Hari ini adalah hari yang paling tidak diinginkan Nino, bagaimana tidak? Hari ini ia akan menikah dengan seorang gadis bar-bar dan kasar. Baru menjadi calon saja, tingkah Taya tidak ada manis-manisnya. Apalagi kalau mereka sudah menikah? Nino tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya. Namun, siap tidak siap ia harus siap menikah dengan Taya, walaupun hatinya terasa sangat berat ketika nanti saat ijab kabul ia harus menyebutkan nama gadis yang tidak ia cintai tersebut. Jangankan cinta, menyukai Taya saja tidak sama sekali, Nino sudah terlanjur ilfeel dengan tingkah Taya yang terlalu bar-bar dan absurd itu. Mungkin kalau ia dijodohkan dengan seorang wanita yang setidaknya anggun dan hormat pada suami, Nino akan mensyukuri itu. Nyatanya apa yang sedikit ia harapkan tak menjadi kenyataan.
Di lain sisi, Taya tidak merasakan hal yang sama seperti Nino. Gadis itu malah sama sekali tidak merasa terpaksa menerima pernikahan ini, ia malah merasa sangat beruntung. Alasannya tentu bukan karena ia suka pada Nino, ia sama sekali tidak menyukainya pria lembek seperti Nino. Ia menerima pernikahan ini dengan penuh suka cita karena kalau ia nantinya tinggal bersama Nino, orangtuanya pasti tidak akan bisa lagi mengekangnya ini itu. Termasuk ayahnya yang kadang suka melarangnya melakukan sesuatu yang ia senangi, ya meskipun ia seringkali tak menurut pada kedua orangtuanya sih. Namun, dengan ia yang tinggal bersama Nino tentunya semua urusannya menjadi urusan Nino yang artinya ia bisa bebas melakukan apapun sesuka hatinya.
"Ma, Taya kenapa harus pake beginian sih? Ribet gini," ujar Taya merasa tak nyaman dengan gaun pengantinnya.
Tak hanya gaun pengantin saja yang membuat Taya tidak nyaman, tetapi juga riasan cukup tebal di wajahnya. Ini kerjaan mamanya yang meminta perias pengantin itu merias wajahnya dengan riasan tebal, padahal tadi Taya sudah menolak. Mamanya memang suka sekali memakai make-up, beda sekali dengan Taya yang sangat enggan memakai benda-benda aneh yang kebanyakan perempuan pakai itu. Taya memegangi bulu mata palsu yang cukup tebal dan membuat kelopak matanya tak nyaman itu, ia ingin melepaskan benda aneh ini. Namun, belum sempat itu ia lakukan, mamanya sudah menepis tangannya.
"Hei! Apa yang mau kamu lakuin, Taya? Jangan dilepas," tegur mamanya.
"Buat apa sih fungsinya harus pake beginian, Ma? Taya ngerasa nggak nyaman," keluh Taya.
"Nggak boleh bilang begitu, ini 'kan hari sakral bagi kamu. Masa iya di hari pernikahan kamu, kamu mau pakai baju tidur atau kaus oblong doang? Ya nggak mungkin dong, Taya Sayang. Kamu itu harus tampil beda dengan gaun yang cantik dan dikasih riasan di wajah kamu, Mama yakin pasti Nino terpesona sama penampilan kamu yang begini." Taya hanya memutar kedua bola matanya males mendengar perkataan Mama Rianti, hal itu sama sekali tidak berguna bagi Taya. Bodo amat si Om Lembek itu mau kagum, terpesona atau jungkir balik sekalian, Taya tidak peduli karena itu bukan urusannya.
"Maksud Taya tadi kenapa riasannya enggak yang natural aja, Ma? Ribet gini kok," ralat Taya.
"Nggak apa-apa, cuma sekali doang kok, Taya. Udah ah kamu jangan kebanyakan protes. Awas ya kalau sampai kamu ada niatan nyopot itu bulu mata palsu, Mama hukum kamu," peringat Mama Rianti seakan tahu apa yang akan Taya lakukan jika lepas dari pengawasannya.
"Iya, Ma, iya," jawab Taya.
"Ya udah Mama mau ke depan dulu, mau ngecek apakah calon suami kamu beserta rombongannya udah sampai apa belum." Mama Rianti menepuk bahu Taya sekilas kemudian pergi dari kamar Taya karena ingin melihat apakah calon menantu yang sebentar lagi akan resmi menjadi menantunya sudah datang atau belum.
Selepas kepergian mamanya, Taya melihat pantulan dirinya di cermin. Gadis itu seakan ingin muntah ketika melihat penampilannya yang sama tidak keren ini, ia malah terlihat seperti badut Ancol. Rambut panjangnya disanggul rapi dan diberi tusuk konde, wajah yang di make-up serta gaun pengantin putih gading yang melekat di tubuhnya. Kalau saja rambutnya tergerai, ia pasti sudah mirip Mbak Kunti.
'Tok ... tok ... tok ....'
"Duh siapa sih? Masa iya mama balik lagi? Kalau itu mama enggak mungkin dia ngetuk pintu," gumam Taya ketika mendengar ketukan pintu.
"Masuk aja, enggak dikunci!" teriak Taya.
Hingga akhirnya orang yang mengetuk pintu itu pun memasuki kamar Taya, orang itu tak hanya sendirian melainkan bersama dengan tiga orang lainnya. Keempat pria yang tak lain adalah sahabat Taya itu langsung menghambur menghampiri Taya.
"Hei, Taya! Hei Taya! Dia si gadis kuat! Suka tinju dan karate, Taya selalu hebat! Taya akan menikah, kami ditinggal menjomblo sendirian, sungguh teganya, Taya!" Keempatnya menyanyikan lagu slogan itu yang liriknya ditambahi dengan khidmat dan penuh kesedihan. Taya yang melihat tingkah absurd sahabat-sahabatnya pun hanya berdecak kesal.
"Woy! Berisik elah! Ini nyokap gue kalau denger bisa-bisa kalian diusir dari sini!" teriak Taya galak.
"Ya ampun, udah dandan cantik-cantik gini mirip badut yang biasanya suka keliling di lapangan terus sekarang udah jadi kembarannya Mbak Kunti kok, ya, masih galak dan bar-bar gitu sih, Taya? Nggak baik," ujar Dikta membuat Taya mendelik kesal ke arah laki-laki itu.
"Anjir banget lo! Enak aja gue disamain sama badut Ancol!" teriak Taya murka.
Kalau saja dandannya tidak ribet seperti ini sudah ia hajar Dikta saat ini juga, sayangnya dandanan super duper ribet ini membuat Taya kesusahan untuk melancarkan aksinya karena dengan cepat Dikta menghindari serangan Taya. Laki-laki yang terkenal paling jahil ketika meledek itu memeletkan lidahnya mengejek Taya, Taya semakin geram.
"Udah ... udah ... kalian ini kebiasaan kalau udah ketemu aja kayak Tom dan Jerry." Yang berbicara itu adalah Tio, pria pendiam diantara yang lainnya.
"Taya, lo juga. Udah duduk aja, bentar lagi calon suami lo datang." Tio memaksa agar Taya duduk kembali.
"Dia tuh yang mulai duluan, suka banget ngeledek gue. Aish, siapa juga yang mau didandani kayak gini? Gue juga enggak mau!" sungut Taya kesal.
"Eh kok gitu? Padahal tadi gue cuma bercanda, Taya. Lo hari ini tuh cantik banget, beda dari hari biasanya yang dekil dan kumel," ujar Dikta.
"Gue enggak butuh pujian dari lo!" balas Taya ketus.
"Niat muji ujungnya menghina." Dikta hanya menyengir.
"Aih, calon pengantin baru bawaannya sensian gini. Gue jadi penasaran gimana nanti kalo kalian malam pertama, ya? Apa lo bakal bar-bar juga kayak gini? Eh nanti jangan lupa kirimin video malam pertama sama laki lo, ya, Tay. Di grup kita aja," ujar Leo sambil tersenyum mésum.
BUKKK
Taya menendang kaki Leo cukup kencang hingga membuat laki-laki itu mengaduh kesakitan karena Taya yang sudah memakai sepatu heels dan menendangnya sekuat tenaga.
"Auhss! Sakit, Taya! Anjritt!" pekik Leo sambil memegangi kakinya.
"Hahahaha rasain lo!" Teman-temannya yang lain menertawakan Leo yang kesakitan, memang dasar teman-teman laknat semuanya.
"Otak lo mésum mulu perasaan, kebanyakan nonton bokep lo," ejek Taya yang sama sekali tidak merasa bersalah karena telah menyebabkan kaki temannya cidera sakit berkepanjangan.
"Ini gue yakin memar lutut gue gara-gara kelakuan bar-bar lo, Tay!" Taya membalas dengan memeletkan lidahnya, mengejek Leo.
Mereka semuanya tertawa, terkecuali seorang laki-laki yang tak lain adalah Dika, laki-laki yang biasanya ceria itu tiba-tiba saja menjadi lebih pendiam. Taya yang menyadari itu pun mengernyit sambil menatap Dika yang sama sekali tidak menatapnya.
"Lo lagi ada masalah, ya, Ka?" tanya Taya membuat ketiga temannya yang lain akhirnya menatap ke arah Dika.
"E-eh? Ah, nggak kok," jawab Dika.
"Serius? Kok dari tadi diem mulu lo."
"Dika itu diem mulu karena patah hati tuh ditinggal lo nikah, Taya," ujar Dikta ceplas-ceplos.
"Hah? Lo suka gue, Ka?" tanya Taya blak-blakan.
"Ciee, ada yang lagi patah hati karena ditinggal nikah sang pujaan hati," ledek Leo dan Dikta berbarengan.
Memang duo kampret mereka, teman sedang patah hati bukannya dihibur malah diejek seperti ini. Dika yang melihat kelakuan temannya hanya mendelik kesal, padahal ia sudah menutup rapat rahasia yang selama ini ia simpan yaitu ia menyukai sahabatnya sendiri. Dan entah karena apa teman-temannya itu jadi tahu rahasia besarnya itu.
"Ckckck, kok lo enggak bilang sih, Ka? Kalau lo bilang 'kan gue bisa bilang sama kedua orangtua gue kalau gue itu punya pacar. Siapa tahu aja 'kan gue sama Lo dinikahkan. Jadinya gue enggak akan dijodohkan sama Om Lembek itu," decak Taya menyalahkan Dika.
"Emangnya lo suka sama gue, Tay?" tanya Dika penuh harap.
"Ya enggaklah, ngapain gue suka sama lo? Lo 'kan sahabat gue," jawab Taya membuat Dika kecewa.
"Ya udah deh, biarin aja gue yang suka sama lo," ujar Dika setengah bercanda.
"Ini si patah hati bisa-bisanya, ya, bercanda dikala duka. Patut diapresiasi," sindir Leo pada Dika yang dibalas tatapan jengkel Dika.
"Semoga lo bahagia dengan pernikahan lo, ya, Tay. Lo bilang aja kalau dia nyakitin lo, gue yang akan turun tangan," ujar Dika sok jagoan.
"Pasti gue bahagia lah, akhirnya gue bisa lepas dari aturan nyokap dan bokap gue. Ini adalah sebuah kebahagiaan yang gue idamkan sejak dulu. Dan untuk yang terakhir itu, kayaknya lo harus wanti-wanti ke dia deh bukan ke gue." Taya tertawa.
"Aish bener nih, si Taya 'kan bar-bar dan petakilan. Harusnya si Om Lembek itu yang hati-hati sama Taya," ujar Dikta yang menirukan Taya ketika memanggil Nino dengan sebutan Om Lembek.
"Taya, calon suami kamu sama rombongannya udah datang! Eh kalian ada di sini?" Mama Rianti langsung masuk, agaknya ia sedikit kaget dengan kehadiran keempat laki-laki yang ia ketahui adalah teman Taya
"Iya dong, Tante. Kami pasti datang, Taya 'kan sahabat kami. Mana mungkin di hari bahagianya kami nggak datang," cerocos Leo sambil menyalami tangan Mama Rianti diikuti yang lainnya.
"Ya udah, kalau gitu kami tunggu di luar aja, ya, Tan. Kebetulan 'kan si Om Lembek, eh maksudnya calon suami Taya udah dateng. Yuk guys kita tunggu di luar," ujar Leo layaknya ia adalah kapten mereka.
"Kami keluar dulu, Tan." Mama Rianti mengangguk membiarkan anak-anak muda itu keluar dari kamar putrinya.
"Ayo, Nak. Kamu ikut turun, ijab kabul sebentar lagi dimulai," ajak Mama Rianti.
"Iya, Ma." Dengan malas, Taya berdiri. Mamanya dengan sigap menggandeng lengan putrinya dan mengajaknya keluar, hingga akhirnya mereka sudah tiba juga di sebuah ruangan yang sudah disulap menjadi tempat ijab kabul.
"Taya, sana kamu duduk di samping Nino," ujar Mama Rianti sambil melepaskan rangkulannya.
"Iya, Ma." Dengan langkah agak kesusahan karena ia dipaksa mengenakan high heels, akhirnya Taya bisa juga duduk di samping Nino.
"Ngapain lo ngeliatin gue, Om? Gue cantik, ya? Tahu kok," bisik Taya pede sekali ketika menyadari kalau Nino sedari tadi melihatnya.
"Iya, kayak badut," ujar Nino.
"Sudah gue duga," sinis Taya kesal. Nino hanya bisa menahan tawanya ketika melihat raut wajah Taya.
"Saya terima nikah dan kawinnya, Sistaya Nirina Hutomo binti Hutomo dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!" Lantang, Nino menyebutkan kalimat kabul itu di depan penghulu, ayah Taya, keluarganya dan keluarga Taya serta para undangan yang hadir.
"Bagaimana para saksi? Sah!?"
"Sahhh!"
"Alhamdulillah!"
"Kok kamu kelihatan santai gitu? Enggak gugup?" tanya Nino ketika ia tadi mencium kening Taya.
"Buat apa gerogi? Sama Om Lembek juga, anggap aja kita lagi main nikah-nikahan, Om." Kampret sekali gadis ini memang, pernikahan sakral seperti ini dianggap seperti permainan nikah-nikahan. Dasar bocah ingusan.
***
Mohon maaf, cerita ini belum bisa author lanjut. Author mau menyelesaikan 2 cerita yang sudah rilis duluan, ketika dua cerita itu sudah tamat, baru cerita ini akan dilanjutkan.
Sembari menunggu, kalian bisa baca cerita author yang ini. Masih ongo :
1. Overprotective Director (Insyaallah up tiap hari)
2. Everything Has Changed (Insyaallah up di bulan November mendatang)
Terima kasih, salam hangat,
SJ❤️