Dia, Anne Fahira Adhiyaksa

2911 Kata
Tokyo meninggalkan kesan mendalam. Pertukaran mahasiswa yang mendulang kenangan berharga. Meski tidak ada perempuan yang tidak menarik namun tujuannya ke sana memang bukan itu. Ia punya misi lebih dari itu. Misi untuk menyelamatkan Indonesia untuk menjadi bangsa yang lebih baik lagi dari segala segi, termasuk segi kesehatan. Omong-omong, perkenalkan, namanya Hamas Muttaqi Zulfiqar. Saat ini terdaftar sebagai salah satu mahasiswa Kedokteran di universitas terkenal di Indonesia. Bukan hanya terkenal tapi juga bereputasi. Tapi bukan ini yang ingin ia bicarakan. Melainkan hari-hari kembalinya ke kampus. Ini sudah memasuki minggu-minggu awal di tahun terakhir ia berkuliah. Targetnya adalah lulus tepat waktu. Namun sebelum itu, ada hal lain yang ingin ia lakukan. Apa? Mengambil alih kepemimpinan. Pada tahun kemarin, ia tak bisa melakukannya karena terikat persyaratan yang mencantumkan minimal semester untuk bisa mencalonkan diri. Ia merapikan kemejanya kemudian mengambil tas dan mengenakannya. Tak lamanya ia segera turun. Mamanya memanggilnya ketika mendengar langkah kakinya yang menuruni tangga dengan terburu-buru. "Makan dulu, Maaas!" Ia tak menyahut karena sudah berada di halaman rumah dalam sekejab. Ia berlari menuju garasi dan terkekeh sendiri. Ia lupa kalau ia meninggalkan mobilnya di apartemen di Jakarta. Kemudian terburu-buru memesan ojek online untuk berangkat ke Stasiun Bogor. Mamanya baru keluar untuk memanggilnya ke sekian kali demi menyuruh anak laki-laki satunya itu untuk sarapan. Namun saat membuka pintu, Hamas sudah menghilang bersama motor yang ia tumpangi. Hamas meraba saku celananya. Terasa kosong. Kemudian mengaduk-aduk isi tasnya demi mencari dompet. Kemudian meneouk helm dan akhirnya meminta si bapak ojek untuk kembali ke rumahnya demi mengambil dompet. Di dalam dompet itu ada banyak hal penting. Ia kembali ke rumah. Begitu motor berhenti, ia dengan cepat berlari. Mamanya menggelengkan kepala. Kadang ia memang seperti ini kalau sedang terburu-buru. Hingga tak berpikir apa-apa dan sering meninggalkan beberapa barang penting. Tak lama, ia sudah pamit sambil mengucap salam. Tiba di stasiun, ia melompat turun dari motor. Ia melewati banyak pengguna komuter yang makah berjalan santai. Ia berlari-lari usai menempelkan kartu kereta. Pagi ini, ia berangkat dari rumah di Bogor menuju kampusnya di Salemba. Perjalanan akan menghabiskan waktu sekitar satu jam. Baru mau masuk ke salah satu minimarket, ia menepuk kening. Tadinya sih mau membeli minuman berhubung haus tapi ia langsung ingat kalau hari ini puasa sunnah. Akhirnya malah keluar lagi lantas berjalan menuju gerbong kereta yang masih kosong. Ia mengambil duduk lantas langsung memejamkan mata. Niatnya sih mau tidur setengah jam saja, sembari mengistirahatkan tubuhnya. Semalaman ia begadang demi mempersiapkan bekal untuk debat calon ketua BEM fakultas sore nanti. Yeah, perjuangan awal untuk menjadi seorang pemimpin. Setahun sebelum berangkat ke Tokyo, ia berhasil menjabat sebagai kepala bidang di BEM fakultas. Tak hanya itu, ia juga sukses menjabat posisi-posisi penting di berbagai organisasi. Maksudnya dari awal memang untuk mengejar kepemimpinan mahasiswa di fakultas. Menjadi ketua BEM adalah hal yang sudah lama ia inginkan. Sejak sekolah menengah pertama, ia memang sudah aktif menjadi bagian dari OSIS dan berhasil menjadi kepemimpinan tertinggi. Lalu ia pertahankan posisi itu hingga SMA. Tak heran kalau jejaringnya saat ini sangat banyak. Kini? Ia akan berkompetisi lagi. Meski absen di kampus selama setahun terakhir, ia percaya diri kalau akan memenangkan kontestasi ini. Kenapa? Ia punya banyak koneksi. Kedua, namanya sangat terkenal di fakultas. Sebut saja namanya, semua orang akan tahu siapa dia. Ketiga? Ia punya skill komunikasi yang kece badai. Tak heran kalau ia memang sangat cocok di posisi ini. Keningnya sukses terantuk ketika kereta berhenti. Pemberitahuan dari Masinis menyebutkan bahwa kereta sudah berhenti di Stasiun Pasar Minggu Baru. Ia menghela nafas lantas menguap. Kemudian melirik jam tangannya. Masih ada waktu satu jam menuju jam perkuliahan dimulai. Setidaknya, ia bisa santai dulu nanti dan tidak perlu terburu-buru masuk ke kelas. Baru ingin melanjutkan tidur lagi, sebelah matanya terbuka demi melihat sosok gadis yang terperangkap di gerbong campuran ini. Ia melirik ke sisi kiri dan kanan yang sudah pasti penuh dengan anak-anak manusia. Kemudian ia berdiri dan menahan bangku kosongnya. Lalu menepuk tas ransel yang dikenakan gadis berjilbab itu. Kalau ada cewek yang membutuhkan kursi, ia biasanya rela bertukar. Tak masalah. Ini bukan untuk membuat perempuan baper alias bawa perasaan tapi sebagai rasa kemanusiaan. Namun sisi gentleman ini lah yang juga membuatnya makin terkenal di kalangan para mahasiswi kampus. Banyak yang salah mengira karena sikapnya yang satu ini. Padahal itu hanya sebatas sikap biasa saja. "Duduk di sini aja, Dek," tuturnya lantas mempersilahkan gadis itu untuk duduk. Perkiraannya sih masih SMA walau yeah, cakep juga. Hihihi. Ia ber-istigfar dalam hati lantas berdeham saat gadis itu lewat di depannya. Wajahnya boleh masih SMA tapi tinggi juga lumayan untuk ukuran cewek, pikirnya. Perkiraannya, tinggi gadis ini hampir 170 cm. Ia saja hanya 175 cm. Berbeda sedikit dengannya. Tapi omong-omong, apa hubungannya dengan tinggi badan? Hahaha. "Makasih, Mas," tuturnya pelan. Ia hanya mengangguk sambil terus melihat wajah itu. Entah kenapa, ia tak kuasa berpaling dari hidung mancung, wajah yang bersih dan.....rada bule tapi rada Arab juga. Jadi bingung karena untuk ukuran blasteran, jarang yang begini. Astagfirullah! Ia menggaruk-garuk tengkuknya sambil menahan senyumnya lantas menoleh ke arah lain. Dosa, Hamas, ingatnya dalam hati. Hihihi. Begini ya dilemanya seorang lelaki. Kalau ada cewek cantik, gak menoleh takut rugi. Kalo menoleh takut dosa. Hahaha. Hamas berdeham sambil menahan senyum. Ia benar-benar tak kuasa mengalihkan tatapannya. Tapi akhirnya memejamkan mata sesaat untuk menenangkan debar jantungnya yang terasa ganjil. Padahal baru bertemu loh. Tapi bukannya duduk dibangku yang ia tawarkan, gadis itu malah memanggil bapak tua yang sedari tadi berdiri di dekat pintu kereta kemudian memintanya duduk. Ia terenyuh. Padahal ia memberikan bangkunya untuk diduduki tapi gadis itu malah memberikannya pada orang lain. Lalu gadis itu pindah dengan susah payah hingga dapat berdiri di dekat pintu kereta. Maklum lah, untuk melangkah di tengah-tengah padatnya kereta memang butuh usaha lebih. Ditambah lagi, harus menjaga keseimbangan tubuh. Tidak gampang memang. Tapi masih ada kemungkinan untuk berpindah. Jadi tak masalah. Tanpa sadar, ia terus memerhatikan gadis itu. Walau tak tahu namanya, tapi wajah itu sangat membekas dihatinya. Hingga sesekali ia tersenyum melihat gadis itu memejamkan mata namun terbangun karena kepalanya terantuk beberapa kali. Ia memalingkan wajah lantas berdeham-deham sendiri. Padahal itu tidak lucu tapi anehnya, ia ingin tertawa. Ingin tertawa dengan sikapnya sendiri. Maklum lah ye, selama ini isi dunianya hanya belajar, berorganisasi dan bermain. Tidak ada istilah berjalan dengan perempuan. Ia bahkan tak merasakan yang namanya cinta di zaman putih abu-abu. Karena apa? Ia sibuk mengejar prestasi. Ia sering berkompetisi. Dikirim hingga ke beberapa negara asing untuk debat politik ala anak SMA. Ia juga sibuk di OSIS. Jadwal sekolahnya sangat padat namun ia bisa membagi semua kesibukan itu dengan baik. Alhasil tidak ada waktu untuk mencari cinta. Tertarik pada perempuan? Ia tampak berpikir lamar. Tapi setelah ia pikir-pikir lagi, sepertinya ini yang pertama. Selama ini, belum ada satu pun perempuan yang mau membuatnya tertarik hingga ingin terus melihatnya seperti gadis ini. Kemudian ia melirik ke arah jendela kereta. Keramaian Jakarta sudah dapat dilihat kembali olehnya. Ia baru kembali ke Indonesia sebulan lalu. Lama menetap di Jepang dan terbiasa dengan suasana keramaian kota di sana yang begitu bersih dan penduduk yang disiplin, rasanya agak menyedihkan bila membandingkannya dengan negeri ini. Mungkin sekarang masih jauh jika dibandingkan dengan negara sekelas Jepang. Tapi suatu saat nanti, siapa yang akan tahu? Ia bisa saja menjadi salah satu orang yang akan berkontribusi untuk Indonesia di masa depan. Untuk urusan mimpi, masing-masing orang bukan kah boleh bermimpi setinggi langit? Asal mencapainya juga dengan usaha yang keras dan doa. Persoalan apakah terkabul atau tidak, itu menjadi urusan Allah. Sebab urusan manusia hanya lah berdoa dan berusaha. Ia menarik nafas dalam. Kembali teringat dengan wacana debat ketua BEM hari ini kemudian mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Mengecek persiapannya. Semalam, ia sudah mengirimkan berkas-berkas persiapannya pada salah satu kakak tingkat yang kini sudah lulus dan dulu pernah mencalonkan diri sebagai ketua BEM walau gagal menang karena kalah suara. Dari awal pencalonan, memang ada tes terlebih dahulu. Namun dalam tahap pertama, lelaki itu bahkan tidak lolos. Tapi tak apa. Bagi Hamas, kontribusinya tetap ada dalam membantunya untuk urusan ini. Ia mengeluarkan ponselnya. Ia mengecek apakah sudah ada balasan atau belum dari sang kakak tingkat. Afwan, Mas. Ana hanya bisa kasih sedikit masukan aja. Ia menghela nafas lega. Meskipun hanya sedikit, ia sudah cukup berterima kasih. Makasih Bang Hasan. Sukses koasnya! @@@ Bisik-bisik dan lirikan mata para perempuan selalu menghiasi langkahnya. Di mana pun ia berada, ia memang selalu menjadi pusat perhatian. Dari penampilannya, sangat kentara kalau ia masih anak bau kencur, maksudnya anak kampus yang hidupnya masih bergantung pada orangtua. Tapi cewek-cewek yang lebih tua pun banyak yang tertarik padanya. Namun ia tak berpikir untuk melirik ke arah mereka. Tiba di kampus, ia mengangkat tangan. Seperti biasa, menyapa beberapa staf kampus yang ia kenal. "Lama gak kelihatan, Hamas!" Ia terkekeh mendengar kata-kata. Bahkan ia sudah absen setahun namun mereka masih mengingatnya dengan baik. "Wes-sewees-bablas angine!" seru Evan pada Hamas yang akan melintas. Ia terbahak. Guyonan Evan yang jadul parah itu menunjukan tanda bahwa Hamas tak salah menilai kalau cowok yang satu ini memang jadul. Ah ya, Evan ini adik kelasnya saat SMA. Sangat akrab dengannya sejak dulu. Bahkan mereka sering bermain bersama. Evan kan asyik dan juga ramah. Ia memang banyak mengenal anak-anak lelaki yang lebih tua dibandingkan dengannya. "Nyalon, ya, Kak? Gue kira tadi ustad dari mana itu difotonya!" ledeknya. Hamas terkekeh mendengarnya. Ia memang terlihat seperti pemuka agama dj foto pencalonan itu. Ia baru menyadari hal itu. Benar juga kata Evan. Hahaha! "Bukan ustad itu tapi calon pengurus KUA." Evan terbahak kemudian bertoss ria dengan Hamas. Hamas geleng-geleng kepala lantas membiarkan Evan pamit ke kantin. Ia baru saja pulang dari kantin dan hendak ke ruang BEM. Rencananya ada rapat sebentar sebelum debat nanti sore. Pihak BEM memerlukan kehadirannya. Mumpung ia tak punya jadwal kuliah lagi dari siang ini. "Hamas tuh Hamas!" tutur salah seorang gadis. Ia menyenggol lengan sahabatnya. Sahabatnya itu langsung berteriak memanggil nama Hamas. Hamas menoleh dan mendapati Nisa berjalan mendekat. "Kenapa, Nis?" tanyanya. Nisa menyibak rambutnya lalu tersenyum manis. Senyuman yang hanya akan ia berikan pada lelaki di depannya ini. "Besok malam, Kak Hamas ikut dinner ke rumah Nisa?" tanyanya. "Sorry, ada urusan lain," tuturnya lantas ingin pamit tapi ditahan Nisa. Gadis itu melompat ke depannya demi menghalangi langkahnya. "Yaaah, padahal Papa mau ngobrol sama Kak Hamas," tuturnya manja. Hamas berdeham. "Lain kali aja, Nis," tolaknya sekali lagi. "Beneran ya?" pastinya. Pasalnya, semenjak Hamas kembali ke Indonesia, ia sama sekali belum bertemu secara pribadi dengan lelaki ini. Hamas hanya berdeham, tak menjanjikan. Ia segera pamit karena harus ke ruangan BEM. Namun lagi-lagi langkahnya dihadang ketika akan masuk ke ruangan BEM. Bukan oleh Nisa tentu saja. Tapi oleh.... Keningnya mengerut. Ia mengerjab-erjab sembari melangkah ke kiri lalu ke kanan. Eeh gadis ini juga menghalanginya dengan ritme yang sama. Kejadian itu berulang beberapa kali hingga mengundang riuh mahasiswa di ruang BEM. Hamas berdeham, baru tersadar kalau sedari tadi diperhatikan anak-anak BEM. Lalu ia kecolongan saat gadis itu bergerak ke arah yang berlawanan lalu mengenyampingkan badannya hingga berhasil keluar dari perangkap ini. Ia tak bermaksud mengahdangnya tentu saja. Ia juga bingung kenapa bisa kebetulan begini. Eh tapi, omong-omong sepertinya ia tahu wajah itu. Spontan, ia berbalik ke belakang namun yang terlihat hanya punggungnya. Yah..... sayang sekali, ia baru saja melewatkan kesempatan. "Ceileee, Mas! Mentang-mentang ada cewek cakep, nengok aja lu yak!" ledek salah seorang perempuan di sana, ya salah satu rekan BEM-nya. Ia terkekeh sambil menggaruk tengkuk. Ia kan gak ada maksud untuk menggoda. Itu hanya kejadian yang kebetulan terjadi walau tak ada yang namanya kebetulan. Namun beneran deh, ia tak sengaja karena tadi sempat hanyut dalam pesona gadis cantik yang menundukkan pandangannya saat berhadapan dengan lelaki. Ihiy! "Siapa?" tanyanya pada wakil ketua BEM yang akan segera pensiun. Ia menyenggol lengan Ridwan yang terkekeh. "Apanya yang siapa?" ia bertanya balik, berpura-pura tak mengerti maksud pertanyaannya. "Mentang-mentang cakep langsung nanya-nanya lu!" semprot gadis gendut dipojok ruangan. Ia hanya terkekeh. Tapi beneran deh, memang cantik dan mirip sekali dengan gadis yang ia temui di kereta pagi tadi? Aaah! Ia nyaris menepuk keningnya. Ia sempat melihat ransel gadis itu. Ransel berwarna ungu muda itu tampak sangat jelas diingatannya karena tadi pagi, ia menepuk ransel itu untuk..... Aaah! Kali ini ia benar-benar menepuk keningnya. Apa itu gadis yang sama? Tapi kok di sini? Ia kira masih SMA. Ternyata sudah kuliah? Aaah semester berapa? Apa baru masuk? @@@ Hamas menghentikan langkahnya. Ia baru hendak masuk ke ruangan sekretariat tapi fokusnya langsung berpindah saat melihat gadis berjilbab dengan ransel ungu muda itu. Ia tersenyum kecil lantas masuk ke ruangan sekretariat. Ia berbicara sebentar dengan ketua organisasi Islam fakultasnya itu. Biasa, obrolan ala politisi. Mau mencalonkan diri, ia tentu perlu mendekati banyak ketua organisasi kampus. Bukan semata-mata kebutuhan suara tapi ia paham betul jika perangkat organisasi turut akan membantu menyukseskan programnya nanti jika terpilih menjadi ketua BEM fakultas. Ia juga perlu tahu, pembaharuan organisasi agar lebih paham masalah yang dihadapi dan bisa bertukar informasi untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada di kampus. Niatnya kan bukan hanya untuk pengalaman tapi juga merealisasikan niat baiknya untuk memudahkan urusan mahasiswa. Siapa tahu nanti, ia bisa menjadi menteri bukan? Tidak hanya membantu urusan presiden dalam bernegara tapi juga membantu meringankan beban rakyat. Keren kan? Amal dunia dan akhiratnya dapat. Walau beban akhiratnya juga berat. Tapi hidup memang begitu. Penuh resiko. Kalau tidak mau mengambil resiko ya jangan hidup. Begitu keluar dari ruang sekretariat, ia masih melihat gadis itu di depan mading. Masih menempel-nempel kliping pemberitaan Islam dikancah Internasional. Iseng, ia berjalan mendekat dan berhenti tepat di sebelah gadis yang masih sibuk menempel kliping itu. Ia sih bukannya mau menggoda tapi cuma ingin tahu namanya. Hihihi. Soalnya, dari kemarin ia penasaran abis. Sejak awal masuk kuliah, baru kali ini ada perempuan yang membuatnya tertarik? Ia berdeham, kemudian berkata kalau kebiadaban Israel rasanya tak berbatas. Karena relawan pun ditembak mati. Gadis itu menoleh dan tatapan gadis yang tak sengaja itu juga ternyata, tak sengaja dibalas Hamas. Keduanya saling menatap hingga kemudian gadis itu tersadar dan segera mengalihkan pandangan lebih dulu. Hamas berdeham. Ia agak kaget karena baru saja menatap perempuan itu. Tatapan yang terasa begitu dekat. Hingga batas nafsu itu sungguh tak terlihat. Ah setan memang pandai mengelabui manusia bukan? Ia berdeham-deham. Harus segera menyadarkan diri atau ia akan kehilangan arah. Tak lama terdengar sebuah teriakan. Si Wayan muncul dari belakang sambil merangkulnya. Ia ikut melihat apa yang tertempel pada mading itu. Sementara hamas yang sempat terpaku pada gadis itu, langsung mengalihkan pandangannya lagi pada berita di depannya sambil menahan senyuman kecil. Keisengan ini berbuah dag-dig-dug di dadanya. Ini kenapa dah jantungnya? Gak demo kan? Hamas menggaruk tengkuknya karena ketahuan menatap Anne. Tapi gadis itu langsung mengalihkan tatapan dari wajah ganteng Hamas. Dan Hamas memanfaatkan itu untuk kembali fokus pada Anne. Astaga....kenapa ia sulit sekali berpaling? Gadis ini bagai magnet yang bisa menariknya untuk tak berhenti memuja walau kemudia ia mengucap istigfar dengan lirih. sangat lirih. Kedua gadis di dekatnya ini hendak kembali ke sekretariat organisasi. Kemudia kedua gadis itu membungkuk dan membawa beberapa barang yang tadi ditaruh di lantai. Hamas hanya bisa berdiri. tadi hendak membungkuk untuk membantu membawakan kardus itu tapi sudah lebih dulu diambil oleh gadis itu. Kemudian kedua gadis itu berjalan pergi. Hamas berdeham dan langsung melihat ke belakang, ke arah langkah Anne yang menjauh. Kemudian melepas rangkulan sahabatnya. "Yan, lu kenal cewek yang tadi?" Wayan yang masih fokus dengan berita hanya ha-huh-ha-huh. "Woooi!" Kali ini lelaki itu menjitak kepala sahabatnya. Wayan mengaduh dengan kening mengkerut. Agak-agak sebal juga karena dijitak. "Apaan? Siapa? Tumben lu nanya-nanya cewek?" tuturnya yang setengah berteriak. Kontan saja, banyak mahasiswa-mahasiswi lain langsung menoleh. Akhirnya, ia berakhir dengan jeritan kesakitan akibat jitakan dikepala yang dilakukan sahabatnya untuk ke sekian kalinya. Ia terkekeh. "Canda kali gue," tuturnya sambil merangkul sahabatnya dan keduanya berjalan menuju kantin. "Cewek mana yang lo tanya tadi?" "Yang tadi masang kliping." Wayan malah terkekeh meledeknya. Sahabatnya hendak menjitak lagi tapi ia langsung menghindar. "Dunia kiamat kalo lu nanya-nanya cewek begini," tuturnya yang masih tak percaya akan pertanyaan sahabatnya. Pasalnya, selama ini ia paham diotak sahabatnya ini tak ada istilah perempuan. Tahunya cuma ngampus, belajar, masjid, dan BEM. Cewek? HAHAHA! "Seriusan gua!" keluhnya yang membuat Wayan terpingkal-pingkal sambil geleng-geleng. "Mas... Mas.... gue kenal lu dari jaman merah-putih sampe sekarang baru kali ini gue denger lu nanya cewek." Sahabatnya itu hanya garuk-garuk kepala. Ia juga gak tahu sih. Padahal baru empat kali bertemu dengan perempuan tadi tapi sudah membuat hatinya tak karuan. Apakah ini yang dinamakan cinta? Aseeek! Ia menghitung pertemuannya. Pertama di kereta. Kedua, di mushola? Walau samar-samar tapi ia yakin itu gadis yang sama. Ketiga? Depan ruang BEM. Lalu ini? Yang keempatnya. Kalau benar, maka selama dua puluh tahun hidupnya, ini menjadi kasus cinta pertamanya. Uhuy gak tuh? "Cewek mana tadi yang lu tanyain?" Sahabatnya itu menoyor kepalanya dengan sebal lalu berjalan mendahuluinya. Meninggalkan Wayan yang tertawa terbahak hingga terkapar di tanah. @@@ Saking penasarannya, ia sampai balik lagi ke mading di dekat ruang sekretariat. Pikirannya tak begitu fokus selama debat berlangsung. Walau ia berhasil menyamakan poin dengan rivalnya. Usai debat ditutup dan bersalaman sebentar dengan rekan-rekan mahasiswa, ia langsung pamit sambil menyampirkan tas ranselnya. Kemudian berjalan terburu-buru ke ruang sekretariat. Ia tidak masuk ke sana meski ruangan itu tak dikunci. Niatnya hanya melihat mading itu. Matanya menyusuri artikel yang ditempeli gadis tadi. Kemudian menemukan tiga kata yang tertulis rapi di bagian bawah artikel. "Anne Fahira Adhiyaksa?" tuturnya. Lantas teringat saat gadis lain yang menyebutkan nama.... "Ann, yang ini mau dipasang di mana lagi? Keknya gak muat kalo di sini semua....." Aaaaah. Ia mengangguk-anggukan kepala sambil menjentikkan jari. Sepertinya memang benar itu namanya. "Ann," gumamnya sekali lagi. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN