Banyak Cinta

1117 Kata
Jika seseorang mencintaimu, mereka 'tak harus mengatakannya. Kamu akan tahu dari cara mereka memperlakukanmu. Bagi cinta, tidak ada kesakitan yang disengaja. Semua itu karena cinta adalah rasa termanis dan obat dari segala luka. Anjar masih tertidur pulas ketika waktu siang hampir berganti malam. Selalu ingin terlihat cantik dan bersih, aku memutuskan untuk membersihkan diri sebelum Anjar membuka mata. Bukan tanpa sebab, jika Anjar sudah bangun, ia tidak akan melepaskan aku. Sambil tersenyum, aku menikmati guyuran tetesan air jernih dari shower yang jatuh manja di atas kepalaku serta tubuhku. Semuanya terasa indah dan membahagiakan ketika hati ini tenang dan penuh dengan cinta. Sambil memainkan busa sabun yang menutupi hampir seluruh bagian kulitku, aku menyanyikan lagu romansa yang manis. Tanpa sadar, aku berimajinasi sendiri seraya mengenang perjalanan cinta dan kehidupan ku. "Lagu yang sempurna," ucap Anjar yang ternyata sudah berdiri di belakang dan memelukku erat. "Sayang, sejak kapan kamu disini?" "Baru saja, kamu terlalu menikmati segalanya. Makanya tidak bisa merasakan kehadiran ku." "Nggak juga. Udah ah, mandi yok!" "Ayo." Anjar menjawab dengan suaranya yang tenang. Aku pikir, dia tidak sedang dalam mode ingin. Namun aku salah karena saat aku membalik tubuh, ternyata milik Anjar sudah dalam kondisi on. "Wah." "Mandikan dulu burungnya, Sayang!" "Anjar, kamu nakal sekali." "Tidak, bukan aku. Tapi dia, Sayang." "Anjaaar," desah kecil ku menyala ketika jari-jemari Anjar yang lincah dan terasa lembut di kulit, dengan cepat bersarang tepat di buah dadaku. "Ini milikku, jangan melarangnya!" "Sayang." "Ingin melakukannya disini." "Nggak mau ah, lagian sudah banyak permainan yang kamu ciptakan. Aku nggak mau kamu sakit dan kelelahan karena besok kamu sudah harus kembali mengudara." "Siapa yang kelelahan dan siapa yang akan sakit? Malahan ni ya, kalau kamu nggak ngasih aku spesial servis, aku bisa sekarat, Sayang." "Ha ha ha ha ha, kamu memang hebat, Sayang." Cup. Anjar menempelkan bibirnya tepat di bibirku. Kecupan Anjar itu terasa hingga ke dalam jiwa dan berhasil kembali menggeledah otakku. Dia yang terbaik dan selalu mampu meningkatkan adrenalin ku. Bibirnya menyapu bersih bibirku sementara tangannya terus bergrillia di dadaku. Apa yang bisa aku lakukan selain mendesah gelisah? Permainan yang selalu terasa sempurna. Mungkinkah cinta yang direstui oleh Tuhan, selalu saja mampu membuat bahagia? Ditambah lagi dengan segudang kerinduan yang memang sudah penuh tersimpan. "Berbalik lah, Sayang," bisik Anjar yang terasa lebih menggoda dari pada sentuhannya saat ini. "Ah, Sayang." "Iya, aku akan membahagiakan mu." Anjar berkata sambil memutar tubuh ku perlahan. Saat itu, ia mulai memberikan tumpukan busa sabun di punggungku dan menekan pundakku sedikit ke bawah. Tanpa ingin membuang banyak waktu, Anjar melakukan penekanan yang lembut namun terasa berat dan memenuhi bagian sensitif milikku. Aku mulai merintih setelah menikmati lebih kurang lima menit permainan Anjar. Ingin memberikan sensasi yang berbeda, aku menegakkan tubuhku hingga punggungku dan dadanya sangat dekat. "Agh," erangan Anjar terdengar jelas di telingaku hingga berhasil menambah jumlah hasrat di dalam diriku. "Sayang," desah ku sambil menikmati bibir Anjar yang terlihat sempurna bagiku. Entah berapa lama waktu yang kami habiskan. Yang jelas, aku merasa sangat terpengaruh dan terbawa oleh gerakan dan hentakan yang ia ciptakan. Suara erangan dari bibir Anjar kembali terdengar, bahkan kali ini jauh lebih kuat dari sebelumnya. Gerakan itu terasa seperti mengiringi jumlah dan kecepatan goyangan nakalnya. "Aku hampir sampai, Tika." "Anjar." Kemudian hentakan itu semakin cepat dan kuat, lalu berhenti. Namun napas kami belum bisa tenang dan masih saja berpacu dalam pelukan. "Terimakasih, Sayang," ucap Anjar, kemudian ia memberikan kecupan penutup di pipi kanan ku. ***** Pukul 19.00 WIB. Anjar memintaku bersiap untuk makan malam. Ini bukan hal yang biasa karena sejak kemarin, ia selalu memilih kamar untuk melakukan segala aktivitas. Aku yakin, ada yang sangat penting dan harus segera ia utarakan. Merasa sudah siap, aku dan Anjar keluar dari dalam kamar pengantin menuju restoran yang berada di bawah, tidak jauh dari samping pekarangan hotel. Tampaknya Anjar sengaja memilih tempat ini karena ia tahu, bahwa aku sangat menyukai suasana dan nuansa alam. Setibanya di sebuah tempat makan dengan meja persegi ukuran sedang, Anjar langsung menarik kursi tidak jauh dari tempat ku berdiri. Setelah duduk, seorang pramusaji memberikan sebuah buket bunga mawar tiga warna (merah, merah muda, dan putih). "Ini untuk ku?" "Iya, Nyonya. Dari Tuan Anjar." "Terimakasih." "Saya permisi." "Silahkan." Anjar tersenyum menatapku, lalu ia mulai memesan makanan yang sepertinya sudah ia rencanakan. "Sayang, kamu kenal Anjar?" tanyanya yang mulai menggodaku. "Anjar?" tanya ku kembali seolah tidak mengenali nama itu. "Ya." "Bagiku, ia itu seperti cahaya di dalam gelap." "Dan baginya, kamu itu seperti air yang merupakan sumber utama dari kehidupan." "Anjar." "Iya, Sayang. Dulu, saat kita berjauhan. Aku sering sekali mendengar suaramu memaggil-manggil namaku seperti itu. Rasanya kamu begitu dekat dan selalu menemani setiap langkahku." "Benarkah?" "Jangan tidak percaya kepadaku!" "Baiklah." "Sayang, dengar! Besok pagi, kita akan kembali ke rumah mama dan papa. Aku tahu, hubungan kalian tidak baik. Tapi, bagiku kamu dan Mama adalah dua wanita yang sangat berharga dan aku ingin kalian bisa menyatu. Aku tidak perduli tentang papa, berbeda dengan mama. Beliau terlalu sering terluka, jadi aku ingin mama merasakan bahagia." "Apa menurutmu aku mampu untuk memberikan kebahagiaan untuk mama, Anjar? Sebab, menatap matanya saja aku tidak sanggup." "Sebagai seorang anak, kamu tidak perlu menatap matanya, Sayang. Kamu hanya perlu menyentuh tangannya." Aku menatap Anjar dan berusaha untuk memahami perasaannya. Dia memang sosok anak yang baik dan tidak pernah memaksakan kehendak serta keinginannya terhadap sang mama. Jadi, jika ia ingin sesuatu, maka ia akan merayu dan memohon dengan bahasa yang lembut. "Kamu tahu, Sayang? Suatu saat nanti kita juga akan menua. Jika kita menyakiti hati orangtua, maka kemungkinan besar ketika kita tua nanti, hal yang sama akan kita rasakan dari buah hati kita. Aku tidak ingin hal seperti itu terjadi. Karma itu berlaku, Sayang. Ketika mereka masih kecil dan kita sering meneriaki bahkan membentak, maka saat tua nanti, kemungkinan besar mereka juga akan melakukan hal yang sama." "Sayang, aku ingin kehidupan kita penuh dengan kehangatan, kebahagiaan dan tentram. Aku ingin selalu mengukir senyum di wajahmu itu. Bagiku, penderitanmu itu sudah cukup dan saat ini kamu harus bahagia, begitu juga dengan mama. Bisakah kamu mengerti, Cantika?" Aku terdiam sejenak karena memang semua ucapan Anjar adalah benar. Hanya saja, sisi lain ku seakan menolak semua keinginan Anjar. Memang sejak awal tidak ada kesepakatan bagi kami untuk tinggal dimana? Tapi aku pikir, rumah ayah adalah tempat terbaik dan Anjar sudah tahu itu. "Kita akan berbagi waktu, separuh bulan di rumah mama dan separuhnya lagi di rumah ayah. Bagaimana?" Aku menghela napas panjang karena semua ini memang berat bagiku. Tapi Anjar benar dan aku tidak tahu harus apa saat ini. Anjar memegang tanganku erat dan ia kembali meyakinkan diriku bahwa dirinya akan selalu menjaga hatiku dimanapun kami berada. Bersambung. Jangan lupa tinggalkan komentar, tab love dan follow authornya ya para pembaca setiaku. Makasih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN