Malam Pertama yang Bikin Kaget

591 Kata
"Besok, kita ke dokter untuk angkat rahim kamu ya, Sayang?" "Buat apa angkat rahim, Om?" Aku memandang lelaki yang baru 'mewisudaku' sebagai istrinya dengan heran. "Agar kamu tidak hamil, Sayang." Diusapnya kepalaku penuh sayang. Ia tersenyum melihat darah di sprei, malam ini adalah malam pertama kami. "Memang kenapa kalau aku hamil, Om? Kan kita udah nikah, jadi gak masalah kalau seandainya aku hamil, kaaan? Aku ingin kita punya anak." Ia menggeleng. "Tentu saja bermasalah. Aku tidak ingin punya anak lagi, dua anak saja cukup. Jadi, besok kita ke rumah sakit untuk angkat rahim. Aku punya teman dokter, dia pasti mau bantu angkat rahimmu." "Kalau rahimku diangkat, aku gak akan bisa punya anak, Om." Mataku tiba-tiba memanas dan aku ingin menangis rasanya, namun kutahan. "Iya, tidak papa tidak punya anak lagi, kan kita sudah punya Ian dan Deri. Anakku, maka menjadi anakmu juga. Kamu fokus saja mengurus Ian dan Deri, tidak usah memikirkan punya anak yang akan membuat kita repot. Memiliki dua anak saja sudah sangat merepotkan. Sekarang tidurlah, sudah malam, besok kita harus ke rumah sakit untuk angkat rahim." Ia mengecup keningku lalu memejamkan mata. Aku menggigit bibir kuat menahan diri agar tak menangis. Rasa bahagia yang tadi memenuhi dadaku setelah mempersembahkan mahkota yang selama ini kujaga dengan baik lenyap tanpa sisa. Aku ingin punya anak yang lahir dari rahimku sendiri, gak masalah jika harus menunggu dua atau tiga tahun lagi. Tapi kalau rahimku diangkat .... Aku terisak-isak tanpa suara saat teringat Mama yang tak henti menangis sepanjang ijab kabulku tadi, membuat sebagian para saksi menatap mama dengan iba. Papa sesekali mengusap punggung mama untuk menenangkan mama karena anak satu-satunya ini terus ngotot menikah dengan duda. Kalau tetep gak diijinin nikah, aku mau kabur, ancamku tempo hari pada mama. Untungnya walau terpaksa dan dengan berat hati, mama dan papa merestui aku nikah dengan Om Angga, lelaki berparas rupawan yang saat ini terlelap pulas di sampingku. Sekilas tentang Om Angga. Ia berumur 36 tahun sementara aku 19 tahun baru lulus SMA. Om Angga memiliki dua anak, kelas empat SD satunya umur 4 tahun. Selain itu, Om Angga duda tiga kali, kawin cerai kalau kata mama, itulah kenapa papa mama menentang hubungan kami. Ia adalah duda 3 kali dengan dua anak. Istri pertama Om Angga meninggal karena kecelakaan meninggalkan dua anak lelaki yaitu Deri dan Ian. Pernikahan kedua Om Angga hanya bertahan 3 bulan, sedang pernikahan ketiga hanya bertahan satu Minggu. "Dan nanti nikah denganmu hanya bertahan satu malam!" Omel mama padaku dua hari lalu. Aku menjawab ucapan mama dengan tegas dan lantang, "Enggak bakalan, Ma! Aku akan jadi istri Om Angga sampai maut memisahkan!" Balasku tak mau kalah. "Preeeeet!" Mama mencibir. Dia begitu keberatan aku menikah dengan Om Angga. Tapi keputusanku sudah bulat, aku ingin jadi istri Om Angga. Sebelum melangsungkan ijab kabul, Om Angga bertanya padaku. "Apa kamu sungguh-sungguh ingin jadi istriku?" tanyanya. "Tentu saja, Om, aku mencintai Om." Dia mengangguk. "Baiklah. Kalau begitu, jadilah istri yang baik juga ibu yang baik untuk Deri dan Ian." "Tentu saja, aku akan jadi istri dan ibu yang baik." Itu yang kukatakan padanya tadi. "Urus dan fokus pada anak-anakku, anggaplah seperti anakmu sendiri." Ia menggenggam tanganku dengan tatapan memohon, aku kembali mengangguk tanpa keraguan. Dan sekarang, kami resmi jadi suami istri. Harusnya aku senang, tapi sebaliknya aku justru sangat sangat sedih. Aku tak ingin angkat rahim tapi suamiku menginginkannya karena ingin aku hanya fokus mengurus kedua anaknya. Ya Allah aku benar-benar bingung. Kalau mengabulkan keinginannya, berarti aku tidak akan punya anak seumur hidup. Apa yang harus kulakukan. Aku terus terisak-isak, sakit sekali rasanya hatiku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN