2. Sekolah Hijau

1017 Kata
Huzam menepikan motor bututnya di salah satu warung tempat tongkrongannya bersama teman-teman. Hari ini ada agenda besar yang mereka susun lewat percakapan pesan w******p semalam. Huzam yang cenderung pendiam, hanya mengikuti aksi teman-temannya itu. "Nih, buat kamu!" seru Roni salah satu teman Huzam. Refleks Huzam menerima gulungan tembakau berukuran kecil itu seraya menyulutnya. "Pesenanku udah ada?" tanya Roni setelah Huzam mengangguk sebagai tanda terima kasih. Temannya itu memang jarang bicara. Huzam pun mengangguk. Ia mengambil tasnya dan mengeluarkan sesuatu dari sana. Rencananya berhasil dengan mudah. Sebauh botol bekas minuman kemasan yang ia temukan berukuran 300 mili ia keluarkan. Huzam mengangkat tinggi botol itu. “Sesuai pesanan bos.” "Asli? Apa air biasa?" tanya Jaka yang duduk tak jauh dari sisi Huzam dan Roni. Mereka adalah tiga serangkai yang kerap ke mana-mana bersama dan membuat keributan. "Dijamin ori," jawab Huzam seraya menyesap gulungan tembakau yang sudah ia bakar dengan korek. Wajahnya datar seperti biasa. "Buat aku dulu. Kalian belakangan!" seru Roni yang memang memesan minuman itu. Ia rela membayar lebih jika pesan pada Huzam. "Uangnya?" Huzam menengadahkan tangan. Ia tak mau rugi karena tak mudah mencuri salah satu barang usaha ayah tirinya. "Dasar pelit. Uang nomor satu buat kamu!" Roni menggeleng. Ia merogoh koceknya. Lalu menyerahkan satu lembar lima puluh ribuan pada Huzam. Huzam menerawang uang itu. Memastikan asli atau palsu lalu menyerahkan minuman pesanan Roni. Minuman hasil fermentasi yang diracik khusus oleh ayah tirinya. Huzam mengendap di pagi hari untuk menuang minuman memabukan itu dari jirigen besar. Ia yang pandai dan tidak mau ketahuan hanya mengambil sedikit demi sedikit dari setiap jirigen agar Suko tidak curiga. Semalam ia menyelinap pulang saat orang rumah sudah terlelap. "Nyicip dikit, Ron. Aku juga mau!" seru Jaka antusias. "Nggak. Ini punyaku. Ada misi khusus hari ini." Roni menyeringai. Ia benar-benar ingin membuat pelajaran pada seseorang. Huzam menatap sinis ke arah temannya itu. Ia sudah menebak apa yang akan dilakukan. Huzam tak peduli. Baginya sudah cukup saat ia sudah mendapatkan uang untuk sekadar membeli bensin motornya sebagai alat transportasi. Tidak peduli lagi dengan tujuan pembeli. "Kalian di sini? Aku cari dari tadi!" Siswi perempuan yang masuk dalam gerombolan itu tiba-tiba datang. Ia mengenakan kerudung segi empat berbahan paris tipis dengan poni tampak keluar. "Kenapa? Mau ikutan bolos juga?!" tanya Jaka heran. Kehadiran Niken membuatnya tidak nyaman. "Tahu nggak kalau Bu Ziya nyariin kalian ke mana-mana. Dia lagi keliling sekarang! Kalau ke sini gimana?" Niken panik. Ada rata takut saat ia membahas guru muda itu. Guru yang akhir-akhir ini mengusik ketentraman mereka. "Halah wali kelas sok baik. Lagian juga baru sebulan kenal kita udah rusuh, aja." Roni berkacak pinggang. Dari semua guru di sekolahnya ia paling tidak suka dengan guru berna,a Ziyadatul Muna. Guru agama baru yang sekarang menjadi wali kelas sementara mereka. "Terserah kalian. Yang penting aku udah ngasih tahu. Hari ini aku nggak jadi bolos praktik. Aku mau langsung berangkat meski udah telat dua jam. Masa bodo. Aku nggak mau berurusan sama Bu Ziya." Niken terus berbicara. Ia sedikit merapikan ujung kerudung dan siap pergi meninggalkan teman-temannya di warung tongkrongan. Ia tidak mau orangtuanya dipanggil ke sekolah lagi. Niken yang merupakan satu-satunya perempuan di kumpulan itu sebenarnya sudah terbiasa mengenal kehidupan liar. Ia nyaman saja saat harus bergabung dengan teman-temannya yang bengal itu. Hanya saja untuk saat ini ada sedikit rasa ingin patuh pada peraturan saat dirinya sedang sadar. Niken bersiap berlalu dari ruangan yang disediakan khusus oleh pemilik warung untuk mereka berkumpul. “Tunggu, Ken!” seru Jaka. Ia menjadi berpikir ulang. "Aku balik juga, ya. Kayaknya kok ngeri kalau ketangkep basah ama Bu Ziya di sini. Baru kemarin aku masuk BK." Jaka mulai memikirkan nasibnya. Ia tak sanggup kalau harus berurusan dengan wali kelasnya itu. "Halah cemen. Baru juga sama Ziya udah kayak gitu. Yang sama pak kepala aja kamu biasanya nggak takut. Payah," ejek Roni sangsi dengan sikap Jaka yang mulai ciut. "Terserah lah. Ibuku aja kemarin belum datang ke sekolah. Masa tambah pelanggaran satu lagi. Aku mau berangkat, aja." Jaka sudah lari. Ia tidak jadi membolos pelajaran praktik hari ini. Dengan cepat Jaka menyalakan mesin motor. Ia harus berangkat ke sekolah hijau tempatnya menimba ilmu. "Kamu gimana? Nggak kabur kaya mereka?" tanya Roni pada Huzam yang masih asik menikmati aroma tembakau itu. Pikirannya berkecamuk sejak semalam. Huzam mendecih. Sejak kapan ia takut dengan guru? Justru sebaliknya. Siapa saja tidak akan berani mengusiknya dan pasti malas berurusan dengannya. "Masih baru. Belum paham bagaimana kita. Kalau sudah tahu pasti mundur perlahan bukan?" tanya Roni seraya menyimpulkan sendiri arti tatapan Huzam. Mereka tak pernah terkalahkan sebelumnya. Hal itu terbukti dengan mereka yang tidak dikeluarkan meski memiliki segudang pelanggaran. Huzam tersenyum tipis. Ia sedikit geli saat wali kelas barunya itu justru menghubungi nomor ayah tirinya. Bukan nomornya maupun ibunya. Pertengkaran kemarin juga menjadi semakin panas saat Suko menyinggung masalah panggilan dari wali kelas barunya itu. “Bodoh,” lirih Huzam. “Sama yaang bodoh?” tanya Roni tersinggung. “Bukan kita,” jawab Huzam santai. “Bu Ziya?” Huzam mengangguk kecil. Ia menjadi kurang senang dengan sikap arogan guru muda itu. Roni ikut mengangguk. Ia sepakat dengan pendapat Huzam. "Ya, kita lihat saja bertahan sampai berapa bulan dia. Masih Single, ‘kan dia?" Huzam mengangkat bahu. Ia tak pernah benar-benar peduli dengan urusan orang-orang. Urusan keluarganya saja ia masa bodoh. Roni terkekeh. Selalu seperti itu respons Huzam saat mendapati masalah baru. Dingin tetapi melakukan aksi nyata untuk menyingkirkan orang-orang yang ikut campur dalam urusannya. Ia percaya Huzam bisa membuat Ziyadatul Mia pergi dari sekolah Hijau. "Emang jagoan gue, Han!" ujar Roni seraya menepuk punggung Huzam. Ia bangga dengan sikap sahabatnya. Refleks Huzam menghindar. Ia tidak suka bagian tubuhnya disentuh siapa saja termasuk temannya. "Minggir!" ujar Huzam sinis. "Upss, Sorry." Roni tersenyum tipis. Ia pun mendudukkan diri sambil membuka ponselnya. Matanya membola. "Wah gila sih, ini wali kelas baru kita, Han. Niat banget tuh, guru!" Roni menunjukkan ponselnya ke arah Huzam. Ia kesal dengan pesan yang baru ia bara. Huzam pun melirik sekilas. Ia sama kagetnya dengan Roni saat melihat foto kiriman Niken. “Dia belum tau siapa kita,” jawab Huzam santai. “Kita buat perhitungan secepatnya,” timpal Roni.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN