Day 1.2

1163 Kata
"Kenapa?" Pertanyaan ini bukan yang pertama kali diajukan. Tidak ada jawaban yang memuaskan karena tiap pertanyaan yang sama, jawabannya berbeda-beda. "Ra ... udah, ya. Kita ke sini mau senang-senang, kan?" Lagi, Mahes berusaha mengalihkan Vara dari pertanyaannya. "Salah aku apa?" Pertanyaan itu mungkin untuk Mahes, tapi lelaki itu tak kunjung menjawab meski Vara sudah mengulanginya tiga kali. Jadi pertanyaan keempat dia tujukan untuk dirinya sendiri. "Kamu nggak salah. Yang salah itu aku. Yang berengsek itu aku. Sudah, ya?" Mahes menekuk kepalanya. Tak berani menatap wajah Vara, matanya terpejam. Kini dia menyadari, menyetujui keinginan Vara untuk menemaninya selama empat belas hari adalah hal yang salah. Seharusnya dia langsung meninggalkannya begitu kata putus diucapkan. Sekarang dia harus menahan diri menghadapi keluh kesah Vara dan juga pertanyaan-pertanyaan t***l yang akan terus diucapkan sampai mantannya itu menemukan jawaban yang pas menurut dirinya. "Sejak kapan?" Vara pantang menyerah. Dia ingin semuanya menjadi jelas. Selama ini dia merasa sudah menjadi kekasih yang pengertian, tidak posesif, dan juga tidak matre. Bahkan selama Mahes tidak bekerja, dia yang sering mengeluarkan uang ekstra untuk kekasih yang kini ingin dibilang mantan itu. Minggu depan, teman baiknya semasa kuliah menikah. Vara sudah janji akan datang ke Bandung dengan mengajak Mahes. Awalnya Mahes menolak, dia tidak punya uang untuk membeli tiket karena baru saja bekerja dan belum menerima gaji. Akan tetapi karena Vara memaksa--dia tidak ingin terlihat sendirian sementara temannya membawa pasangan--maka Mahes setuju menemani Vara pergi ke Bandung. Tiket dibelikan Vara, sampai Bandung mereka dijemput Papa dan Mama otomatis transport selama di Bandung aman karena Mahes bisa membawa mobil Papa. Perkara makan, Vara juga yang tanggung dan penginapan, mereka menginap di rumah Kak Mery. Kakak kedua Vara itu bekerja di Jakarta, tapi dia membeli rumah di Bandung yang dipergunakan untuk tempat berkumpul keluarga. Semua sudah Vara urus, Mahes tinggal datang menggandeng tangan Vara dan duduk manis saja. Namun dengan kejadian tiba-tiba ini, apa yang harus dia katakan pada Papa Mama ketika nanti datang ke Bandung sendirian? "Aku tahu selingkuhan kamu itu siapa." Akhirnya Vara membuka mulut ketika mereka berdua terdiam lama dan membiarkan titik-titik es di gelas luruh kepanasan. Udara malam itu terasa sangat panas. Hujan belum menyambangi Jakarta meski sudah memasuki bulan berakhiran 'ber'. Mahes mengangkat wajah dan memandang Vara penuh rasa ingin tahu. Namun Vara masih menunduk dan mulai mengaduk gelas esnya dengan sedotan. Udara panas, dadanya panas, semuanya panas hari ini. Rasanya dia ingin menenggelamkan kepalanya di mangkuk es. "Ka-mu ... ta-hu ,,,?" Akhirnya wajah ayu berhijab itu terangkat. Mendung masih menggelayut berat di atas kepalanya dan duka mengelilingi pias wajahnya. "Hanindita. Iya, kan? Itu akun IG-nya. Yang aku nggak tahu, kenapa dia? Siapa dia?" Vara menghentikan kegiatannya mengaduk dan menatap Mahes lekat. "Kenapa dia? Kenapa, Hes? Apa bagusnya dia dibanding aku sampai kamu mengorbankan empat tahun kita?" "Ra ...." Suaranya terhenti di udara. Suasana kafe yang lumayan ramai di jam makan malam mendadak sepi dan Vara bisa mendengar detak jantungnya yang berdetak kelewat cepat. "Aku nggak mencari tahu, ya. Aku nggak sekepo itu. Vicky yang nemuin." Mata Mahes membesar mendengar Vara menyebut nama juniornya dulu di Medvoice.id. "You told her?" tanyanya dengan suara tak percaya. "I told them. Kamu tahu seperti apa dekatnya kita. Aku, Vicky, Jo, dan Aya. Aku nggak mungkin bisa melalui saat kayak gini sendirian. Kamu pikir aku nggak punya hati apa? Di putusin tiba-tiba tanpa alasan yang jelas." Kini keduanya beradu pandang. Vara dengan tatapan dingin dan datar, Mahes dengan tatapan sinisnya. Dalam hati Vara bertanya, kemana Mahes yang dulu hangat? Mahes yang ada di hadapannya seperti bukan Mahes yang dia kenal. "Kalian ...." Mahes memutar-mutar tangannya di depan d**a, "kalian menyelidiki aku?" tanyanya tak percaya. Dia mendesah keras dan menggebrak meja dengan kedua tangan. Beberapa pengunjung kafe melihat ke arah mereka. "Great! Now, your friend think that iam very bastard!" "You don't? Apa namanya kalau gitu?" "Fine! Kalau sikapmu begitu, perjanjian kita batal! Nggak ada lagi waktu dua minggu." Emosi sudah bersarang di kepala Mahes dan dia bersiap meninggalkan Vara. Dengan tenang Vara mengaduk lagi es tehnya dan bertanya ketika Mahes sedang mengenakan jaket. "Apa Ibu tahu kalau kamu mutusin aku?" Pertanyaan Vara sukses menghentikan gerakan Mahes dan menyurutkan darah yang sudah naik ke kepala. Ibu adalah orang tua satu-satunya setelah ayah Mahes meninggal. Cita-cita terbesarnya adalah membahagiakan Ibu dan mengajaknya umrah. Ketika Mahes memperkenalkan Vara pada Ibu, dia sangat bahagia. Bukan saja karena Vara berhijab, tapi juga karena Vara berasal dari keluarga baik-baik dan dia memang perempuan baik hati dan tidak macam-macam. Sebelum mengenal Vara, Mahes suka pergi ke klub dan mabuk. Perempuan yang dia kencani semuanya ditolak Ibu karena Ibu ingin calon menantu untuk anak lelaki satu-satunya itu berhijab. Semuanya terpenuhi pada sosok Vara, jadi rasa sayang Ibu pada Vara sudah seperti sayangnya Ibu kepada anak kandung sendiri. "Jangan berani cerita sama Ibu kalau kita sudah putus," ancam Mahes sambil merapatkan kancing tariknya. "Hhh. Lalu sampai kapan kamu akan merahasiakannya? Apa aku masih boleh ke rumah Ibu kalau dia memintaku mampir?" Vara memandang Mahes, dia merapatkan kedua rahangnya untuk menahan amarah dan tangis yang seolah ingin membuncah. "Ibu nggak akan pernah tahu. Dan, ya, kamu harus tetap ke rumah kalau Ibu minta, tapi kasih tahu aku dulu karena aku nggak mau kita ketemu dan harus pura-pura mesra." "Segitunya," desis Vara. Dipalingkannya pandanganya ke arah dua sejoli yang juga sedang makan malam di seberang ruangan. Mereka terlihat mesra dan tertawa saling menggoda. Seperti dulu dia dengan Mahes. "Kamu nggak bisa seenaknya nyuruh aku ini itu sedangkan permintaanku saja nggak kamu turutin. Duduk, Mahes. Kamu nggak boleh ninggalin aku sebelum kita selesai bicara." Hati Vara sudah lelah, dia ingin membenamkan wajah di bantal dan menangis sampai tak ada lagi air mata untuk dikeluarkan. Mahes juga sama. Berada pada hubungan yang tak jelas seperti ini membuatnya lelah dua kali lipat. Untungnya Hanindita paham, dia tidak marah ketika Mahes mengatakan permintaan Vara agar memberi waktu dua minggu sebelum mereka benar-benar putus. Mungkin dalam hati, Hanindita juga merasa bersalah karena telah merebut kekasih orang. "Apa lagi mau kamu, Ra? Aku cape. Kamu mau waktu dua minggu aku kasih. Kamu mau kita biasa saja seolah nggak pernah putus selama dua minggu itu, aku setuju. Kita makan di sini sepulang kerja, kan karena keinginan kamu. Seperti biasanya." Mahes kembali duduk di hadapan Vara dengan pandangan dilayangkan ke segala arah, tak ada fokus yang jelas. Dia hanya tak ingin menatap Vara dan ikut merasakan kepedihannya. Sebenarnya dia tak tega menyakiti hati mantan kekasihnya ini. Akan tetapi rasa cintanya pada Hanindita telah mengikis habis perasaan Mahes pada Vara. Perempuan itu ... Hanindita ... telah membuat hari-harinya jungkir balik. Berbeda dengan Vara. "Aku mau kejelasan. Aku mau alasan. I need something to make everything is clear! Sesuatu yang bikin aku nggak terus-terusan bertanya ... aku salah apa? Kenapa harus aku? Kenapa kamu tega? Kenapa? Jelasin Mahes!" Vara menguatkan hati untuk meminta kejelasan pada lelaki yang kini sepertinya sedang menyusun kalimat untuk menjawab pertanyaan Vara. "You want an answer? I'll give it to you. Dengar baik-baik Vara, karena mungkin ini akan membuatmu menangis semalaman."[]
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN