BAB 3: Sebuah Cerita

2076 Kata
“Mamah akan pulang?” Tanya Rosea yang memperhatikan ibunya kini tengah berkemas. Kartika melihat sekilas puterinya dan mengangguk, “Seminggu sekali mamah akan datang untuk memeriksa keadaan kamu.” “Kenapa seminggu sekali?” “Memangnya mau berapa sekali? Sebulan sekali? Jangan pernah harap Sea.” Rosea mencebikannya kesal. “Mau aku antar?” “Tidak perlu, sudah ada taksi. Mamah sudah membuat kue, ambil di oven dan kamu berikan kuenya ke tetangga sebelah.” Kening Rosea mengerut, di sebelah rumahnya terdapat rumah yang kemungkinan menjadi satu-satunya rumah termewah dan terbesar di kompleks, namun Rosea tidak pernah sekalipun melihat kehadiran pemiliknya sejak dia datang membangun dan mengontrol pembangunan rumahnya selama ini. “Rumah di sebelah kosong,” jawab Rosea. “Tidak, tadi mamah melihat pemiliknya.” “Benarkah?” “Ya, karena itu berikan kuenya. Kamu hidup harus rukun dengan tetangga kamu. Di sini hanya rumah itu yang paling dekat dengan rumah kamu,” Kartika mengingatkan. Kartika segera beranjak dari duduknya dan menjinjing tasnya begitu mendengar suara klaskson mobil berbunyi di depan. “Baiklah. Aku antar sampai depan.” “Tidak perlu” Kartika menggerakan tangannya mengusir Rosea untuk sedikit menjauh. “Pergi mandi dan dandan dengan cantik. Mamah tidak mau dekat-dekat sama kamu kalau kamu dekil.” Rosea melongo kaget. “Apa hubungannya?” “Kamu masih tidak mengerti juga? Kamu perempuan, kamu harus selalu tampil cantik Sea. Berdandan cantiklah saat menemui tetanggamu, siapa tahu dia belum menikah. Mamah pulang.” Kartika tergesa-gesa pergi keluar rumah meninggalkan Rosea seorang diri. *** Prince terbaring meringkuk di atas ranjangnya, anak itu termenung melihat berbagai macam mainan terpajang rapi. Rententan mainan yang memenuhi lemari itu adalah hadiah-hadiah yang sering Leonardo berikan setiap kali dia pulang bertugas dari luar negeri, sayangnya Prince jarang membukanya apalagi memainkannya karena dia tidak tertarik dan tidak mengerti. Leonardo memberikan banyak mainan karena dia berpikir hal itu dapat menebus sedikit rasa bersalahnya karena sudah sering meninggalkan Prince sendiri dan membuat anaknya kesepian. Setiap kali Leonardo pergi dinas jauh, Prince akan pergi ke rumah kakek neneknya untuk menginap, dan jika kakek neneknya berada di luar negeri juga, maka Prince akan tinggal sendirian di rumah di temani Adam, pengawal pribadinya. Sementara ibunya Prince? Prince tidak mengetahui keberadaan ibunya, jarang sekali Prince bertemu dengannya. Ibu Prince hanya datang satu tahun sekali ketika Prince sedang ulang tahun saja. Sekalinya bertemu, mereka jarang berbicara dan bersikap seperti orang asing satu sama lainnya. Prince sudah terbiasa sendiri di antara keluarganya yang sangat sibuk. *** “Apa yang di lakukan Prince hari ini?” tanya Leonardo pada Adam. “Maksud Anda?” Tanya balik Adam yang tidak paham. “Ceritakan, apa saja yang sudah Prince lakukan sepanjang hari ini.” “Pagi ini saya mengantarnya seperti biasa sampai sekolah dan menunggu di depan kelas hingga jam pelajaran kedua. Saya pulang seperti biasa setelah memastikan tidak ada yang mengganggunya. Sopir bus atas nama Jannah membawa Prince pulang, Jannah melaporkan bahwa Prince berhenti di taman tempat biasa, Prince bermain di kawasan toko nyonya Berta, saya menjemputnya di jam satu kurang dan saat itu Prince duduk di bangku sendirian,” jawab Adam dengan detail. Leonardo cukup protektif kepada anaknya semenjak mengetahui bahwa Prince mengidap disleksia yang membuat dirinya sedikit lambat dalam belajar dan kesulitan berkomunikasi. “Apa dia tidak bertemu seseorang?” tanya Leonardo dengan pelan. Adam menggeleng, “Tidak ada. Apa ada kesalahan?.” “Tidak ada,” jawab Leonardo ragu. Leonardo menemukan setitik perubahan pada puteranya, perubahan itu sangat baik dan itu berarti untuk dirinya. Tidak ada yang bisa dengan mudah mengubah pikiran Prince, jika ada seseorang yang bisa mengubah Prince dengan waktu yang cepat, itu artinya orang itu sudah berhasil membuat Prince terkesan. *** Leonardo berdiri di depan pintu kamar Prince dan mengetuknya beberapa kali, “Prince, kamu sudah tidur?” panggil Leonardo dengan canggung. “Tidak,” sahut Prince di dalam kamar. “Apa ayah boleh masuk?” “Masuk saja.” Leonardo segera membuka pintu setelah mendapatkan izin masuk dari puteranya, pria itu sedikit tersenyum melihat Prince yang kini tengah menutup buku bacaannya dan meletakannya lagi di sisi tempat tidur. Leonardo melangkah ragu untuk mendekat dan duduk sisi ranjang, “Kamu belajar membaca lagi?” tanya Leonardo degan lembut. “Iya, nenek akan marah jika aku belum bisa membaca,” jawab Prince menggantung. Leonardo menatap lekat puteranya, sepercik rasa sedih dapat dia rasakan. Suara Prince yang terdengar berat menyiratkan seberapa lelahnya dia belajar selama ini. “Tidak apa-apa Prince, tidak perlu takut, jika belum bisa, kamu masih bisa belajar lagi. Nanti ayah akan berbicara dengan nenek.” Bibir Prince menekan kuat, meski Leonardo menghiburnya untuk tidak takut dan akan berbicara kepada Berta. Nyatanya, Berta akan tetap mengomeli Prince setiap kali apa yang Berta harapkan tidak bisa di lakukan oleh Prince. Melihat keterdiaman Prince, Leonardo segera menjangkau kepala puteranya dan mengusapnya. “Bagaimana dengan sekolah kamu?” Leonardo mengalihkan topic pembicaraannya agar Prince tidak sedih. “Baik, Ayah.” Leonardo kembali tersenyum, “Besok pagi kita memancing ya, kamu mau?” Ekspresi murung di wajah Prince menghilang dengan cepat, Prince mengangguk dengan senang. Memancing adalah salah satu kegiatan yang membuat mereka menjadi menjadi sering berbincang dan mengenal satu sama lainnya. “Kamu sudah sikat gigi?” “Sudah, Ayah.” “Prince, sebelum kamu tidur, apakah kamu mau menceritakan apa saja yang kamu lakukan hari ini?” Sekali lagi Leonardo mengalihkan topic pembicaraan mereka. Prince berbalik memiringkan tubuhnya dan meringkuk memeluk guling kecilnya, pipinya yang mungil dan sedikit kemerahan terlihat tertekan oleh bantal. Pandangan Prince dan Leonardo saling bertemu. Prince terdiam cukup lama, anak itu menatap penuh tanya ayahnya karena tidak seperti biasanya Leonardo ingin mendengarkannya bercerita. “Boleh kan Prince?” tanya Leonardo sekali lagi. “Boleh saja,” jawabnya setengah berpikir, Prince berpikir harus dari mana dia memulai bercerita. “Coba, ayah ingin dengar.” “Tadi pagi aku sarapan pagi bersama kakek dan nenek, Adam mengantarku ke sekolah. Hari ini, di sekolah, aku belajar menanam pohon dan belajar menghitung dengan menempelkan sticker yang berkilauan. Aku pulang naik bus dan berhenti di depan toko nenek.” Prince terdiam dan merenung kembali mengingat-ngingat. “Aku bertemu seseorang dan kami bertukar makanan kami, masakannya sangat enak. Namun dia tidak menghabiskan makananku karena dia suka makanan berwarna merah muda,” cerita Prince dengan pelan dan menguap terlihat mengantuk dengan ceritanya sendiri. “Lalu?” tanya Leonardo. “Besok, aku mau membawa macaron merah muda dan datang lagi ke taman agar kami bisa bertukar makanan lagi dengan Sea,” jawab Prince seraya memejamkan matanya, pertemuannya dengan Rosea cukup berkesan untuknya. Prince tidak sabar ingin bertemu lagi besok. “Sea?” “Ya, Ayah. Namanya Rosea, panggilannya Sea.” “Kamu terlihat suka dia.” Prince mengangguk kecil semakin erat memeluk gulingnya. “Kenapa?” Tanya Leonardo lagi sambil menepuk-nepuk punggung puteranya agar segera terlelap tidur. Prince kembali membuka matanya dan merenung mengingat apa yang telah terjadi. “Kami sama-sama tidak suka saus tomat,” ucapnya menggantung. Leonardo membuang napasnya dengan lega, alih-alih khawatir, justru kini Leonardo senang karena Prince memiliki interaksi yang cukup bagus dengan orang asing. Sulit membuat Prince memiliki ikatan bagus dengan orang asing karena selama ini anak itu suka menyendiri dan gampang tidak nyaman dengan orang yang baru di kenalnya. “Sekarang kamu tidurlah,” bisik Leonardo mengusap bahu Prince. Anak itu menatap Leonardo dengan penuh harap. “Ayah, apakah besok kami bisa bertemu dan bertukar makanan lagi?” “Jika kamu membuat kesan yang baik kepada seseorang, mungkin dia juga ingin bertemu dengamu lagi.” “Benarkah?” Prince kembali memejamkan matanya dan tersenyum lebar. “Aku akan lebih banyak mengucapkan terima kasih kalau begitu.” Tubuh Leonardo menegang kaget mendengarnya. “Kenapa harus mengucapkan terima kasih?” “Sea bilang, kita harus mengucapkan terima kasih kepada siapapun yang sudah berbuat baik kepada kita. Itu adab menghargai kebaikan yang di berikan orang lain kepada kita,” jelas Prince tidak begitu jelas karena terlalu mengantuk. Leonardo tercekat kaget, untuk pertama kalinya puteranya berbicara seperti itu hingga ucapan seseorang bisa berpengaruh pada sikapnya untuk berbudi baik. Bibir Leonardo sedikit terangkat hendak berbicara lagi, namun Prince sudah tertidur. Leonardo menarik lebih tinggi selimut Prince, tubuh Leonardo membungkuk dan segera mengecup kening puteranya. “Selamat malam Prince.” *** Suara keras musik terdengar sejak satu jam yang lalu, samar tawa orang-orang terdengar di luar, satu persatu orang mulai berdatangan ikut memeriahkan pesta yang berlangsung. Jari-jari Rosea bergerak cepat di atas keyboard tengah mengerjakan pekerjaannya, sesekali Rosea mengumpat kesal karena imajinasinya menghilang dan hancur karena keramaian pesta orang-orang di luar sana. Jari Rosea menekan keyboard dengan sedikit keras, kakinya mendorong ke lantai menggerakan kursi yang di dudukinya untuk mendekati jendela. Rosea menyibak gorden dan melihat langsung ke arah rumah di sebelahnya yang kini kian ramai di penuhi oleh banyak orang. Setengah jam yang lalu Rosea masih bisa sabar mendengarkan keramaian pesta, namun sekarang dia benar-benar sangat terganggu karena tidak bisa berkonsentrasi bekerja. Rosea melihat ke arah jarum jam yang kini masih menunjukan pukul sepuluh malam. Ini tidak bisa di biarkan sama sekali, jika pekerjaan Rosea malam ini belum selesai karena gangguan pesta tetangganya, maka besok dia tidak bisa mengirimkan. Rosea langsung beranjak dari duduknya dan pergi mengambil handpone untuk menelpon keamanan atas ke tidak nyamanannya dengan pesta yang di selenggarakan tetangganya. *** Rosea mengerang frustasi, jam di dinding sudah menunjukan pukul sebelas malam, tumpukan pekerjaannya masih belum terselesaikan juga. Satu jam setelah dia menelpon keamanan komplek, nyatanya pesta di rumah tetangganya masih sama berisiknya seperti sebelumnya. Meski sempat ada mobil keamanan yang datang ke rumah tetangga Rosea itu, namun tidak berapa lama mobil itu kembali pergi tanpa melakukan tindakan apapun yang berguna. “Sialan!” Teriak Rosea dengan gebrakan keras di meja kerjanya. Kesabaran Rosea sudah habis, dia tidak bisa diam lagi apalagi menunggu pesta berakhir. Rosea langsung beranjak dari duduknya dan tanpa pikir panjang dia segera pergi keluar dari kamarnya, kaki Rosea bergerak cepat melangkah tanpa mempedulikan penampilannya yang sedikit berantakan. Rosea berlari keluar dari pintu depan rumahnya memakai sandal jepit hitam kesayangnnya dan pakaian tidur tipisnya, bahkan di kepalanya terpasang bando berbulu karakter kelinci. Suara bising musik semakin terdengar keras begitu Rosea di luar rumah. Rosea terbelalak kaget melihat seberapa banyak kendaraan yang terparkir di depan rumah tetangganya hingga sampai membeludak ke luar dan terparkir di tanah kosong, bahkan ada beberapa sopir yang tertidur nyenyak di dalam mobil sambil menunggu majikan mereka selesai berpesta. Dengan cepat Rosea berlari melewati banyak kendaraan dan berdiri di teras rumah tetangganya itu. Kaki Rosea berjinjit, lalu menekan bel terus menerus sampai pintu di depannya terbuka. Seorang wanita berpakaian sexy membuka pintu, wanita itu sedikit mengerutkan hidungnya melihat penampilan Rosea yang sama sekali tidak menunjukan akan ikut bergabung dalam pesta. “Mencari siapa?” tanya wanita itu. “Pemilik rumah ini. Saya ingin bicara.” “Oh, tunggu sebentar.” Wanita itu kembali menutup pintu untuk memanggil si pemilik rumah. Tidak berapa lama pintu kembali terbuka. Seorang pria berdiri di ambang pintu mengenakan kaos hitam polos terlihat sangat muda, wajahnya sedikit kemerahan dan tercium kuat bau alcohol yang menyengat di sekitar dirinya. “Anda siapa?” Tanya Atlanta dengan keadaan setengah mabuk. “Tetangga sebelah” Rosea langsung menunjuk ke arah rumahnya, “Aku ingin bertemu pemilik rumah ini.” “Aku pemilik rumah ini. Ada apa? Ingin ikut pesta?” Tanya Atlanta dengan senyuman menawannya menunjukan keramahan. “Ohh.. Anda pemiliknya?” Seringai Rosea dengan tatapan tajamnya menyiratkan sebuah permusuhan. “Ya, aku pemiliknya. Ada yang bisa aku bantu, tetangga?” Tanya Atlanta lagi dengan tangan terulur mengajak bersalaman. Diam-diam Atlanta juga dengan memperhatikan penampilan tetangganya itu yang kini terlihat sederhana dan acak-acakan. Rosea langsung menerima uluran tangan Atlanta dengan kuat dan langsung melepaskannya tidak lebih dari dua detik. Rosea menarik napasnya dalam-dalam, lalu dia menunjuk Atlanta dan berkata, “Tidak perlu basa basi. Aku datang karena mau bilang agar kamu mengecilkan suara musik pesta kamu. Kamu harus ingat! Sekarang kamu punya tetangga. Musik kamu sangat menganggu kenyamanan aku yang sedang bekerja. Jika kamu tidak dengar apa yang aku minta, aku tidak hanya akan menelpon keamanan, namun juga polisi. Kamu paham? Aku tunggu atas kerjasama kamu, aku beri waktu setengah jam. Sampai jumpa.” Rosea langsung berbalik dan pergi meninggalkan Atlanta yang masih terdiam di tempatnya, pria itu hanya tersenyum miring melihat Rosea yang melangkah cepat pergi meninggalkan rumah Atlanta. Dengan tenang Atlanta menutup pintu rumahnya lagi untuk melanjutkan pestanya yang sempat terhenti. Atlanta tidak peduli sama sekali dengan omelan kecil tetangga barunya. Bagi Atlanta, pesta tetap pesta. Dalam keadaan apapun, pesta harus berjalan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN