lelah seharian bekerja ditambah lembur pulang larut." ejek Shena tanpa menatap suaminya kemudian berlalu hendak keluar dari kamar mereka. Alfa tidak merasa tersinggung atas ejekan istrinya, dia tahu, sekarang istrinya pasti sedang marah terhadap dirinya. Ia pantas mendapatkan wajah sinis dan ejekan dari istrinya. Alfa menatap punggung istrinya sendu. "Kamu marah, kamu tidak tidur dikamar, kenapa keluar?" suara Alfa terdengar lirih menghentikan kaki Shena yang selangkah lagi sampai di depan pintu. "Aku hanya ingin ke dapur mengambil minum, haus. Aku tidak marah, Mas. Lebih tepatnya aku kecewa, bukan padamu, tapi Kecewa pada diriku yang tidak bisa menjaga dengan baik suamiku sehingga dia bisa bersama dengan wanita lain saat masih berstatus suamiku." ucap Shena. "Pikirkan seandainya aku yang berkhianat pada janji suci kita apa yang akan kamu lakukan mas, maka tidak beda, itu juga mungkin yang akan aku lakukan sekarang." Ucap Shena datar tanpa menoleh ke belakang , kemudian berlalu meninggalkan Alfa di dalam kamar. Pintu kamar tertutup rapat, menyisakan keheningan di dalam kamar. Alfa masih belum beranjak dari posisinya, menelungkupkan wajah diantara kedua kakinya. Bulir air mata tanpa Alfa sadari telah membasahi pipinya. Hanya tinggal penyesalan yang kini Alfa dapatkan dari kesenangan sesaatnya. Tanpa Alfa sadari saat dirinya merengkuh kenikmatan bersama orang ketiga, saat itulah Kebahagiaan rumah tangganya telah dipertaruhkan. Alfa beranjak menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Sedangkan Shena, saat keluar kamar, langsung menuju dapur. Duduk dengan melipat kedua tangan di atas meja, lalu menyembunyikan wajahnya. Berusaha menahan suara tangisnya agar tak terdengar oleh kedua mertuanya. Besok setelah periksa ke dokter, ia akan meminta izin pada mertua juga suami untuk menginap dirumah sahabatnya, Arini. Beban yang selama ini menghimpit hati dan pikiran Shena akhirnya berkurang. Tak ada yang lebih membahagiakan dan rasa syukur yang mendalam saat ia dinyatakan sehat ada kemungkinan untuk hamil. Hanya menunggu waktu yang tepat dari Tuhan. Ia percaya akan ada kebahagiaan dibalik kesedihan yang diterima. Saat di rumah sakit tadi, Shena tidak ingin diantar oleh Alfa menuju ke rumah Arini. Namun Alfa terus memaksa, akhirnya Shena menyerah. Dan disinilah ia sekarang di dalam mobil yang dikendarai Alfa, suasana terasa mencekam yang ada hanya keheningan. Shena menyandarkan kepala di jendela pintu mobil dengan pandangan lurus ke samping. Sedangkan Alfa pandangannya fokus kedepan sesekali melirik ke arah istrinya tanpa berani memulai pembicaraan terlebih dahulu. Perjalanan dari rumah sakit menuju rumah Arini memakan waktu satu jam lebih. Akhirnya mereka sampai di kediaman Arini. Rumah yang penuh kenangan bagi Shena. Ya, rumah yang ditempati Arini adalah rumah kontrakan yang dulu ditinggali oleh Arini dan orang tuanya sebelum keduanya meninggal. Setelah Shena keluar dari mobil, disusul kemudian Alfa turun. Mereka menuju ke depan pintu rumah yang tertutup.  "Terima kasih Mas." "Tidak perlu berterima kasih, aku suamimu sudah jadi kewajibanku mengantarkan dan memastikan kamu selamat sampai tujuan," ucap Alfa panjang lebar sambil tersenyum hangat, berharap Shena mau membalas senyumannya. Namun Shena sama sekali tidak memperdulikannya. Mendengar kata suami yang Alfa ucapkan, d**a Shena terasa sakit dan menyesakkan. "Kamu bisa pulang sekarang mas, nanti biar aku yang bilang ke Ayah juga Bunda lewat telpon kalau aku menginap disini," Shena mengusir halus suaminya. "Apa boleh mas masuk sebentar untuk menyapa Arini?" tanya Alfa. "Tidak perlu mas, nanti aku sampaikan salam dari mas dan juga bilang mas buru-buru berangkat kerja jadi tidak bisa mampir. Silahkan mas pulang sekarang." ucap Shena datar tanpa memandang suaminya. "Baiklah mas pulang, kalau ada apa-apa hubungi mas." Alfa melangkah maju ingin mencium kening Shena. Namun Shena bergerak menjauh tidak ingin dicium oleh suaminya. Alfa menghembuskan nafas lelah, melangkah gontai kearah mobilnya. Hatinya bergejolak, Shena belum bisa memaafkannya. Ada terbesit rasa takut di hati Alfa, takut kalau Shena akan mengambil keputusan berpisah dengan nya. Ia akan berbicara dengan istrinya tapi bukan sekarang, saat ini ia tahu Shena butuh waktu untuk mendinginkan amarahnya. Jadi nanti disaat yang tepat Alfa akan mengajak Shena berbicara.  Setelah mobil Alfa meninggalkan pelataran rumah Arini, Shena mengetuk pintu berharap Sahabatnya berada dirumah. Shena mengetuk pintu beberapa kali namun hasilnya nihil, pintu tak kunjung dibuka oleh pemiliknya. Mungkin sahabatnya masih bekerja. Ia melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, waktu menunjukkan pukul  empat sore.  "Masih tiga jam lagi Arini baru pulang dari kerja," batin Shena. "Aku tinggal tidur dulu di kursi panjang ini saja sambil menunggunya pulang," gumam  Shena lirih untuk dirinya sendiri. Shena merebahkan tubuhnya di kursi panjang yang ada di teras rumah Arini, berusaha memejamkan matanya yang terasa lelah. Tak lama kemudian akhirnya Shena tertidur. Hari sudah berubah menjadi gelap. Malam pun telah tiba, namun Shena masih terlelap di alam bawah sadarnya. Samar-samar terdengar suara orang berbincang, semakin lama semakin terdengar jelas suaranya.  Arini mengerutkan kening begitu tiba di teras rumahnya, ia melihat seperti ada sosok yang sedang meringkuk di kursi panjang teras rumahnya. Ia dan Dewo saling beradu pandang, karena suasana teras yang gelap jadi tidak terlihat jelas siapa yang tertidur di teras rumah Arini. Arini bersembunyi di belakang tubuh Dewo, mendorong dengan pelan tubuh tegap Dewo agar melangkah kedepan. "Astaga ... Shena." Seru Arini terkejut begitu sampai di dekat kursi. Arini segera menepuk pundak Shena agar ia terbangun, dan berhasil Shena menggeliat kecil kemudian pelan-pelan mengerjapkan matanya hingga terbuka lebar. "Arini, kamu sudah pulang." ucap Shena dengan suara serak bangun dari tidurnya. "Sejak kapan kamu tidur disini? Astaga Shena bagaimana kalau pas kamu tidur lelap kemudian ada yang menculik, apa yang harus aku katakan kepada suamimu?" ujar Arini sedikit kesal dan menggeram. Shena tersenyum lebar menunjukan deretan gigi-giginya menanggapi kekesalan Arini.  Arini mendengus kesal melupakan jawaban dari semua pertanyaannya, ia melangkah meninggalkan Shena untuk membuka pintu rumah. Arini masuk kemudian menghidupkan seluruh lampu. Sedangkan diluar Shena masih bersama Dewo. Dewo, laki-laki dengan tubuh tegap dihadapan Shena saat ini adalah sahabat dan juga tetangganya di rumah ini. Dewo adalah salah satu sahabat terbaik yang selalu mendukungnya dulu selain Arini. Namun semenjak Shena menikah, ia tidak pernah lagi berkomunikasi dengan Dewo.  ** Kini Shena dan Arini sedang duduk di sofa depan TV di ruang tamu dengan setoples keripik pisang buatan Arini. Sebelumnya mereka sudah mandi dan makan malam, sedangkan Dewo setelah mengobrol sebentar dengan Shena ia pamit pulang. Hanya suara remahan keripik dari bibir mereka berdua dan suara tv yang terdengar saat ini. Mereka berdua sama-sama diam tak bicara. Arini sedikit curiga dengan sahabatnya, pasalnya begitu dewo pulang Shena tampak lebih banyak diam dan murung, dan lagi sekarang sudah pukul 10:30 malam tapi Arini tak melihat batang hidung Alfa datang menemui istrinya. "Masih ga mau cerita?" Arini memandang lekat sahabatnya. "Aku tahu ada yang tidak beres dengan dirimu, Shena yang aku kenal bukan pendiam seperti sekarang ini." Shena masih tetap diam enggan menanggapi sahabatnya. "Aaahhh!" teriak Arini tiba-tiba. "Aku ingat sekarang, tadi kamu pergi ke dokter bagaimana hasilnya, apa karena ini jadi bikin kamu diem aja dari tadi?"  "Hasilnya bagus, aku dan mas Alfa dinyatakan sehat," ucap Shena lesu. "Lalu, ada masalah lain?" tanya Arini. Tanpa kata Shena memeluk Arini dan menangis.  "Sssttt, menangislah sepuasnya tapi setelah ini kamu harus cerita ke aku.” Arini mengelus lengan sahabatnya memberi ketenangan. Suara tangis Shena sungguh terdengar memilukan bagi siapa saja yang mendengar. Tanpa disadari Arini pun meneteskan air mata padahal ia saja belum tahu apa penyebab sahabatnya menangis pilu. Shena melepas pelukan mereka, Shena berhenti menangis  namun sesekali masih terdengar sesenggukan.  "Mas Alfa selingkuh, Ar. Wanita yang kita lihat waktu itu adalah selingkuhanya. Mereka sudah menjalin hubungan selama empat bulan,” ucap Shena lirih menahan rasa kecewanya. "Aku mesti gimana, Ar?" "Dasar laki-laki kurang ajar si Alfa, lihat saja kalau ketemu bakalan aku tendang anunya." Geram Arini marah sambil mengepalkan tangannya. "Sekarang lebih baik kamu istirahat dulu, besok baru kita bicarakan lagi setelah pikiran kita jernih, oke! Karena disaat amarah menyelimuti seperti sekarang ini segala keputusan yang diambil pasti akan disesali kemudian hari." Arini membimbing Shena menuju kamar, di perjalanan handphone Shena di dalam kantong baju tidur Arini yang Shena kenakan berbunyi. Tangan Shena merogoh mengambil handphonenya, di layar tertera nama Alfa. Shena hanya memandangi layar handphone enggan menjawab panggilan tersebut, setelah layar berubah gelap ia menekan tombol off untuk menonaktifkan agar Alfa tidak bisa menghubunginya lagi. Ia benar-benar butuh ketenangan saat ini. Karena saat ini ketika melihat wajah suaminya yang ada dipikirannya adalah hal-hal buruk. Tentang apa saja yang selama ini Alfa dan selingkuhannya lakukan di  belakang Shena. Shena takut, ia tidak bisa menjaga emosinya saat di dekat Alfa sehingga mengeluarkan makian kasar yang mungkin akan di sesalinya nanti.  Shena juga memikirkan mertuanya, tadi dia belum sempat berpamitan untuk menginap disini. Menghela nafas lelah, "hhh …  biarkan Alfa yang memberi alasan kepada mereka tentang ketidakhadiran dirinya dirumah," batin Shena. "Yuk tidur, biarin aja si kupret Alfa kelabakan tidak bisa hubungin kamu." gerutu Arini sambil melangkah menuju kamar bersama Shena. Untuk sejenak Shena benar-benar butuh istirahat, mendinginkan pikirannya untuk mengambil keputusan langkah apa selanjutnya yang akan ia ambil. Hari minggu ini, Shena tampak terlihat ceria. Ia sudah memutuskan untuk menjadi lebih tegar lagi cukup sudah baginya mengeluarkan air mata seminggu kemarin, kini saatnya bangkit membangun kebahagiaan. Sedari membuat sarapan hingga membersihkan rumah, lantunan lirik lagu tak berhenti dari bibir mungilnya. Meskipun suaranya bisa menyakiti gendang telinga siapa saja yang mendengar, seperti Arini dan Dewo yang kini duduk di ruang keluarga dengan kedua tangan menutupi telinga. "Berhenti bernyanyi bisakan! Suaramu terdengar seperti kaleng soda ditarik di jalan raya bikin sakit pendengaran." Omel Arini kepada Shena yang berada tidak jauh dari tempatnya duduk sedang mengelap bingkai foto. "Bilang saja irikan sama suara aku?" ujar Shena tanpa memperdulikan Arini yang memasang ekspresi seperti orang mual. "Jalan keluar yuk, Na. Nonton atau ke wahana hiburan ngilangin stres." Dewo berusaha melerai perdebatan Shena dan Arini agar tidak berlanjut. "Asik. Ayo, Wo. Aku siap kapan aja diajak jalan-jalan kecuali hari kerja," seru Arini dengan gembira. "Aku ajaknya Shena, kenapa jadi kamu yang kegirangan." Suara Dewo kesal sambil menjitak pelan kening Arini. Arini mengusap lembut keningnya sambil mengerucutkan bibir cemberut. "Jahat kamu, Wo." "Iya maaf aku ga jahat lagi." Dewo mengusap lembut bekas jitakan di kening Arini. "Kita jalan bertiga." "Ehemmm, pacaran jangan disini oey," ucap Shena kesal. "Siapa yang pacaran." Elak Dewo dan Arini bersamaan. "Jawabnya kompak gitu masih ngelak." Shena terkekeh. "Ayo siap-siap katanya mau jalan." Shena berlalu meninggalkan dua manusia yang masih sedikit terkejut dengan perubahan mood Shena. "Shena yang dulu sudah kembali." Tanpa sadar Dewo dan Arini berpelukan. Begitu sadar posisi mereka Dewo segera melepaskan pelukannya. "Ak … aku siap-siap dulu." Arini berlalu meninggalkan Dewo dengan wajah merona dan degup jantung tidak seperti biasanya. Setelah punggung Arini tak terlihat, Dewo memegang dadanya dia merasa ada yang aneh dengan jantungnya. Kenapa tiba-tiba jantungnya berdetak tidak karuan saat berpelukan dengan Arini. Dua puluh menit berlalu, akhirnya dua wanita yang sedari tadi Dewo tunggu sudah siap di hadapannya. Keduanya mengenakan celana jeans  dan kaos oblong. Dewo memandang wajah Shena dan Arini bergantian untuk memastikan debaran jantungnya. Saat memandang Shena jantungnya biasa saja, tapi saat memandang lekat Arini jantungnya berulah berdetak kencang hingga membuat dewo takut kalau terdengar oleh kedua wanita di hadapannya. "Ayo Wo berangkat, kok malah lihatin Arini terus dari tadi." suara Shena menyadarkan Dewo kalau ternyata dari tadi matanya menatap lekat Arini. Arini yang sedari tadi dipandang intens oleh Dewo hanya tersipu malu. *** Mereka bertiga akhirnya memutuskan untuk jalan-jalan di mall, menghabiskan waktu hingga sore tiba dengan menonton di bioskop kemudian makan siang yang kesorean di salah satu foodcourt yang ada di mall tersebut. Ketiganya nampak berbincang ceria terlihat dari tawa dan senyum lebar mereka.  "Makan dimana kita?" tanya Shena sambil memandang bergantian ke arah Dewo dan Arini. "Fast food aja gimana, aku lagi pengen makan hamburger double cheese," kata Arini memberitahukan keinginannya. "Oke ladies let's go!” seru Dewo. Mereka bertiga jalan beriringan menuju salah satu restoran cepat saji yang berlogo M warna kuning. Setelah mendapatkan tempat duduk, Dewo melangkah menuju tempat pemesanan. Tempat duduk yang sengaja dibuat terbuka tanpa pembatas sehingga mereka leluasa melihat sekeliling. Tanpa sengaja pandangan Shena terarah pada dua manusia yang tengah duduk berhadapan di kedai kopi terkenal tepat di seberang tempat duduk Shena. Shena mengatur nafas yang tiba-tiba terasa mencekat. Menengadahkan wajah berharap agar buliran air mata tidak jatuh, ia tidak ingin kedua sahabatnya khawatir setelah tadi berusaha membuatnya tertawa bahagia. Kini Shena merasa sudah mantap dengan keputusan yang akan ia ambil, tinggal menghubungi Alfa untuk bertemu. Bahkan sampai saat ini pun mertuanya belum tahu tentang masalah yang sedang dihadapinya. Shena beralasan rindu dengan kedua orang tua nya sehingga memutuskan untuk menginap di rumah Arini untuk bernostalgia ketika Bunda Risma menelpon menanyakan keberadaannya. Shena menghembuskan nafas lelah.  *** Di mall yang sama tempat Shena dan sahabatnya jalan-jalan, di situ juga Alfa janjian bertemu dengan Rina di salah satu kedai kopi. Duduk berhadapan di dekat pintu masuk dengan pembatas kaca bening. Mereka masih saling berdiam diri, padahal tadi Alfa bilang ingin bicara dengan Rina. "Mau diam aja sampai kapan sih mas cuek banget, ga kangen sama aku ya?" Rina bertanya dengan suara manja. Alfa menyeruput sedikit kopi yang terhidang di hadapannya untuk  membasahi tenggorokannya. Menghembuskan nafas pelan kemudian Alfa mulai bicara, "Sepertinya hubungan kita tidak bisa dilanjutkan, Rin." "Kamu mempermainkanku, Mas?" suara Rina sedikit keras. "Kamu sudah janji mas tidak akan mengakhiri hubungan ini, sekarang apa mas?" "Kamu tahu dari awal aku sudah beristri Rin. Istriku sudah tahu tentang hubungan kita. Dia marah bahkan sekarang dia tidak kembali ke rumah. Aku merasa menyesal sekarang yang kita lakukan salah Rin. Dulu aku sudah berjanji di hadapan jenazah kedua orang tuanya bahwa aku akan menjaga dan membahagiakan Shena dengan segenap jiwaku. Sekarang aku menyakiti perasaannya. Aku harap kamu gak keberatan dengan keputusanku. Kamu bisa mencari laki-laki yang lebih baik dari aku." Alfa menjelaskan panjang lebar dengan menggenggam tangan Rina di atas meja. Tanpa keduanya sadari di seberang sana ada Shena yang tengah memperhatikan adegan mereka.  "Kamu menyesal karena sudah menyakiti perasaannya, apa tidak sadar mas kamu juga menyakiti perasaanku." Rina menarik kasar tangan nya  dari genggaman Alfa dengan nafas tersengal menahan emosi. "Jadi selama ini kamu hanya bermain-main denganku, padahal yang kita lakukan sudah lebih dari hubungan suami istri." "Aku minta maaf, Rin," Alfa berkata lirih. "Maaf tidak akan bisa mengembalikan semuanya mas, sekarang ceraikan istrimu dan menikah denganku lagi pula kalian belum mempunyai anak kan." kata Rina sedikit melunak. Handphone Alfa berbunyi menandakan pesan masuk, di layar tertera satu pesan dari Shena. Rina melirik sekilas handphone Alfa penasaran siapa yang mengirimi Alfa pesan. Alfa dengan tidak sabar segera membuka kotak pesan dari Shena, pasalnya selama seminggu ini Shena menghindarinya. Alfa membaca pesan dari Shena dengan alis yang bertautan, Rina yang sedari tadi memperhatikan gerak gerik Alfa pun bertanya, "Siapa yang kirim pesan, kenapa wajahnya berubah gitu?" "Shena ngajak ketemuan besok siang jam satu, tapi dia bilang kamu harus ikut." Alfa menjelaskan isi pesan dari Shena. "Semoga saja dia minta cerai dari kamu, jadi tidak ada penghalang lagi buat kamu nikahin aku, terus kita bisa punya anak secepatnya," ucap Rina percaya diri. Alfa hanya bisa menghela nafas lelah, di satu sisi dia tidak ingin kehilangan Shena. Namun disisi lain juga, ia tidak ingin kehilangan kenikmatan yang tidak ia dapati dari Shena namun ia dapatkan dari Rina. Alfa mengacak rambutnya frustasi, bagaimana jika Ayah dan Bunda nya tahu kalau ia sudah menyakiti menantu kesayangan mereka. Shena menulis di sebuah buku bersampul hitam, sebelum beranjak tidur. Buku itulah yang menjadi tempatnya mencurahkan segala isi hati yang tidak ingin disampaikan pada orang-orang yang menyayanginya. ~~~ Kamu tahu seperti apa rasanya saat kamu dikhianati seseorang yang spesial dalam hidupmu? Kamu tahu bagaimana rasanya? Aku ... aku tahu bagaimana sakitnya saat semua itu terjadi. Bagaimana aku  bisa percaya lagi pada kesetiaan, padamu, pada seorang yang mengaku sebagai suamiku.  Bagaimana aku bisa mempercayainya kalau luka yang aku dapatkan itu karenamu. Aku mungkin hanya butuh waktu,  waktu untuk menghilangkan semua rasa. Hingga aku tak akan merasakan luka untuk yang kedua kalinya. Karena aku percaya sepahit apapun yang aku rasakan sekarang, akan ada rasa manis di dalamnya. ~~~ Malam telah berganti pagi. Silau cahaya matahari membangunkan Shena dari tidur nyenyaknya. Sebelum pergi menemui Alfa, Ia ingin berkunjung ke suatu tempat terlebih dahulu. Dua tangkai bunga mawar putih telah ia bawa, kakinya terus melangkah melewati gundukan tanah. Melangkah masuk lebih dalam hingga ia berhenti tepat di depan dua gundukan tanah yang  berdampingan, batu nisan bertuliskan Rusman Hadi dan Setyorini. Shena berjongkok di hadapan makam kedua orang tuanya. "Ma, Pa, maaf Shena baru berkunjung lagi kesini," ucap Shena. Meletakkan bunga mawar setelah selesai membacakan doa untuk keduanya. "Ma, Pa, kalian akan tetap mendukung apapun nanti keputusan Shena kan?" "Andai kalian masih ada, pasti bakalan ada yang Shena ajak berbagi cerita saat ini." Shena menghapus air matanya. "Shena sendirian sekarang."  "Kalau saja mengakhiri hidup di halalkan, Shena pasti lakukan sekarang bertemu Mama juga Papa. Tapi Shena ga berpikir sedangkal itu. Kalian pasti lebih bahagia kalau Shena berhasil melewati ujian ini, kan?" Shena berkata lirih sambil memukul dadanya yang terasa sesak. "Mama dan Papa tenang saja di atas sana, mulai hari ini Shena bakal jadi wanita yang kuat. Shena pasti bisa bikin  Mama Papa bangga punya anak seperti Shena," lirih Shena. "Shena pulang dulu Ma, Pa." Shena melangkah meninggalkan pemakaman. Shena datang terlambat lima belas menit dari waktu yang telah dijanjikan. Alfa dan Rina sudah datang lebih dulu, keduanya terlihat saling mendiamkan. "Maaf terlambat," ucap Shena begitu sampai di meja dengan senyum menghias wajahnya. "Kenapa ga telpon aja biar Aku jemput," Alfa berkata lembut sambil membenarkan duduknya, sedangkan Rina tampak mencemooh. Shena tersenyum membalas ucapan Alfa. "Langsung saja, apa tujuan kamu mengajak bertemu?" Rina berkata sinis.  "Sejauh mana hubungan kalian di belakangku?" "Kami sudah berhubungan layaknya suami istri, tidak perlu aku jelaskan lebih lanjut, kan? aku harap kamu segera menggugat cerai Mas Alfa biar kami bisa secepatnya menikah," Rina berkata penuh percaya diri. "Kenapa Kamu begitu yakin Aku akan menggugat cerai suamiku?" "Kamu ...," Rina geram atas apa yang Shena ucapkan. "Aku ingin bertanya satu hal padamu Mas, sebelum Aku mengambil keputusan kumohon jawab dengan jujur." Alfa memandang istrinya dengan tatapan bersalah, kemudian menundukkan kepala begitu melihat wajah sendu sang istri. "Aku hanya memberimu kesempatan sekali, Mas. Karena rasanya tidak adil jika aku langsung meminta cerai tanpa memberi kesempatan,"  papar Shena. "Karena aku menerimamu sepaket kekurangan dan kelebihanmu, saat ini kamu sedang memperlihatkan kekuranganmu dengan berselingkuh, aku bisa menerimanya," Shena tersenyum lembut menatap Alfa.  "Siapa yang kamu inginkan tetap bertahan disisimu, Mas?" suara Shena lembut namun terdengar tegas. Suasana mendadak hening, ketiganya sibuk dengan pemikiran masing-masing. "Kamu tidak bisa menjawab, Mas?" ujar Shena hampir menangis. "A ... aku belum bisa memutuskan," jawab Alfa lirih. "Kamu pasti memilihku, Mas. Kamu lebih mencintaiku daripada wanita ini," kata Rina sambil memandang Shena sinis. "Apa benar, Mas? Apa kekuranganku?  tolong beritahu, maka akan aku perbaiki," tanya Shena dengan mata berkaca-kaca. "Kamu tinggalkan Rina. Lalu kita pergi dari kota ini. Memulai dari awal lagi kamu mau, kan?" tanya Shena lembut memandang ke arah suaminya. Sedangkan Rina sudah mengepalkan tangan menahan emosinya. Alfa masih tetap menunduk, menghela nafas kasar. Ia bingung, menggeram frustasi sambil mengacak rambutnya. "Aku tidak bisa," jawab Alfa lirih tanpa memandang Shena. Seketika Shena lemas mendengar jawaban Alfa. Jantungnya seakan berhenti berdetak. Nyatanya ia memberi kesempatan pada Alfa.Namun, ia ditolak. Sedangkan Rina, tersenyum lebar mendengar jawaban Alfa. "Bodohnya aku, kupikir kamu akan menerima kesempatan yang aku berikan," ujar Shena dengan tangis yang terdengar pilu. "Aku minta maaf ... mungkin aku sudah menyakitimu," ucap Alfa menyesal. "Bukan mungkin, tapi nyata kamu benar-benar sudah menyakitiku." "Selamat untuk kalian, semoga tidak ada penyesalan," Shena beranjak pergi. "Aku akan pergi dari kalian. Untuk kamu Rina, semoga kamu tidak merasakan yang hari ini aku alami." Shena melepas cincin pernikahannya dan memberikan pada Alfa. "Aku tunggu surat cerai darimu, Mas. Jangan pernah temui aku lagi karena aku tidak mengenal dirimu, bagiku kamu orang asing." Alfa dan Rina masih terdiam di tempatnya sejak kepergian Shena. Alfa? entah kenapa ia mulai ragu dengan keputusannya. Hatinya merasa sakit saat Shena melepas cincin pernikahan mereka. Menyesalkah? Alfa beranjak hendak mengejar Shena namun sepasang tangan menggenggam erat tangannya, "Mau kemana?" tanya Rina dengan tatapan menghujam. "Aku minta maaf, Rin. Aku tidak bisa denganmu." "Kamu pikir,  Shena akan memaafkanmu jika sekarang kamu berbalik mengejarnya. Kamu sendiri yang sudah melepaskan kesempatan yang ia beri," ujar Rina menatap Alfa. "Arghhh ...," teriak Alfa Menghempas kasar tangan Rina kemudian mengacak rambutnya frustasi. Selesai, kini pernikahan Alfa dengan Shena akan berakhir karena kebodohan Alfa sendiri. Bagaimana Alfa harus menjelaskan kepada orang tuanya. Alfa berbaring gelisah di tempat tidurnya. Masih teringat jelas wajah sendu sang istri ketika melepas cincin pernikahan mereka. Kemarin, setelah kepergian Shena ia berniat mengejar sang istri namun ditahan oleh Rina. Alfa hanya duduk terdiam, tidak habis pikir dengan apa yang sudah ia lakukan kepada sang istri. Mengeram memandang sekilas Rina kemudian beranjak pergi tanpa sepatah katapun. Di tempat lain. Di dalam kamar  Shena menangis di pelukan Arini. Meluapkan rasa sesak yang sedari tadi ia tahan.  "Berakhir ... pernikahan ini selesai, Rin. Aku memberinya kesempatan tapi ia memilih melepaskanku," ucap Shena terisak. Arini memeluk Shena dengan erat. Membelai punggung Shena dan membisikan kata penenang. Membiarkan Sahabatnya meluapkan sakit hatinya. Hanya hari ini, Arini berjanji hanya hari ini ia biarkan Shena menangis sepuasnya. "Menangislah sepuasmu, tapi janji besok jangan menangis lagi," ujar Arini dijawab anggukan oleh Shena. "Apa salahku, Rin? Kenapa ia tega menusukku?" tanya Shena sambil melepaskan pelukan mereka. "Sakit, Rin." "Kamu tidak salah, tapi Alfa yang tidak bisa membedakan mana yang tulus dan mana yang pura-pura," ujar Arini. "Lihat matamu jadi bengkak, hidungmu merah seperti badut, astaga buruk sekali penampilanmu," ejek Arini. Bukan mengejek sesungguhnya ia hanya berusaha menghibur Shena. Shena yang merasa terejek reflek memukul ringan tangan sahabatnya. "Shena, jangan pernah menanggung bebanmu sendiri. Ada aku dan Dewo yang siap membantumu," ujar Arini. "Lupakan rasa sakitmu dan mulailah dengan membuka hidup yang baru." Shena tersenyum tipis masih dengan  sesenggukan kemudian mengangguk sebagai respon akan ucapan sahabatnya. "Sekarang istirahat, tidurlah, aku selalu menjagamu," ujar Arini kemudian beranjak keluar kamar Shena. Shena membuka laci di samping tempat tidurnya, mengambil buku bersampul hitam miliknya. Ia ingin menuliskan isi hatinya sebelum tidur. ~~~ Aku berusaha memahami, berusaha mengerti, aku berusaha mengikhlaskan apa yang harus terjadi. Aku bisa selama mau berjuang. Luka ini akan sembuh seiring dengan kebahagiaan yang hadir. Karena cinta itu sulit dimengerti. Mempunyai awal yang tak disangka dan akhir yang tak pernah terpikirkan. Aku masih disini dengan segala penantian. Menanti datangnya waktu dimana aku tak lagi mencintaimu. Jika takdir berkata kita memang tak bisa lagi bersama, aku berharap digariskan pada takdir yang indah. ~~~ Shena menutup buku dan mengembalikan ke tempat  semula setelah selesai menulis. Merebahkan tubuh terlentang menghadap langit-langit kamar. Shena menarik nafas dalam dan mengembuskannya perlahan.  "Aku percaya padamu, tapi kenapa kamu menyakitiku? Kebersamaan kita selama ini ternyata tidak bisa membuatmu memilihku," monolog Shena. *** Alfa sedang menyantap sarapan pagi bersama kedua orang tuanya. Namun sejak sarapan dihidangkan di piring,  Alfa hanya mengaduk tanpa menyentuhnya sedikitpun. Wajah lesu tanpa semangat. Kedua orang tuanya sedikit heran dengan perubahan mood anaknya.  "Ada masalah di tempat kerja? Kenapa wajahmu terlihat lesu, Alfa?" Bunda Risma memberanikan diri bertanya. "Kapan kamu jemput Shena? Bunda udah kangen  nanti pulang kerja kamu jemput, ingat." Alfa hanya menganggukan kepala sebagai jawaban. Bagaimana ia bisa menjemput dan mengajak pulang Shena kalau kenyataannya mereka sedang dalam masalah. Handphone Alfa yang ia letakkan diatas meja  makan bergetar menandakan ada panggilan masuk. Alfa melihat sekilas siapa gerangan si penelpon, tertera nama Rina di layar. "Alfa terima telpon dulu Pa, Ma," pamit Alfa.  Membawa handphone menjauh dari ruang makan. Panggilan pertama terabaikan. Datang panggilan kedua, Alfa segera menjawab. "Hallo, Rin," ucap Alfa singkat. "Hallo ... Alfa kenapa suaramu terdengar lesu?" tanya Rina di seberang sana. "Kita sudah berakhir, Rin. Aku melepasmu." ujar Alfa. "Kamu mengakhiri hubungan kita, Mas? Kamu sudah memilihku dan melepaskan istrimu kemarin, kenapa sekarang kamu juga melepasku?" tanya Rina tak percaya dengan apa yang ia dengar. "Aku ingin memperbaiki pernikahanku, aku dan kamu tidak seharusnya melakukan ini, hubungan kita adalah kesalahan," ucap Alfa.  "Aku tidak ingin menyakitimu lebih jauh lagi, jadi kita akhiri saja semua. Ini yang terbaik untuk kita. Aku harap kamu mengerti," ucap Alfa pelan. "Kamu jahat, Mas. Aku menyesal pernah mencintaimu. Semoga istrimu tidak akan pernah menerimamu lagi," ujar Rina dengan tangisnya kemudian mengakhiri panggilan telepon sepihak. Alfa menghela nafas, ia sudah memutuskan untuk berbicara lagi dengan Shena. Mengambil kesempatan yang Shena tawarkan. Memulai dari awal di tempat yang baru. Alfa tersenyum sendiri Membayangkan ia dan Shena hidup bahagia. **** "Kamu yakin mau bikin kue terus titip di warung-warung?" tanya Arini sedikit ragu dengan keputusan Shena. "Iya, aku yakin. Buat tambah penghasilan. Tidak mungkin kan aku bergantung sama kamu terus? Aku juga ingin punya tabungan," ucap Shena sambil tersenyum memperlihatkan barisan giginya. "Kamu tidak mendukung keputusanku?" "Kenapa tidak melamar kerja di perusahaan?" "Aku ingin membuka usaha sendiri, sedikit tabunganku masih cukup untuk modal bikin kue kecil-kecilan," ucap Shena antusias. "Aku selalu mendukungmu, asal kamu tetap menjadi Shena yang ceria dan tersenyum riang setiap hari," ujar Arini sambil menarik kedua sudut bibir Shena membentuk senyuman. "Aku sudah memikirkannya semalam." "Kamu tidak tidur semalaman?" mata Arini membulat kaget. "Bukan, maksudku aku memikirkannya sebelum tidur. Sekarang titip jual dulu ke warung tetangga, kalau sudah cukup modal aku ingin buka toko kue, toko impianku dulu," Shena berkata lirih.  Seketika ia mengingat janji Alfa dulu yang akan membangun toko kue untuk dirinya. Shena menggelengkan kepala mencoba menghalau pikirannya saat ini. "Kenapa geleng-geleng kepala? Kamu pusing?" alis Arini berkerut memperhatikan sahabatnya. "Aku baik-baik saja, hanya teringat mas Alfa," wajah Shena terlihat sendu. "Aku tidak akan memaksamu untuk melupakannya. Aku tahu semua itu butuh waktu, tapi belajarlah untuk tidak memikirkannya, bisa?" "Akan aku coba, hanya butuh waktu untukku terbiasa dengan keadaan ini," senyum menghiasi wajah Shena. "Semoga tidak ada lagi yang menjadi kesakitan untukmu," Arini tersenyum memandang Shena. "Seberapa dalam luka yang kamu dapat, tetaplah tersenyum karena aku yakin di luar sana ada orang yang ikut bahagia hanya melihat senyummu." Suara ketukan pintu mengakhiri pembicaraan kedua sahabat. Shena hendak beranjak namun ditahan oleh Arini, "Biar aku aja yang buka pintu." Mata Arini membulat saat melihat siapa yang berdiri tepat di hadapannya. Mengepalkan kedua tangannya menahan emosi yang siap meledak saat itu juga. Menarik nafas dalam lalu menghembuskan kasar. Bersiap melontarkan kata-kata kasar untuk mengusir manusia di hadapannya saat ini. Namun belum juga sepatah kata terlontar dari bibirnya, ia dikagetkan dengan suara Shena. "Siapa yang datang, Ar? lama banget di depan pintunya?" tanya Shena menghampiri sahabatnya. Shena terpaku. Diam ditempat. Kakinya berat untuk melangkah begitu tahu siapa yang berada di depan pintu. "Pergi kau!" teriak Arini. "Beri waktu sebentar, aku ingin bicara dengan Shena," mohon Rina sambil Memandang Shena yang berdiri di belakang  Arini penuh harap. "Pergi seb ...," belum selesai Arini bicara, Shena lebih dulu menyela, "Biarkan dia masuk, Ar." "Ngapain sih kasih izin medusa ini masuk?"  ujar Arini kesal, "Dia sudah merusak rumah tanggamu." "Ar ... please!" Shena menatap lembut sahabatnya. "Terserah ...," Arini menatap kesal ke arah Rina kemudian menyingkir memberi jalan masuk. Shena melangkah menuju ruang tamu di ikuti Arini dan Rina dibelakangnya. Baru saja Shena mendaratkan diri di sofa, tiba-tiba Rina bersimpuh di dekatnya. Shena dan Arini yang terkejut reflek segera berdiri. "Apa yang kamu lakukan? ayo berdiri," Shena memegang kedua lengan Rina membantunya berdiri, kemudian menuntunnya duduk di sofa. "Aku minta maaf, mungkin maaf saja tidak cukup untuk menghapus luka yang sudah aku torehkan," ucap Rina dengan wajah menyesal. Tak ada lagi wajah sinis. "Tapi bolehkah aku menjadi egois sekali lagi? jangan pernah kembali lagi dengan mas Alfa," Rina menggenggam erat kedua tangan Shena. "Aku mohon! aku tidak sanggup kalau harus berpisah dengan mas Alfa." "Kamu berbicara seperti ini kepadaku, istrinya, tidakkah terpikir olehmu bagaimana perasaanku?" lirih Shena menahan sesak di dadanya. "Karena aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Dia juga mengakhiri hubungan denganku," ucap Rina lirih dengan mata berkaca-kaca. "Sukurin ...," cibir Arini pelan seperti bisikan namun masih bisa didengar oleh Shena. Ia yang mendengar segara menatap tajam sahabatnya. "Aku bisa mengerti jika kamu mencintai mas Alfa. Karena bukan kita yang menentukan dimana hati akan berlabuh," ucap Shena lembut. Melepaskan tangan dari genggaman Rina.  "Pulanglah, jangan pernah  merendahkan harga dirimu lagi. Masih banyak diluar sana lelaki yang tidak beristri," papar Shena. "Tapi aku sudah kotor, aku sudah melangkah terlalu jauh dengan mas Alfa," ucap Rina sesenggukan. "Tidak akan ada lelaki yang mau memperistri diriku." "Maka mohon ampunlah pada Allah, kita sama-sama memperbaiki diri. Pasti akan ada jodoh terbaik untukmu," ujar Shena lembut. Rina memeluk Shena sambil menangis. Ia menyesal telah menyakiti wanita berhati lembut seperti Shena. Rina berjanji pada dirinya sendiri, ia tidak akan mengganggu Shena dan Alfa seandainya mereka kembali bersama. Meskipun hatinya merasakan sakit karena cintanya pada Alfa.  Arini ikut meneteskan air mata menyaksikan adegan di depannya. "Aku bangga padamu, Shena, semoga kebahagiaan selalu menyertaimu," batin Arini. "Apa kita bisa berteman?" tanya Rina menatap Shena ragu. "Tentu ...," ucap Shena dengan senyum menghiasi wajahnya.  Arini membulatkan mata terkejut dengan apa yang didengarnya. Ia tidak yakin dengan pendengarannya. Bagaimana bisa memaafkan seorang yang sudah menghancurkan rumah tangganya secepat ini.  "Kamu gila, Shena!" Arini berucap sarkas. "Tentu saja aku sehat, kamu bisa lihat sendiri kan?" ucap Shena. "Kenapa kamu memaafkan medusa ini?" "Ar, jaga ucapanmu," tegur Shena. "Aku tidak ingin menyimpan dendam. Memulai dari awal dengan hati yang tenang. Berdamai dengan luka agar kedepannya aku tidak akan menyesali apapun yang telah terjadi." "Aku sungguh minta maaf, Shena, dan kamu Arini, aku janji tidak akan mengganggu pernikahan orang lain lagi!ucap Rina mantap. "Terima kasih sudah memberiku kesempatan, aku akan pergi dari kota ini. Semoga kita bisa bertemu lagi lain waktu." pamit Rina, kemudian beranjak keluar dari rumah Shena. Waktu berlalu begitu cepat. Tiga bulan sudah sejak kejadian itu. Namun surat cerai tak kunjung Shena dapatkan dari Alfa. Selama itu pula Alfa selalu berjuang menemui Shena dan meminta maaf. Namun Shena enggan menemuinya. Kedua orang tua Alfa sudah mengetahui masalah yang dihadapi anaknya. Mereka menyerahkan semua keputusan ditangan Alfa dan Shena. Mereka berharap yang terbaik untuk Shena dan Alfa.  Usaha kue kecil-kecilan yang Shena lakukan berjalan lancar. Bahkan sekarang ia sering menerima pesanan kue dari ibu-ibu sekitar rumahnya.  Semalam ia sudah menghitung tabungannya. Nominalnya bertambah sedikit namun masih belum cukup jika ia membuka toko kue. Ia ingin usahanya lebih berkembang. Shena memutuskan untuk membuka toko online terlebih dahulu. Ia akan memajang foto-foto kue cantiknya di media sosial. Membuat variasi baru dengan ukuran dan warna yang unik untuk menarik pembeli. Menentukan harga. Desain box yang berbeda. Yang terutama ia akan melakukan tester kepada pembeli terlebih dahulu. Rencana ini sudah dicatat di buku bersampul hitam miliknya. Tinggal ia bicarakan dengan Arini yang selalu mendukung rencananya. Rumah tampak sepi di siang hari, Shena di rumah sendiri,ia  sibuk dengan pembuatan kue ketika Arini bekerja. Malam hari Arini akan membantu sahabatnya. Seperti sekarang, kedua sahabat itu sedang di dapur yang berukuran kecil sibuk membuat kue kering pesanan salah satu tetangga mereka untuk hidangan Arisan. "Bagaimana menurutmu kalau kita buka toko cake online, Ar?"  "Toko cake online?" Arini mengulang pertanyaan Shena. "Iya, dengan begitu usaha kita akan sedikit berkembang jika bisa menarik pembeli lebih banyak." "Kamu yakin?" "Yakin," ucap Shena dengan semangat. "Aku selalu mendukung apapun keputusanmu, kamu tahu itu," ujar Arini. "Asal jangan terlalu memaksakan diri, mengerti?" "Siap kapten!" Seru Shena. Kedua sahabat itu pun tertawa bahagia. Kebahagiaan yang sederhana. Saling mendukung dan menguatkan. Kebahagiaan yang tidak bisa dibeli dengan harta adalah ketulusan cinta. "Besok kamu libur kerja?" Shena bertanya pada Arini yang sibuk menata kue ke dalam box kecil. "Besok dan lusa aku libur, kenapa?" "Persediaan bahan habis, besok temani aku belanja  ke toko bahan kue di mall seberang jalan depan sana, bisa?" "Siap tuan putri, apapun untukmu," Arini berkata dengan nada dibuat sehalus mungkin. Shena terkikik geli mendengar suara Arini. Hari ini mereka akan belanja bahan kue sesuai rencana. Setelah itu mereka akan membicarakan tentang usaha cake onlinenya.  Kedua tangan Arini dan Shena menenteng kantong berisi bahan-bahan membuat kue. Melangkah beriringan menuju restoran jepang untuk memberi makan para cacing yang sejak tadi berdemo di dalam perut mereka. "Shena ...," panggil seseorang ketika Arini dan Shena hendak memasuki restoran. "Kamu ...?" Shena mencoba mengingat siapa yang ada di hadapannya. "Kamu melupakanku?" hatiku terasa sakit Shena," ucap orang itu sambil terkekeh. Arini yang bingung pun menatap keduanya bergantian.  "Setangkai mawar putih kuberikan untukmu di bukit sambil menikmati lampu-lampu rumah warga di senja hari yang menambahkan suasana menjadi lebih eksotis, ingat?" Ucapnya mencoba mengingatkan kembali kenangan mereka. "Raditya?" Yang disebutkan namanya mengangguk bahagia saat Shena mengingat siapa dirinya.  "Kamu banyak berubah, astaga pantas aku tidak mengenalimu tadi. Dimana tubuh gemukmu dulu?" tanya Shena cekikikan. "Kamu masih tetap sama seperti 10 tahun yang lalu, tetap manis dengan senyum yang memabukkan itu," ucap Radithya genit. "Aku melakukan olahraga setiap hari dan menjaga pola makan, sehingga aku memiliki tubuh seperti sekarang ini."  Raditya, teman masa sekolah Shena, yang selalu memperlakukan ia bak tuan putri. Lelaki pertama yang mengajarkan Shena tentang cinta. Namun belum juga cinta terajut, Raditya tiba-tiba pergi dari lingkungan dan kehidupan Shena.  Raditya harus mengikuti kedua orang tuanya yang dipindah tugas ke surabaya oleh perusahaan. Mereka bertiga memutuskan makan siang bersama setelah berbincang sebentar. Terlibat  obrolan yang seru, menceritakan kehidupan mereka selama tidak bertemu. Sesekali terdengar gelak tawa dari meja mereka.  Jarak dua meja dari tempat mereka duduk ada Alfa yang sedari tadi memperhatikan. Menggeram kasar dan mengepalkan tangan saat melihat Shena tertawa dengan lelaki yang tidak dikenalnya. Posisi duduk Arini dan Shena yang membelakangi sehingga Shena tidak sadar jika sedang diperhatikan. Alfa sudah tidak bisa lagi menahan kesabaran, memutuskan menghampiri mereka. "Shena," panggil Alfa lembut. Shena merasa tegang saat mendengar suara yang familiar memanggil. Menolehkan kepala, terlihat Alfa berdiri tepat di sampingnya. "Alfa," gumam Shena lirih. "Ngapain kamu kesini? Jauh-jauh sono, malas aku lihat wajahmu, jadi emosi," sarkas Arini. "Tentu saja menemui istriku. Iya kan, Sayang?" Alfa bersuara meminta dukungan istri. "Kita bukan lagi suami istri, Mas." "Aku belum menceraikanmu, jadi secara hukum aku masih suamimu." "Secara hukum kita memang belum bercerai. Tapi dalam Agama kita sudah talak satu. Aku yang akan mengajukan gugatan ke pengadilan. Silahkan mas tunggu surat panggilan." "Dia suamimu, Shena?" Raditya yang sedari tadi bingung memperhatikan akhirnya memberanikan diri bertanya. "Bukan lagi, suami apa yang tega mengkhianati istri." Arini menjawab pertanyaan Raditya yang ditujukan untuk Shena sambil memandang sinis Alfa. "Alhamdulilah ... aku masih punya kesempatan," Raditya berkata pelan menyerupai bisikan  dan menghela nafas lega. "Kita pulang, Ar." Shena mengambil kantong  belanjaan kemudian berdiri. "Aku antar, sekalian mau balik ke kantor lagi." Raditya menawarkan tumpangan. "Aku yang akan mengantar mereka, tidak perlu bantuanmu." Alfa menatap Raditya penuh permusuhan. "Tidak perlu kalian berdua antar, aku naik taksi saja." Shena menatap kedua lelaki bergantian kemudian beranjak pergi dari restoran. *** Shena merebahkan tubuhnya di atas kasur, menghembuskan nafas kasar menatap langit-langit kamar. Hari ini ia harus mengambil keputusan terberat dalam hidupnya. Hingga terdengar bunyi ping dari ponsel, ia segera beranjak melihatnya. Ada notif WA. [Kalau kamu butuh pengacara untuk gugatan cerai ke pengadilan, aku punya sahabat yang bisa membantu. Raditya] [Terima kasih, tapi aku tidak ingin membebanimu dengan masalahku.] Shena meratapi semua dengan tangis tertahan. Seharusnya dari awal ia melakukan ini. Tidak perlu menunggu gugatan dari Alfa. Ia meletakkan ponsel tanpa menunggu balasan selanjutnya dari Raditya. Membuka laci tempatnya meletakan buku bersampul hitam. Mencurahkan kegundahan hati dalam tulisan.  ~~~ Aku mengerti bahwa ada ujian di setiap hubungan, untuk memperkuat atau malah saling melepaskan. Aku hanya ingin bahagia, namun terkadang jalan menuju bahagia terlalu sulit. Aku masih mencintainya sekalipun ia menyakitiku. Memaafkannya meski luka yang ditorehkan masih terbuka lebar.  Maafkan hatiku yang masih menyimpan namamu. Beri aku waktu untuk menyembuhkannya. Setelah itu tidak akan aku biarkan siapapun memasuki hatiku. ~~~ Shena menutup rapat laci. Jujur ia lelah, menangis pun rasanya tak akan cukup menghapuskan lelah hati yang dirasakan. Dengan sedikit terburu Shena berjalan menuju ke kamar Arini. Tampak Arini masih sibuk dengan ponselnya.  "Arini," panggil Shena pelan. Hanya gumaman pelan sebagai jawaban, membuat Shena kesal. "Ar!" Teriak Shena. "Ish, apa teriak-teriak." Arini merengut kesal. "Aku tidur di kamarmu, ya?" Shena menatap Arini penuh harap. "Aku bisa nolak?" "Nggak." Shena terkekeh, kemudian merebahkan diri di samping Arini. "Ar, kamu ada teman seorang pengacara, nggak?"  "Nggak punya, kenapa?" "Aku akan menggugat mas Alfa." "Kamu serius?" Arini yang terkejut segera menatap lekat sahabatnya, "Aku pikir kamu akan diam terus." "Aku ingin semuanya cepat selesai, bisa memulai hidup baru tanpa bayang-bayang mas Alfa." Arini memeluk Shena dari samping, "Aku selalu mendukungmu, asalkan itu yang terbaik." *** Dengan semangat membara Alfa datang menemui Shena di kontra-kan. Sambutan hangat sudah terbayang di benaknya. Ia akan berjuang lagi untuk mendapatkan maaf. Diketuk pelan pintu rumah. Senyum merekah tak pudar dari bibir Alfa ketika terdengar bunyi kunci diputar. Pintu terbuka lebar, Shena berdiri kaku saat melihat siapa tamu yang datang. "Hai, Sayang," sapa Alfa dengan senyum terbaiknya. "Mas Alfa kenapa kesini?" "Untukmu," Alfa mengeluarkan setangkai mawar putih yang sedari tadi ia sembunyikan  di balik  punggung kemudian menyerahkan pada Shena. Shena menatap bingung, selama pacaran dan menikah  Alfa belum pernah bersikap romantis seperti ini. Alfa menggaruk kepala, Shena menatap mawar dan dirinya bergantian. "Ambil," Alfa kembali menyodorkan mawar di tangannya. Shena menerima dengan sedikit ragu. "Aku pergi kerja dulu, besok kesini lagi. Begitu seterusnya, sampai kamu memaafkanku,"  Alfa beranjak pergi dari hadapan Shena. "Mas," panggil Shena ketika Alfa melangkah sedikit jauh. Alfa berbalik ketika mendengar panggilan Shena. "Aku akan menyewa pengacara untuk menyelesaikan perceraian kita. Mas tidak perlu lagi datang kemari." Shena melangkah mendekat, "Ini, Mas ambil lagi mawarnya. Berikan pada yang lebih berhak."  "Apa tidak ada lagi kesempatan buatku, kenapa? Apa karena laki-laki yang aku lihat bersamamu kemarin?" Ucap Alfa dengan nada sinis. "Aku sudah memberimu kesempatan mas, tapi kamu menolaknya." Suara Shena terdengar serak. "Aku tidak akan menyetujuinya," kata Alfa berapi-api. "Setuju atau tidak, perceraian ini akan tetap terjadi." Shena menatap tajam Alfa. Ia melangkah masuk dan menutup pintu.  Shena bersandar di balik pintu mengusap d**a yang terasa sesak. Tangis yang sedari tadi ditahan kini pecah. Bercerai? Tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Shena bangkit, kembali menyelesaikan pekerjaan yang tadi ia tinggal. Semua tersusun rapi. Ia bersiap untuk mengantarkan pesanan. Masuk ke kamar mengambil sling bagnya. Saat membuka pintu Shena dikejutkan dengan kehadiran Raditya. "Hai, kamu terlihat rapi, mau keluar?" tanya Raditya tersenyum lebar. "Iya, mengantar pesanan kue." Shena mengangkat susunan box kue. "Kapan aku bisa mencicipi kue buatanmu? Apa rasanya manis seperti senyummu?"  Raditya terang-terangan menggoda. Shena memukul ringan tangan Raditya menggunakan sebelah tangannya. "Gombal." Setelah melakukan perdebatan kecil, akhirnya Raditya berhasil menemani Shena. Mereka berjalan bersisian menuju ke tempat biasa Shena menitipkan kue. Hanya berjarak tujuh rumah dari tempat tinggalnya. "Setiap hari kamu membuat kue lalu menitipkan seperti ini?" "Iya, karena aku tidak berbakat bekerja kantoran. Yang pentingkan halal." *** Raditya dan Shena berbincang di teras rumah sambil menikmati cupcake buatannya.  "Radit, semalam kamu bilang punya sahabat pengacara, bisa kenalkan padaku?" Shena meremas tangannya gelisah. "Besok kita bisa bertemu dengannya, aku akan mengantarmu." Raditya menatap Shena. "Izinkan aku menjadi pelabuhan terakhirmu. Izinkan aku jadi yang terakhir untukmu. Aku akan menyembuhkan lukamu. Jadikan aku alasan untuk tawa dan bahagiamu. Lalu lupakan semua kesakitan dan memulai hidup baru denganku," ujar Raditya sebelum meraih tangan Shena. "Aku ingin menyelesaikan masalahku dulu, Raditya." Shena menarik tangannya, "Maaf." "Tidak perlu meminta maaf, aku akan menunggumu. Aku tidak akan menyiakan kesempatan ini. Dulu aku kehilanganmu. Sekarang tidak akan lagi. Aku tidak akan melepaskanmu lagi," ujar Raditya dengan tersenyum. Shena hanya diam menatap keseriusan Raditya. Mencari keraguan tapi nihil. Ingatan Shena  kembali ke beberapa bulan yang lalu. Suara penolakan Alfa masih berdenging di telinganya. Tidak dapat dipungkiri, ia terluka. Ia kecewa. Suara nada dering telepon yang masuk, membuatnya sadar dari keterpurukan. Di Layar ponsel tertera nama 'Raditya', segera ia menggeser tombol hijau. "Assalamualaikum, Raditya. Kenapa?" "Waalaikumsalam, sudah siap bertemu temanku sekarang?"  "Sebentar lagi selesai, kita bertemu di mana?" "Lima belas menit lagi aku jemput." "Ketemu langsung di tempat janjian saja, Raditya." "Aku jemput, tidak menerima penolakan." Suara Raditya diseberang terdengar tegas. "Iya, assalamualaikum," ucapnya pasrah. "Waalaikum salam." Shena menutup panggilan telepon dan mendengus kesal, Raditya suka sekali memaksanya. *** Perjalanan dari rumah menuju ke cafe memakan waktu tiga puluh menit. Selama perjalanan suasana di dalam mobil terasa mencekam. Keduanya diam membisu. Tidak ada obrolan. Shena yang canggung atas pernyataan Raditya kemarin pun memilih bungkam. "Lama bro! Telat lima belas menit!" "Bawel Ron," dengus Raditya tidak suka. Baru juga sampai sudah mendapat protes. "Shena, kenalin ini Roni, temanku yang kemarin aku ceritakan," kata Raditya sambil menunjuk Roni dengan dagunya. "Hai manis, aku Roni, bisa panggil bang Roni ganteng," Roni berkata sambil menjabat tangan Shena. "Shena," ujarnya lirih. "Ganteng dari Hong Kong," ejek Raditya. "Bilang aja lo cemburu, kan?" Roni menaik turunkan alis balik mengejek Raditya. "Sudah, berhenti!" Shena melerai kedua sahabat. "Bagaimana dengan persyaratan untuk mengajukan gugatan cerai kepada suami, bang Roni?" tanya Shena, "Apa ada kemungkinan perceraian tetap berlangsung meskipun suami menolak?" "Prosedur yang harus dilakukan jika istri sebagai penggugat, harus mengajukan gugatan cerai ke pengadilan Agama sesuai 'pasal 1 bab 1 ketentuan umum PP No 9/1975 tentang pelaksanaan UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan'. Sedangkan untuk mengajukannya, bisa datang sendiri atau pengacara yang mewakili datang ke PA dimana kamu tinggal." Papar Roni, "Jika alasan pengajuan gugatan cerai disertai bukti kuat, persidangan akan berjalan lancar meskipun pihak tergugat menolak." Shena dan Raditya diam mendengarkan penjelasan Roni. "Adapun alasan istri bisa mengajukan gugatan cerai karena suami melakukan zina, terjerat hukum penjara selama lima tahun atau lebih, melakukan penganiayaan secara fisik maupun non fisik, murtad (pasal 116 kompilasi hukum islam jo pasal 19 PP No 9 tahun 1975). Apa alasan kamu menggugat suami?" "Karena suami berbuat zina," ujar Shena lirih. Raditya menggenggam tangan Shena memberi dukungan. Roni menganggukan kepala tanda mengerti. "Apa ada pengajuan gugatan pembagian harta?" "Tidak ada." "Haruskah pihak penggugat hadir di persidangan, atau bisa diwakilkan kepada pengacaranya?" tanya Raditya. "Pihak penggugat diharuskan hadir paling tidak satu kali selama persidangan, karena jika tidak pernah hadir gugatan akan dinyatakan gugur. Shena bisa hadir pada persidangan mediasi setelahnya bisa serahkan padaku, aku pasti bantu sampai bersih." "Thanks bro!" "Makan gratis lah ya, lapar bro dari pagi belum sempat sarapan," Roni tertawa nyengir, "Setelah itu baru kita siapkan berkas gugatannya." "Dasar pengacara miskin, hobi gratisan," Raditya mendengus kesal. "Lumayan bro, duit bisa  dikumpulkan untuk biaya nikah." Raditya mendengus kesal sedangkan Shena tertawa cekikikan.  ** Berkas pengajuan gugatan cerai telah diajukan ke pengadilan  Agama oleh Roni. Shena mempercayakan semua urusan padanya. Shena berharap semua berjalan lancar. "Ar, Bunda Risma mengundangku makan malam di rumah. Kamu makan sendiri ya malam ini." Shena berkata sambil menikmati sarapan mereka. "Kenapa mesti datang? Nanti ketemu sama Alfa sialan. Bisa besar kepala dia tahu kamu berkunjung ke rumahnya," Arini menggerutu sebal kemudian mengerucutkan bibir. "Aku datang karena Bunda Risma, Ar, bukan mengunjungi mas Alfa. Ayah dan Bunda sudah seperti orang tua sendiri bagiku, kamu tahukan. Jadi aku tidak mungkin menolak ajakan mereka." "Mas ... mas ... mas, nggak usah pake mas panggilnya bikin aku emosi, panggil aja curut." Gerutu Arini, "Tahukan harga emas sekarang mahal. Jadi kalau orang tua Alfa minta kalian rujuk, kamu juga pasrah nggak akan nolak?" Arini mentapan Shena garang. "Sahabatku yang cantik, jomblo karatan kenapa jadi uring-uringan sih? Terus apa hubungannya harga emas sama panggilan tadi?" Shena terkekeh geli, "Kalau rujuk itu masalahnya sudah lain, Ar, aku yakin orang tua mas Alfa tidak akan memaksakan kehendaknya." "Sialan! Abis muji setinggi monas, langsung kau jatuhkan aku ke dalam lumpur." Kesal Arini, "Awas sampai rujuk sama dia, aku babat habis si Alfa curut." "Ar, percaya aku bakal baik-baik saja, meskipun harus bertemu mas Alfa. Kemarin dia datang tapi kamu lihat, i'm okay." Arini melotot, "Dia datang dan kamu nggak bilang ke aku? Kenapa datang kemari?" "Nggak bilang karena kamu pasti bakal marah terus tambah tua jadi jelek. Buruan berangkat kerja sana, nanti telat." Shena mencoba mengalihkan pembicaraan mereka. "Ingat ya kalau si curut jahatin kamu, segera telepon aku." pesan Arini sebelum beranjak kerja "Siap kapten! Hati-hati di jalan." Setelah kepergian Arini, tinggalah Shena sendirian di rumah, hari ini ia libur tidak menerima pesanan kue. Namun ia berniat membuat kue kering untuk dibawa ke rumah Bunda Risma malam ini. Shena mengembuskan nafas lelah, "Tidak masalah kali ini gagal membuka usaha online karena tabungan masih belum cukup, harus dipotong untuk bayar pengacara. Semoga semua lancar, semangat Shena!" Shena berbicara untuk dirinya sendiri. Sibuk dengan kegiatan membuat kue tanpa sadar waktu sudah menunjukan pukul tiga sore. Kue yang akan ia bawa sudah tersusun rapi dalam box cantik. Waktunya bersiap-siap dan berangkat, agar ia bisa membantu Bunda menyiapkan makan malam. Selesai bersiap, Shena langsung menuju ke rumah Bunda Risma. Sebelumnya ia sudah menelpon Arini jika ia sudah berangkat. Tiba di depan rumah bunda, Shena turun dari taksi kemudian melangkah menuju pintu. Tok ... tok ... tok "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam," tidak lama kemudian terdengar suara bunda. Pintu terbuka, Shena meraih punggung tangan Risma kemudian mengecupnya, "Selamat sore Bunda, maaf baru berkunjung sekarang," ujarnya tak enak hati. "Masuk sayang, tidak apa bunda mengerti. Kamu mau datang saja sudah senang," bunda tersenyum ramah. Sejak pertama kali bertemu, Shena mengenal beliau sebagai seseorang yang memiliki hati dan sikap yang lembut, suka menebar senyum kepada semua orang.  "Bunda ke dapur  dulu, kamu langsung saja ke ruang keluarga, Ayah dan Alfa ada di sana. Alfa paling semangat waktu tahu kamu mau datang." Shena hanya mampu tersenyum menanggapi ucapan beliau. "Selamat sore Ayah, mas Alfa," sapanya. "Sore sayang, duduk sini di sebelah ayah, kenapa lama nggak mengunjungi lelaki yang sudah renta ini, mulai melupakan kami?" ucap Sarman dengan nada sedih. "Maaf Ayah, bagaimana mungkin Shena melupakan ayah dan bunda, hanya saja pesanan kue akhir ini lumayan banyak, jadi nggak sempat berkunjung kesini. Lihat Shena bawa kue kesukaan ayah," Shena tersenyum kemudian membuka box yang berisi kue buatannya. Sarman menikmati kue dengan lahap. Shena melirik Alfa sekilas. Terlihat senyum bahagia di wajahnya. "Shena mau  bantu bunda masak, Yah," pamit Shena. Sarman menganggukan kepala.  "Bisa bicara sebentar," Alfa beranjak menuju taman di belakang rumah setelah meminta Shena mengikutinya. "Kamu yakin dengan keputusanmu menggugat? Apa tidak ada sekali lagi kesempatan? Aku berjanji tidak akan mengulang kebodohanku yang mengakibatkan kehilanganmu?" wajah bahagia Alfa tadi kini berubah sendu. "Aku sudah mendaftarkan gugatan tadi pagi," ujar Shena menunduk tangannya meremas ujung baju yang ia kenakan. "Maafkan aku yang bersikap tidak baik, menyakitimu, menyiakan kesempatan yang dulu kamu beri. Aku tidak akan memaksamu untuk kembali padaku, tapi, tolong izinkan aku tetap berjuang untuk mendapatkanmu lagi." ucap Alfa tulus. Shena menatap Alfa intens, seketika dadanya menjadi sesak. Ia berlalu tanpa sepatah kata. **** Makan malam di kediaman Sarman telah usai. Shena masih sibuk membereskan dapur bersama Bunda Risma.  "Nak," Panggil Risma di sela kegiatan mereka. "Iya, Bun."  "Kamu benar-benar tidak mau menerimanya kembali? Coba dipikirkan kembali, Nak. Bunda masih tetap berharap kamu jadi menantu disini." "Shena sudah mengajukan gugatan, seorang pengacara bernama Roni sedang mengurus. Maaf tidak bisa mewujudkan harapan Bunda," ucapnya tak enak hati. Shena menatap wajah Bunda yang tampak sedih. "Biarpun berpisah, Ayah dan Bunda tetap jadi orang tua Shena. Kalian yang selama ini memberi kehangatan keluarga saat Shena sendirian," ujarnya berkaca-kaca. "Bunda minta maaf atas nama Alfa yang sudah melukai hatimu. Bunda gagal mendidiknya," Risma memeluk Shena sambil mengusap punggungnya. "Bunda dan Ayah orang tua terbaik yang pernah Shena punya. Hanya saja memang jalannya aku dan mas Alfa berpisah," memandang Bunda dengan senyum menghias wajah. *** Waktu terus berlalu, selama itu pula Alfa tak pernah menyerah berjuang untuk mendapatkan maaf. Namun tak membuahkan hasil. Pintu maaf seolah tertutup rapat untuknya. Alfa menggenggam erat surat yang selesai ia baca. Semua akan segera berakhir. Apalagi yang bisa diperbuat untuk menyelamatkan pernikahannya. Haruskah ia memohon agar dibatalkan? Mungkin inilah harga yang harus dibayar oleh Alfa atas kebodohannya.  Penolakan di setiap kunjungannya, membuat ia frustasi. Menghela napas lelah. Ia tak mampu lagi. Alfa mengendarai mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Tak butuh waktu lama ia sudah sampai di pengadilan Agama. Hari ini persidangan terakhir perceraiannya. Persidangan itu menakutkan. Tempat terlaknat yang seumur hidup ingin Shena hindari. Namun kenyataan membawanya kesini. Di 'meja hijau' dengan perasaan yang tak menentu. Ia tak pernah menyangka kalau perceraian akan terjadi padanya. Rumah tangganya akan berakhir. Hari ini, hari di mana persidangan perceraian Shena dan Alfa. Palu telah diketuk oleh hakim ketua. Hari ini juga rumah tangganya selesai. Shena berdiri tegak di hadapan orang-orang yang datang.  Kini tak ada lagi kisah antara Shena dan Alfa, tak ada lagi suami istri, yang tinggal hanya luka. Shena menangis dalam hening. Jalan ini yang akhirnya mereka pilih. Perpisahan entah keputusan yang terbaik atau malah menyakiti satu sama lain. Shena berharap kalau ini hanya mimpi, perceraian, perselingkuhan, tapi kenyataannya  semua itu nyata. "Terima kasih untuk delapan tahun kebersamaan kita, dua tahun terakhir kita arungi bahtera rumah tangga," Shena menjabat tangan Alfa yang berdiri di hadapannya. "Terima kasih atas cinta, kasih sayang dan sebuah kehangatan keluarga selama ini. Semoga kamu bahagia, Mas," ucap Shena lirih penuh tangis pilu. Alfa terdiam, memandang lekat wajah Shena seolah ini akan menjadi pertemuan terakhir mereka. "Kamu juga harus bahagia," ucapnya dengan senyum penuh kesedihan. Shena menghampiri keberadaan Arini yang sudah menunggunya di depan pintu ruang persidangan bersama Raditya dan Roni. Arini segera memeluk sahabatnya saat jarak mereka sudah dekat, "Ini hari terberat bagimu, tapi aku yakin kamu wanita kuat."  "Ayo pulang, aku lelah." Shena mengurai pelukan kemudian tersenyum memamerkan deretan giginya. Roni pamit pulang terlebih dahulu. Raditya masih tetap memaksa ingin mengantar Shena dan Arini pulang. Namun ditolak oleh Shena. Alfa, hanya mampu memandang sendu dari kejauhan. *** "Aku istirahat dulu, Ar. Panggil aku ketika makan malam tiba." Pesan Shena sebelum masuk ke kamarnya.  Arini mengangguk sebagai jawaban. Menatap sendu Punggung sahabatnya yang perlahan melangkah menuju kamar. Ia menghembuskan napas pelan. "Akan ada pelangi yang menghiasi harimu setelah ini." ucap Arini lirih. Di Dalam kamar, Shena mengambil buku bersampul hitam miliknya. Ia tulisan kesedihannya hari ini. ~~~ Tiga belas Agustus, hari terberat. Namun aku dipaksa harus kuat. Ada sebuah perasaan yang tak akan pernah kau rasakan. Kata cerai darimu yang aku harapkan dulu, nyatanya saat itu terlaksana, ada bagian dari diriku yang ikut hilang. Betapa sakit, sedih, dan kecewa saat ini. Kau tusukkan belati kasat mata semakin dalam, sampai berujung pada perih baru yang tak pernah terjamah. Apa kamu tahu sulitnya menjalani hidup dengan hati yang selalu memanggil-manggil namamu? Aku terlampau berharap padamu. Hingga sayang sekali cinta ini seolah membuatku buta oleh  luka yang kau tancapkan. ~~~ Shena menyimpan kembali buku bersampul hitam ke dalam laci. Kemudian merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Berharap kantuk akan segera datang dan membawanya  ke alam mimpi. Sayup-sayup Shena mendengar ketukan pintu disertai suara orang memanggil namanya. Ia mengerjapkan mata. Ketukan pintu semakin terdengar kasar. Shena membuka mata sepenuhnya, ia terbangun. Sedangkan di balik pintu, Arini merasa sedikit cemas. "Ingatkan aku untuk membuat duplikat kunci seluruh pintu rumah ini besok." Gumamnya pelan sambil mendengus kasar. Pintu terbuka dari dalam, Arini menghela napas lega sambil mengusap d**a, "Aku khawatir dari tadi, kamu baik-baik saja?" Arini menatap iba sahabatnya. Shena dengan wajah bangun tidurnya hanya meringis, "Hehehe ... ketiduran tadi, ga denger kamu ketuk pintu." "Ayo makan. Ga usah mandi. Aku sudah lapar." Sungutnya. Arini beranjak terlebih dahulu melangkah menuju ruang makan, diikuti Shena dari belakang lalu menjajari Arini. *** Kamar yang biasanya bersih rapi kini nampak berantakan. Semua benda di dalamnya rusak tak berbentuk. Sprei, bantal dan guling sudah berhambur di sudut ruangan. Bahkan lemari pakaian pun tak luput dari hantaman Alfa. Baju-baju dalam lemari sudah tidak berada pada tempatnya. Alfa mengeluarkan amarah dalam dirinya yang tak terkendali. Amarahnya sampai pada titik puncak. Bagaimana tidak? Saat ia ingin memperbaiki diri dan memulai hidup baru dengan Shena, namun semuanya terlambat. Ketukan palu mengakhiri semuanya. Dapatkah ia menerima dengan lapang d**a atau malah memicu kegilaan pada dirinya. 'Selamat menuju kematian, Alfa.' Batin Alfa. Ia menghalau air mata yang hampir meluruh. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Alfa meremas rambutnya keras. Ia tak tahu saat ini dirinya harus menangis atau tertawa. Ia berteriak mengeluarkan sesak di dadanya. Ia harus menenangkan diri, agar bisa berpikir jernih. Keluar kamar dengan langkah gontai, hingga berpapasan dengan bunda. "Mau kemana, Alfa?" tanyanya dengan nada khawatir memperhatikan penampilan Alfa yang berantakan. "Alfa keluar sebentar, Bun." Sahutnya. "Alfa butuh udara segar, agar pikiran alfa jernih." Alfa Berlalu pergi, tak ingin diinterogasi lebih banyak lagi oleh bunda. Alfa mengendarai mobilnya menuju rumah Shena. Ia ingin melihat Shena. Andai bisa ingin rasanya ia memutar waktu. Kembali di masa dulu ketika mereka hidup bahagia berdua.  *** Setiap orang pasti pernah mengukir sebuah kenangan indah sampai tidak akan bisa terlupakan. Tapi, setiap manusia juga pernah berbuat salah dalam hidupnya.  Lalu, bagaimana cara menciptakan kebahagiaan itu terus ada sampai akhir nanti? Tanpa menyesali kesalahan di masa lalu. Akankan bisa dia mengukir kembali kehidupan baru bersama Shena setelah ribuan pisau Alfa sayatkan di relung hatinya? Andai saja dia tidak menuruti hasrat hati, mungkin kini masih hidup bahagia bersama Shena. *** Alfa mengawasi rumah Shena hampir satu jam. Dia belum juga melihat Shena untuk mengobati rasa rindunya meski dari kejauhan. Tanpa memperhitungkan apapun. Alfa berjalan selangkah demi selangkah menuju rumah Shena. Sempat muncul keraguan untuk menemui saat ia sudah berdiri tepat di depan pintu. "Tak ada salahnya mencoba," monolognya. Pada ketukan ketiga, pintu rumah terbuka. Tampak Shena yang terlihat berpakaian rapi berdiri di hadapannya. Alfa menarik senyum tipis. "Mas," ucap Shena lirih, terkejut. Shena tidak menyangka yang berdiri di hadapannya kini adalah mantan suami. Sejak ketuk palu di pengadilan enam bulan yang lalu, mereka tidak pernah bertemu lagi. Namun, tanpa sepengetahuan Shena, Alfa sering memperhatikan ia dari kejauhan. "Kamu mau pergi?"  "Iya, Mas. Sebentar lagi Raditya jemput, kami makan siang bersama," ucap Shena. Alfa mengepalkan kedua tangannya mendengar jawaban Shena. Ada rasa tak rela saat mantan istrinya makan siang bersama pria lain.  "Kalau begitu lain kali saja aku berkunjung," ucap Alfa. "Tapi, Shena harap Mas tidak usah berkunjung ke sini lagi. Aku tidak mau jadi bahan gunjingan warga sekitar!" Shena berkata tegas. "Baiklah, aku pamit." Baru beberapa langkah,  Alfa kembali berucap, "Kalau ada waktu, datanglah ke rumah Ayah dan Bunda merindukanmu." Aku juga merindukanmu, namun kalimat itu hanya mampu Alfa ucapkan dalam hati. "Nanti Shena hubungi Ayah dan Bunda." Setelah mengucapkan salam, Alfa melangkah menuju mobil yang ia parkirkan di seberang jalan rumah Shena. "Aaargh!" Dicengkeramnya kuat kuat sisi kemudi, menggeram bak singa yang sedang kelaparan. "Sial, sial, sial!" Sesalnya. Kepala terasa sakit seperti akan pecah dan bisa meledak sewaktu waktu.  "Shena ...," gumamnya. Setetes air mata lolos. "Sudah tidak adakah kesempatan untuk kita bersama lagi? Aku menyesal! Maafkan kesalahanku." Alfa meluapkan kegundahan hatinya sendiri. Alfa yang masih belum beranjak dari seberang rumah Shena, disuguhkan dengan pemandangan yang menohok hatinya. Shena dan Raditya tampak berbincang dan tertawa bersama. Hingga mereka berdua pergi, tak terlihat lagi. Melihat mereka sedekat itu, d**a Alfa terasa sesak sama ketika ia dilarang datang ke rumah Shena. Apa aku masih bisa mendapatkanmu lagi, Shena? Batin Alfa. "Sebenarnya kita mau kemana sih, Raditya?" ucap Shena jengkel. Sejak tadi ia sama sekali tidak diberitahukan kemana tujuan mereka.  "Nanti juga kamu akan tahu. Tenang saja aku tidak akan membuangmu." Raditya berkata sambil terkekeh.  Shena menatap tajam Raditya dan berkata, "Jawab kita mau kemana, atau aku lompat sekarang juga!" "Tapi kamu jangan marah, ya? Aku tidak meminta persetujuanmu terlebih dahulu." Raditya berkata tanpa menoleh. Pandangannya lurus ke depan. "Apa, Raditya! Jangan bikin aku penasaran." "Kita sekarang menuju rumahku. Aku ingin mengenalkanmu pada orang tuaku," ucap Raditya hati hati. Setelah berhasil mengancam Raditya, akhirnya mobil menepi di pinggir jalan. "Kenapa tidak memberitahuku jika kita akan ke rumahmu," ucap Shena kesal. "Jika aku bilang dari awal, pasti kamu tolak, kan? Ayolah Shena! Aku hanya ingin mengenalkanmu pada keluargaku." Raditya berkata sungguh sungguh. "Ini terlalu cepat untukku. Kamu tahu bagaimana keadaanku sekarang." "Aku akan menunggu sampai kamu benar benar siap. Hari ini, aku hanya ingin mengenalkan pada keluarga wanita yang merajai hatiku sejak dulu. Kamu bersedia, kan?" Shena mencari kesungguhan ucapan Raditya dari matanya. Hingga akhirnya ia mengangguk sebagai jawaban. Tak butuh waktu lama,  di sinilah mereka sekarang, sampai di depan sebuah rumah minimalis yang cukup asri ditumbuhi berbagai jenis bunga pada halaman depan.  "Aku takut, Dit!" "Keluargaku tidak akan memakanmu, mereka semua baik, pasti bisa menerima statusmu jika itu yang menjadi ketakutanmu." Raditya menggenggam tangan Shena menyakinkan bahwa semua akan baik baik saja. Jantung Shena semakin menggila tak karuan. Mengembuskan napas kasar, berharap dapat meredakan kekalutan hatinya. Raditya turun, mengelilingi depan mobil membukakan pintu untuk Shena. "Ayo masuk!" Shena terlihat  gugup ketika berhadapan dengan kedua orang tua Raditya. Meskipun mereka tampak menyukainya, ia tetap merasa belum yakin akan penerimaan keluarga Raditya atas statusnya. "Ayo kita makan siang, dulu. Ngobrolnya dilanjut nanti," Rita, ibunya Raditya berkata lembut. Tanpa ada bantahan, mereka beranjak ke meja makan. Banyak menu sudah terhidang di sana. Semua duduk menempati posisi masing masing. Shena duduk tepat di sebelah Raditya. "Ayo dimakan, Sayang. Jangan sungkan, ya! ini semua Tante yang masak," ucap Rita antusias. "Iya, Tante." Shena berkata sambil mengangguk, kikuk. "Ibunya yang paling semangat, waktu Raditya bilang mau membawa pulang calon istrinya makan siang di rumah," ucap Romi, ayah Raditya. "Uhukkk." Shena tersedak makanan saat mendengar perkataan Romi. Raditya dengan sigap memberikan segelas air putih dan menepuk nepuk pelan punggung Shena. Shena menerima dan mengucapkan terima kasih. Segera meminumnya. "Mulai sekarang manggilnya jangan Om, Tante, ya? Panggil Ibu dan Ayah," ucap Rita yang dibalas anggukan oleh Shena. Sebenarnya Shena masih gugup dan gelisah. Antara ketakutan dan belum siap untuk menikah lagi. Tapi, melihat kegigihan dan kebahagiaan di wajah kedua orang tua Raditya, ia tak sanggup untuk mengecewakan. Makan siang telah selesai. Mereka kembali berkumpul di ruang keluarga.  "Raditya sudah bercerita tentang kehidupanmu. Setelah ia mengatakan ingin menikah." Romi membuka pembicaraan. Shena tak henti meremas jarinya karena gugup. "Untuk kami, apapun statusmu tidak masalah. Asal, bukan istri orang lain." Romi menatap Shena dan Raditya bergantian. "Tapi sebelumnya, izinkan Shena menceritakan tentang kehidupanku. Aku bukan dari keluarga kaya, tidak ada sanak saudara di sini. Pemasukan keuangan yang aku dapat hanya cukup untuk membiayai hidupku dan rumah kontrakan yang aku tinggali bersama satu teman. Aku seorang janda. Apakah, Ibu, dan Ayah masih mau menerima?" Shena mengatakan yang sejujurnya. Kedua orang tua Raditya saling memandang. Seolah mereka berbicara melalui kontak mata. Setelah kemudian mereka tersenyum. "Kami tidak memilih menantu yang sempurna, Shena. Asal ia mau menerima anak kami dengan tulus, maka kami pun akan menerimanya dengan baik."  Rita menjeda sejenak. Kemudian kembali berkata, "Manusia tidak ada yang sempurna, Sayang. Begitupun dengan keluarga kami. Jika kalian berdua siap menerima kekurangan masing masing, sebagai orang tua, kami mendukung keputusan Raditya."  Shena menunduk, menyembunyikan rasa terharunya atas penerimaan kedua orang tua Raditya. "Kalau begitu ...." Shena menarik napas pelan, kemudian mengembuskan perlahan.  "Aku terima," jawab Shena mantap sambil memandang kedua orang tua Raditya bergantian. Raditya langsung memeluk Shena begitu mendengar jawabannya. Ia terlampau bahagia atas keputusan Shena.  Tak ada yang bisa menggambarkan kebahagian Raditya saat ini. Ia akan menikahi wanita pujaannya.  "Sekarang kamu jadi bagian dari keluarga ini. Jangan sungkan lagi sama ibu dan ayah, ya?"  Shena mengangguk sebagai jawaban.  "Berarti, kita tinggal menentukan kapan tanggalnya, atau kalian ada rencana sendiri?" Romi menatap Raditya. "Raditya sih ingin lebih cepat, Yah. Kalau bisa secepatnya," uca Raditya sambil mengerling pada Shena. Shena mendengus kesal dengan kelakuan Raditya. "Kalau begitu, kita mulai urus keperluan surat surat, besok. Supaya bisa ke KUA secepatnya." Romi berkata. Pembicaraan pun selesai. Namun, wajah girang Raditya masih terlihat jelas. Shena menarik sudut bibirnya ke atas saat melihat kebahagiaan Raditya.  "Ya Allah, semoga ini keputusan yang terbaik," gumam Shena. "Apa semua nggak terlalu cepat untukmu?  Kalian bertemu lagi setahun pun belum genap, Shena. Coba kamu pikir ulang!" Itulah yang Arini ucapkan ketika Shena menceritakan tentang lamaran Raditya hari ini. Membuat Shena merenung dan berfikir. Maju ataukah mundur. Tetapi, jika ia mundur, bukan hanya Raditya yang tersakiti tetapi orang tuanya juga. Shena tak akan setega itu mengecewakan mereka yang sudah menerima ia apa adanya.  "Shena ...." Arini menggoyangkan tangan tepat di depan wajah Shena yang diam terpaku. "Aku sudah mantap, Ar. Semoga Raditya memang yang terbaik untukku."  "Aku hanya tidak ingin kamu hancur untuk yang kedua kali. Apapun itu aku tetap mendukungmu asal itu yang terbaik. Lalu, apakah kamu akan memberitahu Alfa dan orang tuanya tentang rencana pernikahanmu?" "Entahlah, Ar. Aku tidak ingin melihat wajah bersedih Bunda. Bagaimanapun beliau sudah seperti ibu sendiri untukku." "Kamu masih mencintai Alfa?" "Cinta? Rasa di hati ini sudah tidak ada, Ar. Aku hanya butuh waktu untuk melupakan kenangan yang ada." "Yasudah kalau begitu. Beritahu Alfa tentang rencana pernikahanmu, agar ia tak lagi datang memohon untuk bersama lagi."  "Baiklah, akan aku katakan padanya. Sekarang tidurlah. Besok harus bekerja, bukan?" "Siap, Ibunda Ratu!" Suara tawa memenuhi ruang tamu rumah kontrakan mereka.  Shena masih terjaga. Matanya sulit terpejam. Seperti biasa, ia akan mengambil buku bersampul hitam miliknya. Lalu, menggoreskan aksara untuk mewakili isi hatinya.  ** Mereka bilang cinta adalah pengorbanan. Lalu, apakah harus mengorbankan hati tertoreh sembilu? Ketika seluruh hati telah diberikan, tentunya berharap manis madu yang didapatkan. Namun, racun cinta yang diberikan. Perlahan racun itu menyebar ke seluruh hati. Membiru, mati rasa, sulit untuk berdebar ketika berada di dekatnya.  Bohong bila cinta ini telah hilang untukmu. Hanya saja aku tidak bisa melupakan sakit yang kau berikan. Kembali padamu sama saja menyerahkan hati untuk kau remukkan. Aku tidak siap. Maka ku akan merelakan dan mulai menata lagi hati dengan bantuan orang lain. Karena menatanya sendiri, aku takut takkan pernah usai. Alfa, mulai saat ini, kau adalah kenangan. Sedangkan Raditya adalah masa depan. Semoga kita bisa saling mengikhlaskan agar masa lalu tak menghalangi masa depan. ** Ia simpan kembali buku miliknya. Berharap esok ceria kan menyapa hari-harinya. "Semangat, Shena!" monolognya menyemangati diri sendiri. *** Suara gaduh membangunkan Shena dari tidur nyenyaknya. Ia berjalan keluar kamar menuju asal suara. "Ada apa sih, Ar? Pagi-pagi sudah bikin keributan!" "Nih, M-A-N-T-AN suamimu yang nggak tahu diri pagi-pagi sudah bertamu ke rumah orang. Ganggu aja!" Arini berucap dengan gigi gemeretak menahan amarah. Shena menoleh keluar, tepat di depan pintu berdiri Alfa yang sudah berpakaian rapi.  "Ngapain kamu pagi-pagi sudah datang, Mas?" tanya Shena heran. "Mau ngajak kamu sarapan bareng di luar," jawab Alfa mantap dengan senyum mengembang. "Nggak usah sok perhatian deh! Kemarin-kemarin kemana?" ucap Arini sinis.  "Ar ...!" tegur Shena. "Yaudah belain aja terus!" Arini melangkah menjauh masuk ke dalam rumah. Shena menghela nafas kasar. "Maaf, Mas. Aku nggak bisa pergi denganmu. Shena harap Mas Alfa jangan datang lagi ke sini." "Kenapa? Apa karena datang terlalu pagi?" tanya Alfa gelisah. "Bukan karena itu, Mas. Aku ingin membuka lembaran baru bersama Raditya. Shena harap Mas jangan datang lagi!" "Kamu mau menikah dengan Raditya?" ucap Alfa lesu. "Iya! Sekarang pulanglah, Mas. Jangan datang lagi. Semoga kita bisa bahagia dengan kehidupan masing-masing." "Baiklah, aku pergi sekarang. Tetapi perlu kamu ingat Shena, selama akad belum terucap berarti aku masih memiliki waktu untuk merebutmu darinya!" Alfa melangkah pergi setelah selesai berkata kepada Shena.  Shena menatap punggung Alfa yang semakin menjauh. "Aku berdoa semoga ini yang terbaik untuk masa depan kita, Mas. Hingga saatnya nanti kita sama-sama bisa mengikhlaskan." Shena berucap dalam hati. "Sudah pergi tuh manusia nggak tahu malu?" Suara Arini mengalihkan pandangan Shena. "Kamu bisa lihat sendiri, kan? Namanya Alfa, Ar kalau kamu nggak lupa?" "Belain aja terus. Udah bikin kamu kaya gini juga masih aja dibaikin." Gerutu Arini. "Setiap manusia pasti pernah berbuat salah, Ar. Lalu bukan berarti kita berhak menghakimi. Aku bukannya membela Mas Alfa, tetapi aku mengingatkan sahabat terbaikku agar hatinya selalu berprasangka baik. Mengerti?" "Iya, iya, siap, Bu!" Shena dan Arini saling berpandangan kemudian berpelukan.  ** Alfa masih asyik dengan pikirannya sendiri. Bayang-bayang senyum dan tawa ceria Shena mengusiknya. Sekarang ia merasa tak rela jika pria lain yang berada di samping Shena. Alfa mengusap wajah kesal. Kata-kata Shena masih terngiang di telinganya.  "Ya Allah, jahat banget aku sudah menyakiti hati Shena," batinnya. "Beri aku kesempatan sekali lagi, maka aku takkan menyia-nyiakanmu!" Alfa berbicara dengan foto Shena yang menjadi Wallpaper di HPnya.  Alfa yang masih berkutat dengan pemikirannya sendiri, hingga tak menyadari jika Bunda sudah berdiri di dekatnya.  "Apa yang baru saja kamu perbuat, Al? Kenapa wajahmu bisa kusut begini?" Bunda Risma menatap wajah anaknya lekat-lekat. "Shena, Bun ...." "Ada apa dengan Shena? Dia baik-baik saja, kan? Jawab Alfa, jangan bikin Bunda khawatir!"  "Shena baik-baik saja. Bunda tidak perlu khawatir. Hanya saja ... dia akan menikah dengan lelaki lain," ucap Alfa lesu. "Bunda senang kalau Shena menemukan kebahagiaan lain. Seharusnya kamu juga bahagia dia menikah lagi." "Bagaimana Alfa bisa turut bahagia atas pernikahannya! Sedangkan aku masih berharap Shena kembali lagi." "Kalau kamu yakin nggak akan menyakiti hatinya lagi, ya berjuang! Bunda juga senang kalau Shena jadi bagian dari keluarga ini." Senyum Alfa mengembang ketika mendengar pernyataan Bundanya. Seolah mendapat kekuatan baru untuk tetap memperjuangkan Shena hingga titik akhir.  ** "Ya Allah, Shena. Apa sih yang ada di otakmu itu? Kamu masih waras, kan?" Pekik Arini ketika Shena mengatakan ingin pergi saja dari tempat tinggalnya sekarang. Dia, ingin memulai hidup baru tanpa bayang-bayang masa lalu. "Aku waras, Ar. Bahkan lebih sehat dari biasanya." "Tetapi nggak harus pergi juga dari sini! Kamu tega mau ninggalin aku sendiri? Aku nggak setuju dengan rencanamu!" "Ini yang terbaik, Ar. Aku yakin, jika masih tetap di sini, Mas Alfa tidak akan menyerah untuk bertemu denganku." "Kalau alasanmu pergi karena si curut Alfa itu, aku bisa buat dia kapok ketemu kamu. Jadi, kamu nggak harus menghindar!" "Pokoknya, aku tetap nggak izinin kamu! Atau kamu memang udah nggak nyaman tinggal sama aku? Makanya mau pergi jauh. Aku mohon, jangan pergi, ya?"  Arini memandang penuh permohonan ke arah Shena. Semua sudah Shena pikir dengan mantap. Bahwa dia memutuskan untuk memulai hidup baru di lingkungan lain. Meninggalkan segala kenangan masa lalu bersama Alfa. Bukan berlari dari kenyataan, hanya saja dia butuh suasana baru untuk mempersiapkan hati kembali. Dia hanya perlu berbicara dengan Raditya dan keluarganya. Sedangkan Arini, sudah memutuskan untuk ikut ke manapun Shena pergi. Karena saat ini, hanya Shenalah yang Arini miliki.  "Kapan mau bicara pada Raditya tentang rencanamu, Shena?" ucap Arini di sela-sela aktivitas sarapan mereka. "Hari ini. Lebih cepat lebih baik, bukan?" "Ya, semoga Raditya tetap mendukung keputusanmu. Lalu bagaimana dengan Alfa dan Bunda Risma?" "Entahlah, Ar. Mungkin setelah bicara dengan Raditya, baru aku akan berpamitan pada Bunda." **  Di sinilah Shena sekarang, di kafe dekat kantor Raditya. Setelah tadi  dia mengirim pesan padanya untuk bertemu di jam makan siang.  Apa yang dikhayalkan tak selalu sesuai dengan kenyataan. Sama seperti yang Shena alami saat ini. Sulit ternyata menjelaskan kepada Raditya tentang keputusannya.  "Memulai lembaran baru tak harus berlari dan menjauh, Shena! Aku bisa memberimu memori baru meskipun kita berada di tempat yang sama seperti yang dulu kamu lalui bersama Alfa." "Tapi, Dit ...." "Tidak ada tapi-tapian, Shena. Aku memang tak punya hak untuk melarangmu pergi. Tapi aku berusaha memperjuangkan masa depan kita. Sudah pernah kehilanganmu sekali. Maka, saat ada kesempatan aku tak ingin menyia-nyiakannya." "Kita mulai hidup baru di sini, berdua. Aku janji tak akan membiarkanmu terjatuh untuk kedua kali." Raditya berkata sambil  menggenggam tangan Shena. "Aku tahu ini terlalu cepat untukmu. Tapi tidak bagiku, Shena." Shena memperhatikan wajah Raditya yang penuh dengan gurat kegelisahan. Dia masih terdiam, bingung. Hanya mampu mendengarkan ungkapan Raditya yang tiada henti. Tanpa Shena sadari pipinya telah basah oleh air mata melihat kesungguhan Raditya. "Jangan pergi, Shena. Karena ada aku disini yang menjanjikan masa depan untukmu. Jika sudah jodoh, tak peduli berapa lama atau singkat sebuah pertemuan."  "Aku hanya tidak ingin Alfa datang dan berusaha untuk kembali. Jika pergi dapat memberi jarak untuknya menemuiku, maka akan kulakukan. Karena aku tidak ingin menyakiti siapapun, Dit." "Hei, dengar, kamu harus percaya padaku. Kita hadapi bersama jika kamu memang yakin ingin menuju masa depan denganku." Raditya menghapus bulir air mata yang masih membasahi pipi Shena menggunakan ibu jarinya. "Aku tanya sekali lagi, Shena, maukah kamu menjadi pendampingku menghabiskan sisa hidup ini bersama?"  Di hadapannya kini ada seorang lelaki dengan kesungguhan hati menawarkan masa depan bersama. Shena tak dapat membendung air mata kebahagiannya. Dia mengangguk pelan sebagai jawapan. Raditya pun tersenyum bahagia mendapatkan jawaban dari Shena. "Minggu depan aku akan menyuruh orang tuaku untuk melamarmu dan menentukan tanggal pernikahan." "Nggak kecepatan kalau langsung menentukan tanggal?" "Nggak, lah. Kita, kan, masih perlu mengurus berkas-berkas nikah. Itu memakan waktu juga. Kita saling kenalnya setelah menikah saja." Tanpa sadar Shena mengangguk. Raditya yang melihat jadi tersenyum lebar mendapat respon positif dari Shena. *** Seminggu telah berlalu. Tepat hari ini keluarga Raditya akan datang. Shena terlihat cantik dengan balutan dress tosca selutut. meskipun tak nampak jelas, tapi dapat terlihat ada kegelisahan diraut wajahnya.  Setelah kepulangannya bertemu Raditya waktu itu, Shena menemui Alfa dan Bunda Risma di kediamannya. Setelah menjelaskan panjang lebar, beruntung orang tua Alfa mendukung semua keputusan Shena. Meskipun Alfa sendiri masih terlihat enggan melepas Shena untuk lelaki lain. "Sungguh, tak ada lagi kesempatan untukku, kah? Aku janji akan berubah, Shena!" "Mas, aku sudah memaafkanmu. Namun untuk melupakannya ... maaf, Mas, aku belum bisa! Masih terasa sakit di sini," kata Shena sambil menepuk-nepuk dadanya. "Aku tidak pernah membencimu, Mas. Hanya kecewa dengan apa yang telah kamu lakukan padaku. Cobalah untuk mengikhlaskan, Mas. Shena yakin, di luar sana, akan ada wanita terbaik yang mau menerimamu. Jika saat itu tiba, ingat Mas, jangan sakiti dia seperti kamu menyakitiku!"  "Berubahlah, perbaiki sikapmu, tapi semua itu bukan demi Shena. Menjadi lebih baiklah untuk dirimu sendiri, Mas!" "Kamu harus ikhlas, Alfa. Ini semua hasil dari perbuatanmu. Lepaskan Shena. Biarkan dia bahagia dengan kehidupannya yang baru." Nasihat Bunda Risma untuk Alfa.  "Nak, dengan siapapun kamu menikah nanti, Bunda tetap menganggap kamu anak perempuan di keluarga ini. Pulanglah ke sini jika suatu saat kamu butuh tempat untuk kembali. Pintu rumah ini selalu terbuka untukmu," ucap Bunda Risma, kemudian mereka berpelukan. Sedangkan Alfa masih menunduk terdiam bak seorang pengecut. Akhirnya Shena merasa lega setelah berbicara dengan Alfa dan keluarganya. Suara Arini yang memberitahukan jika keluarga Raditya sudah datang, mengembalikan kesadaran Shena. Acara pun berlangsung lancar, orang tua Alfa datang sebagai keluarga Shena. Karena dia sudah tidak memiliki keluarga satupun. Tanggal pernikahan pun sudah ditentukan. Dua bulan kemudian akad nikah akan dilaksanakan. Semua persiapan pernikahan akan disiapkan oleh pihak lelaki. Shena hanya perlu fitting baju, memilih cincin dan undangan pernikahan. Senyum kebahagian terpancar dari seluruh pihak yang hadir. Kecuali seseorang yang sedari acara dimulai hanya diam. Aura kesedihan terpancar jelas di wajahnya.  Kita memang tidak bisa menentukan masa depan yang seperti apa. Tetapi kita bisa menciptakan masa depan yang bahagia setelah masa lalu penuh duka. Setelah resmi menyandang status istri, Shena segera diboyong ke rumah yang telah disiapkan oleh Raditya untuk mereka tempati. Tidak tinggal bersama kedua orang tua Raditya. Rumah yang mereka tempati memang tidak semewah kediaman orang tua Raditya. Sesuai permintaan Shena, sederhana asal ada taman bermain untuk anak-anak mereka kelak. Begitu ungkapan Shena ketika Raditya bertanya tentang rumah impiannya.  Hari-hari Shena pun berubah drastis. Kini setiap pagi bangun tidur, ada wajah tenang suami tengah tertidur pulas yang pertama kali ia lihat. Senyum bahagia mengembang di sudut bibirnya. Dia menjalankan aktivitas sebagai istri dengan baik. Menyiapkan pakaian kerja suami, memasak, merapikan rumah dan melayani kebutuhan batin.  Sengaja Shena tidak menerima tawaran Raditya untuk menyewa PRT, karena ia ingin mengurus rumah dan suami dengan tangannya sendiri. Menjadikan rumah tangganya ladang ibadah. Raditya pun menuruti keinginannya, dengan syarat Shena tidak kecapaian. "Sayang!" Teriak Raditya dari dalam kamar mereka. Membuat Shena menghentikan aktivitas menyiapkan sarapan sebelum suaminya berangkat bekerja. "Kenapa, Mas. Nggak perlu teriak juga aku dengar," gerutu Shena menghampiri suami yang berdiri di depan kaca kamar tidur mereka.  "Pasangin dasinya," rengek Raditya sambil menunjuk dasi yang sudah tersampir di lehernya. Shena berkata dengan wajah cemberut, "Kebiasaan! Manja banget sih, Mas. Dulu siapa coba yang masangin sebelum kita menikah?!"  "Dulu ya pasang sendiri. Sekarang kan sudah ada istri. Apalagi aku suka melihat wajah cemberut dan omelanmu ketika memasangkan dasi. Seolah sudah menjadi candu untukku."  "Gombal!" ucap Shena sambil membenarkan kerah baju Raditya setelah selesai memasang dasi. "Buruan keluar, sarapan sudah siap." Raditya melangkah mengikuti Shena yang telah keluar kamar lebih dulu.  Setelah selesai menyantap sarapan buatan sang istri. Raditya bergegas berangkat kerja setelah pamit pada Shena. Sudah menjadi kebiasaannya mengantar sampai depan pintu dan mencium telapak tangan Raditya saat akan berangkat kerja. Kemudian Raditya akan mencium kening Shena dan memberikan pesan, baru ia keluar dari area rumahnya. Shena memandang Raditya dengan senyum lebar. Pernikahan yang ia impikan dulu, kini sudah terwujud. Adegan seperti ini sudah menjadi kebiasaan semenjak menikah. Ternyata semua itu tak luput dari pandangan seseorang di seberang rumah mereka, yang menatap dengan wajah penuh gurat kesedihan dan penyesalan. Hanya untuk memuaskan hasrat rindunya, Alfa rela menjadi seorang pengintai di setiap jam-jam Shena akan berada di luar rumah  yang sudah ia hafal. Seperti pagi ini. Semua yang Alfa rasakan saat ini, membuat ia membenci dirinya sendiri. Menjadi seorang pecundang yang mengintai istri orang. Penyesalanya benar-benar membuat ia menjadi orang lemah. Sedih, Marah, mungkin itu yang Alfa rasakan saat tak bisa lagi menggapai Shena. Alfa melihat Shena hidup bahagia dengan suaminya membuat dadanya sesak. Karena bukan dia lelaki yang berada di sisi Shena. Hatinya seketika diselimuti mendung. Lirih Alfa berucap, "Shena, aku merelakanmu, bahagialah dengan Raditya."  Kini yang bisa Alfa lakukan hanyalah melihat senyum bahagia Shena dari kejauhan. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN