BCP-1

1721 Kata
Wajah pucat dan kaku, bibir membiru, dan bunyi menyayat hati berasal dari sebuah mesin elektrokardiograf, layar persegi itu menunjukkan garis lurus, bertanda aktivitas listrik jantung yang terpantau dari pasien di atas ranjang operasi itu sudah tidak berdetak lagi. Dingin ruangan tersebut membuat sosok lelaki itu tahu bahwa semua bukanlah mimpi melainkan kenyataan yang menghancurkan hingga berkeping-keping. Sosok itu meski berat hati, dengan kaki terseret mendekat pada raga yang sudah tidak bernyawa. Cintanya, kekasihnya, hidupnya. Telah di rampas takdir dengan cara paling kejam. Tangannya gemetar mengusap paras cantik yang biasa bersemu merah saat lelaki itu menciumnya, kini kehilangan ronanya. Mata itu tidak lagi terbuka menampakkan kilau indah yang selalu membuatnya tidak ingin berhenti memandangnya bagai langit cerah berwarna biru. Sederhana, hangat dan menentramkan. Jarinya kian bergerak merasakan dingin yang tidak lagi hangat saat di sentuh mesra. Sampai tubuh sosok itu bergetar... “Don’t leave me...please wake up, baby, Honey, my dear! Please!” berulang kali memanggilnya pun percuma hingga sadar bahwa, Dia telah kehilangan cinta pertama untuk selama-lamanya. “CLARISA!” teriaknya. Dia mengerjap, menarik napas dalam-dalam demi bisa hilangkan sesak, keringat di kening membuatnya terbangun seperti orang kehausan tapi bukan menginginkan air, ini selalu terjadi dini hari lalu ia akan terjaga sampai matahari bergerak naik.  Tara mengusap wajah, memejam sekilas sampai mata yang selalu memancarkan kesedihan mendalam terbuka. Tangannya ikut terkepal kuat di samping tubuhnya, ia berusaha keras menahan sesuatu yang siap meledak.  Sudah beberapa tahun berlalu dan rasanya masih sama, sesak, dan menyakitkan terlebih rindu kian menyiksa. Di mana ia tak akan pernah punya kesempatan untuk melihat, menyentuh, memeluk cintanya lagi.  Bergerak, Tara bangun dan berjalan mendekat pada figuran foto besar pernikahan dengan Clarisa, benda yang selalu membuat dia merasa Clarisa masih ada disisinya.  Lama dan dalam, Tara terus memperhatikan sampai dia tidak kuasa menahan air mata jatuh membasahi pipinya, begitu beralih pada foto di bawahnya—foto putrinya, Clariesa Artari Rashid yang saat foto itu di ambil masih begitu terlihat rapuh, usia dua bulan. Putri yang hari ini genap berusia tiga tahun.  “Sayang...” Suaranya melantun lemah, ada desah keresahan di sana. “Dunia benar-benar berputar, lihatlah Clarie putri cantik kita hari ini sudah tiga tahun.” berharap bahwa Clarisa benar-benar mendengarnya. Pada akhirnya, Tara selalu kalah, ia akan cari alasan untuk menghindari hari perayaan sang putri.  Sekali lagi memejamkan mata, Tara beranjak dari sana melalui pintu penghubung dengan kamar putrinya. Tara mendekat pada gadis kecil yang meringkuk dan begitu damai dalam tidurnya.  Pelan-pelan dia meringkuk di sisinya lalu memeluk Clarie, Tara tidak kuasa saat rasa sakit itu tidak juga berakhir. Mencium rambut putrinya, menghirup aroma menenangkan khas anak-anak sampai Tara lagi-lagi meneteskan air mata putus asa dan sesalnya. “Maafkan Papa, sayang... Maaf!” Walaupun bukan kuasanya untuk kehidupan yang terjadi di masa lalu maupun sekarang, namun, sepanjang hidup Tara terus saja salahkan diri sendiri atas tragedi naas tiga tahun lalu. Mengapa, harus istrinya?!    Seandainya, dia tak ambil kasus besar itu pasti semua ini tak akan terjadi serta semua hanya harapan yang tidak pernah terwujud karena Artara Rashid selalu berhasil memenangkan kasus di meja hijau, mengalahkan lawan-lawannya. Namun, seperti manusia pada umumnya, Dia tak berdaya untuk cegah maut datang memisahkannya dari sang cinta untuk selama-lamanya.   ***  Suasana meriah, hangat dengan mendominasi warna merah muda, warna favorit Clarie. Sementara hari itu Clarie tampak mengemaskan dengan gaun biru khas tokoh Cinderella. Gadis cantik dengan bentuk mata Almond dan iris mata sebiru langit cerah di sore hari. Rambut hitam legam lurus sengaja di biarkan panjang, kini jatuh menjuntai perlahan bergerak tertiup angin. Gadis yang sangat cantik. Senyumnya sangat manis, memperlihatkan deretan gigi yang begitu rapi, putih, terlihat sekali terawat. Dengan kulit putih pucat, membuat gadis kecil cantik itu mudah di kenali, akan langsung tahu bahwa di dalam dirinya, ada darah campuran dari pihak ibunya.  Semula dia begitu riang, bermain dengan para sepupunya sampai puncak acara tiup lilin akan di mulai.  “Pa-Pa?” tanya gadis itu setelah memerhatikan semua orang sudah berkumpul di depannya, tapi dia tidak melihat di mana Papanya. Hanya ada, oma-opa, tante dan om-nya, serta Aileen—sepupu seusianya. Tiga tahun.  Bibir gadis itu mengerucut tidak temukan sosok lelaki yang di carinya. Tyas, sang tante sigap menyerahkan Aileen pada suaminya lalu mengendong Clarie. “gendong Ai dulu, Mas.” Dhito mengangguk, lalu mendekap tubuh putri cantiknya. Aileen tidak akan merasa tersaingi jika dalam pelukan Dhito, tapi jika Clarie di peluk Dhito, Aileen akan langsung histeris merasa Clarie akan mengambil ayahnya. Aileen memang terkenal sebagai anak ayah sekali.  “Jangan nangis, dong sayang. Hari ini Clarie udah sekali cantik dengan gaun Cinderella.” Tyas segera menenangkan Clarie, Tara bukan terlambat datang tapi pasti tak akan hadir. Alasannya, semua orang, keluarga tahu, setiap ulang tahun sang putri, Tara akan merasa berat, ingin bahagia, tapi di satu sisi hari ini adalah di mana dia kehilangan cinta untuk selama-lamanya.  Clarie tak mau berhenti menangis, membuat Tyas serta semua keluarga panik. Mami bahkan berdecak kesal, Tara sulit sekali di hubungi. Padahal dia sudah mengingatkan putra sulungnya itu tentang betapa penting hari ini, bahkan suaminya, dan Dhito saja pilih ambil cuti, sengaja terbang dari Bali ke Bandung memboyong istri dan anaknya untuk membuat Clarisa bahagia dan tetap merasa utuh di hari ulang tahunya. Meski semua orang tahu, anak itu sejak pertama kali melihat dunia, tidak pernah melihat wajah dan merasakan pelukan hangat ibunya.  “Cepat Papi, telepon Tara!”  “Kamu aja telepon nggak bisa, apa bedanya denganku yang telepon?” jawab Papi pilih dekati cucunya dan coba bantu Tyas menenangkan Clarie.  Mami mendekati menantunya, Dhito. “Ai sama oma yuk!” Rayunya, membuat Ai malah mengeratkan pelukan di leher ayahnya. "Ndak aau!" Aileen menolak. “Biar ayah cari Papa Tara.” pintanya, Dhito tidak tega melihat rasa khawatir di wajah mertuanya. “Nggak apa-apa, Mami. Biar Ai ikut aja cari Ka Tara.” Katanya, karena tahu bahwa sekali Ai menempel padanya sudah seperti lintah yang sulit di pisahkan.  Mami menghela napas, lalu mengangguk dan berharap Dhito cepat membawa Tara. “Bawa Tara, ya.”  “Iya, Mami.” Dhito kemudian melangkah, meski tak tahu akan cari Tara di mana. Insiden tiga tahun lalu seakan menjadi pusaran kelam hebat memerangkap Tara. Lelaki yang dikenal hangat itu, kini lebih terlihat dingin, bahkan di kenal sebagai Advokat killer, terutama jika menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga, beri perlindungi para perempuan yang mendapatkan perlakuan buruk. Mami memiliki rumah sosial yang di beri nama rumah Mentari, kini benar-benar memberi bantuan hukum bagi kalangan tak mampu khususnya perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak.  Sekembalinya Tara tiga tahun lalu pun, setelah hampir meredup dan tidak bersemangat dalam Passion-nya, sampai akhirnya bangkit dan kini jadi ketua pengacara penanganan kasus di rumah Mentari.  Dhito berharap, kakak iparnya itu juga akan mendapatkan seseorang yang bisa membuat jiwanya hidup kembali. Meski, Tara mengatakan tak butuh siapa pun untuk menggantikan posisi Clarisa, istrinya. Sadar atau tidak, sebenarnya lelaki itu butuh bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi si kecil, Clarie. ***  “Kamu sudah kelewatan Artara!” Mami di depannya sudah terlihat sangat marah, berdiri sambil kedua tangan di pinggang. Tara hanya diam sambil menunduk, di ruang keluarga Rashid hanya ada orang-orang dewasa. Clarie dan Aileen, sudah tidur nyenyak di kamar mereka masing-masing.  Tara tahu dia memang sudah kelewatan batas, di ulang tahun putrinya, lagi-lagi dia menghindar dan pulang larut saat pesta sudah berakhir, bahkan putrinya sudah tidur. “Mami tenang dulu!” Papi coba bujuk Mami duduk, bukan apa-apa sebab istrinya itu memiliki riwayat darah tinggi yang baru terdeteksi setahun belakangan ini. Dia takut akan terjadi sesuatu pada kesehatannya.   “Tenang? Really? Mau sampai kapan, Pi? Sampai kapan? Sampai mati pun aku nggak akan bisa tenang jika Tara bersikap begitu pada cucu kita!”  Semua orang terdiam, tidak ada yang berani menenangkan Mami jika sudah marah terutama dengan alasan yang benar.  “Kakak memang udah keterlaluan!” Tyas angkat bicara. Clarie semakin hari semakin besar, dia mulai menyadari semua situasinya, jika biasanya tidak pernah mencari Tara saat acara tiup lilin berbeda dengan sekarang. Perilaku Tara jelas akan membuat anak itu mencari keganjilan sampai sedih ketika sadar lalu memiliki pikiran jika Tara begitu karena Mamanya meninggal saat hari kelahirannya.  Tidak! Tyas dan keluarga lain tak akan biarkan Clarie merasa begitu. “Aku udah memberi Clarie hadiah.” Tara akan membela diri selalu dengan memberi segala macam hadiah untuk anaknya.  “itu aja nggak cukup!” Mami kembali angkat bicara, sementara para lelaki memilih bungkam.  Tara menarik napas, “Mami tau aku udah berusaha, tapi sulit.” Dia mendesah kacau.  “Sulit karena usaha kamu untuk merelakan semuanya belum sepenuh hati.”  Tara terganggu dengan kalimat Mami “Merelakan?” “Sudah tiga tahun berlalu, Tara. lihat apa yang kamu dapat dari terus memendam, nggak berusaha merelakan semua yang sudah terjadi.” Mami benar-benar tidak takut menyinggung perasaan Tara, karena memang ini sudah waktunya. “Selain kamu yang semakin hari terlihat kacau, kelam.” Sindirnya.  Tidak ada yang baik-baik saja setelah kehilangan orang yang di cintai. Tapi, alih-alih mengatakan itu Tara malah bangkit.  “Mau ke mana kamu!”  Tara yang sudah terlihat acak-acakan dengan penampilannya, dasi yang di tarik lepas, tiga kancing kemeja bagian atas terlepas juga lengan yang digulung asal, bahkan kusut kemeja dan wajahnya sudah serupa. “Kamar, mandi.” Jawabnya singkat.  “Papi!” tegur Mami memberi Papi perintah untuk angkat bicara, kalau sudah begitu Tara pilih kembali duduk.  “Mami kamu belum selesai bicara.”  “Papi nggak ikut bicara?” sindir Tara yang malah membuat Papi geleng kepala. Anak sulungnya banyak berubah setelah Tragedi naas tiga tahun lalu.  “Dengar Tara Rashid, Mami udah ambil keputusan. Kamu bilang nggak, tapi Mami jauh lebih memikirkan masa depan Clarie, cucu Mami.” Kata Mami dengan tatapan serius membuat Tara bisa membaca arah pembicaraan tersebut.  “Tara akan tolak apa pun rencana, Mami. Lagi pula Mami nggak perlu khawatir soal putriku, aku tau yang terbaik untuknya. Aku, Papanya.” Tara kembali bangkit, dan benar-benar meninggalkan pembicaraan itu.  “Setuju atau nggak, perjodohan kamu telah diatur. Kamu dengar Artara Rashid! Mami nggak akan biarkan masa depan Clarie hancur! Nggak akan—“ Mami terlalu menggebu-gebu dan tidak bisa menahan emosinya, sampai dia limbung, kegelapan datang merengut kesadarannya.  “MAMI!” semua orang berada di sana termasuk Tara yang kakinya sudah menginjak anak tangga pertama langsung berbalik dan mendekati Mami sudah tergeletak di lantai tidak sadarkan diri.  [to be continued]
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN