Jhon menatap wanita cantik di hadapannya dengan tatapan meneliti. Wanita itu memiliki mata sipit, rambut coklat lurus, hidung mancung, dan bibir merah yang mungil. Bentuk tubuhnya nyaris sempurna, tinggi semampai, kulit putih mulus. Ia memijat pelipis, wanita secantik ini pun tidak dapat membuatnya melupakan wanita yang dicintainya.
Sedari tadi mereka hanya saling mengenalkan diri, lalu menilai dalam hati. Tak ada pembicaraan serius, selain sesekali menatap sembari menikmati minuman yang mereka pesan.
“Jadi … kenapa wanita secantikmu, setuju untuk menikah dengan pria sepertiku?” Jhon mencairkan keheningan di antara mereka, “Kamu bisa mendapatkan siapapun yang kamu mau dengan wajah cantikmu itu. Kenapa harus menerima perjodohan dengan seorang asing?”
“Nggak ada alasan khusus,” Wanita itu mengendikkan bahu tak acuh, “Umurku sudah cukup untuk menikah dan kamu lelaki tampan yang mapan. Wajahku bukan alasan aku nggak laku, jika itu yang membuatmu penasaran.” Lanjut wanita itu datar.
Jhon tergelak. “Bukan itu maksudku. Aku bukannya bilang kalau kamu nggak laku.”
Wanita di hadapan Jhon memutar mata jengah. “Tapi terdengar seperti itu.” Wanita itu menatap Jhon sekilas, “Aku nggak percaya cinta, jadi nggak usah membicarakan hal konyol itu denganku. Aku hanya mau menikah agar punya anak dan punya keluarga lengkap bagi anak-anakku nanti. Bukankah semua tujuan hidup manusia di dunia ini sama, yaitu menikah dan berkembang biak?” wanita itu berkata datar, seakan deretan alasan yang diberikannya itu tak terlalu membuatnya pusing.
Jhon terkekeh pelan mendengarkan jawaban atas pertanyaannya, Jadi baginya kami itu menikah hanya untuk berkembang biak? Hanya untuk punya anak dan keluarga lengkap? Sungguh aneh wanita ini. Apakah dia nggak punya perkataan yang lebih halus atau yang lebih enak didengar selain berkembang biak?
“Baiklah kalau begitu,” Jhon tersenyum manis, “Maafkan aku, siapa namamu tadi?”
“Namaku Teresa Angelia, kamu bisa memanggilku Angel,” ucap wanita itu datar, “Ternyata, kebiasaanmu melupakan nama wanita itu nggak pernah berubah.” Angel melanjutkan perkataannya sembari mengambil segelas vanilla latte yang sedari tadi terletak di hadapannya, lalu meminumnya dengan anggun. Tak peduli dengan Jhon yang sekilas terlihat heran.
Jhon terdiam sesaat, sedetik kemudian tawanya pecah. “Bagaimana kamu bisa tahu, kalau aku mempunyai kebiasaan seperti itu? Apa kita saling mengenal? Apa kita pernah bertemu?”
Semenjak dulu, Jhon memang sangat sulit mengingat nama beberapa wanita yang pernah dikencaninya. Semua itu bukan salahnya, karna ia kerap memiliki beberapa wanita dan berganti setiap saat. Lagipula ia merasa tak penting untuk mengingat nama orang-orang yang akan segera dicampakkannya. Tidak ada satupun dari wanita itu yang bisa membuatnya jatuh cinta.
“Aku sudah menyebutkan nama lengkapku, tapi kamu nggak mengingatku.” Angel berdecak sebal, lalu melanjutkan perkataannya, “Itu semua nggak penting karena aku juga menganggapmu sebagai masa lalu yang udah usai.”Angel tersenyum sinis.
“Jangan tersinggung seperti itu, maafkan ketidaksopananku. Kamu boleh menceritakan padaku bagaimana kita berkenalan jika sudah siap,” Jhon tersenyum manis, “Jadi, kamu nggak percaya cinta? Lalu apa menurutmu kita nggak perlu perasaan itu dalam membangun keluarga kecil kita ini? Apa have sax untuk punya anak dengan orang asing nggak masalah bagimu?” Jhon melanjutkan perkataannya.
“Tentu saja tidak. Dulu sekali, seorang lelaki sudah berhasil menghancurkan kepercayaanku akan perasaan bernama cinta itu dan sekarang aku nggak membutuhkan perasaan konyol itu lagi. Aku nggak akan melakukan kesalahan yang sama seperti masa mudaku dulu.” Angel berkata dengan wajah datar, tanpa ekpresi.
“Baiklah, kalau begitu. Aku akan menikah denganmu, tapi dengan satu syarat,” Jhon menatap wanita di hadapannya dengan serius, “Kamu bisa mendapatkan tubuhku, tapi nggak dengan hati. Kamu bisa meminta tubuhku untuk memuaskanmu, tapi tidak hatiku untuk mencintaimu karna cinta dan hatiku ini hanya untuk satu orang wanita. Untuk sekarang dan selamanya.” Lanjut Jhon, sementara Angel yang tengah menikmati secangkir vanilla latte di dalam genggamannya terlihat tak acuh dengan persyaratan itu. Toh, dirinya sendiri tak lagi memiliki hati.
“Aku setuju, aku nggak memerlukan cintamu. Sudah kubilang kalau aku nggak percaya dengan perasaan bodoh itu. Kita itu makhluk hidup yang butuh berkembang biak dan aku akan menganggap pernikahan kita ini hanya sebagai cara agar aku bisa berkembang biak.” Angel berkata datar, lalu kembali menegak minumannya.
“Kamu wanita yang menarik dan aku menyukai cara berpikirmu. Dengan begini, pernikahan ini nggak akan menyakitimu maupun aku. Mari kita berjabat tangan!” Jhon mengulurkan tangannya.
“Tapi aku juga ada satu syarat yang harus kamu penuhi,” perkataan wanita itu membuat senyum Jhon memudar.
“Syarat apa?”
“Aku mau kita menikah secara gereja khatolik. Aku nggak mau kamu menceraikanku dengan mudah, jika kita hanya menikah di catatan sipil. Kamu tahu betul bukan di dalam gereja khatolik nggak ada namanya perceraian. Aku nggak mau anak-anakku nanti nggak memiliki keluarga lengkap dan nggak mau anak-anakku disebut sebagai anak broken family.” Angel menatap tajam ke arah Jhon
“Itu nggak masalah bagiku. Bukankah kamu bilang, jika kita menikah hanya untuk berkembang biak? Jadi untuk apa aku menceraikanmu jika aku sudah mempunyai keluarga lengkap? Aku terima syaratmu itu,” Jhon tersenyum manis, “Jadi ... apa kita bisa berjabat tangan sekarang? Ini menandakan kita sudah sepakat dengan perjanjian pernikahan ini.” Jhon kembali mengulurkan tangannya pada wanita itu.
“Baiklah,” ucap Angel seraya menerima tangan Jhon sembari tersenyum tipis.
Ini saatnya aku mencari kebahagianku. Aku sudah menunggu terlalu lama. Melihatmu bahagia bisa membuatku merasakan hal yang sama, tapi aku tetap merasakan hampa. Aku harap, kamu akan selalu hidup bahagia. Aku berjanji bahwa cinta ini hanya untukmu. Mudah untuk jatuh cinta, tapi sangat sulit melupakannya. Rasanya aku nggak mampu membuang cinta ini. Aku mencintaimu, Cora Dianthe. Jhon larut dalam pikirannya sendiri.