8. Istri Bar-bar

1835 Kata
Sistaya merasa sangat kesal sekali karena Nino menyuruhnya beres-beres koper sendiri. Ia sama sekali tidak biasa melakukan pekerjaan rumah, tadi saja yang memasuki pakaiannya ke dalam koper adalah seorang asisten rumah tangga dan bukannya dirinya. Namun, kini ia disuruh memasukkan pakaiannya yang dari koper ke lemari pakaian. Inginnya sih menolak, tetapi jika ia tidak melakukannya, maka siapa lagi? Ditambah Nino sama sekali tidak menyewa jasa seorang asisten rumah tangga. Ini semua karena para orang tua yang memang melarang Nino untuk menyewanya karena mereka ingin agar Nino serta Sistaya bisa dekat dan saling mengenal satu sama lainnya tanpa adanya seorang asisten rumah tangga. Gadis itu menggerutu kesal sejak tadi karena Nino sama sekali tidak mau membantunya menyusun baju ke dalam lemari, mana bajunya sangat banyak sekali. Ketimbang melakukan pekerjaan remeh seperti ini, lebih baik ia ikut kegiatan karate atau taekwondo di kampus yang memang hari ini adalah hari kegiatannya. Sayangnya hari ini ia diharuskan ikut pindah bersama Nino, hingga mau tak mau ia mengambil libur dulu untuk kegiatan hari ini. Perutnya sudah berbunyi lagi, pertanda kalau cacing-cacing di perut sudah meminta jatah makan. Sistaya mengusap perutnya sambil meringis, ia selalu lemah kalau sudah berurusan dengan perut yang kelaparan. Beruntung saja pekerjaannya menyusun baju telah selesai, hingga akhirnya ia bisa keluar kamar menyusul Nino. "Om, gue laper nih. Udah gue beresin juga baju gue sendiri! Ayo, kita cari makan!" teriak Sistaya sambil mencari-cari keberadaan Nino. "Ke mana sih si Om Lembek itu?" tanyanya pada dirinya sendiri saat tak ada tanda-tanda kalau Nino. "Hmm, wangi apa nih Kayaknya enak banget," ujar Sistaya saat ia menghirup aroma enak makanan. "Asalnya dari dapur nih." Mencium aroma makanan yang enak membuat Sistaya melangkahkan kakinya menuju dapur, hingga dapat ia melihat kalau ada Nino yang tengah menaruh sepiring makanan di atas meja makan. "Pantesan gue nyium aroma enak dari tadi, ternyata emang beneran ada makanan enak." Sistaya mengambil duduk di salah satu kursi meja makan. "Ini buat gue, Om? Makasih! Wah pengertian banget lo ya jadi suami, tahu aja kalau gue lagi laper pake banget." Sistaya hendak menarik piring berisi spaghetti itu ke dekatnya, tetapi tangan Nino langsung menepisnya. "Hei, siapa bilang kalau makanan ini buat kamu? Jelas-jelas ini punya saya!" Nino mengangkat tinggi-tinggi makanan yang sudah ia masak itu sambil menatap Sistaya tajam. "Pelit amat sih lo, Om, kasih ke gue aja. Gue yang udah kelaparan, Om, apalagi ini udah jam makan siang. Aduh, kasihan banget perut gue," ujarnya sambil mengusap perutnya yang rata. "Kamu pikir saya enggak lapar? Kalau kamu mau makan, masak atau beli sendiri." Nino menaruh mengambil sendok garpu kemudian duduk di hadapan Sistaya dengan sepiring spaghetti di hadapannya. Pria itu mulai menyiapkan spaghetti itu ke dalam mulutnya, sesekali melihat ekspresi Sistaya yang sangat ingin ikut makan. Dalam hati Nino tertawa, ia memang sengaja melakukan ini pada Sistaya, ia masih kesal gara-gara ulah Sistaya beberapa jam lalu yang sudah menendang aset masa depannya hingga ngilu. Sistaya yang melihat Nino makan dengan lahap pun menelan ludahnya, apa yang dimakan oleh Nino membuat Sistaya merasa ingin juga memakannya. "Tau ah, Om! Gue udah enggak tahan! Siniin! Gantian gue yang makan!" teriak Sistaya kemudian menarik paksa piring di depan Nino yang masih tersisa setengah piring spaghetti kemudian melahapnya dengan sendok garpu yang sama. Nino melongo melihat cara makan Sistaya yang bar-bar dan cenderung tergesa-gesa, bahkan kelihatannya gadis itu seperti makan langsung telan tanpa dikunyah terlebih dulu. Hingga akhirnya, Sistaya sudah selesai makan dan minum di gelas yang sama dengannya. Hal itu jelas membuat mata Nino melotot karena secara tidak langsung bukannya bibir mereka menempel di sendok garpu dan gelas yang sama? "Kamu minum di gelas yang itu?" tanya Nino saat Sistaya telah selesai menghabiskan segelas air putih. "Iya, emangnya kenapa? Enggak masalah gue mah mau minum bekas dari siapa aja. Gue sama teman-teman gue juga sering gitu kok," jawab Sistaya dan hal itu membuat mata Nino semakin melotot. "Kamu ciuman secara tidak langsung dengan banyak orang?" tanya Nino tidak percaya. BUKKK .... "Sembarangan lo kalau ngomong, Om!" teriak Sistaya sambil menendang kaki Nino yang ada di bawah meja. "Akh! Kamu kenapa suka sekali nendang saya sih?" keluh Nino kesal. Kakinya jadi sakit kena tendangan maut istri bar-barnya. Sistaya itu kalau sudah menendang atau meninjunya tidak bisa pelan, pasti ia akan merasakan ngilu di tubuhnya jika gadis itu sudah mengeluarkan kekuatan bakat alaminya. "Salah lo sendiri ngomong kayak gitu! Lo pikir gue cewek apaan? Sembarangan ngatain gue ciuman sama banyak orang! Jelas-jelas enggak pernah!" gerutu Sistaya memandang tajam Nino. "Saya 'kan bilang kalau secara tidak langsung, bukannya beneran kamu ciuman dengan orang lain. Eh tapi, saya pikir kamu udah pro loh masalah yang begitu, ternyata masih polos ckck." Nino menggelengkan kepalanya, seakan mengejek Sistaya yang terlalu cupu karena sama sekali tidak ada pengalaman dalam menjalin kasih apalagi ciuman. "Seenaknya aja ya lo ngehina gue, kayak lo udah pro aja," balas Sistaya menyindir Nino. "Oh saya lupa, kamu 'kan bar-bar begini, mana ada laki-laki yang mau dengan kamu. Seharusnya kamu beruntung bisa menikah dengan saya, selain karena saya tampan, saya juga baik hati." Mendengar Nino yang mengejeknya dan memuji dirinya sendiri membuat Sistaya langsung kesal, ingin sekali gadis itu memberi pelajaran pada Nino saat ini juga. Seperti menampar wajahnya atau menendang asetnya lagi, misalnya? "Cih najis lo, Om! Kayak ada yang mau aja sama lo? Secara lo 'kan lembek gini. Mana ada cewek yang mau," ujar Sistaya. "Heh! Sembarangan kamu ya kalau ngomong. Mantan saya itu ada banyak dan bahkan saya lebih pro dari yang kamu tahu!" Nino tak terima diejek oleh gadis bar-bar ini, sudah jelas-jelas kalau mantannya itu banyak. "Udah sampai tahap apa lo sama mantan-mantan lo itu, Om? Se-pro apa lo bareng mereka? Udah sampai digrepein belum lo, Om?" tanya Sistaya bertubi-tubi. Melihat Nino yang hanya diam saja membuat Sistaya menggelengkan kepalanya. "Ternyata lo ini cowok mésum ya, Om. Masih pacaran aja lo udah grepe-grepein anak orang." Sistaya memandang Nino dengan prihatin hingga membuat pria itu melotot kesal karena dituduh yang bukan-bukan. "Sembarangan aja kamu kalau ngomong! Saya bukan pria yang seperti itu. Digoda dengan wanita cantik jelas saya tidak akan bisa menolak," balas Nino tak terima dianggap sebagai pria mésum. "Harga lo murah banget sih, Om? Digoda dikit udah mau aja cium-cium. Cowok gampangan lo, Om! Jadi gígolo aja sono biar lo bisa ngasih gue duit yang banyak meskipun lo enggak kerja!" ujar Sistaya pedas membuat Nino ingin sekali melempar Sistaya hidup-hidup ke kandang macan saat ini juga. "Kata-kata kamu enggak ada yang lebih pedas lagi dari ini?" tanya pria itu sinis. "Enggak ada! Itu udah di level yang paling, nanti lo nangis lagi kalau terlalu tinggi level pedasnya," jawab Sistaya. "Kamu itu ya—" "Eh, masih ada nih. Dengerin gue ngomong, jangan nangis lo habis denger omongan gue yang ini." Sistaya memberi peringatan dulu pada Nino sebelum mengatakan hidangan utama yang mempunyai level tertinggi. "Begituan sama orang yang bukan istrinya itu dosa loh, Om, gíla lo! Kalo gitu, lo ini bukan imam yang baik buat gue. Mama salah nih jodohin gue sama yang bréngsek kayak lo gini. Enggak nyangka gue, cowok lembek kayak lo ternyata bréngsek." Sistaya menggelengkan kepalanya, menatap Nino seakan tidak percaya dengan kelakuan suaminya di masa lalu. "Itu hanya masa lalu, perlu kamu bahas lagi sekarang?" tanya Nino berusaha sabar menghadapi Sistaya dan mulutnya yang sepedas cabe seribu biji. "Walau bukan masa lalu juga gue enggak masalah, Om, kalo lo sekarang makin bréngsek itu malah bagus. Kita bisa dengan cepat pisah, gue bakal gugat cerai lo nantinya karena lo udah selingkuh." Sistaya bersedekap dàda, menatap Nino dengan tatapan menantang. "Sayangnya saya tidak akan menjadi pria bréngsek lagi karena saya tidak mau kamu melakukan gugatan cerai itu. Seenaknya saja nama saya yang menjadi jélek, seharusnya kamu yang seperti itu karena tingkah bar-bar kamu." Nino membalas, menatap Sistaya dengan aura permusuhan yang kentara. "Lagipula, menikah dengan kamu tidak seburuk yang saya pikirkan. Apalagi kamu ternyata masih sangat polos dalam urusan percintaan, perlukah saya mengajari kamu bagaimana caranya menjadi istri yang berbakti dan membuat suami menjadi senang?" Sistaya yang mengerti tatapan nakal Nino pun melotot, gadis itu berdiri dan menghampiri Nino. BUKK ... BUKKK ... BUKKKK .... "AKH! Apa-apaan kamu ini!? Mengapa kamu memukul dan menendang saya!?" tanya Nino saat Sistaya memukul dan menendangnya bertubi-tubi. "Kamu pikir saya ini bantal tinju!? Lepaskan saya gadis bar-bar!" Puas memukul dan menendang Nino, Sistaya tersenyum kemudian kembali duduk di salah satu kursi meja makan. "Kalau lo ngomong begitu lagi, mungkin bantal tinju punya gue, gue ganti aja muka lo. Biar puas dan makin semangat gue dalam berlatih, hahahaha!" ujar Sistaya dengan tawa yang teramat menyeramkan dan mirip nenek sihir. Nino bergidik ngeri mendengarnya, ancaman istri bar-barnya sangatlah menyeramkan. Sepertinya ia telah salah karena mencari masalah dengan Sistaya. "Kenapa lo diam, Om?" tanya Sistaya saat melihat Nino hanya diam saja. "Takut ya lo sama gue?" Sistaya kembali berdiri dan menghampiri Nino. "Enggak usah takut sama gue, gue enggak akan gigit kok. Palingan gue mau tendang perut lo aja sampai bonyok," bisik Sistaya tepat di telinga Nino. "G-gila kamu!" teriak Nino segera pergi dari dapur daripada harus mendengarkan ancaman-ancaman menyeramkan dari gadis muda yang bar-bar itu. "Hahaha! Gue dilawan!" ucap Sistaya saat melihat Nino pergi dari hadapannya. "Ngapain ya gue habis ini? Nonton tivi aja deh ya, bermalas-malasan di hari libur." Gadis itu berjalan menuju ruang tamu yang di mana ada sebuah televisi besar di sana. Ia langsung duduk santai dan menghidupkan televisi, menonton siaran olahraga yang menjadi kegemarannya. Hingga tatapannya mengarah pada Nino yang sepertinya akan keluar rumah. "Mau ke mana lo, Om?" tanya Sistaya. "Saya mau ke supermarket buat belanja bahan makanan, kamu tunggu saja di apartemen," ujar Nino. "Eh, enggak mau! Gue mau ikut!" balas Sistaya yang langsung berdiri dari duduknya. "Fyuh, ya sudahlah. Jangan lupa matikan tivinya." Sistaya mengangguk, gadis itu segera mematikan televisi kemudian ikut keluar bersama Nino menuju supermarket. "Kita akan beli bahan makanan apa aja, Om? Kenapa enggak beli makanan instan aja? Lebih praktis!" ujar Sistaya sambil menepuk bahu Nino. "Shhh!" Nino meringis saat merasakan ngilu di bahunya, hal itu membuat Sistaya melepaskan tangannya di bahu Nino. "Lo kenapa, Om?" tanya Sistaya heran. "Gara-gara kamu, badan saya jadi pegal semuanya. Seharusnya nanti kamu tanggung jawab mijitin saya," ujar Nino. "Lo serius mau gue pijitin, Om? Berhubung gue yang udah bikin badan lo sakit-sakit gini. Mungkin nanti malam boleh deh gue pijitin." Nino menangkap akan ada sesuatu hal yang diperbuat oleh Sistaya, dapat ia lihat dari pancaran mata Sistaya. Sontak, ia langsung menjauhkan dirinya dari gadis itu, ia tidak boleh lengah dan percaya. Ia harus berhati-hati kalau sudah berurusan dengan gadis bar-bar seperti Sistaya, harap-harap nanti tulangnya yang patah kalau Sistaya yang memijitnya. "Enggak perlu, lebih baik saya membayar tukang pijit saja daripada kamu yang memijit saya," balas Nino. "Daripada uangnya buat tukang pijat, mending buat gue aja, Om. Lagian lo kenapa sih enggak mau gue pijat?" tanya Sistaya heran. "Memangnya saya tidak tahu kalau kamu sedang merencanakan sesuatu? Bukannya saya sembuh, malah tulang saya yang patah nantinya." Mendengar perkataan Nino membuat Sistaya terbahak, ternyata si Om Lembek peka juga dengan apa yang akan ia lakukan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN