Setelah aku mengajak Praja, akhirnya Praja pun berdiri dengan semangat, ia memakai kembali jaket jeans nya dan menggandeng tanganku. Sementara, aku santai saja walaupun ia memperlakukan ku seperti adik kecil nya yang baru bisa berjalan.
Sebenarnya, aku tidak masalah dengan Praja yang menggandeng tanganku. Praja memang sering melakukan ini bila kita jalan kaki berdua, jadi aku sudah merasa terbiasa dengan perlakukannya. Tidak ada perasaan apapun, maksudku... kita berteman sejak kecil, dan hal-hal seperti ini sudah biasa bagiku. Bahkan disuapi makan oleh Praja pun sudah hal yang biasa, dan sebaliknya. Namun hal yang menggangguku adalah tatapan-tatapan penuh rasa sebal dan sindiran-sindiran yang terdengar dari mulut-mulut teman-teman sekolahku yang sepertinya tidak suka bila aku dan Praja dekat, yah mau bagaimana lagi? Praja adalah bassis di sebuah band sekolah, dengan kepopulerannya (yang sebenarnya tidak populer populer banget) itu membuatnya dikenal dan disukai banyak murid perempuan.
Kita berteman sejak kecil, dan hal-hal seperti ini sudah biasa bagiku. Bahkan disuapi makan oleh Praja pun sudah hal yang biasa, dan sebaliknya. Namun hal yang menggangguku adalah tatapan-tatapan penuh rasa sebal dan sindiran-sindiran yang terdengar dari mulut-mulut teman-teman sekolahku yang sepertinya tidak suka bila aku dan Praja dekat, yah mau bagaimana lagi? Praja adalah bassis di sebuah band sekolah, dengan kepopulerannya (yang sebenarnya tidak populer populer banget) itu membuatnya dikenal dan disukai banyak murid perempuan
Pernah sekali saat jam istirahat, Praja main ke kelasku untuk membawakanku nasi goreng buatannya, Praja menyuapiku hanya berniat agar aku mau makan nasi gorengnya (yang pada saat itu aku tidak mau coba karena pernah mencoba masakannya dan rasanya teralalu asin, Praja memaksaku dengan cara menyodorkan satu sendok berisi nasi goreng buatannya).
Mau tak mau, aku pun memakan satu sendok nasi goreng buatannya dan aku akui, ternyata percobaan keduanya itu sangat berhasil karena rasanya jauh lebih baik dan lebih enak dari pada nasi goreng yang saat itu ia masak. Aku memberikan pujian padanya yang membuatnya terlihat sangat senang. Katanya sebagai imbalan aku sudah memuji masakannya, dia pun akan menyuapiku sampai nasi gorengnya habis.
Sebagai informasi tambahan, aku tidak punya teman dekat di kelas. Bukan, bukan karena aku tidak disukai (well, kalau soal dekat dengan Praja, mungkin ada beberapa penggemar Praja yang tidak suka denganku) tapi aku yakin bukan karena itu, tapi karena memang aku sendiri yang tidak mudah untuk berteman dengan orang. Aku ingin sekali untuk dekat, tapi kemampuanku bergaul sungguh payah. Teman sebangku ku, Riani, pun kesulitan mendekatiku. Ia pernah bilang bahwa ia tidak bisa mendekatiku karena aku membuat jarak, juga pada teman-teman sekelas. Dia sempat salah paham padaku, tapi aku langsung meluruskannya. Aku bilang padanya bahwa semua itu bukan karena aku tidak mau dekat, tapi aku memang kesulitan bergaul. Aku adalah tipe orang yang canggung dan lebih memilih menjauhi kerumunan dari pada aku harus merasakan canggung. Tapi selama ini, syukurnya teman-teman sekelasku tidak terlalu mempermasalahkan itu. Kalau ada tugas kelompok pun aku tetap ikut serta. Aku tidak bergaul bukan berarti aku juga tidak mau berbaur bila ada tugas kelompok. Malah, terkadang aku menjadi inisiator di kelompokku, hanya saja... untuk lebih dekat dengan orang lain, rasanya sulit. Aku tidak bisa. Atau mungkin belum bisa.
Teman sebangku ku, Riani, pun kesulitan mendekatiku. Ia pernah bilang bahwa ia tidak bisa mendekatiku karena aku membuat jarak, juga pada teman-teman sekelas. Dia sempat salah paham padaku, tapi aku langsung meluruskannya. Aku bilang padanya bahwa semua itu bukan karena aku tidak mau dekat, tapi aku memang kesulitan bergaul. Aku adalah tipe orang yang canggung dan lebih memilih menjauhi kerumunan dari pada aku harus merasakan canggung. Tapi selama ini, syukurnya teman-teman sekelasku tidak terlalu mempermasalahkan itu. Kalau ada tugas kelompok pun aku tetap ikut serta. Aku tidak bergaul bukan berarti aku juga tidak mau berbaur bila ada tugas kelompok. Malah, terkadang aku menjadi inisiator di kelompokku, hanya saja... untuk lebih dekat dengan orang lain, rasanya sulit. Aku tidak bisa. Atau mungkin belum bisa.
Kalau diingat-ingat, sepanjang umurku yang sudah menginjak umur enam belas tahun ini, aku hanya memiliki satu teman dekat, yaitu Praja. Kita berdua tumbuh bersama-sama dari kecil. Aku bahkan lupa bagaimana kami bisa berteman. Yang aku tau, kami berdua sudah tumbuh menjadi teman dari kami lahir. Faktor-faktor lain selain rumah kami bertetangga adalah karena orang tua kami, untuk spesifiknya, mama kami berteman. Hal itu juga membuat kami menjadi lebih dekat karena sering bertemu. Aku juga punya tetangga, namanya Bradley. Dia keturunan Inggris - India. Menurutku, dia sangat tampan. Sangat. Tampan. Bahkan bila orang-orang baru melihatnya, pasti mengira dia itu model atau aktor karena ia tampan sekali.
Praja mengangkat tangan kanannya, memberi tanda pada para pengemudi motor dan mobil bahwa kami berdua hendak menyebrang jalan. Aku melirik ke arah kanan, sama seperti yang Praja lakukan sekarang, memperhatikan pengemudi motor dan motor yang secara otomatis menghentikan laju kendaraan mereka begitu melihat kami akan menyebrang.
Aku dan Praja lalu kembali menatap lurus dan menyebrang, kendaraan para pengendara melaju kembali setelah kami selesai menyebrang. Coba saja ada tombol menyebrang otomatis seperti di penyebrangan halte Monas, pasti kita tidak usah khawatir dan tidak usah mengangkat tangan kita. Kita hanya perlu menekan tombol penyebrangan, lalu menunggu giliran untuk menyebrang.
Setelah menyebrang, aku teringat akan sesuatu. Sebenarnya aku dan Praja bisa menebrang menggunakan jembatan penyebrangan orang alias JPO. Tapi kenapa Praja malah menuntunku untuk menyebrang secara bebas seperti ini?
"Kan ada Jembatan Penyebrangan Orang. Kenapa kita malah nyebrang di sini, Pra?" Tanyaku.
"Tangga. Suka engap naik tangga." Ucapnya.
Aku pun memutar kedua bola mataku. "Iya tapi kan lebih aman." Kataku. "Dan lebih sehat." Lanjutku lagi.
"Ih berisik banget sih. Komentar terus. Yaudah yuk kita balik lagi, terus nyebrang di JPO. Biar kamu puas." Jawabnya sembari hendak memutar badannya. Tapi aku buru-buru menahannya.
"Ih gelo. Masa harus balik lagi. Ya lain kali aja kita nyebrangnya di JPO. Gitu aja ngambek." Godaku.
Saat aku mengucapkan kata ngambek, Praja pun memanyunkan bibirnya, seolah-olah ia adalah anak kecil berumur lima tahun yang sedang ngambek pada orang tuanya atau pada kakaknya.
Aku dan Praja pergi ke musem Wayang menggunakan angkot. Walaupun di rumahnya ada motor, tapi Praja masih belum berani membawa motor. Jujur saja, ketika teman - teman pria seusianya bisa membawa motor dan banyak sekali yang membawa motor ke sekolah, Praja malah sebaliknya. Sebenarnya ini juga menjadi salah satu penghambat kami di hari ini. Kalau saja Praja bisa membawa motor. Aku dan dia mungkin bisa terselamatkan hari ini, tidak telat. Tapi nasib berkata lain. Hari ini mungkin memang jadwalnya aku untuk telat setelah kurang lebih satu tahun menjaga konsistensi untuk tidak telat. Ini semua gara - gara Harry dan Praja! Huft.
Tapi tidak masalah. Setidaknya hari ini kami berdua akan menghabiskan waktu untuk sesuatu yang penting, yaitu ke museum Wayang, di mana kita berdua akan melihat - lihat wayang dari seluruh dunia.
Kira-kira akan seperti apa, ya, wayang - wayang tersebut? Apakah akan ada si Unyil? Kalian tau si Unyil, kan? itu loh, acara TV yang berjudul "Laptop Si Unyil." ada yang pernah dengar? Kalau memang ada si Unyil dan kawan - kawan, aku sangat excited sekali!
Aku tidak sabar untuk segera sampai, dan tidak lebih dari sepuluh menit, kami pun sampai di tujuan. Memang, sih, letak sekolah dan museum wayang kami tidak terlalu jauh. Sebenarnya ditempuh oleh jalan kaki pun tidak masalah, mungkin hanya dua puluh menit. Tapi kan aku tidak berjalan kaki sendiri, aku juga bersama kakek-kakek yang walaupun hanya naik tangga ini katanya rasanya engap. Hmmm.
Aku dan Praja turun dari angkot dan membayar ongkosnya. Praja mengeluarkan uang lima ribu rupiah sebanyak dua lembar, lalu memberikannya pada supir angkot. Supir angkot itu pun mengambil uang dua lembar lima ribu rupiah dan melajukan kembali angkotnya. Hal itu membuat Praja melongo dan menoleh ke arahku dengan tatapan protesnya.
"Harusnya ongkosnya cuma delapan rebu buat dua orang. Kenapa jadi sepuluh rebu? Mau naik haji?" Protes Praja.
Aku mengernyit, ikut melihat angkot yang tadi kami naiki dengan tatapan penuh protes. Walaupun hanya beda dua ribu, tapi kan uang itu bisa kami gunakan untuk beli minum.
Tapi karena sudah terlanjut, aku dan Praja pun mengikhlaskannya. Praja sempat ingin mengejar angkot tersebut, namun aku menahannya karena angkot itu tidak akan terkejar. Aku jadi ingat, tadi dia yang bilang bahwa naik tangga membuatnya engap, kan? Kini kenapa dia seperti punya tenaga kuda saat berhubungan dengan kerugian uang? Dasar!
"Kamu nggak usah bayar ongkos, El. Itu aku aja yang bayar sebagai bentuk permohonan maaf aku yang sedalam-dalamnya karena udah bikin kita berdua telat." Ucap Praja sambil menangkupkan kedua tanganya dan menaruhnya di atas kepala, mirip seperti sedang memohon ampun, tapi kepada raja.
Aku yang saat ini jadi merasa tinggi hati pun bertolak pinggang. Akhirnya dia sadar juga atas kesalahannya. Tapi oh tidak semudah itu, memangnya hanya karena dibayari ongkos angkot, aku akan dengan mudah memaafkannya sepenuh hati? Ho ho ho, tentu tidak.
"Permintaan maafku tidak akan semudah itu, babu. Kamu harus membayari ongkos pulangku juga. Lalu kamu juga harus mentraktirku minum dan jajan untuk hari ini. Itu harga yang harus kamu bayar karena sudah berani membuatku telat dan meruntuhkan konsistensiku selama satu tahun untuk tidak telat! ah!" Ucapku dengan penuh drama.
Praja yang tadinya masih dengan posisi memohon ampun, kini kembali ke posisi semula. Ia melirik kiri dan kanan, lalu kembali menatapku. Dari sorot matanya, sepertinya ia malu.
"Bukan. Bukan temen saya. Orang lebay ini bukan temen saya!" Serunya lalu berjalan lebih dulu dan meninggalkanku.
Hal itu membuatku terdiam, lalu melirik kiri dan kanan, menerka-nerka apakah suaraku tadi terlalu kencang? Dan benar saja. Sepertinya suaraku terlalu kencang sampai para penjual makanan ringan dan minuman menoleh ke arah ku.
Aku hanya tercengir malu, lalu menundukkan kepala sebagai bentuk permintaan maaf karena sudah membuat mereka keberisikan, mungkin? Yah, apapun itu aku ingin segera keluar dari suasana ini, jadi aku pun berjalan cepat ke arah Praja yang ternyata menghentikan langkahnya untuk menoleh ke arahku dan menunggu ku.
Ia tertawa puas melihatku malu tadi. Aku segera mencubit lenganny begitu dekat dengannya. Malu sekali. Ternyata suaraku terlalu besar sampai didengar oleh para penjual makanan dan minuman.
"Kenapa ninggalin, sih! Malu banget tau." Ucapku.
"Kenapa harus malu?"
"Ya karena aku dilihatin! Karena suara aku kegedean sampe pada liatin begitu." Ucapku. "Emang gede banget ya sampe mereka engeh?" Tanyaku lagi untuk make sure.
Praja menggeleng kan kepala nya dengan pelan. "Nggak lah. Masa sampe kedengeran. Suara kamu nggak kenceng kok, El." Jawab Praja .
Mendengar jawaban Praja, aku pun heran. Lalu kenapa dia main pergi meninggalkanku saja tadi? Lalu kenapa dia menggodaku dengan bilang bahwa aku bukan temannya, seakan-akan ucapan itu ditujukan untuk para penjual yang tadi. Lagi pula kenapa juga para penjual makanan dan minuman memperhatikanku?
"Kalo nggak kedengeran, kok mereka liatin aku?" Tanyaku.
"Ya mungkin karena kamu cantik kali." Jawabnya sekenanya lalu kembali jalan.
Aku yang ditinggal olehnya lagi pun menyusulnya dan mencubit lengannya untuk yang ke dua kali. Enak saja main tinggal tinggal!
"Iya emang aku cantik, kok." Ucapku dengan sombongnya. "Tapi jangan ninggalin juga dong!" Protesku.
Praja mendecih. "Hih, kata siapa cantik?" Tanyanya.
"Kata aku lah." Ucapku dengan bangganya. "Kan kata kamu juga!" Protesku lagi.
"Itu kan cuma perkiraan, cuma tebakan. Bukan berarti aku bilang kamu itu cantik loh." Ucapnya lagi.
Aku menatapnya dan kembali menatap ke depan. Menyebalkan. Jadi maksudnya aku jelek, ya? Aku tidak cantik? Kalo begitu jangan tebak yang tadi dong. Jangan sebut aku cantik. Aku jadi double malunya karena sudah bersikap sok sekali sampai mengeluarkan statement kalau aku ini memang cantik.
Tapi ah masa bodo! Semua wanita memang berhak merasa cantik , kan ? Tidak ter kecuali aku. Aku juga berhak merasa cantik dan memuji diri sendiri . Karena bila bukan aku yang memuji ku , siapa lagi ?
"Iya, iya. Kamu cantik. Kok omongan aku sampe di pikirin segitu nya, sih ? Emang perlu ucapan dari aku dulu ya cuma buat kamu bisa merasa cantik ? " Tanya Praja.
Praja tau sekali bahwa aku pasti memikir kan ucapan nya. Dan ucapan Praja ada benar nya juga. Berarti aku harus mendengar orang lain memuji ku cantik terlebih dahulu agar aku bisa merasa cantik . Hal itu salah. Aku harus merasa cantik dengan atau tanpa pujian dari orang lain .
Sebenar nya apa yang Praja ucap kan benar . 'Emang perlu ucapan dari aku dulu ya supaya kamu bisa merasa cantik' yang mana ila aku translate adalah ; kamu nggak perlu validasi dari orang lain . Kamu udah cantik . Kamu nggak perlu ucapaan dari orang lain bahwa kamu cantik karena itu semua nggak perlu. Kalo kamu sendiri nggak yakin sama diri kamu , mau orang lain bilang kamu cantik seratus ribu kali sekali pun , nggak bakal ngaruh karena kamu sendiri nggak percaya sama kecantikan diri kamu sendiri .
Kira-kira seperti itu maksud ucapan Praja .
Aku sebenar nya mengerti dan menerima apa yang Praja coba sampai kan kepada ku . Tapi karena ego ku sebagai cantik yang haus akan pengakuan , yaa tetap saja aku protes pada Praja . He he he .
"Ya kamu nya nyebelin . Tadi omongan kamu itu kayak seakan - akan aku itu nggak cantik , tau." Ucapku.
Mendengar ucapan ku, Praja pun meraih tangan ku untuk ia gandeng. " Siapa bilang kamu nggak cantik?" Tanya nya lagi.
Aku memutar kedua bola mataku. "I'm so done with your ' siapa bilang?’, fook that. Jelas - jelas kamu yang bilang. Kamu suka banget deh mengulang pertanyaan kayak gitu." Ucap ku masih memprotes.
Praja tertawa mendengar ucapanku dan kami berdua pun tidak lagi membahas yang tadi, melainkan membahas betapa ramainya suasana Kota Tua yang padahal hari ini adalah hari kerja, yang mana harusnya tidak terlalu ramai.
Bila di pikir-pikir kasian juga sebenar nya menjadi Praja. Begini salah, begitu salah. Bilang cantik salah, tidak bilang cantik juga salah. Hahaha.
"Eh museum wayang emang udah buka jam segini?" Tanya Praja.