•Demam•

1306 Kata
"Kamu terlalu mengkhawatirkan sesuatu yang tidak pasti." -Barrabas Mahesa- °°°°°°°°°°° "Heksa! Heksa! Heksa! Heksa!" "Iya, Ma." Heksa meletakkan pensil yang ia gunakan untuk menggambar lalu berlari kecil menuju kamar mamanya karena mendapat panggilan yang seperti sedikit menuntut. Dari nada suara Killa, Heksa bisa memastikan bahwa ada sesuatu yang penting terjadi. Sama seperti waktu itu. Killa kontraksi saat di rumah hanya ada Heksa saja. Heksa masih ingat bagaimana perjuangan seorang ibu kala itu. Meskipun, Heksa waktu itu masih terlampaui kecil, ia mengetahui hal-hal yang seharusnya tak diketahuinya. Hidup Heksa penuh keberuntungan sejak bertemu Barra dan Killa. Dua insan yang membawa cahaya terang dalam hidupnya. "Ma, ada apa?" "Heksa, kamu tolong ambilin hape Mama di laci bawah meja," Killa menepuk-nepuk p****t Rere yang tengah merintih diselingi isak tangis pilu dari bibir tipisnya. "Rere, apanya yang sakit? Kenapa nangis terus." "Hua... hua... hua..." Rere malah semakin menangis kencang. Al yang tidur di box bayi mulai menggeliatkan tubuhya, terganggu karena suara kencang Rere. "Kamu telepon Papa kamu. Suruh pulang sekarang." Heksa mengangguk. Mengikuti perintah Killa untuk menghubungi Barra. Di detik-detik pertama sambungan teleponnya terhubung, belum ada niatan untuk diangkat. Sudah lebih dari lima panggilan Heksa lakukan. Namun, Barra tetap tidak meresponsnya. "Papa kamu itu kebiasaan, teleponnya pasti ditinggal-tinggal pas meeting," gerutu Killa kesal. "Rere kenapa, Ma?" "Kayaknya mau pilek ini dia, demam juga," Killa hampir menangis saat ini. Matanya memerah. Bingung tidak bisa menenangkan Rere. "Al, sini main sama Kakak." Heksa membawa Al turun dari box bayinya, sebelum adiknya itu menangis karena tak mendapat perhatian dari mamanya. "Heksa, kamu tolong ambilin sirup paracetamol di kotak obat," Killa berjalan mondar-mandir seraya mencoba menenangkan Rere yang masih menangis. "Dan tolong ambilin kompres juga. Badannya Rere panas banget." "Iya, Ma..." Heksa beranjak berdiri setelah memberi Al mainan robot. Killa bersyukur, Al tidak rewel seperti Rere. Yang membuat Killa bertanya-tanya mengapa tiba-tiba Rere menjadi rewel? Demam dan flu melanda tubuh mungilnya. Rere yang biasanya selalu aktif bergerak lincah ke sana-sini, tidak bisa diam. Kini, Rere hanya bisa merintih menangis dalam gendongannya dengan suhu tubuh tinggi. Tangan Killa terkepal. Nanti saat Barra pulang, Killa akan mengomelinya panjang kali lebar. Mengapa laki-laki itu tidak bisa diandalkan? Apa hanya Killa saja yang bertugas menjaga anak-anak? Lalu tugas Barra sebagai kepala keluarga hanya mencari nafkah? Killa harap, tidak seperti itu. "Ini, Ma..." Heksa meletakkan semua yang Killa pinta untuk diambilkan tadi. Killa mulai membaringkan lagi tubuh Rere di atas kasur. Rere menangis lagi, malah semakin kencang. Heksa mengambil boneka Barbie kesayangan Rere lalu mulai menggerak-gerakkannya, seakan boneka itu bisa berbicara. Tangan Rere mencoba menggapai boneka itu lalu Heksa berikan pada adik kecilnya. "Adek Yeye, minum obat dulu, ya. Biar cepet sembuh dan bisa main boneka lagi." "Huaaaa!" Rere berontak saat Killa mencoba meminumkan sesendok sirup paracetamol itu. Ia memang masih bayi, tapi ia sudah bisa merasakan rasa-rasa, termasuk rasa pahit. Perhatian Heksa teralih pada bunyi ponsel Killa yang ia letakkan di atas nakas. Heksa meraihnya dan membaca nama penelepon yang tertera di sana. "Ma, Papa telepon ini." Tanpa diminta pun, Heksa sudah menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan itu. "Angkat! Angkat!" seru Killa kesal. "Bilang ke Papamu, nggak usah pulang ke rumah!" Dari seberang sana, Barra tersentak. Baru saja panggilan teleponnya terhubung ia sudah mendapatkan gerutuan kesal dari Killa. Tadi, setelah meeting selesai Barra langsung mengecek ponselnya. Karena firasatnya sedang tidak enak. Dan benar saja di sana banyak panggilan tidak terjawab dari Killa. Makanya, Barra menelepon balik untuk menanyakan ada apa. Namun, ia malah mendapatkan luapan emosi dari Killa. "Heksa... ini Heksa, 'kan?" tanya Barra memastikan bahwa ponsel Killa dipegang oleh Heksa. "Iya, Pa. Ini Heksa." "Mamamu kenapa marah-marah? Ada masalah di rumah?" "Itu..." Heksa melirik Killa yang tengah mengompres Rere, sedangkan adiknya itu asyik bermain boneka sambil tiduran. "Rere demam. Badannya panas." "APA?!" Barra terlonjak kaget. "Gitu, tuh! Kagetnya telat. Dari tadi diteleponin nggak diangkat. Emang nggak sayang anak sama istrinya!" dengus Killa sebal. "Udah, Heksa. Kamu matiin aja panggilan teleponnya. Nggak usah ngeladenin Papamu. Nanti Papamu kalau pulang suruh tidur di luar aja. Nggak usah dikasih izin masuk." Heksa menahan tawa di kedua pipinya. Papa dan mama angkatnya itu memang kerap bertengkar seperti ini perihal masalah sepele. "Sayang, aku pulang sekarang." Dari nada suaranya Barra juga tampak khawatir. "Terserah!" balas Killa. "Heksa, kamu jagain Mama sama adek-adek kamu, ya. Papa dalam perjalanan pulang." Setelah mengatakan itu, Barra menutup sambungan teleponnya. Lalu ganti menelepon orang lain. Yang tidak lain adalah dokter pribadinya. Dokter Sintia. °°°°°°°°°° Berbeda tafsiran dari yang ada di pikiran Barra tadi. Pasti Killa akan marah-marah tidak jelas dan malah menyalahkannya. Namun, tidak. "Suhunya 39, Barr! 39!" Killa baru saja mengecek suhu tubuh Rere dengan termometer lagi. Tadinya, 37 derajat celcius sekarang bertambah lagi. "Ini semua salahku." "Nggak. Ini bukan salahmu." "Ini salahku karena pas kondangan kemarin aku minum es, Barr. Rere jadi demam sama pilek." Killa berkesimpulan seperti itu karena apa lagi penyebab Rere bisa sakit? Asupannya hanya ASInya Killa. Mengapa Al tidak demam seperti Rere? Karena Al asupannya bukan hanya ASI. Al mau makan makanan pendamping ASI, berbeda dengan Rere yang sangat susah untuk disuapi makanan lain. Bubur pun ia tidak mau. "Apa hubungannya coba?" Barra bertanya heran. "Ya, ada hubungannya. Karena itu yang nyebabin Rere sakit." "Kamu nggak usah berpikiran aneh-aneh deh, Kill." Killa menahan air matanya. Menyadari kecerobohannya hingga membuat Rere jatuh sakit itu sangat melukai perasaannya. Ia merasa seperti gagal menjadi seorang ibu. "Kamu inget nggak waktu itu Rere juga pernah diare karena aku terlalu banyak makan sambal. Ya, ini semua karena aku!" "Berhenti nyalahin diri kamu sendiri," Barra menarik Killa dalam dekapannya. "Dokter Sintia sebentar lagi sampai." Lima menit kemudian, Dokter Sintia tiba dan langsung memeriksa kondisi Rere. Hanya butuh waktu tidak sampai sepuluh menit, semua kekhawatiran yang didera Killa menguap begitu saja. "Ini anaknya baru bisa tidur saya kasih sirup paraceramol, Bu. Rewel terus." Killa menggigit bagian bawah bibirnya menunggu penjelasan lebih lanjut mengenai kondisi Rere. "Iya, Bu. Saya akan meresapkan vitamin dan asupan gizi yang lainnya agar putri ibu tidak rentan terkena penyakit," kata dokter Sintia setelah memasukkan peralatan medisnya kembali. "Hanya demam biasa, Bu." "Syukurlah." Barra bernapas lega. Tidak jauh dari sana, Heksa yang tengah bermain dengan Al diam-diam juga menguping pembicaraan dokter dengan kedua orang tuanya. "Anak saya demam ini karena ibunya terlalu banyak minum es, ya, Bu? Saya jadi merasa menyesal minum es kemarin." "Cuma mitos, ya, itu, Bu. Minum sedingin apapun ibunya, suhu ASI akan tetap hangat," jelas dokter Sintia dengan senyuman. "Beneran, Bu?" tanya Killa tidak percaya. "Yang dikhawatirkan adalah bila Ibu sedang lelah merawat bayinya lalu minum es, badannya dapat menjadi sakit flu atau infeksi tenggorokan. Ibu yang sakit ini akan menjadi sumber penularan penyakit bagi bayinya." Nah, itu baru penjelasan yang benar. Jadi, Killa bisa berhenti menyalahkan dirinya. "Terimakasih banyak, Dok." Barra menyalami dokter itu setelah menuliskan resep obat yang akan ditebus nanti di apotek lalu mengantarkannya keluar rumah. Killa memeluk Heksa dan Al, sedangkan Rere sudah tertidur pulas. Panas tubuhnya sudah mulai menurun. "Maafin Mama, ya. Mama tadi bentak-bentak kalian. Mama cuma lagi... khawatir sama kondisi Rere." Tadi, Killa membentak Al yang meminta untuk ditemani menata robot-robotannya di bawah buffet, sedangkan Heksa juga tadi sering disuruh-suruh oleh Killa. "Mama kamu tuh kebiasaan, kalau khawatir suka berlebihan," Barra mencibir. Tiba-tiba suaminya itu sudah kembali masuk ke dalam rumah setelah mengantar dokter Sintia. "Apa-apa nyalahin diri sendiri." Heksa tersenyum. "Pasti tadi di rumah yang jadi sasaran omelan Mama kamu... Heksa sama Al, ya?" Barra berjongkok di depan Al yang masih sibuk menata robot-robotan mininya setelah robot besarnya berjejer rapi. "Al nggak dibentak Mama, 'kan?" Al menoleh saat dirasa papanya itu mengajaknya bicara. Tahu arah pembicaraan papanya, Al menatap sekilas ke arah Killa. "Mamah, ahat. Mayah-mayah teyus." Killa memeluk tubuh mungil Al seraya terkekeh geli melihat ekspresi wajah si kecil itu. "Maafin Mama, ya." "Mamah! Yobot Al yoboh!" Al mencebikkan bibirnya. Lalu Barra, Killa, dan Heksa tertawa bersama karena tingkah menggemaskan Al.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN