1. Ketemu Mantan

1697 Kata
                Banyak orang bilang, ketemu mantan sama dengan ketemu setan*. Setuju nggak?                 Kalau itu aku, antara setuju dan tidak setuju. Setujunya, untuk kasusku sendiri, ketemu mantan hawanya jadi ingin lari jauh, persis seperti ketemu setan*. Tapi tidak setujunya, mana ada setan* seganteng Mas Arfa? “Arghhh!”                 Aku meremas rambutku yang sudah berantakan, jadi semakin terlihat berantakan. Aku menatap bayanganku di pantulan cermin dan itu sukses membuatku bergidik sendiri. Modelan begini kok pernah jadi pacar seorang Arfa Saka Adyatama, sih? Mas Arfa dulu rabun apa, ya? Malu-maluin banget! Sejujurnya, aku sama sekali tak ada niatan apapun ke Jakarta kecuali cari kerja di perusahaan yang menjanjikan gaji lebih tinggi dari gajiku sebelumnya, sekaligus cari pengalaman dan relasi sebanyak-banyaknya agar aku terus berkembang. Sama sekali tidak terpikir olehku kalau aku akan bertemu Mas Arfa, satu-satunya mantan yang aku punya. Ngomong-ngomong, apa ada yang belum kenal dengan Mas Arfa? Apa aku perlu menjelaskan siapa dia? Apa kalian yang belum tahu, ingin tahu? Kalau iya, pokoknya harus iya, aku akan jelaskan sedikit tentang siapa Mas Arfa. Jadi, nama lengkapnya adalah Arfa Saka Adyatama. Aku memanggilnya dengan sebutan ‘mas’ karena sejak aku kenal dia, aku tahu kalau dia lebih tua dariku kisaran tiga sampai empat tahunan. Waktu itu dia sudah mahasiswa tingkat akhir, sedangkan aku sendiri masih mahasiswa baru. Awal kami bertemu, itu di Jogja. Waktu itu, Mas Arfa kehilangan dompet di bandara, kakak iparku yang menemukan, tapi aku yang mengembalikan. Dari situ kami bertemu untuk pertama kali. Kami bertemu di rumah kakak sepupu Mas Arfa yang tinggal di Jogja, yang mana kakak sepupunya itu adalah dosenku sendiri. Namanya Pak Danish, dosen terganteng yang pernah aku temui selama aku kuliah tiga tahun tujuh bulan dua puluh satu hari. Dunia sempit sekali, kan? Sesempit kamar kos yang saat ini aku tempati! Ckck! Nah, singkatnya saja, setelah aku pulang dari mengembalikan dompet, Mas Arfa kembali menghubungiku. Berawal dari dia bertanya tentang perustakaan fakultasku, juga pada akhirnya dia minta tolong padaku untuk menemaninya cari buku, dari situ lah kami mulai dekat. Obrolan awal kami yang nyambung membuat komunikasi lebih intens, semakin intens, dan akhirnya memutuskan untuk pacaran.  Kalau dipikir lagi, kenapa dulu kami sama-sama mau, ya? Padahal hobi kami agak sedikit berbeda. Salah satu contohnya, Mas Arfa lebih suka menghitung kecepatan gravitasi jambu jatuh dari pohon, sementara aku lebih suka menghitung volume dan luas permukaan bangun kerucut. Paham nggak? Pokoknya itu. Bayangkan saja sendiri. Pada intinya kami pacaran, dan.... kami PUTUS setelah berjalan dua tahun. Aku tidak harus menceritakan alasan kenapa kami putus, kan? Kurasa untuk saat ini biarkan hanya aku dan Tuhan yang tahu. Sejujurnya, waktu itu hanya aku yang ingin putus, sementara Mas Arfa tidak. Dia menentang keras karena sebelumnya kami tidak ada masalah apapun. Kami yang menjalani hubungan LDR, membuat Mas Arfa rela jauh-jauh terbang dari Jakarta ke Jogja hanya untuk menemuiku, namun aku justru tidak menampakkan diri sedikit pun. Ya, aku memang jahat karena sudah mencampakkannya, dan sejujurnya aku menyesal. Tapi ya sudah, semuanya sudah terjadi. Tok-tok-tok! “Nana! Jadi ke supermarket nggak?” suara teriakan Tika tiba-tiba terdengar dari luar.   “Nggak jadi, males!” balasku juga sambil teriak. “Na? Please dong, jadi. Aku nitip pembalut. Perutku sakit banget, sedangkan stok punyaku habis. Nggak kuat kalau keluar sendiri.” “Aku ada—“ “Nggak cocok. Merek yang kita pake beda.”                 Mendengar itu, aku menghela napas. Akhirnya, aku membuka pintu dan membiarkan Tika masuk. “Ya, Na? Jadi, ya?” Tika menatapku dengan tatapan memohon. “Pake merek lain dulu napa, sih? Kan besok bisa beli. Malam ini aja.” “Nggak bisa, Na. Seriusan. Kan kamu tahu kulitku tuh sensitif banget. Lagian, tadi bukannya kamu juga bilang sekalian mau beli shampoo? Berapa hari tuh rambut nggak dikeramasin?” “Sembarangan kalau ngomong! Pagi tadi aku keramas,” balasku sembari mengibaskan rambut. “Eh, ngapain pagi-pagi keramas?” “Dih! Dah lah, males aku berdebat. Sini uangnya, aku ke supermarket sekarang.”                 Tika langsung tersenyum lebar begitu melihatku merapikan rambut dan mengambil jaket. Tika memberiku satu lembar uang biru, lalu balik ke kamarnya yang berjarak dua kamar dari kamarku.                 Memang, setelah aku dan Tika kenal dekat, kami memutuskan untuk cari kosan yang sama agar lebih mudah ketika berangkat kerja. Bisa dibilang mengirit pengeluaran juga karena kami berangkat pakai satu motor. Kami pakai motor sendiri-sendiri kalau memang salah satu ada rencana keluar setelah kerja, sementara satunya lagi tidak. “Na, sama s**u beruang dua, ya?” teriak Tika ketika aku hendak memakai helm. “Ya!” ***                 “Mbak, ini s**u beruangnya habis, ya?” tanyaku malam itu, pada petugas supermarket yang sedang menata barang di rak. “Eh iya, kak. Habis diborong,” jawab petugas itu sambil tersenyum ramah. “Yaaah! Nggak ada stok lagi, kah?” “Habis, kak. Besok baru ada lagi. Sejak pagi memang sudah banyak sekali yang nyari.” “Ooh, oke deh. Makasih mbak.”                 Akhirnya, setelah membeli seluruh kebutuhanku dan pesanan Tika kecuali s**u beruang, aku segera bergegas menuju kasir.                 Begitu tiba di kasir, aku melongo ketika melihat ada laki-laki berjaket hitam dan bertopi hitam adalah oknum si pemborong s**u beruang. Aku melihat di depannya ada dua dus s**u beruang, juga beberapa biji di troli belanjaan yang ada di sebelahnya. “Eh sebentar mbak, saya lupa mau ambil roti tawar. Antrian saya pending dulu,” ucap laki-laki itu begitu antriannya tiba. Dia pergi menuju rak roti, dan itu artinya, antrian sekarang jadi giliranku. “Ini mbak, semuanya jadi berapa, ya?” tanyaku setelah menyerahkan keranjang belanjaan. “Saya hitung dulu ya, mbak?” Aku mengangguk sambil tersenyum. Sementara petugas kasir masih memeriksa belanjaanku, aku mengambil dompet kecil yang aku bawa di saku jaket. Baru juga aku menarik resleting dompet, laki-laki itu kembali datang dan tak sengaja menyenggol lengan kananku.                 Krincing!                 Aku mendelik ketika dompetku jatuh, disertai bunyi uang logam yang berjatuhan ke lantai. “Ya ampun, masnya! Hati-hati, dong!” seruku kesal sambil jongkok, lalu memunguti uangku yang berserakan. Sayang tahu, uang logamnya uang seribuan semua! “Eh maaf-maaf. Saya nggak sengaja— Nana?“ “Apa?! Eh—“ jantungku seperti mau melompat keluar ketika melihat wajah dari laki-laki yang saat ini juga jongkok, ikut memunguti uangku. “Aku bukan Nana!” aku langsung berdiri, lalu menaikkan kembali masker di wajahku yang sempat kulepas, kemudian segera menyerahkan dua lembar uang seratus ribuan. “Udah kan, mbak? Ini kembaliannya ambil aja—“ “Saya yang bayar, mbak.” Laki-laki itu, maksduku Mas Arfa,  IYA, MAS ARFA, menahan tanganku ketika aku hendak lari. “Lepasin...” cicitku pelan, karena aku tak mau membuat kegaduhan di sini. “Na, bentar!”                    Aku seperti mau menangis ketika Mas Arfa menggenggam tanganku semakin erat. “Terimakasih, mbak. Oh iya, kalau saya minta tolong belanjaan saya dibantu taruh dekat mobil hitam yang paling ujung dekat jalan raya, bisa?” “Bisa, Mas. Nanti biar diangkat teman saya ke sana.” “Terimakasih.”                 Aku hanya bisa pasrah ketika Mas Arfa merebut kresek belanjaanku dan menarikku keluar. Mas Arfa membawaku ke sudut halaman supermarket, tepatnya di samping mobil hitam yang aku rasa ini adalah mobil yang tadi dia maksud. “Na, aku rasa banyak sekali pembicaraan di antara kita yang belum selesai,” ucap Mas Arfa begitu dia melepaskan tanganku, tapi tidak dengan belajaanku. Ngomong-ngomong, siang itu, ketika kami akhirnya bertemu lagi setelah beberapa tahun lamanya, kami belum membicarakan apapun karena Mas Arfa tiba-tiba mendapat telfon untuk segera pergi. Lebih dari itu, aku juga bersyukur Mas Arfa tidak mencariku lagi setelah acara seminar selesai, meski sebenarnya dia mudah menemukanku jika dia mau. Dan sekarang, aku sama sekali tidak menyangka kalau kami akan bertemu kembali di sini. “Udah selesai. Semuanya udah selesai. Waktu itu jelas, kok,” balasku dengan kepala terus menunduk, sama sekali tak berani menatap balik mata Mas Arfa.                 Please, meski waktu itu aku sangat menyesal, tapi aku sudah berusaha sangat keras untuk bisa move on. Aku dan Mas Arfa susah bersatu. Banyak alasan kenapa aku bilang begitu, salah satunya hanya dengan melihat ketimpangan ekonomi keluarga kami. Aku tidak bilang keluargaku miskin, sama sekali tidak. Keluargaku berkecukupan, hanya saja jika dibandingkan dengan keluarga besar Mas Arfa, keluargaku bukan apa-apa. Apalagi setelah tahu fakta baru kalau Mas Arfa adalah ponakan Pak Rivan, juga cucu pertama dari pemilik perusahan tempatku bekerja sekarang, aku semakin tidak ada alasan untuk kembali. Dulu aku hanya tahu tentang keluarganya yang kaya raya, tapi aku tidak pernah tahu kalau ternyata sekaya-raya ini. Lihat saja mobil yang saat ini Mas Arfa pakai. Aku tahu, itu mobil Bentley yang harganya bisa mencukupi biaya hidupku dari lahir sampai sekarang. Oh ya ampun! “Oke, kalau kamu maunya gitu.”                 Aku terkesiap ketika tiba-tiba Mas Arfa meletakkan belanjaanku di belakang kakinya, lalu memegang kedua sisi pundakku dan menarikku mendekat. Dia juga menarik maskerku turun sampai dagu, lalu aku merasakan kedua tangannya yang ada di kedua pundakku mengerat. “M-mau apa?!” “Nggak mau apa-apa. Aku hanya senang dan sangat lega lihat kamu baik-baik saja, Na.” Mas Arfa tersenyum, lalu menepuk pelan pucuk kepalaku dua kali.                 Aku langsung membeku untuk beberapa detik, namun begitu sadar, seketika aku menepis tangannya dan mundur dua langkah. “Jangan pegang-pegang, nanti ada yang marah!”                 Sumpah demi apapun, saat ini jantungku sudah maraton tidak karuan. “Marah? Siapa?” tanyanya dengan senyum khas yang sama sekali tak berubah. “Ya ada, lah!”   “Oh ya? Pacar baru, atau pacar halu?” Aku mendelik mendapat pertanyaan seperti itu. Penghinaan! Ya, meskipun aku tidak ada pacar, tapi akan aku bilang ‘ada yang marah’. Kata ‘ada’ bisa merujuk ke siapa saja. Iya, kan? “Aku lega, karena ekpresimu mengatakan semuanya.” “Sok tahu! Sini belanjaannya!”                  Kali ini Mas Arfa langsung mengambil kresek belanjaanku yang ada di belakang kakinya. Namun, belum sempat kresek itu sampai di tanganku, tiba-tiba matanya memicing ketika melihat isinya. “Kamu ganti merek ‘itu’, Na?” “Merek apa— oh ya ampun! Ini titipan temen!“ kali ini tanpa basa-basi, aku merebut kresek belanjaanku dan ngacir menuju motorku yang terparkir cukup jauh dari mobilnya. Aku sempat menoleh sebentar, dan di sana Mas Arfa tampak sedang tertawa geli.                 Mau bunuh diri saja rasanya, bisa-bisanya Mas Arfa masih ingat! *** 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN