Bab 10

902 Kata
Di hari pernikahan suaminya, Burhani. Diana bangun lebih awal dan langsung membangunkan kedua putranya. Dia juga langsung meminta Bik Rani yang baru datang bekerja pertama kali untuk membantu Fahri dan Faiz bersiap. Diana ingin suaminya itu merasakan penyesalan karena telah menelantarkan kedua putranya demi anak-anak orang lain. Dia sudah menyiapkannya jauh-jauh hari untuk membalaskan rasa sakit yang diterima anak-anaknya. "Mas sama Abang ikut Bunda Salwa dulu, ya,? pinta Diana kepada kedua putranya. Alhamdulillah, mereka tidak bertanya lebih lanjut. Justru malah terlihat semakin mengerti. "Waktu di restoran itu sebenarnya Mas lihat Papa," ujar Fahri membuat Diana kaget. "Tapi Mas sengaja tidak bilang, Mas tidak mau Mama melihatnya dan menangis," lanjutnya sambil mencium pipi Diana. Diana terdiam sejenak. Ternyata sifat anak-anaknya sudah dewasa padahal usianya masih balita. "Apa Mas marah sama Papa?" ujar Diana. Matanya memanas membayangkan sang melihat Papanya makan bersama dengan anak-anak orang lain. "Mas tidak marah. Cuman Mas tidak suka kebohongan," ucapnya terdengar kesal. "Apa Mas tidak apa kalau kita tinggal jauh dari Papa?" tanya Diana memastikan kalau keputusannya adalah benar. Dia tidak ingin menjadi ibu yang egois karena sudah menjauhkan anak dari Papanya. "Mas mau bersama Mama. Mas tidak mau berkumpul sama Papa yang suka berbohong," jawabnya yang membuat bibir Diana tersenyum mengembang. "Abang bagaimana?" tanya Diana pada putra keduanya. "Abang ikut Mama dan Mas. Lagipula Papa sudah punya anak-anak yang lain. Kita pasti akan terlantar," ucapnya membuat Diana haru. Tidak hanya Diana, Bik Rani yang menjadi saksi mereka bahkan menangis menyaksikan bagaimana anak-anak mungil itu bicara seperti orang dewasa. Apalagi Fahri, dia bicara tanpa ekspresi sedikit pun. Seperti sudah sangat geram dengan sikap Papanya. 'Jangan salahkan aku, Mas. Kau sendiri yang memilih untuk menikahi cinta pertamamu. Tapi kau lupa, kalau aku juga belum mencintaimu. Tapi aku tetap bertahan. Karena anak-anak masih sangat kecil. Sekarang tidak ada alasan lagi bagiku untuk terus berada dalam sangkar emas ini.' batinnya tersenyum. Segera Diana menghubungi Bunda Salwa, yang tidak lain adalah sahabat Diana di pengajian. Dia memang sering ikut kajian rutinan. Diana sudah sangat lama mengenal Bunda Salwa, bahkan semenjak dia baru menikah dengan dokter Burhani. Sebelum dokter Burhani terbangun, anak-anak sudah di jemput oleh dokter Salwa. * Ketika Diana hendak masuk, tidak sengaja dia melihat suaminya itu menuruni tangga. Jadi Diana pura-pura sedang merawat tanaman. Padahal tidak. Bik Rani pun langsung berakting mengambil sapu dan berpura-pura menyapu lantai ketika dokter Burhani turun dan menanyakan keadaan anak-anaknya. Tapi Diana tetap mencoba tenang dan menjawab sekiranya. Dengan berani dokter Burhani bahkan meminta Diana untuk hadir di pernikahan keduanya. Tentu saja Diana setuju. Baginya, tidak ada alasan untuk takut. Karena dia tidak bersalah. Wanita itulah yang seharusnya kalah. Diana diam bukan karena mengikhlaskan. Tapi ingin suaminya itu sadar kalau sikapnya telah salah. Diana mematikan CCTV yang ada di setiap ruangan sebelum mengeluarkan semua bajunya dan juga anak-anak. Diana tidak ingin meninggalkan jejak sedikit pun. 'Aku memang bukan seorang dokter sepertimu, Mas. Tapi aku tidak bod*h. Istri mana yang kuat melihat suaminya bermesraan dengan wanita lain. Jika matamu melihat dia lebih cantik, maka aku akan segera menunjukkan siapa aku sebenarnya," batinnya meringis kala mengingat suaminya seringkali membandingkannya dengan Milla, cinta pertamanya. Setelah memasukkan semau koper pakaian dan barang miliknya ke mobil, Diana menuliskan sebuah surat yang dititipkannya kepada Bik Rani. "Nanti kalau tuan pulang, tolong berikan surat ini, ya, Bik," pesan Diana. Bukannya menjawab, Bik Rani malah menangis. "Aku tidak apa, Bik. Jika Bibi dipecat, Bibi bisa menghubungiku," lanjut Diana dan Bik Rani hanya mengangguk. "Aku pergi, ya, Bik. Bibi hati-hati, assalamualaikum." Diana berjalan keluar dari rumah mewah itu. Sebelum naik ke sebuah mobil, Diana melirik sekilas rumah yang selama ini telah menjadi tempat tinggalnya. "Selamat tinggal semua kenangan," gumamnya lalu pergi ke pernikahan dokter Burhani. Kedatangannya disambut oleh sorot mata para pemuda. Padahal Diana sudah berpakaian sangat tertutup seperti muslimah, tapi tetap saja penampilannya sangat memukau. Bahkan suaminya saja dibuat resah. Tetapi berbeda dengan Milla. Dia justru mempercepat proses ijab qobul dan menatap penuh kebencian ke arah Diana. Doker Burhani berdiri dan menghampiri Milla."Selamat, ya, Mas. Semoga kau bahagia dan tidak menyesali apa yang sudah kau lakukan ini," ucap Diana sambil tersenyum tajam. "Aku tidak akan menyesal!" jawabnya cepat dan seperti ada kemarahan di sana. "Ya, sudah. Aku pulang dulu, takut anak-anak mencari." ucap Diana mengakhiri dan berjalan menjauh. Dokter Burhani merasa ada yang aneh dengan Diana. Dia ingin semua acara ini cepat selesai dan meminta izin kepada Milla untuk pulang. Wajahnya terlihat resah. Seperti sedang memikirkan sesuatu. "Semuanya sudah selesai. Aku izin pulang dulu, ya," ucap Dokter Burhani pada Milla yang kini telah sah menjadi istrinya dengan lembut. "Baiklah, Mas. Jangan lupa cepat datang. Anak-anak akan sangat merindukanmu," ucap Milla tidak tahu malu telah merampas kebahagiaan anak-anak kandung dari lelaki yang baru saja menjadi suaminya itu. Dokter Burhani bergegas menuju mobil dan berlaju cepat sampai ke rumahnya. Suasana rumah tampak hening sepi. Tapi dia tidak peduli dan memilih untuk membersihkan dirinya. Setelah lama berdiam diri di kamar. Dokter Burhani merasa ada yang aneh. "Kenapa suara anak-anak tidak terdengar?" gumamnya sambil menuruni tangga. "Ana!! "Ana!! Berkali-kali dokter Burhani memanggil namanya, tapi tidak ada yang menjawab. Bik Rani yang mendengar teriakan majikannya segera mendekat. "Tuan, ada surat dari Bu Diana," ujarnya sambil menyerahkan sebuah amplop. "Baik. Terimakasih, Bik," ucapnya cuek. "Mas Fahri! Bang Faiz!" dokter Burhani kembali memanggil. Namun, tetap saja tidak ada yang menyahut. "Sebaiknya Tuan segera membuka isi suratnya," Bik Rani menyarankan. Dokter Burhani mengerutkan keningnya. 'Kenapa aku harus membuka surat ini?' batinnya bertanya-tanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN