Anggasta Chapter 03

967 Kata
Melelahkan rasanya, berdiri di tengah lapangan sendirian sembari hormat kepada sang merah putih. Angga kembali ke kelas setelah melaksanakan hukuman dari Bu Rosi. Kemudian,cowok tampan itu mendaratkan bokongnya di bangku, lalu dia menyerobot buku milik kribo. "Buku gue mau lo apaan?" Kribo membulatkan matanya dengan lebar. "Pinjem bentar, gerah nih gue!" ucap Angga sembari menggoyangkan buku itu. Dua kancing seragam teratas dia buka karena merasa terlalu panas. Di kelas juga tidak ada AC maupun kipas. Ish, dasar menyebalkan! "Cal, abis ini jamnya siapa?" Angga bertanya pada Ical, sahabatnya. Kribo ikut menghadap ke belakang—bangku Ical. "Bu Beti lah," jawab Ical kilas. Angga menepuk jidatnya. Dia akan bertemu dengan macan betina yang lagi PMS untuk kedua kalinya. Pasti Bu Beti akan terus mengomel kepada Angga. Ingin rasanya pergi dari kelas, tetapi Angga masih malas. Lagipula, dia baru saja dihukum dan rasa penat belum kunjung hilang. Alhasil, dia pasrah dan tetap berada di bangkunya, Angga hanya bisa berdoa supaya Bu Beti tidak terus menggerutu. Baru saja diomongin, Bu Beti sudah muncul di ambang pintu kelas. Melihat kedatangan guru berbadan langsing itu, Angga memutar bola matanya malas. Aura keadaan tidak mengenakkan sudah Angga rasakan. Dengan tatapan garang, Bu Beti menyoroti matanya kearah Angga bak seorang musuh bebuyutan. Setelah mengucapkan salam, Bu Beti membuka daftar hadir siswa untuk mengabsen siapa saja yang tidak berangkat pada hari ini. Angga jarang mengikuti pelajaran BK. Bisa dihitung dengan jari berapa kali cowok nakal itu mau mengikutinya. Bagi Angga, mendengar nasihat guru itu membosankan. Toh, dirinya pasti akan melanggar peraturan lagi. "Abimanyu sumandra?" Bu Beti mulai mengabsen. Merasa namanya dipanggil, cowok berbadan gemuk itu mengacungkan jari telunjuk seraya mengucapkan kata 'hadir' "Anggasta!" ucap guru itu lagi. Namun, keadaan hening setelah itu. Tidak ada siswa yang menyahut. "ANGGASTA!" Bu Beti meninggikan suaranya sambil menatap Angga dengan tatapan mematikan. "Kamu budeg, ya? Kalo guru panggil itu jawab!" Beliau sudah emosi. "Kapan ibu manggil saya?" Angga tidak mau kalah. "Itu bukan nama saya. Ibu nih, suka ganti nama orang seenak jidat, kasihan emak saya yang susah-susah nyari nama dong Bu," lanjutnya dalam satu tarikan napas. Kribo menyenggol lengan Angga agar berhenti melaksanakan aksinya itu karena Bu Beti sudah kelihatan marah. Bagaimana tidak marah? Angga selalu membuat darahnya naik. Guru BK itu menggelengkan kepalanya sambil tersenyum kecut. "Nama kamu kepanjangan, lagian siapa yang ganti nama kamu! Ibu cuma nyingkat aja biar ngabsennya cepet." "Ibu ini gimana, sih? Pelupa banget, udah tua, ya?" Angga terkekeh ringan. "Yang laen aja nggak pake singkatan, kenapa cuma saya, nggak adil banget." Angga berucap lagi. "Angga! Udah, nanti Bu Beti tambah marah sama lo," peringat Kribo lagi dengan suara lirih. Namun, Angga masih tidak menghiraukan ucapan Kribo. "Iya, ibu absen ulang biar kamu cepet diem," gumam beliau mengecilkan volume ucapannya. Pasrah begitu saja agar Angga diam. "Nah, gitu dong Bu! Pake nama panggilan aja biar cepet," ujar Angga nyeleneh. Memerintah Bu Beti seenak jidat. Masalah sepele seperti itu bisa saja menjadi masalah besar, buktinya hal itu terjadi. Itulah salah satu sifat Angga, terlalu protektive hanya tentang nama panggilan. Dasar aneh! "Atta!" Bu Beti mengabsen ulang. Angga masih diam bergeming. Guru itu lagi-lagi melotot kepada Angga. "Kenapa kamu nggak jawab lagi!" Emosi beliau sudah menculat, itu karena Angga yang berhasil menarik kemarahannya. "Ibu ini hobinya memang suka gonta-ganti nama orang sembarangan deh. Emangnya nama saya Atta Halilintar, Bu?" Di sini-lah Angga berada. Di lapangan basket lagi. Hari ini memang sungguh sangat s**l! Sudah terhitung dua jam lamanya Angga berdiri bak patung liberty. Bu Beti menghukum Angga karena sudah membuat emosinya naik pitam dan seperti biasa, seragam Angga keluar dari celananya. Itulah mengapa guru BK yang sudah tersohor sebagai guru Killer menghukum Angga tidak segan-segan. Angga berasa kakinya patah. Sungguh nasib yang s**l, Nasib baik tidak berpihak pada hari ini. Para guru sudah menghukum Angga dengan sadisnya. Angga sempat menawar diri kepada Bu Beti untuk membersihkan toilet saja, namun alhasil guru itu malah menolaknya mentah-mentah. Dan puncaknya lagi, hukuman Angga bertambah lima belas menit. Sungguh hari tersadis sepanjang masa yang Angga alami selama menjadi siswa di SMA Merdeka. "Angga! Woy!" teriak seseorang yang membelakangi tubuh Angga. Badan tegap Angga lantas menengok ke arah belakang, melihat siapa yang memanggil namanya itu. Itu Kribo berserta Ical yang menghampirinya. Angga kembali ke posisi hormat kepada sang merah putih yang sedang semangat berkibar mengikuti arah angin. "Apa?" tanyanya jutek. "Udah, kantin aja yuk!" Angga langsung memperhatikan keadaan sekitar. Namun, dia tidak melihat siswa-siswi keluar dari kelasnya masing-masing. Malah terlihat sangat sepi. Bisa dihitung siswa yang sedang berlalu lalang. "Belum istirahat, t*i!" ucap Angga malas. "Sok disiplin nih abang, biasanya juga suka bolos. Gih, laper nih gue!" Ical menimpali. "Ogah! Lo berdua aja sana, kalian nggak lihat gue lagi ngapain. Gue nggak mau tuh guru songong hukum gue lagi." Angga menolak ajakan kedua sahabatnya itu secara mentang-mentang. Percuma jika memaksa kehendak orang lain jika orang itu sendiri menolaknya dengan cepat. Kribo dan Ical lekas pergi meninggalkan Angga yang masih mematung. Sejujurnya, Angga juga merasakan lapar. Bagaimana tidak? Tadi pagi sebelum berangkat sekolah dia tidak sarapan. Entah kenapa sekarang tatapan Angga menjadi berkunang-kunang. Keningnya pusing. Lantas, cowok itu memegangi kepalanya. Semakin lama dia merasakan pusing yang cukup hebat. Siapa juga yang bertahan berdiri berlama-lama ditengah lapangan Sedangkan perutnya sama sekali belum diisi. Angga berusaha tegar. Sedikit lagi hukumannya akan selesai. Bertahan beberapa menit lagi Angga rasa tak apa. Walaupun kepalanya sudah merasa migrain sedari tadi. Cowok bertubuh jangkung itu sesekali memejamkan matanya, berharap agar rasa pusing yang menjalar di kepalanya segera kabur. Inilah kesalah dirinya, dan Angga harus menanggung akibat yang telah diperbuat. Berani berbuat berarti kita berani menanggung masalah yang hadir setelah itu. Pertahan Angga sudah goyah, tubuh tegapnya tiba-tiba ambruk dan membentur lapangan basket. Penglihatan Angga mulai buram dan perlahan memudar menjadi satu warna yang mencengkam—gelap. Angga tidak sadarkan diri, tergeletak di tengah lapangan dan tidak ada yang melihatnya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN