“Yakin enggak mau di antar ke ruang kepala sekolah?” tanya Juna untuk ke tiga kalinya.
“Yakin.”
Lagipula kenapa harus diantar segala, Hilara bukan anak kecil.
Masih mendapatkan jawaban yang sama, Juna mencebik kesal. Dia sangat berharap bisa mengenalkan diri sebagai ayahnya Hilara di depan guru-guru Deltaepsilon. Bahar melihat wajah ditekuk Juna itu lewat kaca rearview. Kekanakan, cibirnya dalam hati.
“E-eh tunggu!” Juna hampir saja ke luar mobil jika Hilara tidak buru-buru mendekat. Dia betulan tidak ingin Juna menampakkan diri sebagai ayah kandungnya.
“Apa lagi sih?” kata Hilara was-was, menengok kanan—kiri takut ada yang melihat keberadaan Arjuna Widarsona.
Juna mengerutkan kening sembari mengeluarkan berlembar-lembar uang warna merah dari dompet. Heran sama tingkah segitunya Hilara untuk menyembunyikan fakta siapa Juna. “Buat jajan harian. Kartu yang item udah lo ambil kan di atas meja, 'kan? Itu bisa dipake beli apa aja soalnya unlimited.”
“Om enggak salah?” Hilara memandang lima lembar uangan ratusan ribu di tangannya tanpa berkedip. “Lima ratus ribu, Om? Buat sehari?”
“Oh, kurang ya?” Juna menoleh pada Bahar. “Bah, punya uang cash lagi? Gue enggak bawa banyak.”
“Bukan gitu!” sanggah Hilara frustrasi menghadapi sikap Juna yang sangat menyepelekan uang. “Ini ... kebanyakan buat aku. Biasanya Bunda ngasih aku 15 ribu, itu udah cukup untuk makan sama ongkos pulang pergi.”
“Hah?” Juna berjengit. Sedangkan di kursi depan Bahar menertawakan perkataan gadis itu. Polos sekali. “Jangan ngetawain anak gue!” tunjuk Juna marah.
Lalu wajah Juna berubah menyendu, menghadap putrinya. “Lo lihat gedung sekolah itu, ‘kan?”
Hilara menengok gedung tinggi di belakangnya. Balok-balok besi di atas atap gedung menyusun kata SMA Deltaepsilon. Ini serius, sekolahnya megah sekali. Bisa dibaratkan bagai tempat singgah dewa-dewi Yunani. Beda jauh dengan SMA-nya waktu di Garut sana. Sekolah negeri yang biayanya digratiskan karena dia berasal dari panti asuhan. Mendadak nyali Hilara menciut. Apa SMA Deltaepsilon akan menerima anak berlatarbelakang panti asuhan seperti dirinya? Yang sekolah di bangunan megah pastinya bukan dari kalangan biasa.
“Di sana isinya anak-anak orang kaya, pejabat, bahkan anak artis kayak elu. Gimana lu bisa bertahan hidup dengan 15 ribu ya Tuhan ..., Hilara ingat di sini bukan Garut. Ini Jakarta, La. Jakarta. Enggak pernah dengar kata-kata ‘Di mana tanah dipijak di situ langit dijunjung’ ya? Uang segitu mah paling dapet bala-bala sebiji. Emang kenyang makan bala-bala sebiji? Lo, kan, badan doang kecil, perutnya punya pintu ke mana saja.”
“Enak aja!” dengkus Hilara tak terima sama perkataan Juna barusan. Memangnya salah banyak makan tapi tubuhnya tetap kurus? Hilara memasukan uang itu ke dalam saku biar Juna tak melanjutkan ceramahnya lagi. “Tapi—ah, iya, deh iya. Makasih.”
“Nah, gitu dong.” Juna menepuk pucuk kepala Hilara bangga. “Nanti Ayah enggak bisa jemput, ada kerjaan—“
“Iya iya ....”
“Yang jemput ada supir. Nanti dia bakal hubungin lo. Terus malemnya cerita-cerita ya tentang sekolah baru. Perhatikan semua barang yang mereka pakai. Tas, sepatu, jam tangan, make up—“ Juna menghitung dengan jarinya, “atau apapun deh yang lagi nge-trend di sana lo harus punya juga.”
Kebawelan Juna melebihi ibu-ibu. Bunda aja kalah sama dia.
Hilara menghela napas. “Om Bahar enggak bisa bawa dia buru-buru pergi?”
***
“Lo yang difoto ini, ‘kan?” teriak seorang gadis berbando telinga kelinci. Seketika perhatian semua orang bukan pada siswi baru di depan kelas lagi, melainkan kabar mencengangkan barusan. Foto apa? Mereka bertanya-tanya. Pun Hilara yang semakin ciut nyalinya. “Guys, coba cek deh. Dia mirip banget sama cewek yang ketangkap jalan bareng Arjuna Widarsona!”
Arjuna Widarsona disebut di hari pertamanya bagi Hilara itu musibah. Hilara belum tahu apa yang terjadi, besar kemungkinan kabar buruk. Jangan Arjuna lagi. Jangan sekarang Batin Hilara menjerit. Tetapi semua orang berfokus pada denting pesan terdengar beruntun. Mereka membuka pesan masuk. Saling berguman dan membagi perhatian antara ponsel dan anak baru di depan kelas.
Hilara berdiri canggung mendapat perlakuan itu. Firasatnya bilang sesuatu sedang terjadi. Guru konseling di sampingnya pun mengernyit heran. Ia penasaran, posisinya sebagai guru mengharuskan menahan diri.
“Wah bener ini dia!”
“Mirip banget.”
“Wow!”
Tatapan mereka berubah, sukar diartikan termasuk Bu Fadila. Guru konseling ini hanya sebatas tahu Hilara anak panti asuhan. Identitas Hilara disembunyikan oleh pihak sekolah. Fadila pikir mungkin orang tua angkat Hilara berasal dari orang berjabatan tinggi.
Sementara kasak-kusuk berdengung di telinga. Fadila kembali menggembrak meja agar mereka tenang.
“Anak-anak, cukup, cukup. Semuanya tenang!"
Hilara diminta duduk di sebuah kursi tanpa penghuni paling belakang. "Kamu bisa duduk di sana, ya."
Cewek bermata sipit yang ditunjuk Fadila sebagai teman sebangku kentara menyuruh Hilara jauh-jauh. Bahkan dia membuat garis pemisah menggunakan tip-ex di atas meja ketika Hilara menaruh tas di sana.
“Awas aja kalo sampe lo dan barang-barang dari Om-Om itu melewati batas ini. Lo bakal tau akibatnya!”
Senyuman Hilara luntur seketika. Tangannya ditarik ke bawah meja batal mengajak teman sebangkunya berkenalan. Hilara baru tahu nama teman sebangkunya itu Meya ketika segerombolan cewek melambaikan tangan di ambang pintu pada jam istirahat. Sepertinya mereka satu geng.
“Murid baru itu, Mey?” Sayup-sayup seseorang bertanya pada Meya. Kabar kedatangan murid baru rupanya sudah tersebar ke seluruh penjuru sekolah.
Meya hanya menoleh sekilas memberi delikan tajam, lalu melengos pergi. “Nggak penting.”
Hilara menghela napas. Jam istirahat pertamanya di SMA Deltaepsilon sendirian dalam kelas. Ada tiga cowok yang Hilara duga sedang main gim di pojok kelas. Riuh-rendah suara cengkrama orang-orang di luar memunculkan rasa iri. Harinya buruk sekali.
Jika ada satu saja yang mau menemaninya, akan mengurangi gundah. Mengapa Meya sebegitu tidak suka padanya? Hilara termangu memikirkan alasan Meya. Apa mungkin Meya salah satu fans Juna yang kecewa akibat kabar itu? Selama pelajaran berlangsung, sedikit pun Meya tidak mengajak Hilara bicara. Wajahnya masam tiap Hilara bergerak menimbulkan derit kursi. Hilara harus hati-hati agar tidak menimbulkan suara.
Tak lama ponselnya menampilkan satu pesan dari Juna. Hilara menggeser pop-up pesan itu. Ia lebih penasaran sama pemberitaan mengenai dirinya di dunia maya. Baru sebentar melihat keramaian media sosial, kepala Hilara dilanda pening. Seseorang telah mengambil gambar kebersamaan Hilara dan Juna di sebuah tempat makan kemarin malam. Sekelebat ingatan Hilara terbang sebelum berangkat sekolah ketika Juna dan Bahar bersitegang di balkon apartemen.
“Gue enggak mau tahu, pokoknya cepet cabut beritanya. Ini udah masuk ke pencemaran nama baik, Bah!”
“Gue juga maunya gitu. Tapi beritanya udah nyebar, Jun. Lo pikir berapa banyak mulut yang harus gue bungkam cuma buat satu berita ini? Satu Indonesia! Kebayang enggak lo?”
Pantas saja teman sekelasnya berpikir macam-macam. Di gambar itu terlihat Arjuna merangkul seorang gadis. Parahnya wajah Hilara terlihat jelas. Mereka harusnya tahu ketika Juna merangkul, Hilara langsung melintir tangan Juna. Satu kafe heboh sama jerit kesakitan Juna, untung tempat itu milik Juna pribadi. Jadi pegawainya takut menegur.
Sekali lagi Hilara membaca judul artikel menyebalkan itu “ Arjuna Widarsona Pacari Gadis ABG”, kemudian berdecak. Seperti perkiraannya, ini dia risiko punya orang tua artis. Lambat-laun identitas dia akan terbongkar.
Sekarang bagaimana? Diam saja akan membenarkan kepercayaan orang-orang, bahwa ia menghalalkan segala cara demi mendapat uang. Panjat sosial lah, apalah namanya.
Tetapi kalau mengakui Juna sebagai ayah kandung akan lebih bermasalah. Model semuda Arjuna punya anak gadis kelas 1 SMA, apa kata dunia? Arjuna, kan, belum menikah. Mereka akan semakin mengorek asal mula Hilara. Bohon kalau Hilara saudaranya Juna rasanya percuma. Netizen penyelidikannya sudah setara detektif. Menyeramkan.
“Sendiri aja.” Suara berat dan dalam membuat Hilara merinding.
Tiga orang cowok berdiri di depan mejanya. Debaran jantung Hilara kontan meningkat. Entah sejak kapan ketiganya mendekat dan berseringai menakutkan. Terutama cowok yang duduk di atas meja sambil mengunyah permen karet.
Hilara mencengkeram ponsel erat-erat. Berharap Juna atau siapapun muncul menolongnya.
***
“Oke. Lima panggilan enggak dijawab, sepuluh chat enggak dibaca sama sekali tapi dia centang dua. Ini anak ngeselin lama-lama!”
“Siapa? Anak lo?” Bahar muncul keluar koridor membawa minuman. “Kayak sama pacar aja diteleponin tiap saat. Lagian dia kan mau sekolah bukan pergi perang.”
Juna meraih minuman kaleng bawa Bahar. Bersamaan bunyi soda menyegarkan, Juna berkata, “Yang belum punya anak, diem aja. Enggak akan ngerti!"
Bahar mendengus, "Sok tua."
Mendadak perasaan Juna aneh, memikirkan Hilara terus. Apa ini yang dinamakan ikatan batin anak dan ayah? Berkali-kali fotografer menegur penampilan Juna. Ia tidak fokus di sesi pengambilan gambar hari ini. Berita murahan yang memampangkan wajah anaknya terang-terangan itu membuat Juna takut Hilara marah. Meski setiap hari mereka selalu ribut, tapi Hilara tidak pernah mengabaikan panggilannya seperti ini. Berarti Hilara betulan marah.
Juna menaruh plastik zipper berisi balok-balok es di kepalanya. Pusing. Barusan dia mendengar suara Hilara. Anak itu kan masih di sekolah.