Besok pagi, kamu yang akan menikah dengan Bara.
❤️❤️❤️
Ditulis oleh RATNA
T-A-M-A-T. Riwayatku benar-benar tamat detik ini juga saat melihat seorang cowok tengah tertidur pulas di atas ranjang yang sama denganku. Aku terbangun di ruangan bernuansa hitam-putih, begitu asing di mata. Jelas ini bukan kamar kosku. Penampakan sprai hitam, meja putih, dan sofa abu-abu, membuat kepalaku semakin pening. Aku ada di mana?
Berkali-kali kuyakinkan diri bahwa ini hanya mimpi belaka. Cubitan di lengan terasa sakit. Tamparan di pipi terasa ngilu. Mataku sama sekali tak rabun. Semua begitu jelas dan nyata. What the ... Gila! Gila! Gila!
Kedua tanganku spontan membekap mulut yang hampir teriak begitu ingat potongan kejadian semalam. Keempat teman kos yang sudah tinggal lebih lama di Jakarta mengajak ke club. Katanya, kalau mau jadi anak Jakarta harus clubbing macem mereka, biar enggak cupu. Aku menolak, tetapi mereka maksa. Allhasil mata suciku harus ternoda melihat rok mini lalu lalang bergojet bersama para cowok bermata jereng.
Tunggu! Tunggu! Tunggu! Ini bukan salah satu scene di film romance kan? Seorang cewek main ke club, mabuk, lalu melewatkan malam bersama cowok asing buat menikmati cinta satu malam.
Aku ingat betul semalam hanya memesan segelas orange juice. Sama sekali tidak ada kandungan alkoholnya. Bagaimana aku bisa sampai hilang kesadaran begini? Aku berusaha mengetuk kepala berkali-kali supaya ingatanku kembali. Tapi, nihil.
"Aaarrrggghh! Ibuuu ... " Aku menangis histeris mengingat semua petuah Ibuku sebelum aku berangkat ke Jakarta. Aku gagal menjadi anak Ibu. Mati, aku. Mati!
Aku enggak lagi peduli sekeras apa aku menangis. Aku hanya ingin menangis, berharap dengan menangis, waktu bisa terputar kembali. Aku enggak mau hamil di luar nikah. Aku ke Jakarta buat mencari pengalaman kerja, bukan buat macam-macam begini.
"Apaan sih, pagi-pagi berisik!" Cowok di sampingku terbangun sambil mengomel. Terganggu sama tangisku mungkin. Aku enggak peduli. Pokoknya aku cuma ingin menangis. Titik!
Cowok itu bergerak turun ranjang sambil menatapku kesal, lalu mengacak rambutnya. Tampak frustasi. Dia kembali memicing ke arahku sambil meraih ponsel di nakas. "Siapa lo? Kenapa lo ada di kasur gue?" ucapnya sengak sambil menunjuk dengan ujung ponsel.
"Harusnya aku yang tanya, bukan kamu!" Dasar cowok berengsek! Bisa-bisanya dia pura-pura tak berdosa seperti ini setelah ngapa-ngapain aku. Tanganku bergerak menarik refleks selimut hitam untuk menutupi d**a.
Eh? Kok? Bukankah di film-film gitu kalau abis mabok terus bermalam, harusnya paginya tidak pakai baju, ya? Kulihat kembali seluruh tubuhku, pakaian masih utuh. Bahkan ritsleting jeans pun tidak terbuka. Kancing blus sifon yang aku kenakan juga tidak ada yang terlepas. Aku kembali memicing ke arah pria acak-acakan tadi.
"Hebat, kamu! Setelah berbuat yang enggak-enggak, kamu rapiin lagi ya, baju aku?" Tanganku menyilang di depan d**a.
"Gila ya, nih, cewek! Siapa sih, lo? Gue udah pusing sama urusan gue sendiri, lo enggak usah nambah keributan, deh. Mending buruan pergi dari kamar gue, atau lo minta gue seret?" Cowok aneh itu mulai mendekatiku dengan tampang mengerikan.
"Jangan sentuh!" Aku menepis tangan cowok itu seraya bergerak menjauh.
"Bara! Apa yang sedang kamu lakukan?" Suara nyaring itu begitu menggema, membuat kami berdua terlonjak kaget bersamaan.
Seorang wanita paruh baya tengah berdiri dengan mata menyala di depan pintu kamar yang terbuka. Sumpah! Ini ibu-ibu mempunyai aura pencabut nyawa. Bulu kudukku meremang seketika saat tak sengaja bersitatap. Tubuh ini pun bergerak spontan turun dari ranjang, bersembunyi di balik punggung cowok yang dipanggil Bara tadi.
Aku sedikit melirik ke atas, ternyata sorot mata Bara juga menciut, tidak segahar tadi. Bahkan cowok itu sempat mengingsut lengannya untuk menggeser posisiku supaya aman. Aman? Mungkin, sih.
"Siapa perempuan yang kamu tiduri itu, Bara? Kamu tidak ingat bahwa besok pagi itu hari pernikahanmu? Siapa yang ngajarin kamu hidup bebas begini?" Sebuah tamparan keras mengiringi pertanyaan terakhir. Sementara aku hanya meringis ngilu melihat pipi Bara yang memerah.
"Ma, ini tidak seperti yang Mama pikirkan. Bara bisa jelasin ke Mama." Bara menahan lengan Mamanya yang hendak mengambil ponsel dari dalam tas. "Jangan bilang ke Papa, Bara mohon."
"Tidak perlu Mama kamu bilang, Papa sudah tahu kelakuanmu."
Mampus! Siapa lagi bapak-bapak berambut putih dengan kacamata ini? Papanya Bara? Suami Mamanya Bara? Ah, logika di kepala ini mendadak buntu.
Bara semakin pucat di pijakannya. Apalagi aku? Kaki mendadak kaku, bahkan keringat dingin mulai mengucur. Apa begini rasa diadili di Padang Mahsyar. Ah, berpikirlah waras, Tisha!
"Siapa nama kamu?"
Deg! Jantungku terasa berhenti seketika. Tidak mungkin pertanyaan itu untuk Bara, kan? Artinya, mau tak mau aku harus memastikan dengan mendongakkan kepala untuk mengonfirmasi sesuatu. Mampus! Mata Papa Bara menyorot tajam ke arahku.
"Sa—saya, Om? Eh, Pak."
Pria itu hanya mengangguk pelan, meski kalem tetap aja membuatku meneguk ludah. Situasi ini bahkan lebih menakutkan daripada kena sidang Ibu pas nilai Bahasa Inggrisku merah.
"Tisha, Om. Eh, Pak." Aku menggigit bibir bawahku karena gugup.
Papa Bara mendekat, sementara Bara memasang tatapan was-was ketika pria paruh baya itu melewatinya. Aku? Jangan ditanya, jantungku udah mati rasa. Jangan-jangan aku sedang mati suri.
"Besok pagi, kamu yang akan menikah dengan Bara. Berikan kontak orang tuamu, Om akan bicara dengan mereka," ucap Papa Bara begitu datar dan tenang. Berbanding terbalik dengan kondisi psikologisku saat ini.
Menikah? Besok pagi? Yang benar saja. Apa kata Ibu dan Ayah kalau belum seminggu anaknya ke Jakarta udah bikin ulah, dinikahin sama orang asing pula. Haruskah aku tertawa seperti orang b**o?
"Pa, Bara bisa jelasin. Kami enggak ngapa-ngapain." Bara berusaha mendekati Papanya tapi langkah dia terhenti saat sang Papa mengangkat sebelah tangannya.
"Om, eh, maksud saya Bapak, maaf tapi ini hanya sebuah kesalahpahaman." Aku memberanikan diri turut bersuara meski tenggorokanku tersekat seperti nelan biji kedondong.
Samar tapi aku dapat menangkapnya dengan jelas. Papa Bara tersenyum tipis padaku, namun hanya sepersekian detik. Begitu kembali menatap Bara, aura grim reaper-nya kembali mendominasi. Aku bergidik ngeri.
"Kamu harus mempertanggungjawabkan apa yang telah kamu perbuat. Bersikaplah layaknya pria sejati, bukan pecundang. Ikut Papa!"
Bara sempat melirikku dengan tatapan yang tak kupahami sebelum akhirnya menghilang di balik pintu bersama Papanya, meninggalkan aku berdua dengan Mama Bara yang tak kalah ngerinya dengan Papa Bara.
"Nama kamu Tisha?" Lagi-lagi aku terlonjak kaget. Bisa jadi keluar dari rumah ini aku kena serangan jantung jika begini terus.
Aku hanya sedikit mengangguk sembari menetralkan degup jantungku saat wanita paruh baya itu berjalan semakin mendekat. Mataku terpejam saat tangannya mulai terulur, aku ingat jelas bagaimana Bara kena tampar tadi. Apakah aku bakal kena juga?
"Maafin anak Tante, ya." Sungguh di luar ekspektasi. Mama Bara mengucap kalimat barusan bersamaan dengan elusan di punggungku, begitu lembut, tidak ada aura horor grim reaper seperti tadi. "Tante tahu, kamu anak baik-baik. Oh, iya, Tante minta nomor ponsel orang tua kamu."
"Jangan, Tan. Nanti saya bisa dibunuh. Ini bercanda aja kan, mengenai menikah besok pagi?" Nyaliku kembali menciut begitu ingat Ayah dan Ibu akan bereaksi seperti apa nantinya. Sudah tertebak, nyawaku dalam bahaya.
Mama Bara tertawa kecil. Entah apa yang lucu. Aku cuma berharap, kejadian ini masih dalam rangkaian mimpi panjangku. Ayo, bangun Tisha! Atau benar tamat riwayatmu!
***