01-AYRA: MELARIKAN DIRI

1363 Kata
“Aku ... ke sini untuk melamar.” “Bukannya Bang Rei mau lulus S2 dulu baru kita menikah? Apa ngga nanggung setahun lagi, Bang?” Tentu saja aku bingung dengan scene yang tiba-tiba kuhadapi ini. Aku baru saja pulang dari sebuah wawancara kerja. Hasilnya buruk, setidaknya menurutku begitu meski mereka bilang aku akan dihubungi dua hingga empat minggu lagi. Dan begitu tiba, aku justru mendapati SUV putih yang biasa Bang Rei pakai terparkir di depan rumahku. Dan barusan, Bang Rei bilang mau melamar? Bukannya aku tak senang. Justru aku teramat bahagia. Bayangkan saja, setelah hari yang menyebalkan, kekasihmu datang mengajak menikah. Perempuan mana yang tak berseri-seri karenanya? “Dyra.” Aku mematung. Aku salah dengar kan? Kenapa Bang Rei menyebut nama Dyra? Yang kekasihnya kan aku. Aku memerhatikannya, pria yang sungguh aku cintai. Yang melingkarkan sebuah cincin di jari manisku. Katanya, bukti cinta dan janji bahwa tahun depan ia akan menikahiku apa pun yang terjadi. “Kami ke sini untuk melamar Dyra,” ujar Om Hasbi, ayah Bang Rei. Tak ada satu kata pun yang sanggup terucap dari mulutku. Aku terpaku menatap Bang Rei yang menunduk dalam, meremas-remas jemarinya sendiri. Mengapa ia tak bicara? “Sa-ya mak-sud Om?” Akhirnya lolos juga pertanyaanku, meski terbata saat kututurkan. “Maafkan Om, Ayra. Rei ... menghamili Dyra.” Bagai tersambar petir di siang bolong. Sekujur tubuhku terasa begitu panas. Udara mendadak pergi menjauh, membuat paru-paruku kembang kempis diiringi rasa nyeri yang teramat sangat. Tidak! Ini pasti bohong! “Ayra,” lirih Bang Rei yang masih sampai ke telingaku. Ngga! Ini pasti canda yang tak lucu! “Ini ... bohong kan Bang?” tanyaku. Wajahku basah. Aku pasti menangis bukan? “Maafin aku, Ayra,” balasnya, lalu menunduk lagi. “Tapi ... tahun depan, kita akan menikah. Kita bahkan udah nyari-nyari vendor. Nyari tempat. Lihat-lihat butik pengantin,” ujarku lagi. Entah apa yang kutuntut. Aku lalu menyodorkan tangan kiriku di hadapannya, di hadapan semua orang lebih tepatnya, memperlihatkan cincin pasangan yang tak pernah lupa kupakai. “Bang Rei bilang, ini bukti janji Abang. Ngga akan pernah Abang ingkari.” “Maafin aku, Ayra!” “Ayra ngga butuh maaf! Ayra butuh Abang! Ini bohong kan Bang? Bohong kan?” “Ayra ....” “ABANG BIADAB!” Hancur. Hatiku remuk redam. Sakit luar biasa. Apakah sembilu baru saja mengiris jiwaku? Aku menyeka air mataku. Tidak, aku tak boleh menangis. Kenapa aku harus menangis? Aku yang dikhianati, harusnya aku bersyukur. Bukankah begitu? Dikhianati? Dan pengkhianatnya .... Aku menoleh, menatap Dyra yang juga menunduk. Tak ada air mata di wajahnya. Bukankah harusnya ia menyesal? Kenapa justru aku yang menangis? Apa salahku? Mengapa ia sebegitu kejam padaku? Apa yang sudah kuambil darinya? Bukankah ia yang mengambil segalanya dariku? Ya ... kini segalanya, karena yang kupunya hanya Bang Rei. Tuhan ... kenapa tak Kau ambil saja nyawaku sekalian? “Kenapa lo tega, Dy?” Dyra diam saja, seolah tak mendengar pertanyaanku barusan. “DYRA!” “DIAM KAMU AYRA! KAMU PIKIR HANYA KAMU YANG PUSING?” Itu ibuku. Ibu kandungku. Yang seharusnya selalu di sisiku. Namun sayangnya, aku hanyalah penghambat kebahagiaan baginya. “Masuk ke kamar kamu!” titahnya kemudian. “Ayra belum selesai bicara, Bu!” “Semua sudah jelas! Mereka berhubungan badan, Dyra hamil! Kamu mengalah! Titik!” “Apa?” “MASUK KE KAMAR IBU BILANG!” Aku menoleh pada Bang Rei lagi. Ia kini menatapku. Air matanya berderai. Bibirnya bergerak pelan. Terbaca jelas. I love you, Ayra. I love you katanya? Tapi ia beradu peluh, menanam benih di tubuh Dyra? Cintanya yang ia janjikan padaku terlupa begitu saja saat molek tubuh saudara tiriku terpampang tanpa penghalang? Kuraih cangkir berisi teh yang sudah menghangat di hadapannya. Bukan sekedar kusiramkan, namun bersama wadahnya kulempar ke wajahnya. ‘Prang!’ Bising suara keramik yang beradu dengan lantai granit rumah ini, pun menyisakan segores luka di dahi Bang Rei. “BRENGS3K LO, AYRA!” pekik Dyra. Brengs3k katanya? Bang Rei hanya mendapat sedikit luka. Dan esok pun pasti sudah mengering. Sementara aku? Luka pengkhianatan ini akan kubawa sampai mati. “Aku minta maaf, Ayra. Aku khilaf,” ujar Bang Rei lagi, memohon iba dariku. Belum mampu aku menjawab, Ibu menarikku paksa, membawaku ke kamarku di lantai dua. Beliau mendorongku kasar hingga aku terjerembab di ranjang. “Ibu mau bicara setelah menyelesaikan urusan di bawah! Kamu diam di sini! Paham?” Tak mampu kujawab titah itu. Justru kuredam isak tangisku di boneka pemberian Bang Rei. Sungguh, sakitnya tak terperi. Aku sangat mencintainya. Bang Rei sandaranku. Harapanku akan nestapa yang kuhadapi selama ini. Kenapa harus Bang Rei? Kenapa harus Dyra? Aku tak tau sudah berapa lama aku menangis. Lelah sudah mulai mendatangiku. Kedua kelopak mataku pun semakin memberat. “Ayah, Ayra rindu,” lirihku yang hanya terdengar telingaku sendiri. “Bangun kamu Ayra! Ibu mau bicara!” Ia, ibuku ... masuk begitu saja ke kamarku. Bersama Dyra yang wajahnya penuh kemenangan. Sementara Papa entah ke mana. Toh beliau tak pernah menyukaiku, lantas apa yang aku harapkan? “Dua minggu lagi, Dyra akan menikah. Di rumah ini sesuai permintaan Papa kalian. Resepsinya nanti menyusul, sesegera mungkin. Kamu harus bantu Dyra mengurus acara. Dyra sedang hamil, tidak boleh lelah!” Lalu aku? “Berhenti menangis! Rei bukan jodohmu! Ibu tidak melahirkanmu untuk menjadi perempuan cengeng! DENGAR KAMU?” Aku diam saja. Tak sanggup menjawab, “Saat akad nikah Dyra nanti, Ibu akan memperkenalkanmu dengan Pak Prasid. Dia calon investor perusahaan Papa. Dana yang ia tawarkan sangatlah besar. Ia tidak minta banyak, hanya memintamu menjadi istrinya.” “Apa, Bu?” “Kamu tetap akan menikah, dengan Pak Prasid!” “Ibu ... Ayra baru saja dikhianati. Dan Ibu langsung mau menjual Ayra?” “Ibu tidak menjualmu! Ibu hanya meminta baktimu! Apa salah?” “Ibu ....” “Jangan melawan! Bahkan setetes darahku saat melahirkanmu tidak akan bisa kamu balas dengan rela menikahi Pak Prasid!” *** Dua minggu kemudian. Aku kabur. Saat Dyra sibuk didandani. Saat Ibu pun sibuk memilih perhiasan yang akan ia pakai. Saat Papa masih terlelap karena mengenakan setelan wali tak akan selama merias wajah. Saat sanak keluarga hanya memikirkan penampilan mereka masing-masing. Aku tau ibuku. Dan ini tak akan mudah. Begitu ia sadar aku menghilang, ia akan memerintahkan jaringan preman di setiap stasiun dan bandara untuk mencariku. Ibu pasti sudah memperhitungkan tindak tandukku. Jadi, saat pesawat mendarat dan pintu terbuka. Tanpa peduli dengan gerutuan penumpang lain, aku langsung berjalan cepat seraya menutup wajahku. Tempat pertama yang kusambangi adalah toilet. Di sini aku mengganti baju, memakai topi, lalu membuang pakaian sebelumnya ke tempat sampah. Aku kembali ke sosokku yang sesungguhnya; nerd dan jauh dari kata modis. Kaca mata besar menghias wajahku. Lalu, kututup kepalaku dengan tudung sebelum kembali bergabung dengan banyaknya manusia di terminal kedatangan domestik ini. Konyolnya, preman dengan ciri khas pasukan Ibu, sudah celingak-celinguk di depan sana. Gegas aku berbelok, berjalan setenang mungkin, berbaur dengan manusia lainnya. Bodoh! Apa kubilang, mereka sudah menyebar di setiap titik. Ya Tuhan, aku harus bagaimana? Aku menoleh ke belakang, dua orang preman menyapukan pandangannya. Aku menoleh ke kanan, satu orang tengah bertolak pinggang dengan mata yang menelisik. Aku kembali menatap ke depan, menunduk dalam, takut jika dua orang lainnya mendapatiku. Hanya beberapa langkah lagi, mereka pasti akan menangkapku. Tanpa berpikir panjang, aku berputar hadap ke kiri. Niatku masuk ke dalam sebuah kafe untuk mengambil napas sejenak dan membaca situasi. Sialnya, aku tak berhati-hati. Aku menabrak seseorang saat satu kakiku menginjak tali sepatu yang terlepas. Ia menahanku, melindungiku dengan tubuhnya agar tak terinjak atau menyebabkan orang lain terjerembab. “Kamu ngga apa-apa?” Aku ... pernah mengenal suara ini. Kuangkat sedikit wajahku. Dan titik pandang kami, seketika bersirobok. Baru saja ia hendak menyebut namaku, aku langsung menutup mulutnya, menggeleng cepat, memohon dengan air mata yang menitik tanpa permisi. Ia mengangguk. Begitu tanganku lepas dari wajahnya, ia menyapukan pandangan, memerhatikan keadaan. Aku percaya, ia pasti menangkap alasan ketakutanku. “Aku ngga bawa masker lebih. Sorry, Ay,” ujarnya seraya memindahkan maskernya ke wajahku. “Kalau kamu tiba-tiba terinfeksi virus, aku rela kok ngejagain kamu.” “Arga!” “Shhht! Don’t talk! Dan jangan menarik perhatian! Ayo kita kabur!” ajaknya setelah mengedipkan sebelah matanya padaku. Aku ... tak punya pilihan lain kan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN