Dissapear

1451 Kata
         Rhea masih membisu tenang untuk setiap detik yang berganti. Di sekitarnya suasana semakin ramai, orang-orang  yang ingin menghabiskan malam Minggu dengan sebuah kencan sudah merebak di setiap sudut restoran. Begitu pula dengan keluarga-keluarga yang ingin menikmati Sabtu malam dengan keluar dan makan bersama.         Namun semua hiruk pikuk itu tidak mempengaruhi Rhea, ia dan pikirannya hanya fokus kepada sosok tampan berkaos abu-abu gelap yang saat ini tengah menatap ke arahnya, menunggu jawaban.         “Ditolak juga tidak apa-apa sebenarnya.”         Rhea masih terdiam.         Roman terkekeh pelan, “Hei, aku tidak ingin membuat kerutan itu muncul di dahimu.”         Rhea refleks menyentuh dahinya dan mengernyit, membuat kekehan Roman berubah menjadi tawa renyah dan mampu menyegarkan suasana. Seketika Rhea terpaku, hanya dalam beberapa pertemuan ia bisa menyaksikan berbagai ekspresi yang ditunjukkan Roman. Di mana menurut beberapa artikel yang ia baca, sebenarnya manusia itu hanya memiliki ekspresi.         Pertama, ekspresi formal. Hal ini akan sangat sering ditemukan di mana pun seseorang berada. Apalagi dalam lingkungan pekerjaan. Tidak banyak manusia yang mau menjadi dirinya sendiri di tempat ia mengais pundi-pundi rupiah. Karena salah sikap sedetik saja, bisa-bisa pemasukan melayang.         Kedua, ekspresi semi formal atau semi personal. Entahlah yang mana istilah yang lebih tepat untuk hal ini. Hanya saja yang pasti, untuk ekspresi kedua ini seseorang masih bisa menjadi dirinya sendiri tapi juga tetap menjaga hal terdalam yang ia tutupi. Untuk ekspresi yang satu ini tentu saja digunakan seseorang ketika berada di tengah-tengah keluarga, orang dekat seperti sahabat misalnya.         Dan yang terakhir adalah ekspresi jujur yang tidak tanggung-tanggung. Seseorang bisa menjadi apa saja, bertingkah sesukanya saja, berbuat sebebas yang ia bisa dan mengatakan apa saja dengan merdeka. Orang yang pertama yang berkesempatan untuk melihat ekspresi ini tentu saja diri sendiri, lalu jika beruntung orang lain yang diberi izin untuk melihat keistimewaan ini adalah pasangan hidup.         Sementara Roman?         Rhea tahu kalau Roman menempatkan dirinya dalam kelompok kedua. Pria itu membuka diri dengannya, tapi juga membatasinya. Hanya saja pikiran Rhea sedikit terusik, mengapa ringan sekali bagi pria ini untuk mengatakan pengalaman buruknya? Bukankah seharusnya Rhea belum mendapat keistimewaan untuk mendengar masa lalu Roman? Atau dia saja yang terlalu sulit untuk terbuka kepada dunia?         “Rhea.” Roman memanggilnya, pria itu juga menyentuhkan gelasnya ke gelas Rhea hingga menimbulkan bunyi dentingan. “Serius, aku tidak bermaksud membuatmu berpikir keras di akhir pekan ini.”         Rhea tersenyum malu, ia sangat kikuk ketika menjawab. “Maaf.”         “Maaf?”         Rhea mengangguk. “Maaf karena memikirkannya terlebih dahulu.”         Roman menaikkan alisnya, tertarik. “Minta maaf karena memikirkan sesuatu untuk kebaikanmu sendiri?” tanya pria itu tak percaya. “Kamu benar-benar lucu.”         Rhea menggigit bibir bawahnya.         “Baiklah, jadi apa yang kamu dapatkan dari kepala cantikmu itu?” tanya Roman.         Rhea menatap Roman ragu.         “Aku ….”         Roman kembali membuat kedua bibirnya tersenyum, “Aku ditolak, ya?”         Rhea buru-buru menggeleng.         Senyum kembali tersenyum, kali ini lebih lebar. “Jadi, kamu mau jadi kekasihku?”         Rhea mengernyit, ia bingung bagaimana cara untuk menjelaskannya kepada Roman.         Melihat kebingungan Rhea, Roman menghela napasnya. “Aku tidak ditolak, tapi kamu juga tidak mau menerima perasaanku. Aku digantung, begitu?”         Sekali lagi Rhea menggigit bibirnya. Ia tidak seperti Roman, sangat sulit baginya untuk menjelaskan kepada pria itu kalau ia ingin mencobanya. Demi Tuhan, ia sangat ingin menyembuhkan diri. Namun rasa takutnya terlalu besar, bukan takut Roman akan menyakitinya, tapi takut kalau suatu saat Roman meninggalkannya.         “Jangan berdiri di pintu,” ujar Roman. “Kalau kamu mau masuk ke kehidupanku, pintunya sedang aku buka. Kalau kamu tidak mau, pintu juga sedang terbuka. Tapi jangan berdiri di pintu, karena kamu menghalangi jalan.”         Rhea terdiam.         “Aku ….” Rhea berhenti, “…. takut kalau ditinggalkan,” cicitnya lemah.         Roman menarik menyentuh tangan Rhea, ia meminta Rhea untuk menatapnya, “Aku sudah mengatakan kepadamu, aku tidak hanya mencari kekasih, Rhea. Aku mencari seorang pendamping hidup, jadi aku tidak akan main-main dengan hubungan kita. Aku tidak akan meninggalkan kamu. Aku berjanji.”         *         Omong kosong!         Belum genap tiga bulan hubungan mereka, Roman sudah menghilang tanpa kabar. Rhea tidak tahu di mana letak salahnya, tiba-tiba saja suatu hari kekasihnya tersebut tidak bisa dihubungi. Memang selama hampir tiga bulan menjalani hubungan, mereka tidak terlalu intens dalam komunikasi. Karena memiliki kesibukan masing-masing, mereka hanya sempat beberapa kali bertemu setelah pertemuan sore itu. Selebihnya hanya memberi kabar melalui w******p.         Jadi, Rhea pikir hari itu Roman hanya sibuk seperti biasanya. Namun berhari-hari setelah itu ia tidak bisa dihubungin, tidak juga memberi kabar. Rhea yang awalnya panik, takut kalau terjadi sesuatu kepada Roman, hanya bisa terdiam tanpa bahasa saat melihat poto profil Roman berganti.         Ia menghubungi Roman, bermaksud untuk menanyakan tentang perempuan yang berdiri di samping Roman dalam poto profil tersebut. Namun yang didapatkan Rhea adalah penolakan atas teleponnya dan nomor ponselnya langsung di blok oleh Roman.         Beribu tanya langsung menari-nari di kepala Rhea, ia bingung juga sedih. Ingin marah tapi bimbang. Rhea seperti anak kecil yang hilang di tengah keramaian. Benaknya tidak bisa memikirkan apapun, sampai akhirnya setelah berkali-kali menenangkan diri, kesimpulan itu didapatkannya.         Roman meninggalkannya. Tanpa kata.         *         “Widih, santai banget nih posisinya,” celetuk Salwa membuat Rhea terlonjak kaget.         “Astaga.” Rhea mengusap dadanya pelan, matanya menatap jengkel ke arah Salwa yang berdiri bersandar di pintu kamarnya.         “Wajah lo pucet banget.”         “Sialan banget lo emang,” umpat Rhea kesal.         Salwa masuk ke kamar Rhea tanpa permisi, ia langsung merebahkan diri ke atas kasur. Satu tangannya meraih bantal dan memeluknya di depan d**a.         “Lagi ngapain lo?”         Rhea memutar kursinya, kini ia membuat kedua kakinya bersila di atas kursi.         “Harusnya pertanyaan gue nggak sih itu?” Rhea menatap Salwa bosan, “Ngapain lo ke kamar gue?”         Salwa tersenyum miring, “Ini hari terakhir gue, besok gue udah pulang dan nggak balik-balik lagi. Takutnya lo kangen, jadi lo puas-puasin diri dulu ngeliatin gue.”         Rhea mendengus.         “Boleh sekarang aja nggak, elo pulangnya?”         Salwa tertawa keras. Kemudian ia menghentikan tawanya, mulutnya kembali terbuka, kembali bertanya, “Lagi ngelamunin apaan tadi?” Kerjaan?”         Rhea hanya diam.         “Mantan?” tanya Salwa lagi.         “Dua-duanya.”         Salwa berdecak. “Mantan pertama sih, ya. Jadinya susah dilupain.”         “Perlu banget lo sebutin soal pertamanya?” tanya Rhea keki.         Salwa terkekeh. “Ngomong-ngomong, kenapa sama kerjaan?”         “Gue mau resign.”         “Ha?” Salwa langsung mengubah posisinya menjadi duduk, “Lo mau pulang ke Padang?”         Rhea menggeleng.         “Terus, mau nyari kerjaan baru di sini?”         Rhea mengangguk lagi.         “Jadi?”         “Gue mau nyari kerja lagi di sini, nanti. Cuma sekarang gue mau ngelanjutin kuliah dulu.”         “S-2?”         Lagi-lagi Rhea mengangguk.         “Putus cinta lo positif banget, ya, Rhe,” cibir Salwa. “Engga nangis-nangis di pojokan kamar, galau gundah gegana terus pengen bunuh diri, tapi mau lanjut S-2. Good, gue suka gaya lo.”         “Gue nggak bercanda.”         Salwa membulatkan matanya.         “Gue butuh penghasilan yang lebih banyak dari apa yang gue dapetin sekarang, mumpung adek gue masih sekolah, jadi gue perlu kuliah lagi. Gue mau jadi dosen, dengan posisi yang lebih jelas dan juga penghasilan yang tinggi gue pasti bisa nguliahin adek gue.”         “Emang posisi lo sekarang nggak jelas?”         Rhea menggeleng. “Lo tahu sendiri, gaji gue tergantung jumlah siswa yang gue ajar. Lagi pula, nggak setiap saat orang mood buat les. Bulan ini mereka daftar, bulan depan bisa aja mereka jenuh. Gaji gue nggak menentu setiap bulannya, sementara kehidupan gue tetap berjalan sama, pengeluaran gue semakin besar seiring semakin tingginya sekolah adek-adek gue.”         “Terus lo kuliah emang nggak ngehabisin biaya?”         “Gue daftar beasiswa.”         “Well, good luck. Gue doain lo bisa jadi dosen yang hebat. Kalau bisa lo jadi rektorat ya, biar pas anak gue gede, bisa kuliah gratis di kampus lo.”         “Nggak gitu konsepnya.”         Salwa terkekeh. “Mau kuliah di mana lo?”         “Jerman.”         “Ha?”         Rhea mengangguk.         “Lo nggak bercanda, kan, Re?”         Rhea menggeleng, “Gue udah dapet email, katanya minggu depan gue bisa interview.”         “Wait the minute, lo udah tinggal interview, berarti lo udah daftar jauh-jauh hari dong?”         “Iya.”         “Wah, jahat lo. Enggak bilang-bilang.”         “Maaf.”         “Nggak bisa nih, nggak bisa. Lo harus traktir gue, enak aja lo mau pergi gitu aja ke negeri orang.”         “Yaudah pesen gih, makan siang hari ini. Terserah lo menunya apa, gue yang traktir. Itung-itung ucapan perpisahan, ntar lo jangan kangen gue.”         “Kampret,” umpat Salwa. Namun tak ayal, tangan wanita itu sudah menggulir layar ponsel pintarnya. Mengklik apa saja yang muncul dari menu pencarian makanan di salah stau aplikasi pesan makanan online tersebut.         *  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN