02 | Kehidupan Kedua

1016 Kata
Anisya asyik mengunyah buah pisang di kedua tangannya, ia duduk di atas batu karang besar dan hanya menjadi penonton Papa serta kakak pertamanya, Alia, bekerja di kebun kentang belakang rumah mereka. "Ck, si gendut pasti lagi tidur bawah pohon kelapa." "Alia," tegur Damar. "Jangan biasakan memanggil Adrian seperti itu. Kalau mamamu tahu, dia pasti akan memarahi kamu lagi." Alia hanya memutar bola mata malas, dan lanjut mencangkul tanah dengan kedua lengan kurusnya. Biar masih remaja dan tubuhnya kurus begitu, Alia sangat kuat. Itu karena dia sadar, dia lah satu-satunya yang bisa meringankan beban papanya. Tidak seperti Adrian, laki-laki tapi kerjaannya hanya malas-malasan. "Makan siang sudah siap," dari arah rumah, Eliza serseru ceria sambil membawa nampan lebar berisi wadah-wadah makanan. Dia membawa nampan itu ke gazebo beratap daun kelapa yang dibangun oleh Damar dan Alia. Serta merta Damar dan Alia meletakkan alat berkebun mereka. Sambil berjalan menuju gazebo, Damar memijat-mijat lembut pundak sang putri sulung. "Kamu kalau capek, istirahat aja kayak Adrian. Nggak usah cemberut begitu." "Siapa yang cemberut?" "Itu, bibirnya udah maju tiga senti begitu. Maju lagi dua senti, pasti udah mirip sama bibir bebek." "Dih, nggak lucu, Pa." Damar terkekeh menertawai leluconnya sendiri dan Alia yang susah sekali diajak bercanda. Kalau kata Adrian, Alia ini tidak punya kantong tawa. Di gazebo, Eliza menggelar semua makanan yang dimasaknya. Ada nasi panas yang dimasak dengan rempah dalam kuali, daging iga yang merekah dari tulangnya, telur puyuh yang dibumbu rica-rica, serta sayur tumis tiga warna. "Hmm... Tumben masak besar." "Kenapa semua makanan kesukaan si gen-- " Mendapati pelototan Eliza, Alia buru-buru meralat, "... si Adrian?" "Enggak lah, ini semua makanan kesukaan Papa," tampik Damar. "Udah lah, sudah pada besar masa masih iri-irian." "Nggak iri, Papa ...," elak Alia geregetan, lalu menghentak-hentakkan kaki ke arah sumur. Damar geleng-geleng kepala. "Anak kamu banget, tuh. Makin tua, makin sensitif." Plak! Eliza memukul pungung tangan Damar yang hendak mencomot satu potong daging iga. "Cuci tangan dulu." "Kalau gitu, satu saja, A ..." Damar membuka mulut lebar, Eliza menyumpalnya dengan sepotong daging iga. Damar tersenyum senang, dan menyusul Alia mencuci tangan. Eliza mengerutkan kening melihat anak ketiganya mendongakkan kepala ke atas langit. "Anisya, Anisya," panggil Eliza dua kali, baru mendapat perhatian Anisya. "Mama, ada bintang jatuh." "Mana mungkin kelihatan bintang jatuh siang-siang? Sini, ayo makan. Mama masak telur puyuh." "Telur puyuh?" tanyanya antusias yang lantas diangguki Eliza. Detik selanjutnya tubuh kecil Anisya melompat dari atas batu dan berlari kecil menghampiri sang Mama. Sekarang, tinggal si tengah yang belum terlihat. Eliza memanjangkan leher, berusaha menjangkau pengelihatan lebih luas. "Adrian di mana?" tanyanya pada Damar dan Alia yang mulai mengambil duduk bersila di atas gazebo. Yang dicari-cari akhirnya menampakkan diri. Adrian berlari kencang, membuat pipi dan perut gemuknya bergetar. "Ada orang! Ada orang!" teriaknya. "Ada orang?" gumam Eliza memastikan pendengaran. "Ada orang pun, mereka nggak akan bisa lihat kita," sahut Alia santai, sembari menyendokkan nasi ke atas piringnya. "Ada orang mati!" teriak Adrian lagi. Napasnya terenggah-tenggah habis berlari dari pantai ke rumah yang jaraknya sekitar 100 meter. "Papa, ada orang mati di sana." "Dari mana kamu tahu kalau dia udah mati?" "Dia bisa lihat aku. Orang hidup, kan, nggak bisa lihat kita." Tanpa dikomando, mereka membubarkan diri. Damar dan Alia menjadi yang paling terdepan lari, Eliza mengikuti sambil menggandeng tangan Anisya, menyesuaikan kecepatan dengan langkah-langkah kaki pendek bocah itu. Sementara Adrian sudah kepayahan jauh di belakang mamanya. *** Nino meraskan tubuhnya masih seperti terombang-ambing di tengah laut, meski dirinya tahu, ia berhasil berenang ke pulau yang ia lihat dari kehuhan. Ia masih memeluk balok gabus yang jadi pelampungnya, takut-takut jika dirinya betulan masih di tengah laut. Nino sudah tidak bisa merasakan tubuhnya lagi. Sebelum melompat keluar melewati pintu darurat, kakinya sempat tertimpa tas yang berjatuhan dari kabin. Setelah itu, yang Nino ingat, dirinya berenang sekuat tenaga melawan pusaran tenggelamnya pesawat. Pesawat yang ditumpanginya gagal melakukan pendaratan darurat di atas air, moncong pesawat terlalu menukik ke bawah ke air Nino serta beberapa penumpang hanya punya beberapa detik untuk menyelamatkan diri, sebelum perlahan seluruh badan pesawat tenggelam. Nino pikir dirinya akan mati. "Gimana, sih, bedain orang mati sama orang hidup?" "Dia masih napas." "Kita juga masih napas." Samar-samar Nino mendengar suara di sekitarnya. Tubuhnya terlalu lemas hanya untuk sekadar membuka mata. "Saya belum mati ...," lirihnya susah payah, berharap orang-orang itu menolongnya. "Wah, dia bisa dengar kita. Berati dia sama kayak kita!" seru suara gadis yang tadi bertanya bodoh bagaimana cara membedakan orang mati dengan orang hidup. "Saya belum mati ...," lirih Nino terakhir lagi, sebelum kesadarannya hilang total. “Wah, lucu. Dia kayak kita dulu, nggak percaya kalau kita sudah mati,” celetuk Alia. “Akhirnya ada penghuni lain di pulau ini, semoga saja dia sedikit lebih berguna daripada di gendut.” “Alia ....” “Sorry, Mam.” Eliza menghela napas lelah, kehabisan akal bagaimana agar Alia berhenti mengejek adiknya sendiri. Sementara Adrian, orang yang diejek sudah terlampau kebal dan menganggap ejekan Alia seperti angin lalu. Eliza memandangi wajah pemuda itu dengan hati mengiris, dia masih tampak sangat muda dan tampan. Di keluarganya, pemuda ini pasti jadi anak kesayangan. Sebagai seorang Ibu, Eliza tahu betul bagaimana rasanya kehilangan anak. Duka Ibu pemuda ini pasti lebih dalam karena sudah merawat anaknya belasan tahun atau mungkin bahkan pulihan tahun, sementara Eliza hanya sempat merawat anaknya beberapa hari saja. Di saat semua orang hanya berdiri mengelilingi Nino yang pingsan, si kecil Anisya melangkah mendekat. Tangannya terulur pelan menyentuh pipi Nino dengan telunjuknya. "Kasihan adik." "Adik?" Damar bertanya memastikan bahwa bukan ia satu-satunya yang mendengar itu. "Mungkin karena kita udah di sini sangat lama, Anisya merasa kalau dia sebenarnya lebih tua dari orang ini," pikir Alin. "Iya juga, ya. Memangnya sekarang tahun berapa? Terakhir kali Papa ngitung siang dan malam, Papa nyerah di hari ke 4056." "Nggak penting banget pertanyaanmu. Buat apa juga kita mikirin tahun, toh umur kita udah berhenti," sewot Alin. Adrian melirik sang Kakak sebal. "Ya nggak usah dijawab kalau nggak penting." "He—" "Sudah-sudah," Eliza melerai, kepalanya sakit tiap kedua anaknya itu mulai berdebat. "Sebaiknya kita bawa pemuda ini ke rumah. Adrian bisa tanya sekarang tahun berapa kalau dia sudah sadar."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN