•Cekcok•

1837 Kata
"Aku harap, pertengkaran yang terjadi di antara kita ini tak berlangsung lama." -Barrabas Mahesa- °°°°°°°°°° Makan malam terasa sunyi sekarang ini, Rere sang biang onar pun lebih banyak diam di pangkuan Barra. Papanya itu tak sama sekali menggodanya. Biasanya, Barra akan menjahili Rere hingga putrinya itu terbahak atau bahkan menangis kesal karena ulah sang papa. Malam ini tidak. Barra menyuruh Rere diam dan menikmati makanan pendamping ASInya yang sudah disiapkan Killa. Al juga begitu. Kakak dari Rere itu menikmati makanannya dengan tenang. Heksa merasa ada yang berbeda dari kedua orang tuanya. Tentu saja itu terlihat mencolok di mata Heksa. Biasanya Barra dan Killa selalu terlihat mesra. Ada saja tingkah yang Barra kerahkan untuk mencairkan suasana agar tak hening, seperti sekarang ini. Namun, sepertinya mood Barra kali ini sedang buruk. Makanya, ia terlihat tidak baik-baik saja. Setelah selesai makan malam, Heksa membantu Killa membawa piring kotor ke dapur. Killa mulai mencuci piring kotor itu, tidak tahu kalau Heksa masih ada di sana. Saat Heksa menanyakan satu hal, Killa baru menyadarinya dan langsung memutar tubuhnya menghadap ke Heksa. Dengan senyuman, Killa menjawab pertanyaan Heksa. "Enggak kok. Papamu nggak marah." "Kalau nggak marah, kenapa Papa diem aja dari tadi?" Killa melanjutkan pekerjaannya yang tengah mencuci piring. "Ya... mungkin Papamu capek. Lagi banyak kerjaan." Ini 'kan hari Minggu! "Tadi, Mama yang ngambek. Sekarang Papa." Heksa berbalik lalu kembali bergabung bersama si kembar. Killa menghela napas berat. Ada benarnya juga. Tadi, dirinya yang kekanak-kanakkan kesal dengan tingkah Rere, padahal seharusnya Killa bisa memahami bagaimana nakal-nakalnya anak seusia itu yang rasa ingin tahunya tinggi. Lantas, hal apa yang berganti membuat Barra kesal dengan dirinya? Killa masih belum tahu letak kesalahannya. Barra mengusap kepala ketiga anaknya secara bergantian lalu yang terakhir mengecup puncak kepala Rere, si bungsu. "Papa kerja dulu, ya. Jaga adik-adikmu." Pesan Barra pada Heksa. Al dan Rere sudah bisa memegang pensil masing-masing, meniru sang Kakak. Terlalu sering melihat Heksa belajar, menggambar, dan mewarnai membuat si kembar juga ingin melakukan itu. Jadi, segala tingkah laku Heksa itu sebagian besar tercermin pada kedua adiknya. Heksa merasa ada beban di pundaknya. Karena itu artinya, ia harus selalu bisa memberi contoh yang baik. Killa menatap nanar ruang kerja Barra yang tertutup rapat. Barra mendiamkannya dari tadi siang hingga malam ini. Weekend ini seharusnya bisa menjadi quality time terbaik bagi keluarganya. Mereka baru saja pindah rumah. Suasana baru. Namun, malah perang dingin yang terjadi. "Kamu cemburu?" "Kamu masih tanya aku cemburu atau nggak?" Killa memutar bola matanya malas. Ini sebabnya Barra tidak ingin pindah rumah ke sebuah kompleks dengan banyaknya populasi penduduk. Barra tidak suka miliknya berinteraksi dengan orang lain. Menurut pandangan Killa, Barra itu mempunyai sifat posesif akut. "Aku udah bilang, jangan deket-deket sama siapa pun, Killa. Siapa pun itu." Killa ingat sewaktu ia menjadi sekretaris Barra di kantornya itu, tak ada satu karyawan lawan jenis yang boleh mendekatinya. Jika mereka nekat, maka pemecatan secara sepihak akan Barra lakukan. Bahkan, kedekatan Killa dengan Vero dan Xabiru pun Barra larang. "Aku udah turutin kamu, lho, pindah ke sini. Kamu janji nggak bakal berinteraksi sama... ah, udah lah lupain." "Kita nggak bisa terus-terusan hidup soliter, Barra." Killa menarik napas panjangnya. Semoga Barra mengerti apa yang ingin ia katakan. "Ada kalanya suatu saat nanti kita juga butuh bantuan dari orang lain. Jadi, interaksi sosial itu penting." Killa tahu, Barra kaya raya. Itu tidak perlu diragukan lagi. Namun, setiap manusia tidak bisa hidup sendirian 'kan? Lagi pula, apa masalahnya Killa mencoba dekat dengan tetangga baru mereka. Siapa tahu suatu saat nanti Barra dan Killa membutuhkan bantuannya. "Terserah kamu lah!" Itu kalimat terakhir Barra tadi siang sampai saat ini suaminya itu belum berucap apa-apa lagi. "Papah, nana?" Rere meletakkan pensilnya. Bola matanya mengarah ke segala penjuru rumah, seakan tahu Barra sedang ada di dalam ruang kerjanya ia langsung berlari kecil ke sana. Tangan mungil itu mengetuk pintu ruang kerja sang papa. "Pah!" Mengabaikan Rere? Barra tidak bisa. Ia langsung membukakan pintu saat putri kecilnya itu terus saja bersuara. "Rere, mau apa?" "Tang! Liyat intang!" Barra mengernyitkan keningnya bingung. Bintang? Sejak kapan Rere tahu benda-benda langit? Ia masih terlalu kecil untuk itu. "Pa..." Heksa mengangkat hasil gambarannya. "Tadi, Rere tanya ini gambar apa. Aku jawab aja ini benda-benda langit, ada bintang sama bulan pas malem. Terus dia bilang pengin lihat yang asli." "Intang! Intang!" Rere menyatukan kedua tangannya dengan pupil mata yang memohon gemas. Barra tersenyum kecil pada Heksa. Laki-laki itu tahu bahwa Heksa pasti sengaja menjelaskan hal baru pada Rere dan jatuh pada Barra yang disuruh mengurusi keingin tahuan adiknya itu. Ia akan membawa Rere ke atas, niatnya Barra akan mengajak putri kecilnya itu memandang kerlip langit malam di balkon kamar Heksa. Kamar Heksa memang bagus untuk memanjakan mata. Di pagi hari, Heksa bisa melihat betapa indah senyum mentari. Di kala sore menjelang malam, kesenduan senja yang menyambutnya. Dan malam hari adalah ketenangan yang sesungguhnya. Tahu Barra dan Rere menuju ke lantai atas, Al langsung ikut berjalan menaiki tangga. Dari awal menginjakkan kaki di rumah baru itu, Al penasaran akan apa yang ada di lantai dua. Namun, selalu saja ada alasan yang Killa lontarkan agar Al tak dibawa ke sana. Terlalu berbahaya. "Ma..." Heksa tersenyum terlalu memaksa di sudut bibirnya. Killa masih menatap punggung tegap Barra yang perlahan menjauh membawa si kembar naik ke atas. "Mama sama Papa bertengkarnya jangan lama-lama, ya. Heksa takut," ada jeda sebentar. "Takut kalau nantinya Papa Barra sama Mama Killa berakhir kayak Papa-Mama Heksa dulu. Pisah." °°°°°°°°°° Pisah? Kata itu sangat mengerikan di telinga Killa. Heksa memang masih kecil. Namun, pikirannya sudah seperti orang dewasa. Killa memberanikan diri untuk melingkarkan tangannya pada pinggang Barra. Entah laki-laki itu sudah tidur atau belum, Killa tetap ingin memeluknya. Malam ini terasa dingin sekali bukan karena AC di dalam ruangan itu, bukan juga karena musim penghujan telah tiba. Tapi, lebih karena Barra tidur membelakanginya. Hanya punggung Barra yang bisa Killa lihat. "Udahan dong marahannya," kata Killa dengan nada suaranya yang entah mengapa membuat Barra ragu-ragu untuk terus pura-pura marah. Jujur. Barra marah. Marah sekali. Namun, jika marahnya Barra diluapkan dengan emosi kasar, maka itu akan menyulut kebencian Killa. Killa benci Barra yang kasar. Aku janji nggak akan kasar lagi, Kill. Namun, didiamkan oleh Barra itu lebih sakit daripada diperlakukan dengan kasar. "Namanya Tio. Dia baru menikah satu tahun, dijodohin sama orang tuanya," Killa mulai bercerita. "Aku kira, di zaman sekarang yang dijodoh-jodohin itu udah nggak ada. Kamu inget nggak? Kita 'kan juga dijodohin sama Papa-Mama kamu." "Aku ngantuk." Setidaknya, Barra mau merespons obrolannya. "Anaknya masih kecil, paling umur enam bulan, mungkin." Barra menahan diri untuk tidak menyentak Killa. "Kasihan... dia kesusahan ngurus anaknya, Barr." "Terus, jadi kamu yang ngurusin anaknya? Emang kamu istrinya? Kalau dia nggak bisa ngurus anaknya yang masih kecil, seharusnya dia nggak usah cerai dari istrinya. Gitu aja kok repot." Killa tersenyum kecil, semakin mengeratkan pelukannya. "Pilihan terbaiknya itu mereka harus cerai, Barr." Barra diam. "Setiap Minggu dia baru punya waktu sama anaknya itu. Hari-hari berikutnya, ya, anaknya itu kembali ke ibunya lagi." "Terserah. Aku nggak tertarik sama cerita kamu." "Aku cuma mau jelasin aja apa yang aku bicarain tadi sama Tio." "Nggak usah sebut namanya, Killa. Udah, ah. Ngantuk." "Aku nggak mau kita pisah," kata Killa hampir menangis. Kata-kata Heksa tadi benar-benar menampar, jelas. Bola mata Barra membulat, ia melepaskan pelukan Killa lalu berbalik untuk menatap istrinya itu. "Kamu ngomong apa, sih?!" "Aku sayang sama kamu, cinta banget malah." "Terus maksud kamu ngomong kayak gitu itu apa?" Barra masih menggunakan nada tingginya. Mama sama Papa bertengkarnya jangan lama-lama, ya. Heksa takut. Takut kalau nantinya Papa Barra sama Mama Killa berakhir kayak Papa-Mama Heksa dulu. Pisah. Killa mengulangi perkataan Heksa dengan diiringi tangisannya. Barra langsung memeluk Killa. Semua rasa egonya runtuh. Kepura-puraanya agar Killa tak mengulangi perbuatan yang sama. "Kamu mikir apa, sih? Jangan mikir yang aneh-aneh." "Aku takut..." "Aku cuma marah sama kamu. Aku nggak suka, ya, kamu deket-deket sama laki-laki lain. Itu haram hukumnya buat kamu." "Iya..." Killla membiarkan tangan Barra menyentuh wajahnya, menyeka air matanya yang berderai. "Maafin aku, ya." Killa benar-benar tidak bermaksud untuk membuka diri pada laki-laki lain. Untuk menenangkan pikirannya, Killa beralih membersihkan rumah kala Barra dan ketiga anaknya pergi. Rumah yang bagai kapal pecah itu mulai Killa bersihkan. Selesai dengan urusan di dalam rumah, terakhir Killa membuang sampah ke samping rumah agar diangkut oleh petugas sampah dan nantinya dibawa pada bank sampah. Nah, selesai membuang sampah itulah Killa bertemu Tio dan Lena, anaknya. "Aku yang seharusnya minta maaf udah diemin kamu," lalu Barra mengecup pipi dan bibir Killa. Saat dirasa Barra akan memberinya ciuman panas, Killa sudah mempersiapkan dirinya. Namun, ia merasa kehilangan saat Barra menyalakan lampu yang ada di atas nakas. Killa merubah posisinya menjadi duduk, sedangkan Barra membuka laci meja yang berada di samping ranjang. Seharusnya, sesuatu itu Barra berikan tadi saat Rere selesai minta maaf pada Killa. Namun, yang terjadi hari ini begitu di luar dugaan. Membuat Barra harus menundanya dan baru bisa memberikannya sekarang. "Apa, sih, Barr?" Killa menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. "Buka aja..." Barra menyuruh Killa membuka kotak beludru berwarna merah. Lebih tepatnya sebuah kotak perhiasan. Bola mata Killa berkaca-kaca, terharu sekali. Kapan Barra memperbaiki kalungnya? Atau ini kalung baru yang Barra belikan untuknya? Namun, mengapa bisa modelnya sama? Setahu Killa, kalung model seperti punyanya itu sulit didapatkan di toko perhiasaan. Sebab, modelnya tua dan sudah lama sekali. Maklum, peninggalan dari sang mama yang tetap Killa jaga. "Maaf, kalung yang diputusin Rere itu nggak bisa dibenerin lagi. Susah nyarinya," Barra menjelaskan dengan nada serius. "Adanya ini." "Kok bisa mirip banget sama punyaku?" Barra melebarkan senyumnya, mengusap tengkuk lehernya sebentar. "Itu punya Shilla. Aku ganti liontinnya pake punya kamu. Nggak apa, ya?" Killa tersenyum. Barra menyimpulkan senyum Killa itu sebagai jawaban, iya tidak apa-apa. Ia sebelumnya berpikir, nantinya Killa marah karena masih menyimpan barang milik Shilla. Namun, ini dalam keadaan terdesak untuk menyenangkan Killa. "Makasih masih perhatian sama apa yang aku mau." "Nggak usah nangis," Barra memperingati. Killa itu sensitif. Dibuat kesal, ia akan menangis. Dibuat kecewa, ia juga menangis. Dibuat bahagia pun ia akan menangis. Aneh, bukan? "Nggak nangis kok, cuma terharu." Barra senang akhirnya pertengkaran perkara kesalah pahaman itu hanya berlangsung sebentar saja. Hanya dalam kurun waktu dari tadi siang hingga malam ini ia mendiamkan Killa rasa-rasanya Barra sudah akan mati tercekik saking tersiksa batinnya. Batin Killa pastinya juga seperti itu. "Aku mau kamu, ya, malam ini." Pinta Barra setelah memakaikan kalung itu di leher Killa. "Kamu yang di atas." Killa tak menjawab. Ia hanya bergerak dengan mengalungkan kedua tangannya di leher Barra dengan mesra lalu mereka berdua hanyut dalam nafsu masing-masing. Di hari-hari berikutnya, Barra dan Killa yakin akan ada banyak halu rintang yang menghadang. Harapan mereka berdua sama. Sebesar apa pun batu terjang yang menghadang keharmonisan rumah tangganya, itu tidak akan mampu merobohkan pondasi yang telah mereka bangun kokoh. Mereka berharap, kata pisah tak akan pernah terucap meskipun mereka sudah akan saling membunuh atau sudah berada di titik paling terendah. Yang terpenting adalah kebersamaan mereka berdua. Karena selama ada Killa di samping Barra, maka semua akan baik-baik saja. Tetap bertahan dan tak pernah berpikir tuk melepaskan satu sama lain.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN