03-ARGA: PERJANJIAN

1912 Kata
Semua pasang mata di ruangan ini tertuju ke gue. Sementara gue masih memutar simulasi ngebego-begoin diri sendiri di dalam benak. Mimpi apa dah gue ngajak nikah anak orang pake jalur by-pass? Mungkin … karena ngga ada ocehan lanjutan dari gue, semua pemilik netra mendengus kompak lalu memalingkan titik pandang. “Arga serius!” ujar gue lagi. Kali ini gue sadar sepenuhnya. Kriwil-kriwil begini attitude gue ngga ikutan kriwil, apalagi sampai kusut. Lempeng kayak surai yang baru di-smoothing. Pantang buat gue udah bilang A lalu berselang menit ganti B. Better mikir panjang baru mengambil keputusan daripada gegabah. Pertanyaannya, kenapa tadi gue bisa auto nyeletuk begitu? Opa Edwin mendengus keras, frustasi banget kayaknya. Sementara yang lain, balik lagi ngelihatin gue. Gue berdehem. “Emangnya Opa mau nikahin Ayra sama siapa?” tanya gue kemudian. “Kamu sudah cukup membantu dengan bawa Ayra ke sini, Ga.” Opa malah memberi tanggapan yang ngga sesuai dengan pertanyaan gue. “Opa sangat berterima kasih.” “Pernikahan itu bukan permainan, Ga.” Kali ini yang angkat suara adalah Opa Noah. Ngga menghakimi, tapi menasehati dengan lembut. “Dengan segala hormat, Arga ngga pernah berpikir kalau pernikahan adalah permainan, Opa,” sanggah gue. “Lagipula, Ayra kenal Arga kan? Opa sekeluarga juga tau siapa Arga, tau keluarga Arga. Kalau Arga macam-macam, biarpun Arga ngga punya niat demikian, kalian tau harus mencari Arga di mana.” “Bagaimana kalau kamu bertemu dengan perempuan yang membuat kamu jatuh hati?” tanya Oma Naura. “Dia sudah jatuh hati pada Ayra.” Opa Oemar – ayahnya Papi Ian – yang menjawab. “Lihat saja caranya memandang Ayra.” Semua kembali terdiam, sementara gue menunduk. Ngga akan gue sanggah tuduhan Opa Oemar. Memang tepat kok. Kalau di olahraga panahan disebutnya bullseye. “Andra telpon Bang Irgi dulu,” ujar Om Andra kemudian. Gue menelan saliva sendiri sementara jantung gue jedag-jedug dan perut gue terasa ngilu. Duh, bakal diapain nih gue sama Papa Mama. “Assalammu’alaikum,” sapa Papa di ujung panggilan. Om Andra mengatur ke mode speaker. “Wa’alaikumsalam,” jawab kami serempak, kecuali gue yang hanya menggerakkan bibir tanpa bersuara. “Wah rame, lagi pada ngumpul?” “Iya, Bang.” “Ada apa, Ndra?” “Arga mau nikah sama Ayra,” jawab Om Andra. Ngga pake prolog, main tembak aja. “Nikah sama Ayra?” “Hmm.” “Gue musti nanya Arga dulu, Ndra. Mau dijodohin?” “Itu pernyataan, bukan pertanyaan, Bang.” “Yang mana?” “Arga mau nikah sama Ayra.” “Kata siapa?” “Kata Arga, masa kata gue?” “Ini ada apaan sih? Lo ngga bisa ngomong agak banyakan? Astaghfirullah. Jangan bikin gue ambil antrian di Poli Saraf, Ndra!” Ngomel dah Papa. “Bang!” sambar Papi Ian. “Ian?” “Iya.” “Lo di situ juga?” “Ho oh. The Syahdan’s lagi ngumpul.” “I see. Lo jelasin dah maksud appa-nya Ardhan. Kalau dia yang jelasin, sampai lebaran kuda juga ngga bakal kelar.” Lalu, kisah itu pun dimulai. Tentang kisah cinta Ayra yang berakhir naas berhubung mantannya menghamili saudara tirinya, tentang ibunya yang maksa ngejodohin Ayra sama aki-aki bej4t demi investasi, tentang Ayra yang kabur, tentang pertemuan kami yang tidak disengaja, dan akhirnya tentang gue yang mengajukan diri untuk menikahi Ayra. “Kebanyakan minum kopi kali anak gue, Yan?” “Tadinya gue kira salah minum obat malah, Bang. Taunya Arga bilang dia serius.” “Dia mah emang gitu, kalau udah ngomong A, ngga bakal dia ganti B, kecuali buntu atau nyungsep,” tanggap Papa. “Abang?” panggil beliau kemudian, kali ini pasti tertuju ke gue. “I-iya, Pa,” ujar gue, mencicit kayak curut kejepit pintu. “Jangan ke mana-mana! Papa ke situ sekarang!” Gitu doang? “Abang Arga!” “I-iya, Pa,” sahut gue. “Haduuuh, gimana caranya Papa bilang Mama ini?” “Papa ….” “Tunggu di situ!” Dan selanjutnya, yang gue rasakan adalah …konsentrasi oksigen dalam udara menipis, waktu berjalan lambat, seonggok batu mengganjal di tenggorokan, lalu jantung yang mencelos dan berpindah ke perut menciptakan sensasi ngilu. Otak gue ngga bisa mikir. Pun kedua mata gue ngga berani menatap Ayra. ‘Please, jangan nolak, Ay.’ *** Papa datang tiga setengah jam kemudian. Selama waktu itu Ayra beristirahat di salah satu kamar bersama sepupu-sepupunya. Sementara gue, ngeriung bareng bapak-bapak. Jangan tanya apa yang kami bicarakan, gue sendiri ngga ngeh dan ngga ingat. Bahkan sepanjang ramah tamah jawaban gue cuma seputar ah dan oh. Untung aja ngga ada yang ambil pusing. Dan kini, gue duduk menunduk di hadapan Mama dan Papa. “Abang?” “Iya, Ma?” “Emangnya Abang udah siap menikah?” “Apa semua orang yang menikah karena mereka sudah siap, Ma?” Mama ngga menjawab pertanyaan gue barusan. Beliau justru pindah ke samping gue, memeluk gue dari samping seraya merebahkan kepalanya di bahu gue. Mumet pasti kan? Gue aja mumet, bingung sendiri kenapa kisah cinta gue bisa selucu ini. “Ngga boleh ya, Ma?” tanya gue lagi. Melirih. “Abang sudah dengar kan gimana keluarganya Ayra?” tanya Mama lagi. “Karena ayahnya pembunuh dan ibunya gila harta?” balas gue. Mama mengangkat kepalanya, menatap Papa. Keduanya hanya saling memandang, namun justru mencurigakan bagi gue. Berarti, gue belum tau semuanya kan? “Ma? Pa?” “Kenapa Abang memilih Ayra?” tanya Mama kemudian, mengalihkan pembahasan. “Ma?” “Coba jawab pertanyaan Mama, Bang.” “Ngga tau, Ma. Abang ngga keberatan aja.” “Abang masih suka sama Ayra?” Gue mengangguk. “Seandainya, pada akhirnya Ayra ngga bisa sayang sama Abang gimana?” Gue menunduk kembali, meremas-remas jemari gue sendiri. Ya mau gimana lagi kalau memang begitu adanya? Gue juga bukan Tuhan yang bisa mengatur hati manusia kan? Tapi, masa iya Tuhan setega itu kalau gue berusaha jadi suami yang baik? “Mama keberatan Abang milih Ayra?” balas gue, berhubung gue ngga punya jawaban atas pertanyaan Mama barusan. Mama menggeleng lemah. “Selama Mama ngga keberatan, ridho, inshaaAllah kami akan baik-baik aja kan, Ma?” Hening dari Mama. “Abang kepingin punya istri yang sayang Mama. Soalnya Abang yakin, kalau istri Abang sayang sama Mama, Mama bahagia dan ridho dengan rumah tangga Abang, Abang juga pasti bahagia. Tapi, kalau Mama ngga suka sama istri Abang, sekuat apapun Abang berusaha bahagia, rasanya ngga akan lengkap. Kosong gitu, Ma.” “Hubungannya sama Ayra?” “Waktu di Amsterdam, Ayra bukannya nempelin Mama mulu? Mama ke mana-mana sama Ayra kan? Bahkan Ayra lebih dekat sama Mama dibanding ke Oma Naomi atau sepupu-sepupunya.” “Mama lupa kalau Abang itu pengamat yang baik.” “Jadi, karena itu Abang ngajuin diri?” Kini Papa yang bertanya. Beliau pun turut pindah ke samping gue, menggenggam tangan gue, erat. “Pernikahan ngga bisa di-cancel lho,” ujar Papa lagi. “Iya, Pa. Alasan pertamanya, Abang ngga ngerasa keberatan aja nikahin Ayra. Terus, meski Abang dengar gimana kondisi keluarganya, meski Abang juga belum lama kenal Ayra dan kami baru dua kali bertemu sebelum ini … hati kecil Abang yakin kalau Ayra perempuan baik-baik, Pa. Faktanya, keluarga Ayra ngga miskin kan, Pa? Tapi, kenapa Ayra cuma lulusan SMA? Papa dan Mama juga kayaknya ragu cerita ke Abang. Berarti, ada sebab musabab kenapa hidup Ayra kacau. Bukan karena Ayra ngga baik. Iya kan?” Papa mendengus, menatap gue lekat. Sesaat kemudian, beliau mengangguk. Ya, gue sadar ada ngga beres saat diskusi soal mau nikahin Ayra tadi. Kalau misalnya Ayra atau keluarganya sekelam itu, at least Papi Ian ngga akan diam-diam aja. Pasti gue diseret dan ditoyor beliau karena seenak jidat nyerahin diri. Tapi ini ngga, beliau ngga melarang sama sekali, bahkan tadi sempat mendengus. Bukan dengusan frustasi, kayak lega gitu malah. “Papa dan Mama ngerasa ngga berhak menceritakan apa yang kami tau. Biar Ayra saja. Lagipula, kalau ada kurang atau kelebihan, khawatir jadi fitnah, Bang,” ujar Papa. “Jadi, boleh ngga Pa? Ma?” Papa menatap Mama. Berselang beberapa detik yang terasa begitu panjang, diiringi air mata yang menitik, Mama mengangguk. “Mama …” lirih gue. “Mama restui niat Abang. Tapi, jangan sembunyikan kesedihan Abang dari Mama dan Papa semisal rumah tangga kalian terasa begitu sulit. Bisa, Abang?” “Iya, Ma. Abang janji. Forever, no matter what, wherever ... we are the best gang, The Pranata’s. Abang ngga pernah lupa kok.” Mama mengulurkan kedua tangannya, gue menyambut hangat, berpelukan erat dengan beliau. Papa menyusul, membawa kami berdua dalam rengkuhannya. Ngga akan ada yang ngga bisa gue hadapi selama gue memiliki beliau berdua kan? *** “Sekarang, kami tinggal menunggu jawaban Ayra aja, Nak. InshaaAllah Om dan Tante ngga keberatan untuk Ayra panggil dengan sebutan Mama dan Papa,” ujar Papa. “Ayra butuh waktu berapa lama untuk memikirkan niat baik Arga?” “Apa boleh Ayra minta beberapa hal, Om?” Gue mengangkat wajah gue yang sedaritadi menunduk, menatapnya lekat. “Aku ngga tau apa alasan kamu, Ga. Tapi, selama empat jam aku berpikir, kamu kesempatan terbaik aku untuk melarikan diri. Aku tau aku jahat ….” “Ngga, Ay! Aku tau kamu punya alasan,” potong gue. “Apa pun itu. Masa muda kamu, hidup kamu, mungkin bakalan berantakan gara-gara aku.” “Bakalan lebih bahagia maksud kamu?” “Arga ….” “Apa yang kamu mau dari aku, Ay?” Ayra beranjak dari duduknya. Ia masuk ke kamar tempatnya beristirahat – atau merenung – tadi. Sesaat kemudian ia bergabung kembali dengan kami, membawa sebuah jurnal. Di hadapan kami, Ayra meminta waktu untuk menulis keinginannya. Seolah sudah matang ia pikirkan, jemarinya menari dengan luwesnya. Tak butuh waktu lama, Ayra melepas kertas dengan permintaannya itu, menyodorkan pada gue. Dengan ini, saya Arganta Zafar Pranata, bersedia mengabulkan permintaan Fara Ayra Davira Gautama yang berupa: 1. Membawa serta Ayra ke mana pun, termasuk ke Cambridge. 2. Tidak menjalin hubungan romansa dengan perempuan mana pun selama pernikahan kami. 3. Mempertahankan pernikahan kami setidaknya selama tiga tahun ke depan. “Tiga tahun?” tanya gue. ‘Mana ada nikah cuma tiga tahun? Selamanya, Ay! Ngga ada kata cerai hidup dalam kamusku!’ “Ayah bebas tiga tahun lagi, Ga,” jawabnya, melirih. Gue mengangguk paham. “Kamu tau nama lengkap aku?” tanya gue selanjutnya. “Aku lihat jurnal kamu di mobil tadi.” “Dan kamu langsung hafal?” “Hmm,” gumamnya sembari mengangguk. “Oke, aku ngga keberatan dengan permintaan kamu,” ujar gue kemudian. “Kamu juga boleh minta tiga hal dari aku, Ga.” “Cuma tiga?” “Kalau kebanyakan, aku khawatir ngga bisa nepatin.” “Oke.” Gue meraih pulpen yang tadi Ayra genggam, lalu mengukir tulisan indah ala dokter di bawah tulisannya yang lebih terlihat seperti kaligrafi. Dengan ini, saya Fara Ayra Davira Gautama, bersedia mengabulkan permintaan Arganta Zafar Pranata yang berupa: 1. Tidak akan pernah membiarkannya makan sendiri saat ia ada di rumah, sepanjang pernikahan kami meskipun kami tengah bertengkar. 2. Memeluknya setiap kali ia akan meninggalkan rumah, sepanjang pernikahan kami meskipun kami tengah bertengkar. 3. Memeluknya sebelum kami tidur setiap malam, sepanjang pernikahan kami meskipun kami tengah bertengkar. “Gimana, Ay?” tanya gue saat Ayra tertegun membaca permintaan gue. “Cu-cuma … ini?” “Iya. Aku cuma minta itu. Bisa kan?” Ayra menatap gue lekat, gue pun ngga menyia-nyiakan memandang indah kedua iris kelamnya. ‘Aku harap kamu bisa jatuh cinta sama aku, Ay.’ Lalu … ia mengangguk. “Aku mau menikah dengan kamu, Ga.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN