Episode 2 : Mencintai

1066 Kata
“Mencintai berarti membuat mereka yang kita cintai, menjadi pribadi yang lebih baik. Entah menjadi lebih bahagia, atau justru menjadi orang yang jauh lebih berguna.” Episode 2 : Mencintai Neon, Leon dan Xan, bergeming menatap pintu kaca kafe keberadaan mereka. Hujan deras masih berlangsung dan kenyataan tersebut mengganggu bahkan menghalangi pandangan mereka melihat situasi luar. Padahal di luar sana, entah ke mana dan bagaimana kelanjutannya, Keandra sahabat mereka sedang berjuang untuk cinta. Seharusnya memang tak berdrama begitu; menyatakan cinta sambil berlari di tengah derasnya guyuran hujan. Karena andai Sunny tidak menolak bahkan pergi, pasti acara lamaran kejutan yang sudah direncanakan dari jauh-jauh hari, berjalan dengan lancar. Beberapa menit yang lalu, lagu romantis “Marry You” yang dipopulerkan Bruno Mars mengalun apik dari suara emas Keandra, diiringi instrumen musik yang dimainkan mereka layaknya biasa, tepat ketika Sunny baru saja menginjakkan kaki memasuki kafe. Sekali lagi, andai saja Sunny tidak mendorong kembali cincin emas pemberian Keandra, pasti acara makan-makan tengah mereka lakukan sebagai perayaan. Mereka masih bergeming terheran-heran. Benak mereka dipenuhi banyak pertanyaan. Apa alasan Sunny menolak lamaran Keandra, padahal sejauh ini, selain sudah berpacaran selama 6 tahun bahkan keduanya jarang bertengkar, lampu hijau dari orang tua juga telah dikantongi? Xan yang tak mau mati karena penasaran, bergegas meninggalkan drum berikut stiknya. Ia keluar dari kafe dengan mata sipitnya yang terus mencoba mengulik apa yang terjadi di luar sana selain derasnya air yang terus berjatuhan terbawa embusan angin kencang. Tak mau ketinggalan, Neon dan Leon menyusul. Bedanya, ketika Leon meninggalkan gitar listrik kesayangannya, Neon membiarkan basisnya menempel di tubuh. Mereka berdiri di samping Xan, di beranda kafe minimalis bernuansa putih yang menonjolkan suasana kaca dengan beberapa bunga dalam pot kecil sebagai interiornya. Ketiganya mencoba menembus apa yang terjadi di sekitar halte melalui pandangan yang begitu terbatas. Di halte sana, mereka melihat Keandra yang kembali ditinggal Sunny. Dari ekspresi Keandra yang tampak kusut membuat mereka yakin, hasil buruklah yang pria itu dapatkan. Kontras dari harapan yang selama ini meledak-ledak penuh keyakinan. Di mana, semuanya apalagi Keandra sangat yakin lamaran romantisnya pada Sunny langsung berhasil. Namun kenyataan memang tak selalu seindah rencana. Karena meski manusia bebas berencana bahkan dalam hal yang mustahil sekalipun, tetapi semua yang akan terjadi selalu menjadi kehendak Illahi. Kini, jika sahabat mereka saling mencintai, kenapa Sunny justru pergi dan menolak lamaran Keandra? Bukankah hubungan serius dua sejoli yang saling mencintai selalu bermuara pada pernikahan? Atau jangan-jangan, Sunny hanya mempermainkan sahabat mereka tanpa ada niat menjalin hubungan serius? Pemikiran buruk tersebut tiba-tiba saja melintas, dikarenakan Sunny terus memberikan penolakan. Namun yang membuat mereka heran, tak semata penolakan dari Sunny, melainkan usaha Keandra yang masih saja mengejar. Pria berwajah rupawan dan selalu dipuja banyak wanita itu kembali membiarkan tubuhnya kuyup terguyur hujan, demi mengejar bus trans yang baru saja memboyong Sunny. “Beuh ... kenapa masih ngejar?” pekik Neon menyayangkan. Pria berambut pirang agak gondrong itu tampak sebal bahkan kesal. Leon selaku kembarannya yang melirik dan menangkap ekspresi tak nyaman itu hanya menggeleng tak habis pikir. “Keandra kan memang cinta mati sama Sunny. Jangan pura-pura amnesia deh,” ujarnya gemas sambil menoyor kepala Neon yang kemudian menyeringai sambil mengeluh sakit. Kakak beradik itu memang kembar identik. Hanya penampilan kepala mereka saja yang berbeda. Karena ketika Neon selalu membiarkan rambutnya gondrong meski tak pernah melewati pundak, Leon justru sangat bangga dengan rambut gimbalnya. Bahkan Leon sampai melakukan perawatan khusus dikarenakan rambut aslinya juga lurus dan tebal tak beda dengan Neon. “Ya nggak begitu, Le. Tapi ....” Neon mencoba mengelak dan membela diri, tetapi Leon langsung menahannya. “Perasaan jomlo dan pejuang cinta memang berbeda. Mungkin bagi jomlo, mengejar semacam yang sedang Keandra lakukan, berlebihan bahkan lebay. Tapi nggak buat Keandra yang pejuang cinta. Karena bagi pejuang cinta, cinta memang perjuangan. Sedangkan bagi jomlo apalagi jomlo akut kayak kamu, cinta ibarat penantian kebahagiaan, tapi terkadang halu, karena rindunya nggak akan berbalas.” Untuk urusan cinta apalagi bicara mengenai kebenaran, Neon yang ceplas-ceplos memang harus mengakui jika sang adik jauh lebih andal. Neon mendengkus sebal. “Masih mau ceramah? Kalau iya, ayo ke Masjid sebelah!” Leon mencebik gemas sekaligus geregetan. “Kayaknya kelamaan ngejomlo bisa bikin otak sama hati nggak seimbang. Kamu tahu kenapa? Pikir coba, apa jadinya kalau timbangan berat sebelah?” Dikarenakan Leon terus ceramah panjang lebar, Neon pun membekap kencang mulut kembarannya. “Jangan berisik!” Ia mendelik dan memberikan kode tatapan tajam pada sang adik. Tak lama kemudian, fokus keduanya refleks teralih pada Xan yang masih diam. Pria keturunan tionghoa itu masih menatap lurus ke halte dan terlihat sangat penasaran, padahal Keandra sudah berhasil masuk bus trans yang mengangkut Sunny, dikarenakan bus itu sempat berhenti. “Yaelah, ini kenapa lagi masih bengong?” ujar Neon yang memang tipikal tong kosong berbunyi nyaring. “Xan, kenapa?” Leon tak kalah penasaran. “Lihat apa, sih? Ada penampakan makhluk astral lagi?” Selain bisa melihat makhluk tak kasat mata, Xan memang bisa meramal. Xan bilang, buyut dari ayahnya merupakan seorang peramal andal. Konon, darah peramal dari buyutnya mengalir dalam diri Xan. “Aku melihat masa depan.” Xan menjawab tanpa menatap atau sekadar melirik kedua sahabatnya yang berdiri mengapitnya dari samping. Benar-benar serius, tanpa keraguan apalagi tanda-tanda jika pria berwajah ayu itu sedang bercanda. Leon dan Neon terheran-heran. Namun Xan balik badan meninggalkan mereka tanpa penjelasan lebih. Pria berkulit putih bersih itu memasuki kafe Happy kunjungan mereka dengan wajah berselimut senyum. *** Tubuh Sunny gemetaran sedangkan jantung dan hatinya kian berdebar-debar. Terlebih ketika bus yang ia tumpangi justru mendadak berhenti dan kali ini aroma maskulin yang selalu mewarnai hari-harinya juga tercium semakin dekat. Tetesan air juga mengalir ke arahnya di mana tak lama setelah itu, langkah letih sepasang kaki bersepatu tali warna putih, berhenti persis di hadapannya. Sunny tahu itu Keandra. Sunny juga tahu jika pria itu sedang memandanginya dengan banyak cinta sekaligus luka yang porsinya nyaris sama. Namun sekali lagi, keadaan kini tak semata karena kebetulan. Ia memiliki alasan sekaligus tujuan kenapa ia mengabaikan Keandra bahkan setelah ia menorehkan banyak luka hanya dalam waktu yang begitu singkat kepada pria itu. Melalui keputusannya, Sunny ingin membuat Keandra semakin dewasa. Bukan sekadar menghabiskan waktu bersama hanya karena mereka sepasang kekasih yang saling mencintai. Terlebih baginya, mencintai berarti membuat mereka yang kita cintai, menjadi pribadi yang lebih baik. Entah menjadi lebih bahagia, atau justru menjadi orang yang jauh lebih berguna. Setelah terdiam lama menatap Sunny yang terus menunduk tanpa mau menatapnya, Keandra berlutut kemudian merebahkan kepalanya di pangkuan Sunny. Air mata Sunny kian rebas. Beruntung, bus yang mereka tumpangi tergolong sepi. Adapun dua penumpang di sebelah mereka, kebetulan sedang tidur dan satunya lagi sibuk bermain game di ponsel. Dan kalaupun banyak penumpang bahkan sampai menjadikan mereka fokus perhatian, Sunny berani menjamin Keandra tetap tidak peduli. Bukannya tak tahu malu, tetapi begitulah cara pria itu menyikapi kehidupan dalam mencintainya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN